Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Kusumawardhani
Abstrak :
Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. ......TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. 
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Trifena
Abstrak :
ABSTRAK
Obat herbal diklaim sangat bermanfaat untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan dan estetik walaupun belum didukung dengan bukti ilmiah, salah satunya adalah manfaat sebagai antioksidan. Antioksidan secara oral dan topikal disebut sebagai salah satu terapi penuaan kulit, salah satu yang memiliki aktivitasnya adalah kulit manggis dan pegagan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis uji in vitro dan uji in vivo ekstrak kombinasi kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dan herba pegagan (Centella asiatica L.) sebagai krim antioksidan. Aktivitas antioksidan ekstrak diuji secara in vitro dengan metode DPPH. Sebelum uji in vivo dilakukan pembuatan krim dan uji stabilitasnya, yaitu sediaan krim uji berisi 5% ekstrak kombinasi kulit manggis dan herba pegagan dan sediaan krim kontrol berisi 5% ekstrak tunggal kulit manggis. Secara in vivo terhadap wanita usia 30-40 tahun dilakukan uji keamanan yaitu Repeated Opened Patch Test (ROPT) dan Single Closed Patch Test (SCPT) serta uji manfaat dengan menggunakan alat Corneometer, Cutometer dan Mexameter untuk melihat parameter kelembaban, elastisitas dan tingkat kecerahan kulit. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas antioksidan ektrak kombinasi kulit manggis dan herba pegagan secara uji in vitro memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi, dan secara in vivo menunjukkan manfaat namun secara statistik tidak berbeda makna (P>0.05).
Abstract
Herbal based products have been widely used for the health as well as the esthetics purposes even though not all the benefits are scientifically supported, one of them is the antioxidant. The oral and topical antioxidants have been recently been used as antiaging therapy, among them are the mangosteen pericarp and the gotukola. The objective of the present study is to investigate the in vitro and in vivo efficacy of the combined extracts of mangosteen pericarp and the gotukola. The in vitro antioxidant efficacy has been done using the DPPH method. The cream containing the combined extracts respectively were applied to the test group while the cream containing the mangosteen extract were applied to the control group . The in vivo efficacy tests of ROPT and SCPT were conducted on the women volunteers using the Corneometer, Cutometer and Mexameter to evaluate the skin moisture content, elasticity and the brightness. The in vitro results shows that the combined extracts posseses high antioxidant activity while the in vivo results do not show significant difference compared to the single extract (P>0.05).
Universitas Indonesia, 2012
T30169
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Mumtaza Hadi
Abstrak :
Salah satu upaya untuk mengatasi penuaan kulit adalah dengan antioksidan yang dapat menangkal Reactive Oxygen Species (ROS) penyebab kerutan kulit. Salah satu sumber alami antioksidan adalah dari mikroalga Spirulina sp. Spirulina sp. mengandung senyawa berbagai antioksidan, salah satunya pigmen biru fikosianin sekitar 20% berat keringnya. Ekstraksi antioksidan Spirulina sp. dapat diaplikasikan dalam kosmetika berbentuk esens yang dapat digunakan dalam bentuk patch. Ekstraksi dilakukan dengan metode ultrasonikasi dengan variasi jenis pelarut air dan etanol, lalu durasi sonikasi selama 15 menit, 30 menit, dan 45 menit, identifikasi jenis antioksidan, analisis senyawa fikosianin ekstrak Spirulina sp. dan pembuatan formulasi esens, uji aktivitas antioksidan dengan DPPH, dan uji fisik (pH, viskositas, dan organoleptik selama 4 minggu). Waktu sonikasi terbaik untuk menghasilkan fikosainin dihasilkan selama 15 menit pada suhu 30°C menggunakan pelarut air yaitu 15,55mg/g pada ekstrak Spirulina sp., 9,20mg/g pada formulasi esens, dengan uji aktivitas antioksidan IC50 sebesar 64,5. Pada uji fisik dihasilkan hasil yang stabil yaitu pH antara 5,0-5,9, viskositas 0,7-1,4 dPa.s, berwarna hijau tua, berbau khas alga, tekstur cair tidak lengket, dan homogen.
One effort to overcome skin aging is with antioxidants that can counteract the Reactive Oxygen Species (ROS) that cause skin wrinkles. One natural source of antioxidants is from the microalgae Spirulina sp. Spirulina sp. contains various antioxidant compounds, one of which is the blue pigment phycocyanin about 20% dry weight. Antioxidant extraction of Spirulina sp. can be applied in cosmetics in the form of essences that can be used in patches. Extraction was carried out by ultrasonication with variations in the type of water and ethanol solvent, then the duration of sonication for 15 minutes, 30 minutes, and 45 minutes, identification of antioxidant types, analysis of phycocyanin compounds Spirulina sp. and making essence formulations, antioxidant activity tests with DPPH, and physical tests (pH, viscosity, and organoleptics for 4 weeks). The best sonication time to produce phycocyanin was produced for 15 minutes at 30°C with a water solvent of 15.55 mg/g in Spirulina sp. Extract, 9.20 mg/g in the essence formulation, with an IC50 antioxidant activity test of 64.5. On physical tests, stable results were obtained, ie pH between 5.0-5.9, viscosity of 0.7-1.4 dPa.s, dark green, characteristic of algae, non-sticky liquid texture, and homogeneous.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nava Alisia
Abstrak :
Salah satu faktor utama penyebab penuaan kulit adalah paparan sinar matahari berlebihan yang mengarah pada terjadinya pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS). Akumulasi ROS dalam kulit dapat menyebabkan stres oksidatif yang mengarah pada kerusakan protein, lipid, serta DNA yang mempengaruhi fungsional dan estetis kulit. Senyawa fenol, flavonoid, vitamin C dan E serta karotenoid merupakan antioksidan alami yang dapat menghambat pembentukan ROS. Kulit jeruk mengandung senyawa fenol dan flavonoid yang lebih tinggi dibandingkan dengan agen antioksidan lain seperti vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Sehingga senyawa fenol dan flavonoid dalam kulit jeruk yang biasa dibuang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk lemon (C. limon), dan jeruk purut (C. hystrix) serta menghitung kadar fenol total dan flavonoid totalnya. Kulit buah jeruk diekstraksi dengan metode soxhlet dan menggunakan pelarut etanol 70%. Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode perdaman radikal 1-1-difenil-2-pikrihidrazil (DPPH) dan metode daya antioksidan pereduksi besi (FRAP). Ekstrak kulit buah jeruk lemon memberikan hasil kadar fenol dan flavonoid total berturut-turut 94,450 mg GAE/g ekstrak dan 11,383 mg QE/g ekstrak. Aktivitas antioksidan tertinggi berdasarkan uji DPPH adalah ekstrak kulit buah jeruk lemon dengan nilai IC50 131,9619 µg/mL. Pembanding asam askorbat digunakan dalam metode DPPH memiliki nilai IC50 3,1276 µg/mL. Pada uji FRAP aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit buah jeruk lemon dengan nilai FeEAC 411,16 µmol/g. Pembanding kuersetin pada uji FRAP menunjukkan nilai FeEAC 4124,003 µmol/g. Ekstrak kulit buah jeruk lemon menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak kulit buah jeruk nipis dan jeruk purut. ......One of the main factors causing skin aging is excessive sun exposure which leads to the formation of reactive oxygen species (ROS). The accumulation of ROS in the skin can cause oxidative stress that leads to lipid and protein peroxidation as well as DNA damage which affects the functional and aesthetics of the skin. Polyphenols and flavonoids are natural antioxidant that can prevent ROS formation. Citrus peel contains phenol and flavonoid compounds which are higher than other natural antioxidant such as vitamin C, vitamin E and carotenoids. Therefore the phenol and flavonoid compounds in citrus peel which are usually discarded can be used as a source of natural antioxidants. The objective of this research was to determine antioxidant activity of the peel extracts of key lime (Citrus aurantifolia), lemon (C. limon), and kaffir lime (C. hystrix). Total phenol and total flavonoid content were also determined. Citrus peels were extracted by soxhlet method and using 70% ethanol as solvent. The antioxidant test was carried out using the 1-1-diphenyl-2-picrilhydrazyl (DPPH) radical scavenging method and the ferric reducing antioxidant power method (FRAP). Lemon peel extract gave the highest results of total phenol and flavonoid content of 94,450 mg GAE/g extract and 11,383 mg QE/g extract, respectively. The highest antioxidant activity based on the DPPH test was lemon peel extract with an IC50 value of 131,9619 µg/mL. In comparison, ascorbic acid has an IC50 value of 3,1276 µg/mL. In the FRAP test, the highest antioxidant activity was lemon peel extract with FeEAC value of 411,16 µmol/g. In comparison, quercetin showed FeEAC value 4124,003 µmol/g. Lemon peel extract showed higher antioxidant activity than key lime peel and kaffir lime peel.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Pitaloka
Abstrak :
Proses penuaan kulit secara ekstrinsik dipengaruhi oleh radiasi UV, merokok, gizi buruk, polusi udara, dan stres fisik. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) adalah metode non-invasif untuk menilai penuaan foto. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi penuaan kulit akibat paparan sinar UV pada personel militer pria berusia 30-42 tahun, dengan membandingkan kelompok infanteri dan administrasi yakni kelompok kesehatan militer (CKM) menggunakan DPAS. Selain itu, hubungan antara prevalensi penuaan, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok akan diteliti. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Kriteria penuaan foto dinilai berdasarkan DPAS. Hasil dari penelitian ini yaitu sebanyak 40 subjek penelitian, semuanya memiliki skor DPAS total > 1, dengan kriteria yang paling sering ditemukan adalah ephelides/lentigines, yellow papules, dan superficial wrinkles. Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebiasaan merokok dan skor DPAS di setiap wilayah wajah. Setelah melakukan penelitian, peneliti memiliki kesimpulan bahwa berdasarkan metode DPAS, tidak ada perbedaan prevalensi penuaan foto di kedua kelompok. Namun, skor total DPAS (StDPAS) infanteri lebih tinggi daripada StDPAS kelompok CKM, dengan perbedaan signifikan pada skor DPAS di wilayah pipi kanan dan pipi kiri dibandingkan dengan wilayah wajah lainnya. ......The extrinsic process of skin aging influenced by UV radiation, smoking, poor nutrition, air pollution, and physical stress. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) is a non-invasive method to assess photoaging. This study aims to evaluate the prevalence of UV-induced skin aging in male military personnel aged 30-42, comparing infantry and administration groups in this research represented by military medical service group using DPAS. Additionally, the relationship between aging prevalence, alcohol consumption, and smoking habits will be examined. This is a descriptive analytic research with cross-sectional design. Photoaging criteria was assessed based on DPAS. The results of this research are a total of 40 research subjects, all had a total DPAS score > 1, with the most frequently found criteria being ephelides/lentigines, yellow papules, and superficial wrinkles. There was no statistically significant association between smoking habits and DPAS scores in each facial region. After doing this research, the writer concludes that based on DPAS method, there is no prevalence difference of photoaging in both groups. But the infantry's DPAS total score (TsDPAS) was greater than military medical service’s TsDPAS, with a significant difference in the DPAS score in the right and left cheek regions compared to other facial regions.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Nurmawati
Abstrak :
Pendahuluan: Kerut nasolabialis merupakan salah satu tanda penuaan yang mudah dikenali pada bagian tengah wajah. Bagi sebagian orang, perubahan pada wajah dapat memberikan efek samping pada komunikasi, daya tarik dan kepercayaan diri. Tehnik non-invasif yang ada saat ini masih memberikan efek samping yang cukup serius. Akupunktur sudah digunakan secara luas untuk terapi kecantikan termasuk rejuvenasi wajah untuk peremajaan kulit serta dikenal efektif dan minimal efek samping dalam mengurangi kerutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan garis kerut nasolabialis setelah tindakan akupunktur untuk facial rejuvenation. Metode: Penelitian ini disusun dengan desain quasi eksperimental atau disebut juga one group pretest-postest design yang melibatkan 25 orang partisipan. Seluruh pasien yang memenuhi kriteria akan menerima terapi yang sama berupa akupunktur manual sebanyak tiga kali seminggu selama dua minggu. Akupunktur dilakukan pada titik akupunktur ST36. Akupunktur pada wajah dilakukan menggunakan teknik penetrating needling yaitu dari tepi superior arcus zygomaticus melewati ST2 ke arah LI20, pada os zygomaticum melewati ST3 ke arah pertengahan kerut nasolabialis, pada tepi inferior arcus zygomaticum melewati SI18 ke arah ST4, ST7 ke arah ST4, serta di titik ashi pada kulit temporal kepala di sepanjang tepi batas rambut pada m.temporoparietalis. Luaran yang dinilai adalah perubahan panjang kerut nasolabialis dalam millimeter, perubahan wrinkle severity rating scale, serta perubahan global aesthetic improvement scale. Luaran akan dinilai pada saat sebelum terapi, setelah akhir terapi, follow-up dua minggu dan follow-up 4 minggu setelah akhir terapi. Hasil: Panjang kerut nasolabialis berkurang setelah terapi dengan rerata perubahan sebesar 37,34%. Terdapat perbaikan satu tingkat pada skala wrinkle severity rating scale (WSRS) setelah terapi. Pada skala global aesthetic improvement scale (GAIS) terdapat perbaikan dua sampai tiga tingkat setelah terapi. Kesimpulan: Garis kerut nasolabialis mengalami perbaikan setelah mendapatkan terapi akupunktur manual untuk facial rejuvenation. ......Introduction:. Nasolabial fold are one of the most recognizable signs of aging in the midface. For some people, facial changes can have side effects on communication, attractiveness and self-confidence. The existing non-invasive techniques still have serious side effects. Acupuncture has been used widely for beauty therapy including facial rejuvenation for skin rejuvenation and is known to be effective and have minimal side effects in reducing wrinkles. The aim of this study was to determine the changes in nasolabial fold after manual acupuncture for facial rejuvenation. Methods: This study is designed as a quasi experimental or also called as one group pretest-postest design involving 25 participants. Eligible patients will receive the same manual acupuncture therapy three times a week for two weeks. Manual acupuncture is performed at acupuncture point ST36. At face, acupuncture is performed using the penetrating needling technique, from the superior edge of the arcus zygomaticus through ST2 towards LI20, on the zygomaticum through ST3 towards the middle of the nasolabial fold, on the inferior edge of the arcus zygomaticum through SI18 towards ST4, ST7 towards ST4, and at ashi point on the scalp along the temporal hairline at the m.temporoparietalis.. The outcome are nasolabial length changes measured in millimeters, changes in wrinkle severity rating scale, and changes in global aesthetic improvement scale. The outcome will be evaluated at baseline, post therapy, two-week and four-weeks follow-up post therapy. Results: The length of nasolabial fold decreased after therapy with a mean change of 37.34%. There was one level improvement on the wrinkle severity rating scale (WSRS) after therapy. On the global aesthetic improvement scale (GAIS) there is an improvement of two to three levels after therapy Conclusion : Nasolabial fold improved after receiving manual acupuncture therapy for facial rejuvenation.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Daniela
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, perawatan yang ditawarkan oleh klinik estetika seperti injeksi DNA salmon semakin populer. Bahan DNA salmon diklaim memiliki fungsi anti-aging dengan membuat kulit lebih kencang dan mengatasi hiperpigmentasi di kulit. Dokter dalam hal ini berperan penting sebagai pihak pemberi layanan di klinik estetika. Injeksi DNA salmon yang merupakan pelayanan estetika medis awamnya dinilai hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Sebab, dokter spesialis dermatologi dan venereologi menempuh pendidikan spesialis tambahan. Kurikulum pendidikannya juga mencakup metode seperti subsisi, elevasi, microneedling yang biasa digunakan dalam estetika medis. Meskipun begitu, dokter umum juga dapat menangani permasalahan kulit. Ketika menempuh pendidikan dokter, dokter umum juga diwajibkan menguasai kurikulum kulit. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tidak terdapat batasan bagi dokter umum dalam konteks pelayanan injeksi DNA salmon. Sedangkan bagi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, terdapat Standar Kompetensi Dokter Dermatologi dan Venereologi Indonesia dengan area kompetensi yang lebih rinci yang berpengaruh ke kewenangan dokter spesialis dermatologi dan venereologi sebagai pemilik sertifikat kompetensi spesialis. Dalam peraturan perundang- undangan belum diatur secara jelas mengenai batasan kewenangan antara dokter umum dan dokter spesialis dalam pelayanan estetika medis. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan membahas mengenai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter dalam pelayanan injeksi DNA salmon. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kewenangan dokter umum dan spesialis masih bersinggungan ketika dihadapkan pada pelayanan estetika medis seperti injeksi DNA salmon. Batasan kompetensi dan kewenangan dokter dalam pelayanan estetika medis yang buram ini dapat dihindari dengan diaturnya mengenai estetika medis secara khusus. ......In recent years, treatments offered by aesthetic clinics such as salmon DNA injections have become increasingly popular. The salmon DNA ingredient is claimed to have an anti-aging function by making the skin firmer and overcoming hyperpigmentation in the skin. The doctor in this case plays an important role as the service provider at the aesthetic clinic. Salmon DNA injection, which is a lay medical aesthetic service, is considered to only be performed by dermatologists. This is because dermatologists undergo additional specialist education. The education curriculum also includes methods such as subsection, elevation, microneedling which are commonly used in medical aesthetics. However, general practitioners can also treat skin problems. During their medical education, general practitioners are also required to master the skin curriculum. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, there are no restrictions for general practitioners in the context of salmon DNA injection services. As for dermatologists, there are Indonesian Dermatology and Venereology Physician Competency Standards with more detailed competency areas that affect the authority of dermatology and venereology specialists as owners of specialist competency certificates. The legislation has not clearly regulated the limits of authority between general practitioners and specialists in medical aesthetic services. By using the normative juridical research method, this research will discuss the competence and authority of doctors in salmon DNA injection services. From this research, it is found that the authority of general practitioners and dermatologists still intersect when faced with medical aesthetic services such as salmon DNA injection. The blurred boundaries of competence and authority of doctors in medical aesthetics services can be avoided by regulating medical aesthetics specifically.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library