Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jenni Dahliana
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai perdarahan periventrikular intraventrikular (PPV-PIV) pada neonatus kembar di RSCH Jakarta. Disain penelitian yang digunakan bersifat prospektif tanpa intervensi untuk mencari antara faktor risiko ante, intra dan pasca-natal hubungan neonatus kembar dengan PPV-PIV.
Sampel masing-masing terdiri dari 30 neonatus kembar sebagai kelompok terpapar dan 30 neonatus tunggal sebagai kelompok tidak terpapar yang jarak lahir nya terdekat dengan neonatus kembar dan mempunyai mesa gestasi. Nilai Apgar dan cara lahir yang sama. Pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan ultrasonografi kepala pada hari I,III, IV passe lahir.
Hasil uji statistik dan penghitungan risiko relatif menunjukkan bahwa paritas dan umur ibu tidak mempengaruhi terjadinya kelahiran kembar, tidak ada perbedaan yang bermakna mengenai perawatan antenatal yang dilakukan oleh ibu kedua kelompok. Sebaran penyakit antenatal ibu yaitu preeklampsia dan anemia lebih banyak ditemukan pada kelompok kembar dibandingkan kelompok tunggal (bermakna). Kemungkinan timbulnya PPV-PIV pada kelahiran kembar I adalah sebesar 2S,7% yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan PPV-FIV kelahiran bayi tunggal sebesar 6,72. Kemungkinan terjadinya PPV-FIV pada kelahiran kembar II sebesar 20% . Secara statistik (uji Mc Nemar) tidak ditemukan perbedaan Yang bermakna antara kemungkinan timbulnya PPV-FIV pada kelahiran kembar II dan tunggal, demikian pula antara kelompok kembar I dan kembar II.
Berdasarkan perhitungan risiko relatif, neonatus kembar' I dan neonatus kembar II masing-masing mempunyai risiko untuk terjadinya PPV-PIV sebesar 4 kali dan 3,5 kali lipat dibandingkan neonatus tunggal. Preeklampsia dan anemia pada ibu memberikan efek yang sama dalam hal terjadinya PPV-PIV baik pada neonatus kembar maupun pada tunggal. Kelahiran prematur dan asfiksia yang diduga menpunyai pengaruh terhadap terjadinya PPV-PIV memperlihatkan akibat yang sama pada bayi kembar dan bayi tunggal. Faktor risiko lain seperti cara lahir dan berat lahir rendah tidak mempengaruhi risiko terjadinya PPV-PIV pada neonatus kembar I, kembar II maupun neonatus tunggal.
Masa gestasi 37 < 42 minggu; berat lahir > 2500 g memberikan gambaran risiko terjadinya PPV-PIV pada kelahiran kembar I lebih besar dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Hal ini berarti terdapat faktor risiko lain yang mempengaruhi terjadinya PPV-PIV seperti trauma kepala mengingat bayi kembar I merupakan pembuka jalan lahir, sehingga perlu diperhatikan faktor keterampilan penolong persalinan. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara urutan kelahiran, masa gestasi dan faktor asfiksia dengan saat timbulnya PPV-PIV pada neonatus kembar maupun tunggal."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D784
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
2006
D844
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Praborini
"Latar Belakang Masalah
Perdarahan peri-intraventrikular pada bayi baru lahir merupakan salah sau penyebab kematian pada neonatus. Keadaan ini juga dapat menimbulkan gejala sisa berupa kelainan neurologis di kemudian hari.
Perdarahan dimulai dari jaringan pembuluh darah yang terdapat pada matriks germinal di lapisan subependimal (Volpe, 1981-1; Volpe, 1981-2; Allan dan Volpe, 1986). Matriks germinal merupakan tempat berproliferasi neuron dan glia yang kelak akan bermigrasi ke lapisan-lapisan korteks otak. Hal ini terjadi pada bulan ketiga dan bulan kelima masa janin.
Matriks germinal ini berangsur-angsur berkurang dan menghilang setelah janin cukup bulan (Kirks dan Bowie, 1986; Volpe, 1981-2). Dengan demikian semakin muda usia janin, semakin besar kemungkinan timbul perdarahan peri-intraventrikular pada bayi.
Neonatus dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu dan berat lahir kurang dari 1500 gram, 40 sampai 45% akan menderita perdarahan peri-intraventrikular (Papile dkk., 1978; Ahmann dkk., 1980). Baerts di Belanda (1984) yang meneliti neonatus kurang dari 37 minggu mendapatkan angka 40% .
Perdarahan dapat timbul pada usia 12 jam sampai 7 hari setelah lahir, terbanyak pada hari kedua dan ketiga dengan rata-rata pada usia 38 jam (Tsiantos dkk., 1978).
Di Indonesia belum diketahui dengan jelas berapakah frekuensi .perdarahan peri-intraventrikular pada neonatus kurang bulan. Belum Pula diketahui bagaimana karakteristik bayi-bayi tersebut. Padahal angka prematuritas di Indonesia cukup tinggi, yaitu berkisar antara 13,9% - 25% (Sarwono, 1977; Alisyahbana, 1977; Monintja, 1979; Kosim dkk., 1984; Ramelari, 1989).
Fasilitas untuk mendeteksi adanya perdarahan peri-intraventrikular yaitu ultrasonografi, telah ada di sebagian besar Rumah-rumah Sakit di Indonesia. Ketepatan diagnostik alat ini mencapai 85 - 97% (Szymonowicz dkk., 1984).
Rumusan Masalah
Berapakah kekerapan perdarahan peri-intraventrikular pada neonatus kurang bulan di RSCM Jakarta dan bagaimana karakteristik bayi-bayi tersebut?
Tujuan Penelitian
Umum :
mendapatkan angka proporsi perdarahan peri-intraventrikular pada neonatus kurang bulan di RSCM Jakarta dan mengetahui karakteristik bayi-bayi tersebut (dibandingkan dengan bayi tanpa perdarahan)?"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholifatun Nisa
"Latar belakang: pada keadaan tertentu kuning pada bayi baru lahir bisa tidak hilang selama lebih dari dua minggu, namun karena kurangnya informasi pada orang tua, diagnosis kolestasis pada anak menjadi terlambat. Kolestasis memunculkan komplikasi, diantaranya sirosis hati, splenomegali, trombositopenia, hipertensi porta, dan varises esofagus yang merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna.
Tujuan: untuk mengetahui besar prevalensi dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian langusng perdarahan saluran cerna pada anak dengan kolestasis.
Metode: penelitian ini menggunakan desain cohort retrospective dengan jumlah sampel 97 pasien anak kolestasis yang berobat ke RSCM dari tahun 2010-2015. Jenis uji Chi-square atau Fisher exact dan regresi logistik.
Hasil: hasil penelitian diperoleh 27,8% pasien anak kolestasis mengalami perdarahan saluran cerna. Proporsi splenomegali (OR 4,8; IK 95% 1,3-17,6; P=0,018), trombositopenia (OR 23,5; IK 95% 2,3-244,1; P=0,008), dan varises esofagus (OR 7,8; IK 95% 1,1-54,6; P=0,039) memiliki hubungan bermakna dengan kejadian perdarahan saluran cerna. Sedangkan, proporsi koagulopati tidak (p>0,05).
Kesimpulan: pasien anak kolestasis dengan splenomegali, trombositopenia, dan varises esofagus memiliki risiko terhadap kejadian langsung perdarahan saluran cerna.

Background: in a particular circumtances, jaundice may not disappear for more than two weeks. Due to lack information on parents, the diagnosis of cholestasis in children may be delayed. Cholestasis lead to complications, including liver cirrhosis, splenomegaly, thrombocytopenia, coagulopathy, portal hypertension, and esophageal varices as risk factor for gastrointestinal bleeding.
Purpose: aim of this study was to determine the prevalence and risk factor for gastrointestinal bleeding in children with cholestasis.
Methods: this study used a retrospective cohort design of 97 children with cholestasis who admitted to RSCM from 2010-2015.
Results: The result were obtained 97 samples and 27.8% had gastrointestinal bleeding. The proportion of splenomegaly (OR 4.8; 95% CI 1.3-17.6; P=0.018), thrombocytopenia (OR 23.5; 95% CI 2.3-244.1; P=0.008), and esophageal varices (OR 7.8; 95% CI 1.1-54.6; P=0.039) had significant correlation with the prevalence of gastrointestinal bleeding. Meanwhile, the proportion of coagulopathy was not (p>0.05).
Conclusion: children with cholestasis who suffered splenomegaly, trombocytopenia, and esophageal varices have a risk for gastrointestinal bleeding."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Midi Candra
"Pelayanan kefarmasian di rumah sakit melipti 2 kegiatan yaitu manejerial dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan klinis meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril, dan pemantauan kadar obat dalam tubuh. Pemantauan terapi obat (PTO) dilakukan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Sejalan dengan PTO, monitoring efek samping obat adalah kegiatan untuk memantau setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki yang terjadi pada dosis lazim. PTO dapat berjalan bersamaan dengan MESO (Monitoring Efek Samping Obat) yang berfokus pada efek samping dan pelaporan. Pada praktik kerja ini juga dilakukan tugas khusus yaitu monitoring efek samping pendarahan pada pasien rawat inap yang menggunakan antiplatelet di RSUI.

Pharmaceutical services in hospitals include 2 activities, managerial and clinical pharmacy services. Clinical services include assessment and prescription services, tracing drug use history, drug reconciliation, drug information services, counseling, visits, drug therapy monitoring, side effects monitoring, evaluating drug use, dispensing sterile preparations, and monitoring drug levels in the body. Monitoring drug therapy is carried out to ensure safe, effective and rational drug therapy for patients. In line with monitoring drug therapy, adverse drug reaction monitoring is an activity to monitor any undesirable response to a drug that occurs at the usual dose. Monitoring drug theraphy can run in conjunction with adverse drug reaction monitoring which focuses on side effects and reporting. In this work practice, a specific task is also carried out, monitoring side effects of bleeding in inpatients using antiplatelet in Universitas Indonesia hospital.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Gabriel Jonathan
"[Konsumsi obat-obatan anti agregasi platelet (antiplatelet) seperti clopidogrel yang digunakan untuk menurunkan agregasi platelet dapat mencegah terjadinya trombosis. Namun, konsumsi obat-obatan antiplatelet sintetik seringkali memberikan efek samping bagi tubuh. Daun Tanjung (Mimusops elengi L.) dapat dimanfaatkan sebagai sumber antiplatelet alami dan murah karena mengandung senyawa katekin. Ekstraksi senyawa katekin dari daun Tanjung menggunakan metode refluks dengan pelarut air pada lima variasi waktu (15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit) menunjukkan bahwa waktu ekstraksi 75 menit menghasilkan kandungan katekin tertinggi, yakni sebesar 452,39 ppm. Hasil analisis ekstrak menggunakan FTIR didapatkan gugus-gugus senyawa yang umumnya terkandung dalam senyawa katekin yaitu fenol, aromatik, serta eter. Efek agregasi antiplatelet dari ekstrak daun Tanjung kemudian diukur menggunakan waktu pendarahan pada mencit galur Deutsche Democratic Yokohama. Ekstrak diberikan secara oral selama 8 hari, dengan pengukuran waktu pendarahan dilakukan pada hari pertama dan hari kesembilan. Kelompok pengujian bioaktivitas antiplatelet adalah kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif (clopidogrel 0,033 mg/30 gram berat mencit), serta tiga kelompok dosis; TE1 (0,0198 mg/30 gram berat mencit), TE2 (0,0396 mg/30 gram berat mencit), dan TE3 (0,0793 mg/30 gram berat mencit). Pengujian dilakukan dengan cara melukai ekor mencit untuk melihat waktu pendarahan yang dialami mencit sebelum dan sesudah pemberian ekstrak. Setelah mendapatkan peningkatan waktu pendarahan, data dianalisis menggunakan analisis uji varian (Anova) yang dilanjutkan dengan pengujian LSD menggunakan aplikasi SPPS V.16. Hasil dari peningkatan waktu pendarahan menunjukkan bahwa kelompok dosis TE3 dengan dosis 0,0793 mg/30 gram berat mencit memberikan waktu pendarahan sebesar 132.77 + 32.52% yang sebanding dengan kelompok kontrol positif sebesar 110.45 + 13.66%.

Consumption of anti platelet aggregation (antiplatelet) drugs such as clopidogrel which is used to lower platelet aggregation can be used to prevent thrombosis. However, the consumption of synthetic antiplatelet drugs frequently give side effects to the body. Tanjung (Mimusops elengi L.) leaves can be used as a natural and inexpensive source of antiplatelet compounds that contain catechins. Extraction of catechin compounds from Tanjung?s leaves using reflux system and water as its solvent with five variations of the time (15 minutes, 30 minutes, 45 minutes, 60 minutes, 75 minutes) showed that the extraction time of 75 minutes produces the highest catechin content, which amounted to 452.39 ppm. FTIR analysis results obtained extracts using groups of compounds that are generally contained in catechin compounds of phenols, aromatic, and ether. Antiplatelet aggregation effect of Tanjung leaves extract then measured using bleeding time on DDY strain mice. Extracts is administered orally for 8 days, with bleeding time measurements made on the first day and the ninth day. The antiplatelet activity groups test was negative control group, positive control group (0.033 mg clopidogrel/30 gram weight of mice), and three dose groups; TE1 (0.0198 mg/30 g mouse weight), TE2 (0.0396 mg/30 gram weight of mice), and TE3 (0.0793 mg/30 g mouse weight). Tests conducted by wounding mice to see that the bleeding time of mice before and after administration of the extract. After getting an increase in bleeding time, data were analyzed with SPP V.16 application for analysis of variance test (ANOVA) followed by LSD test. The result of the increase in bleeding time suggests that TE3 dose group with a dose of 0.0793 mg/30 gram weight of the mice gave bleeding time of 132.77 + 32.52% which is comparable to the positive control group amounted to 110.45 + 13.66%., Consumption of anti platelet aggregation (antiplatelet) drugs such as clopidogrel which is used to lower platelet aggregation can be used to prevent thrombosis. However, the consumption of synthetic antiplatelet drugs frequently give side effects to the body. Tanjung (Mimusops elengi L.) leaves can be used as a natural and inexpensive source of antiplatelet compounds that contain catechins. Extraction of catechin compounds from Tanjung’s leaves using reflux system and water as its solvent with five variations of the time (15 minutes, 30 minutes, 45 minutes, 60 minutes, 75 minutes) showed that the extraction time of 75 minutes produces the highest catechin content, which amounted to 452.39 ppm. FTIR analysis results obtained extracts using groups of compounds that are generally contained in catechin compounds of phenols, aromatic, and ether. Antiplatelet aggregation effect of Tanjung leaves extract then measured using bleeding time on DDY strain mice. Extracts is administered orally for 8 days, with bleeding time measurements made on the first day and the ninth day. The antiplatelet activity groups test was negative control group, positive control group (0.033 mg clopidogrel/30 gram weight of mice), and three dose groups; TE1 (0.0198 mg/30 g mouse weight), TE2 (0.0396 mg/30 gram weight of mice), and TE3 (0.0793 mg/30 g mouse weight). Tests conducted by wounding mice to see that the bleeding time of mice before and after administration of the extract. After getting an increase in bleeding time, data were analyzed with SPP V.16 application for analysis of variance test (ANOVA) followed by LSD test. The result of the increase in bleeding time suggests that TE3 dose group with a dose of 0.0793 mg/30 gram weight of the mice gave bleeding time of 132.77 + 32.52% which is comparable to the positive control group amounted to 110.45 + 13.66%.]"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Hidayat
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar
"Pendarahan masif saluran cerna bagian bawah merupakan masalah klinis yang kompleks dan memerlukan penatalaksanaan pendekatan yang multidisiplin dari bagian Bedah, Penyakit Dalam/ Gastroenterologi dan Radiologi. Saluran cerna bagian bawah adalah saluran sebelah distal dari ligamentum Treitz. Pendarahan saluran cerna bagian bawah dikatakan masif bila terjadi pendarahan dengan kecepatan lebih dari 30 cc per jam.

Massive bleeding of the lower gastrointestinal tract is a complex clinical problem and requires the management of a multidisciplinary approach from the departments of Surgery, Internal Medicine/Gastroenterology and Radiology. The lower gastrointestinal tract is the distal side canal of the Treitz ligament. Lower gastrointestinal bleeding is said to be massive when bleeding occurs at a rate of more than 30 cc per hour."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>