Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ikhsan Tanggok
Abstrak :
ln this thesis I discuss about the ancestor worship in in the Chinese-Hakka family and community in Singkawang-West Kalimantan (Borneo). The central concem of this study is the description and analysis of ancestor worship in rituals of death within family as conducted at the home, at place managed by Chinese burial association, and burial place, before and after burial.

The main issue raised in this thesis is the function of ancestor worship for Hakka family and community of Singkawang, which based on Mauss (1992) and Suparlan (l978)?s exchange theory is to tighten the kinship relations between family members who are alive or living in this world-the ?real world? and their ancestors in the atier-life world or the ?unreal world?.

The reason for the Hakka people of Singkawang to worship their ancestors. besides showing their filial piety (xiao) to ancestor. is also to ask for protection and assistance from them. In the time of needs or problems, members of a Hakka family or community will ask their ancestor spirits to help and protect him or her, and in return they will reciprocate the ancestors? help by providing food and beverages, as well as by paying respect to them, and all of these are conducted through rituals at the burial place or temples. This form or exchange is always maintained because it benefited both sides.

Death and death rituals in Hakka family are the most important part ol ancestor worship among the Chinese-Hakka in Singkawang. There would be no ancestor worship without death and death rituals. According to Hakka people?s beliefs, the well-being of their ancestors in the after-life will determine their well- being or the well-being of related family in this life.

In Chinese culture, as stated by Mencius, the most revered Confucian philosopher after Confucius himself, ?the greatest of all sins is to have no sons to carry on the ancestral line and continue the ancestors? worship? (see McCreey in Scupin, 2000: 286). Therefore, ?sons? is the operative world for Chinese in general. Traditional Chinese society is a patrilineal society in which Family surname and the right to a share of the family property descends from father to son. Daughters, once they married, their duty is to serve their parents-in-law, to worship their husband?s ancestors, and above all, to provide sons to continue their husband?s family line. Thus, usually daughters are not expected to share the burden of ancestor?s worship within their original family. In this thesis, I show that in Hakka family and community in Singkawang, in contrast to the abovementioned Chinese tradition, daughters who have married, together with their husbands, could come and share the burden of ancestor worship duty in the daughters? original family, as long as they do not take the place of sons as the leader of the family. Hakka family and community in Singkawang too see ancestor worship as means to gather members of related family, from both patrilineal and matrilineal sides, at one place and at a particular time, not only to conduct rituals and to worship their ancestors, but also to talk about family economy as well as other metters among family members.

The ancestor worship of Haldta family and community in Singkawang does not only benefit members of related family, but, as a matter of fact, also provides some advantages for members of other ethnic groups, such as the Madurese and the Dayaks, particularly those who live near the Chinese burial place. During Ching Ming Jie or Chinese Toms Festival and Zhong Yuan Jie or Hungry Ghost Festival, these people-the Madurese and the Dayaks--could ask to help Hakka families to clean or cut grass on their ancestors? graves in return for a little money.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D825
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Riani Utami
Abstrak :
Tradisi pemujaan leluhur di Jepang merupakan perpaduan dari berbagai kepercayaan yang berkembang di Jepang seperti Shinto, Konfusianisme dan Budha. Tradisi ini berawal dari adanya pemikiran bahwa roh orang yang telah meninggal dunia akan mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup. Agar roh tersebut tidak mengganggu mereka yang masih hidup maka diadakanlah ritual-ritual untuk menenangkan roh tersebut.

Leluhur dalam tradisi pemujaan leluhur di Jepang mengacu pada pendiri ie tempat keluarga itu tinggal. Penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur penting untuk dilakukan bukan hanya karena dia adalah pendiri ie tapi juga karena mereka dipercaya memberikan kesejahteraan dan perlindungan keamanan kepada keturunannya. Sejalan dengan adanya perkembangan pemikiran dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Jepang, konsep leluhur yang terpusat pada ie ini kemudian meluas menjadi konsep leluhur yang terpusat pada keluarga. Tradisi pemujaan leluhur ini pun sejak Zaman Tokugawa telah digunakan sebagai alat propaganda politik pemerintah sampai dengan PD II berakhir.

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah cara pemerintah Meiji menggunakan tradisi pemujaan leluhur sebagai dasar untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan dan analisa yang dalam dengan metode pendekatan Deskriptif-Analitik untuk memudahkan penulis dalam mencari jawabannya dan memudahkan para pembaca dalam memahaminya.

Pada akhir penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa tradisi pemujaan leluhur ini telah digunakan oleh pemerintah Meiji untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya dan dasar pemikiran pemujaan leluhur tersebut diterapkan di dalam beberapa institusi yang ada di Jepang seperti institusi hukum, pendidikan, keluarga, agama Shinto dan dalam penggunaan sistem kalender matahari. Dalam tradisi pemujaan leluhur pada Zaman Meiji inilah terlihat bahwa hal yang dianggap paling asasi sekalipun, yaitu kebebasan beragama, tidak terlepas dari propaganda pemerintah derni kepentingan politiknya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S13963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yerina Asnawi
Abstrak :
Adanya hubungan yang cukup erat antara Indonesia Jepang secara tidak langsung telah terjalin sejak negara Indonesia terjajah dari tahun 1942. Namun pengalaman semasa penjajahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia bukanlah suatu alasan untuk membuat kerenggangan hubungan yang terjalin dewasa ini. Kenyataan menunjukkan gejala yang sebaliknya. Kekaguman akan kemajuan dan keberhasilan Jepang, telah menjadi motivasi bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Secara tidak langsung keberhasilan Jepang dianggap dapat menjadi motivasi menuju dunia moderen dan telah pula menjadi alasan bagi setiap negara untuk meningkatkan hubungan yang lebih erat lagi dengan bangsa tersebut. Sebetulnya bukan hanya Jepang yang dapat digolongkan negara yang berhasil membangun negerinya, melainkan Amerika dan Eropa pun menduduki peringkat nomor satu di dunia. Namun dalam kenyataan dewasa ini, dari negara-negara moderen tersebut di atas mulai tampak selisih yang cukup unik di antara mereka, terutama dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Jepang bukanlah merupakan suatu negara yang kaya akan sumber alamnya jika dibandingkan dengan Indonesia. Oleh karena itu patutlah kiranya kita bersyukur dianugerahi kekayaan sumber alam yang tinggi dan memiliki iklim yang tidak kejam. Dalam jalinan yang cenderung semakin erat ini antara Indonesia dan Jepang, para sarjana dan juga mahasiswa berusaha menemukan jalan untuk menyetahui faktok-faktor yang menyebabkan kemajuan Jepang tersebut yang kemudian akan dijadikan pegangan atau pun pola baru yang perlu diterapkan. Di dalam kita memahami suatu bangsa, tidaklah cukup dengan hanya menyoroti segi ekonomi, politik, tehnik dan semacamnya yang merupakan perwujudan konkrit dari budaya material. Melainkan kita perlu memperhatikan serta mencoba menemukan apa dan bagaimana yang terdapat di balik perwujudan konkrit yang dapat kita saksikan sekarang ini. Atas dasar inilah penulis mencoba untuk meneliti kebudayaan Jepang yang dapat membantu menjelaskan atau menerangkan lebih jelas lagi tentang ciri kebudayaan Jepang. Dalam hal ini penulis mencoba untuk menjabarkan ke-budayaan Jepang khususnya dalam bidang keagamaan yaitu sekitar pemujaan leluhur di Jepang, khususnya berkisar sekitar pemikiran 'Pemujaan Leluhur' menurut Takeda Chaoshu. Takeda Choshu adalah seorang ahli sejarah, tapi ia banyak menaruh perhatian pada bidang folklor dan agama Buddha. Ia juga mencoba mengamati masalah shinbutsu shuga (perpaduan antara agama Shinto dan Buddha) terutama di zaman Edo (abad 17-18). Setelah Perang Dunia ke-II, Takeda mengadakan penelitian agama Buddha di Cina. Beliau mempunyai premis bahwa agama Buddha di Cina sama dengan agama Buddha di Jepang. Namun ternyata dugaan itu meleset, karena agama Buddha di Cina memiliki bentuk yang lain. Sedangkan agama Buddha di Jepang menurutnya sangat erat kaitannya dengan pemujaan leluhur. Inilah yang merupakan motif baginya untuk mengadakan penelitian sosen suhai atau pemujaan leluhur di Jepang. Takeda beranggapan bahwa agama Buddha di Jepang adalah sosen sehaiteki atau bersifat pemujaan leluhur. Ada pun faktor yang menyebabkan terjadi kompleks ini, adalah struktur masyarakat Jepang yang sangat menunjang pembentukan sistim tersebut. Memang masalah pemujaan leluhur sudah banyak diteliti, terutama oleh kalangan ahli folklor, namun Takeda memperhatikannya dari sudut agama Buddha. Menurutnya dalam mempermasalahkan kebudayaan spi ritual Jepang tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor agama Buddha. Atas dasar pertimbangan ini penulis mengambil topik tentang pemujaan leluhur. Pemujaan leluhur merupakan salah satu tradisi keagamaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jepang. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya kebiasaan memlliki butsudan (altar agama Buddha yang ada di rumah-rumah anak laki-laki tertua), adanya tradisi ziarah ke kubur-kubur keluarga ataupun ke kubur-kubur orang tertentu seperti obon dan higan.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S13911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Bayurina Dewanti
Abstrak :
Penulisan dilakukan dengan cara menganalisa data-data yang dikumpulkan dari buku-buku dan tulisan yang bgerkaitan dengan masalah. Data-data mengenai upacara Obon berasal dari berbagai buku panduan, diantaranya: Nihon No Matsuri, Tate Shakai No Ningen Kankei, ancestor Worship in Contemporary Japan, Bukyo Minzoku Jiten. Berdasarkan analisa dapat diuraikan mengenai upacara obon sebagai bagian dari religi orang Jepang menjadi sarana atau faktor yang mempererat kekerabatan dalam keluarga. Upacara pemujaan leluhur telah dilakukan oleh orang Jepang sejak dahulu dan merupakan tradisi yang hingga kini masih dijalankan. Di dalam upacara obon ini terjadi hubungan timbal balik di antara arwah leluhur dan keturunannya, di mana para arwah membutuhkan doa dan makanan yang diberikan melalui upacara, sedangkan keturunannya membutuhkan bimbingan dan perlindungan dari leluhurnya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dengan adanya berbagai pemujaan leluhur sejenis obon yang umumnya dilakukan secara berkelompok dan bersifat kekeluargaan menjadi mengakar dalam kehidupan religi orang Jepang dan menjadi sarana untuk melestarikan tradisi yang ada. Di samping itu upacara ini telah berperan sebagai faktor dalam mempererat kekerabatan dalam keluarga.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13506
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun, Ernalem
Abstrak :
Disertasi ini merupakan studi mengenai variasi identitas etnik di dalam sebuah komunitas sosial di mana tiap-tiap anggotanya menampilkan kesamaan sekaligus keberagaman dalam merepresentasikan identitas mereka. Komunitas yang menjadi subjek penelitian ini mengidentifikasi diri mereka sebagai “Cina Pondok Cina”. Mereka tinggal di Depok, Jawa Barat. Dengan menggunakan etnografi, penelitian ini menyelisik Imlek sebagai pintu untuk memahami konstruksi identitas orang Cina Pondok Cina. Adapun teori strukturasi Giddens yang dilengkapi dengan teori populasonal kebudayaan Durham dan pemikiran Ross tentang pengaruh lingkungan terhadap transmisi informasi, digunakan sebagai kerangka pemikiran. Hasil temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa di balik variasi dalam perayaan Imlek, ikatan kekerabatan dan bakti (xiao) dalam bentuk pemujaan leluhur tetap bertahan dan menjaga keberlangsungan tradisi Cina pada komunitas Cina Pondok Cina. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi dan kontinuitas telah terjadi secara bersamaan. Lebih dari itu, transformasi memungkinkan kontinuitas pada aspek-aspek esensial dari identitas Cina Pondok Cina, dan pada waktu yang sama, kontinuitas memungkinkan aspek-aspek yang berubah tetap memiliki makna. ......This is a study of ethnic identity variation of a Chinese community whose members display both similarities and heterogeneity in representing their identities. The community identifies themselves “Cina Pondok Cina” (literally the Chinese of Pondok Cina, who settled in Depok, West Java). Employing ethnographic approach, this study focuses on Imlek, the Chinese New Year celebration, to understand the construction of Chinese identity among them. Imlek is the most visible representation of their “Chinese-ness”. This study uses Giddens’ theory of structuration, Durham’s populational theory of culture, and Ross’ thought abouut environmental influences to transmission of information, as theoretical frameworks. This study found that in spite of the variation of Imlek celebration, kinship ties and devotion (xiao) to ancestor worship continue to hold and preserve the so-called Chinese tradition. It shows that transformation and continuity has been occurring together. Furthermore, transformation makes possible the continuity of essential aspects of Cina Pondok Cina identity, and at the same time, continuity makes the changed aspects meaningful.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maengkom, Laya
Abstrak :
Dalam menguraikan upacara religi tradisional ini, penulis membatasi permasalahan pada keluarga Cina yang merupakan unit sosial dasar di mana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam praktek dari pemeliharaan religi tradisional tersebut. Untuk dapat lebih memahami religi ini, penulis menguraikan pula latar belakang pemikiran yang mendasarinya. Pemujaan leluhur dalam masyarakat Cina bukan hanya merupakan suatu kepercayaan atau religi saja tetapi juga memiliki fungsi sosial dan turut berperan dalam kehidupan keluarga. Penulis akan menerangkan juga tentang perannya dalam kelangsungan keluarga. Membicarakan tentang religi ini, tidak lengkaplah jika tidak menerangkan tentang ritus upacaranya. Maka penulis mencoba untuk menggambarkan pelaksanaan upacaranya. Oleh karena kesempatan yang terbatas, selain menggambarkan bentuk upacara sembahyang Ce it cap go yang dilaksanakan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan menurut penanggalan Imlek - yin li, penulis juga menguraikan dua buah upacara yaitu pada hari menjelang Tahun Baru tanggal 29 bulan 12 Imlek yang jatuh pada tanggal 27-28 Januari serta pada tanggal 1 bulan 3 Imlek atau tanggal 5 April yang merupakan hari raya Ceng Beng.
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library