Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wike Warzukni
"ABSTRAK
Sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan di Indonesia digantikan dengan
sistem pemasyarakatan Harsono, 1995). Walaupun upaya-upaya untuk
memanusiawikan penjara telah diusahakan dalam sistem pemasyarakatan, ternyata
hukuman pidana penjara masih menimbulkan dampak negatif bagi narapidana
(napi), diantaranya kesepian. Kesepian merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan, yang muncul akibat berkurangnya hubungan sosial, baik secara
kualitas maupun kuantitas (Peplau & Perlman, 1982). Ada pendapat yang
mengatakan bahwa walaupun kesepian merupakan hal yang tidak menyenangkan,
tetapi dapat membawa konsekuensi positif (Moustakas, 1972). Skripsi ini
bertujuan untuk meneliti kesepian pada napi wanita, yaitu hal yang menyebabkan
kesepian, perwujudan kesepian, coping terhadap kesepian, serta jenis kesepian
yang dialami oleh napi wanita.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena kesepian
merupakan hal yang subyektif. Pengambilan data pada empat orang napi wanita
dilakukan dengan wawancara, serta observasi terhadap subyek dan tempat pada
saat wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pemicu kesepian pada napi
wanita adalah perpisahan dengan keluarga, terutama dengan anak dan ibu. Faktor
predisposisi situasional yaitu jarang dikunjungi dan predisposisi personal yaitu
tidak memiliki teman untuk berbagi selama di LP, ikut menyebabkan napi wanita
tetap berada dalam kesepian. Pada waktu merasa kesepian umumnya subyek
merasa sedih dan tegang, menurun motivasi untuk berinteraksi, dan ada yang
susah berkonsentrasi pada apa yang dilakukan. Sedangkan cara coping yang
dilakukan terhadap kesepian, napi wanita cenderung memilih kegiatan yang dapat
dinikmati sendiri. Walaupun napi wanita juga mengalami kesepian sosial karena
jauh dari teman-temannya, tetapi yang dominan terdapat pada napi wanita adalah
kesepian emosional, yang disebabkan oleh jauhnya mereka dari orang-orang yang
disayanginya, dan juga tidak ada teman berbagi selama di LP.
Sebagai penutup, peneliti menyarankan agar pihak LP menyediakan
psikolog atau konselor, dan agar petugas LP diberikan pelatihan psikologi.
Dengan ini diharapkan dapat menjadi sumber dukungan sosial tersendiri bagi napi
dalam menghadapi kesepian. Selain itu juga disarankan agar dibuat semacam
program pengembangan diri bagi para napi, yang bertujuan untuk meningkatkan konsekuensi positif dari kesepian. Peneliti juga menyarankan agar pada penelitian
selanjutnya, digunakan pedoman wawancara yang lebih baik dan memakai subyek
dalam jumlah yang besar, sehingga hasilnya dapat digeneralisasi."
2001
S3044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Devita Kusindiati
"ABSTRAK
Mencapai usia panjang merupakan suatu berkah dari YME, tetapi bila
dijalani dalam sebuah panti, mungkin merupakan suatu musibah. Saat ini populasi
lansia meningkat secara drastis, yang dapat menimbulkan masalah dan
mempengaruhi kelompok penduduk lainnya. Salah satu masalah yang harus mulai
diperhatikan adalah pengaturan tempat tinggal bagi lansia. Berada di tenga-tengah
keluarga bersama anak dan cucu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi lansia,
khususnya lansia perempuan. Sebenarnya lansia perempuan memiliki kedekatan
yang erat dengan anak perempuannya, tetapi adanya perubahan kehidupan
masyarakat modem, keluarga anak kurang mendukung lansia tinggal di rumah
mereka. Oleh sebab itu, lansia perempuan harus menerima tinggal di panti.
Tinggal di lingkungan yang baru dan asing, harus dilalui dengan upaya
penyesuaian diri yang tidak mudah bagi lansia. Penyesuaian tersebut memakan
waktu yang lama agar dirinya dapat menerima tinggal di panti. Penyesuaian yang
dilakukan terhadap lingkungan fisik dan sosial, peraturan dan program panti, yang
belum tentu cocok bagi lansia. Bila penyesuaian tersebut gagal, maka secara
potensial akan mempengaruhi psikologis lansia yang berdampak pada situasi stres
dan cemas, hal ini akan mempengaruhi kesehatannya.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif, menggunakan wawancara dan
observasi, agar dapat digali penghayatan lansia perempuan dalam menjalani
kehidupannya di panti, bagaimana penerimaan lansia terhadap usia tuanya di
panti, alasan & latar belakang pemilihan panti, serta perasaan-perasaannya selama
dipanti. Penelitian ini akan melihat gambaran penghayatan terhadap lingkungan
fisik dan sosial, peraturan dan program panti, serta ingin melihat apakah fungsi
keluarga dapat tergantikan dengan teman sesama penghuni panti. Manfaat
penelitian ini adalah agar pengurus panti, keluarga dan lansia memahami
kehidupan lansia di panti, sehingga dapat memenuhi kebutuhan lansia dan
meningkatkan pelayanannya pada lansia agar mereka hidup lebih bahagia di akhir
hayatnya. Manfaat lainnya adalah menjadi bahan masukan bagi lansia dan
keluarganya untuk menyiapkan kemandirian lansia di masa tuanya.
Setelah melakukan wawancara dan observasi maka hasil penelitian yang
diperoleh adalah bahwasannya ketiga subyek dalam menghayati kehidupannya di
panti, selalu berusaha melakukan penyesuaian terhadap semua aspek yang
berkaitan dalam kehidupan di panti. Kemudian diperoleh kesimpulan dari ini penelitian ini bahwa keputusan pindah ada di tangan lansia dengan alasan
lingkungan tempat tinggal yang lama tidak dapat dipertahankan lagi. Setelah masa
penyesuaian mereka dapat memilih hubungan sosial dan kegiatan yang cocok di
panti. Penghayatan ketiga subjek sangat mendalam, pada umumnya mereka dapat
menerima kehidupannya di panti dan mereka ingin tinggal di panti werda hingga
akhir hayatnya. Pembahasan diskusi pada penelitian ini adalah lansia perempuan
saat ini menyadari bahwa tempat tinggal mereka di usia tua tidak harus bersama
keluarga anak, mereka memilih panti sebagai alternatif yang baik sebagai tempat
tinggal. Sekalipun tinggal di panti, mereka tetap membutuhkan dukungan emosi
dan materi dari anak. Saran penelitian ini adalah menjadi bahan masukan bagi
penelitian lansia selanjutnya, bagi pengelola panti agar lebih memperhatikan
fasilitas dan kegiatan panti, dan sebagai bahan masukan bagi para lansia Dan
keluarganya unstuk menyiapkan kemandirian lansia di masa tuanya."
2004
S3425
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.V.S Lestari Sandjoyo
"ABSTRAK
Masa lanjut usia (selanjutnya disebut lansia) adalah tahap akhir perkembangan
kehidupan seseorang dan merupakan masa yang paling dekat dengan kematian. Pada
masa ini terjadi proses menua {aging) yang ditandai dengan terjadinya penurunan
kemampuan fisik yang tidak bisa dihindari dan antara lain bisa meningkatkan
terjadinya. kecelakaan dan timbulnya penyakit.
Semakin bertambah tua seseorang dengan segala kemunduran yang
dialaminya, pikiran-pikiran mengenai kematian mulai timbul. Teori Levinson (1978)
yang menekankan pada adanya masa transisFpada setiap taliap kehidupan manusia
pun menganggap bahwa pada saat itu kehidupan tidak lagi dipandang sebagai waktu
yang kita miliki sejak kita dilahirkan, tapi lebih sebagai waktu yang tersisa sampai
pada akliir kehidupan. Erikson (1963) menambahkan pentingnya merencanakan
kehidupan dalam sisa waktu tersebui mengisinya dengan hal-hal yang berguna dan
pada akhirnya mampu menghadapi kematian tanpa rasa takut yang berlebihan. Jika
mereka percaya akan adanya kehidupan setelah kematian, maka penting adanya
persiapan-persiapan untuk memasuki suatu babak kehidupan baru.
Dalam kehidupan sehari-hari, profesi yang paling sering menghadapi
kematian adalah dokter. Sebagai ahli dalam bidang kesehatan, sebagian besar waktu dan hidupnya dihabiskan untuk mengobati orang sakit, bahkan untuk dokter spesialis
tertentu seringkali harus berhadapan dengan pasien-pasien yang menderita terminal
diseases. Menurut Kasper (dalam Feifel, 1959) seorang dokter mempunyai pekerjaan
tambahan untuk melawan takdir manusia : kematian. Dalam ha! ini kematian dilihat
sebagai kenyataan obyektif yang terjadi pada orang lain; padahal kematian terjadi
pada semua orang, tak terkecuali dirinya.
Kematian sebagai kenyataan obyektif tentu berbeda dengan dekatnya
kematian sebagai penghayatan subyektif. Di balik semua usalianya untuk mengobati
pasien dan menghindarkan mereka dari kematian, dokter tahu bahwa dia akan
menghadapi kematian juga seperti pasien-pasiennya selama ini (Wheelis, 1958; dalam
Feifel, 1959), Maka bagaimana para dokter menghayati keadaan dirinya sebagai
manusia yang tidak terlepas dari kematian -apalagi saat mereka memasuki masa
lansia- serta bagaimana persiapan-persiapan yang mereka lakukan, merupakan
permasalahan yang menarik.
Penghayatan terhadap keadaan yang dialami seseorang sehubungan dengan
kematian merupakan masalah yang sensitif dan seringkali bersifat subyektif, baik itu
menyangkut sikap, emosi maupun proses-proses internal lainnya (Bern; dalam Deaux
& Wrightsman, 1984); maka penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan
mengambil 6 orang pensiunan dokter yang berusia antara 60-79 tahun sebagai
subyek, yaitu meliputi 2 kategori penggolongan menurut Burnside (1979; dalam
Craig, 1986) yaitu The Young-Old (60-69 tahun) dan The Middle-Aged Old (70-79
tahun). Penelitian ini mengambil pensiunan dokter sebagai subyek karena kehilangan
pekerjaan yang disebabkan karena faktor usia menyadarkan seseorang bahwa dirinya
sudah memasuki tahap akliir dalam kehidupan. Dengan berkurangnya aktivitas dan
tuntutan masyarakat, lansia pun mulal menyadari kondisi fisiknya yang menurun serta
merasakan keluhan-keluhan kesehatan; saat inilah lansia mulai berpikir akan akhir
kehidupannya. Profesi dokter yang dibutulikan dalam penelitian ini adalah spesialisasi yang memungkinkan dokter tersebut dalam masa kerjanya berhadapan dengan banyak
kematian pasien, sehingga wawasan pengetahuan dan pengalaman yang 'lebih' akan
membantu mengungkapkan penghayatannya akan kematian.Usia subyek tidak
melebihi 80 tahun, karena menurut Burnside umumnya orang yang telah memasuki
usia 80 tahun keatas akan mengalami penurunan kondisi kesehatan, penurunan
kemanipuan adaptasi, serta peningkatan kesulitan dalam berhubungan dengan
sekelilingnya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dan dalam peiaksanaannya
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
{depth interview) karena menyangkut perasaan dan pengalaman, serta penghayatan
subyek tentang hal yang sangat sensitif. Wawancara ini dibantu dengan pedoman
wawancara berupa kuesioner yang bersifat open-ended.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa subyek penelitian menyadari
adanya penurunan kondisi fisik dan mental sebagai akibat dari proses menua.
Menghadapi hal itu subyek memilih untuk tetap beraktivitas, tetap praktek walaupun
dalam frekwensi yang terbatas, bersibuk diri dengan hobi yang sebeiumnya tidak
sempat dilakukan, atau memilih untuk lebih banyak berkumpul dengan keluarga.
Mengenai kegiatan praktek, hal ini tampaknya berkaitan dengan usaha mereka untuk
menghayati eksistensi mereka sebagai keberadaan yang bermakna. Dengan
melanjutkan prakteknya mereka merasa tetap bisa berguna sekaligus terhindar dari
kesadaran akan kemunduran flsik dan mental serta rasa ketidakberdayaan yang sering
dialami iansia, Penyakit yang didcrita pun tidak menghalangi mereka untuk tetapoptimis,
dilihat dari usaha mereka untuk melawan penyakit itu.
Mengenai kematian yang selama masa kerjanya dilihat sebagai sesuatu yang
terjadi diluar diri, subyek menyadari bahwa hal itu pun akan terjadi pada diri mereka.
Subyek mempunyai pandangan religius mengenai kematian; mereka berpendapat
bahwa kematian merupakan takdir yang berlaku bagi manusia, dan cepat atau lambat pasti akan tiba saatnya tanpa mungkin menghindarinya. Bagi subyek, kematian adalah
saal peralihan menuju kehidupan lain yang lebih kekal. Karena pandangan ini
diperoleh dan ajaran agama masing-masing, maka subyek pada sisa hidupnya
umumnya berusaha untuk meiaksanakan perintah agamanya masing-masing, berbuat
baik kepada sesama agar mendapat pahala dalam kehidupan sesudah kematian.
Bahkan ada diantaranya subyek yang lebih optimistik menghadapi kematian, karena
percaya bahwa kehidupan sesudah kematian lebih banyak menjanjikan kenikmatan.
Subyek juga menyatakan harapan agar kematiannya tidak didahului oleh rasa sakit
dan beban penderitaan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Sebagai realisasi dari kesadaran akan datangnya kematian, subyek mulai
melakukan persiapan-persiapan. Persiapan itu meliputi hal-hal yang bersifat material
seperti menyediakan rumah yang layak bagi keluarganya, tabungan dan deposito
untuk menghindari kesulitan ekonomi keluarga, dan mempersiapkan pembagian
warisan agar sepeninggalnya nanti tidak terjadi sengketa antara sesama anggota
keluarga. Persiapan material ini lebih ditujukan pada keluarga yang ditinggalkan
seperti anak, istri, dan cucu. Dalam hal ini tampaknya kedua subyek wanita dalam
penelitian tidak terlalu terbebani. Mungkin karena kedua subyek ada dalam situasi
sedemikian rupa sehingga beban pikiran mengenai persiapan material tidak seberat
pada subyek pria; satu subyek sudah bercerai dan subyek lain tidak menikah. Selain
itu subyek penelitian tidak menyinggung urusan pemakaman sebagai salah satu hal
yang perlu diperhatikan dalam persiapan. Hasil lain yang menarik adalah kepasrahan
salah satu subyek yang luar biasa sehingga tidak membuat persiapan apapun yang
bersifat material.
Untuk ketenangan diri subyek dalam menghadapi kematian sebagai sesuatu
yang tidak diketahui secara pasti, subyek meningkatkan sikap religius; antara lain
dengan menjalankan kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing,
banyak mawas diri, meiaksanakan shalat lima waktu, menunaikan ibadah haji, rajin pergi ke gereja, rajin mengikuti pengajian dan ceramah keagamaan, membaca bukubuku
keagamaan, dan kegiatan lainnya yang dapat mempertebal keyakinan agama
masing-masing. Subyek umumnya sudah merasa cukup puas dengan kehidupannya
selama ini dan tidak merasa perlu meminta apa-apa lagi kecuali hanya bersyukur
kepada Tuhan atas segala karunianya. Selain keyakinan agama yang kuat, hal yang
juga mendukung ketenangan subyek ialah keberadaan mereka dalam lingkungan
keluarga yang akrab satu sama lain.
Diharapkan hasil penelitian ini -walaupun hasilnya belum dapat
digeneralisasikan- dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam hal kematian
yang masih sangat langka di Indonesia; kliususnya dari tinjauan ilmu psikologi,
terutama bagaimana lansia mengatasi rasa takutnya terhadap kematian dan
memberikan gambaran mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan untuk dapat
menghadapi kematian dengan tenang, sehingga mereka dapat mempergunakan sisa
hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya."
1997
S2572
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Elviera N
"Masa remaja merupakan masa mencari identitas (Erikson dalam Hurlock, 1993). Identitas diri yang dicari berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya ?. Apabila dikaitkan dengan pembentukan identitas religious belief sebagaimana diisyaratkan oleh krisis Identity vs Identity Diffusion, masa remaja merupakan saat menguatnya kesadaran beragama (Ingersol, 1989). Hal senada juga dikemukakan oleh Hall & James dalam Ingersol, 1989 yang menyatakan masa remaja merupakan periode kritis dalam aspek perkembangan agama.
Seorang remaja membutuhkan agama sebagai suatu keyaldnan yang bermakna dan dapaf menolong dirinya, mengingat remaja merupakan periode yang diwamci oleh ketegangan {strain) dan perasaan tidak aman (insecure) sehingga seorang remaja memerlukan agama yang akan membantunya melalui doa dan memberinya perasaan aman (Hurlock, 1993).
Sebagai reaksi terhadap keadaan ini maka remaja membentuk kepercayaan/keagamaan baru yang dirasakan dapat mengisi kekosongan hidup remaja. Gerakan keagamaan yang muncul bisa saja berkonotasi positif atau negatif, tergantung bagaimana penilaian sosial dan kultur setempat. Saat ini gerakan keagamaan tersebut dapat juga ditemukan di Indonesia dengan pengikut yang cukup banyak seperti Islam Jama'ah. Children of God, Gerakan Kharismatik dan lain sebagainya.
Penelitian ini hendak mengkaji secara spesifik mengenai perbandingan penghayatan makna hidup antara kelompok remaja gereja dan gerakan kharismatik. Peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara anggota remaja gereja dan gerakan kharismatik dalam hal penghayatan makna hidupnya. Adapun alasan diangkatnya topik mengenai religius adalah selain senafas dengan falsafah Pancasila yang meletakkan sila KeTuhanan Yang Maha Hsa pada posisi pertama, bidang agama dapal dipandang sebagai jawaban amisipasi daiam upaya menangkal risiko-risiko yang menyertai kemajuan teknologi khususnya bagi generasi muda bangsa Indonesia.
Dalam penelitian ini digunakan metodologi kuantitatif dengan alat ukur berupa Purpose in Life Test (PIL Test) dan kuesioner pembantu. Sedangkan hipotesa penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara anggota reinaja gereja dan gerakan kharismatik dalam hal pencapaian makna hidup.
Hasii penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menjadi anggota gereja, kelompok remaja pada gereja menemukan makna hidupnya dan dengan menjadi ansgota gerakan kharismatik, kelompok remaja pada gerakan kharismatik menemukan makna hidupnya. Terdapat perbedaan yang signifikan antara anggota remaja anuuota gereja dan anggota remaja gerakan kharismatik dimana anggota remaja gerakan kharismatik lebih menemukan makna hidupnya dibandingkan anggota remaja gereja.
Peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan mengenai tipe kepribadian manusia yang bagaimanakah yang terbuka untuk mengikuti gerakan kharismatik, mengingat tidak semua orang bersedia mengikuti gerakan kharismatik! Apakah terdapat korelasi tipe kepribadian dengan gerakan kharismatik, dimana hasil tersebut akan memperkaya penelitian di bidang psikologi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellen Tuwaidan
"Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah memilih pasangan hidnp. Namun, perailihan pasangan hidup individu tidak sepenuhnya berada di tangan individu yang bersangkutan. Lingkungan sosial di luar individu juga ikut berperan. Keluarga dalam hal ini orangtua- merupakan faktor di luar individu yang paling berperan dalam pemilihan pasangan hidup. Saat ini, dalam pemilihan pasangan hidup orangtua cenderung tidak lagi menjodohkan individu dengan pasangan yang mereka anggap. Peran orangtua telah bergeser ke arah di mana individu memilih sendiri pasangannya namun perlu persetujuan orangtua.
Kecenderungan orangtua untuk melakukan evaluasi tentang pasangan yang dipilih individu berbeda antara pria dan wanita, di mana orangtua lebih cenderung untuk mengevaiuasi pasangan anak wanitanya. Mengingat hal itu, penelitian ditujukan pada wanita.
Dari pengalaman beberapa wanita tampak bahwa tampaknya ketidaksetujuan orangtua terhadap pasangan yang dipilih individu menimbulkan kebimbangan untuk melanjutkan hubungan ke pemikahan. Di satu sisi, ketidaksetujuan orangtua merupakan tekanan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, sementara itu hubungan pacaran sendiri melibatkan banyak afek. Oleh karena itu dilakukan penelitian guna mendapatkan gambaran tentang seberapa besar kecenderungan wanita untuk menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua serta memahami faktor-faktor apa saja yang b^engaruh dalam pengambilan keputusan tersebut. Dengan kata lain, dilakukan penelitian tentang intensi menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua.
Dalam penelitian ini, pengkajian dilakukan dengan menggunakan kerangka teori Planned Behavior dari Ajzen (1988). Teori ini merupakan perluasan dari teori Reasoned Action, di mana teori Planned Behavior ini digunakan untuk tingkah laku yang tic^ sepenuhnya berada di bahwa kontrol kehendak individu. Menumt kerangka teori ini, intensi ditentukan oleh tiga determinan, yaitu: (1) sikap terhadap tingkah laku, (2) norma subyektif, dan (3) perceived behavior control. Ketiga determinan mtensi ini sendiri dibentuk oleh seperangkat belief yang menonjol, yang disebut salient belief. Teon ini juga membuka kemungkinan bagi masuknya variabel lain dalam meramalkan intensi pada situasi tertentu.Tingkah laku yang menjadi fokus penelitian im adaiah tingkah laku yang secara teoritis sesuai dengan keinginan individu namun berlawanan dengan harapan lingkungan sosial, yaitu tingkah laku menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua. Dalam menentukan pilihan salah satu faktor yang diduga ikut berperan adaiah penghayatan otonomi, yang mengacu pada pengertian sejauh mana individu mempersepsikan diri sebagai seseorang yang bebas bertmu sesuai dengan keinginan sendiri. Oleh karena itu, variabel penghayatan otonomi juga dijadikan determinan pembentuk intensi.
Subyek penelitian ini adaiah wanita dewasa muda yang bertahan untuk tetap berpacaran dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling insidental dan berhasil dilibatkan sebanyak 43 orang subyek. Alat pengumpulan data adaiah kuesioner yang terdiri dari skala-skala yang men^kur sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, perceived behavior control dan intensi berdasarkan format yang disarankan Ajzen (1980). AJat ukur penghayatan otonomi dibuat dengan mengacu pada alat ukur otonomi dari Ryff (1989) dan literatur tentMg otonomi lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan melakukan analisa deskriptif, mean, korelasi serta penghitungan korelasi berganda. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows Release 6.
Dari hasil pengolahan data terlihat bahwa skor intensi untuk menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua cenderung berada di tengah, atau dengan kata lam cenderung ra^. Sikap subyek terhadap tingkah laku menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua cenderung. Secara umum terlihat bahwa signidicant others bagi subyek cenderung mengharapkan subyek agar tidak menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangta. Subyek penelitian menganggap tingkah laku menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua sebagai tingkah laku yang sulit diwujudkan, meskipun subyek mempersepsikan diri sebagai individu yang bebas bertmdak sesuai dengan apa yang diinginkaimya.
Perhitungan korelasi menunjukkan bahwa keempat determinan intensi tersebut berkorelasi positif dan signifikan dengan intensi. Lewat analisis regresi berganda didapatkan mlai korelasi berganda yang signifikan. Dengan kata lain, keempat variabel tersebut secara bersama-sama raemberikan peramalan yang signifikan terhadap intensi. Namun, bila dilihat sumbangan unik masing-masing variabel, hanya variabel perceived ehavior control saja yang memberikan sumbangan unik yang signifikan dalam meramalkan intensi.
Variabel sikap, norma subyektif, otonomi, dan perceived behavior control mengukur common factors yang tercakup pada perceived behavior control. Hal ini juga ditunjang oleh adanya korelasi yang signifikan antar prediktor. Sebagaimana telah luraikan di atas, penghayatan otonomi diduga ikut meramalkan intensi. Hasil penelitian menunjukan bahwa tampaknya penghayatan otonomi sudah direfleksikan di dalain sikap dan norma subyektif sehingga masuknya variabel otonomi tidak membenkan tambahan peramalan yang signifikan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7)
050 MIBP 11:61 (1993/1994)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library