Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jaya Ahmad Nurjaman
"Penelitian ini membahas mengenai Badan Banding WTO (WTO's Appellate Body/AB) yang hingga saat ini sedang tidak beroprasi seperti biasanya. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Dispute Settlement Understanding (DSU) menyatakan bahwa jumlah anggota Badan Banding terdiri dari 7 orang anggota. Namun, sejak Juli 2018, anggota Badan Banding hanya tersisa 4 orang anggota, dimana 3 dari 4 anggota tersisa telah habis masa jabatannya di tahun 2019. Hal ini menyebabkan pemenuhan jumlah quorum dalam Badan Banding yang memerlukan 3 orang anggota dari 7 orang anggota Badan Banding tidak terisi, dikarenakan Badan Banding hanya menyisakan 1 orang anggota. Keadaan Badan Banding yang hanya tinggal 1 anggota mengakibatkan Badan Banding tidak berkapasitas untuk mendengarkan, memeriksa dan membuat Laporan Banding. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat Deskriftif-Analisis, dengan metode pendekatan Yuridis-Normatif. Hasil penelitian yang di dapat adalah Negara-negara anggota yang bersengketa dapat membawa Laporan Panel ke Badan Banding terlebih dahulu sebelum Badan Penyelesaian Sengketa WTO (WTO's Dispute Settlement Body/DSB) mengeluarkan keputusan dan rekomendasi. Situasi yang tidak kondusif pada Badan Banding sebagai lembaga pengadilan tingkat banding di WTO saat ini bisa saja dihindari oleh Negara-negara anggota yang sedang bersengketa dengan cara tidak dipergunakannya Badan Banding. Namun keadaan ini menimbulkan rasa khawatir dari Negara-negara anggota, baik terhadap penyelesaian sengketa-sengketa dagang yang saat ini sedang berproses, maupun terhadap perkembangan sistem penyelesaian sengketa perdagangan WTO kedepan. Kekhawatiran tersebut dikarenakan tanpa berfungsinya Badan Banding, Negara-negara anggota yang sedang bersengketa kesulitan untuk dapat memperoleh hasil yang adil sesuai aturan WTO. Maka, beberapa Negara anggota WTO sepakat untuk membentuk Badan Banding Sementara yang didasarkan pada sistem Arbitrase WTO sesuai ketentuan Pasal 25 DSU. Pereplikasian aturan Pasal 25 DSU dalam pengadilan tingkat banding di WTO ini merupakan solusi yang dipergunakan sementara waktu sampai situasi Badan Banding kembali normal.
......This study discusses the WTO's Appellate Body (AB) which is not operating as usual until today. The provisions of Article 7 paragraph (1) on Dispute Settlement Understanding (DSU) states that the number of members of the Appellate Body should consist of 7 members. However, since July 2018, there is only 4 the Appellate Body members left, where 3 out of the 4 remaining members have finished their term in 2019. This caused the fulfillment of the quorum in the Appellate Body who requires 3 more members out of 7 members was not filled since there is only 1 the Appellate Body left. The situation caused the Appellate Body did not have the capacity to listen, examine, and make an Appeals Report. This study used a normative legal research method, a Descriptive-Analysis with a juridical-normative approach. The result of the study is the disputed member states can bring the Panel Report to the Appellate Body before the WTO's dispute Settlement Body (DSB) issues a decision and recommendation. The unconducive situation of the Appellate Body as an appellate court in the WTO can currently be avoided by the disputed member states by not using the Appellate Body. However, this situation emerged concerns from the member states, both over the settlement of trade disputes that are currently in process and its development of the WTO trade disputes settlement system that is going forward. These concerns were due to the less functioning of the Appellate Body, the member states that were in dispute found it difficult to obtain fair results according to WTO's rules. Therefore, several WTO's member states agreed to form a Provisional Appellate Body based on the WTO Arbitration system in accordance with Article 25 of the DSU. The replication of Article 25 of the DSU rules in the appellate court at the WTO is a solution and used temporarily until the situation of the Appeals Board returns to normal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Natanael
"Negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) memiliki hak untuk turut serta membentuk perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Agreements atau RTA). Masing-masing dari mereka seringkali memiliki forum dengan caranya sendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hal tersebut menimbulkan potensi konflik kewenangan, yaitu keadaan saat terdapat dua atau lebih forum yang berwenang atas suatu sengketa yang sama. Akibatnya, penyelesaian sengketa berpotensi menjadi berlarut-larut, dan menimbulkan konflik norma karena putusan yang berbeda atau bertentangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk mengeksplorasi cara-cara negara anggota WTO dan RTA untuk menghindari konflik kewenangan dan litigasi paralel di forum WTO. Penulis menemukan bahwa negara anggota dapat mencegah konflik kewenangan tersebut dengan memasukkan klausul pilihan forum dalam RTA yang mereka bentuk. Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian dapat menjadi tanda atas kehendak para pihak untuk melepaskan haknya atas penyelesaian sengketa menurut suatu forum (misalnya WTO), dengan ditunjang pula dengan doktrin-doktrin hukum sebagai dasar diterapkannya dalam ranah WTO
......Member states of the World Trade Organization (WTO) have the right to participate in Regional Trade Agreements (RTAs). Each of them often has a forum with its own way of resolving disputes. This creates a potential conflict of jurisdiction, namely a situation when there are two or more forums that has jurisdiction over the same dispute. As a result, the conflict may take longer to solve, and the norms may conflict due to different or conflicting decisions. This study uses a normative juridical method to explore ways for WTO and RTA member states to avoid conflicts of jurisdiction and parallel litigation in the WTO forum. The Author found that member states can prevent this jurisdictional conflict by including a forum choice clause in their RTAs. These provisions can then be a sign of the parties' will to relinquish their rights to dispute resolution in a forum (i.e., WTO), supported also by legal doctrines as its basis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Nurjanah
"Tesis ini membahas mengenai proses penyelesaian sengketa perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Cina dalam Impor Produk Pakaian Jadi dan Testil asal Cina. Konflik perdagangan AS dan Cina mengemuka sejak bergabungnya Cina dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001.
Jumlah ekspor produk Cina meningkat drastis dan berdampak hebat pada industri domestik AS sehingga AS menjatuhkan safeguard terhadap produk Cina. Kedua negara bersengketa dengan menggunakan peraturan WTO sebagai acuan kebijakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian sengketa dagang antara AS-Cina berbeda dengan UE-Cina. Faktor domestik, sejarah, ekonomi politik dan bargaining power kedua negara menentukan lama dan alotnya perundingan AS-Cina.

The focus of this study is trade dispute settlement between United States (U.S) and China in clothing and textiles Import from China. Their conflict started when China joined World Trade Organization (WTO) in 2001.
China's export increase rapidly and give huge damage to U.S industry, resulted in safeguard policy by U.S. government to China products. Both countries insisted their action based on WTO policy. This study uses descriptive analytical approach.
The result of this research has shown that trade dispute settlement between AS-China is different compared to UE-China dispute settlement. Domestic, history and political economy factor, and bargaining power between two countries affected the time lead and complexity of AS-China negotiation process."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26235
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fariz Mauldiansyah
"World Trade Organization (WTO) memiliki sistem penyelesaian sengketa yang dalam perkembangannya cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa perdagangan antar negara anggotanya. Namun sejak tahun 2017 Amerika Serikat terus menerus memblokir penunjukkan anggota Appellate Body. Penolakan tersebut dilakukan atas dasar kinerja anggota Appellate Body yang semakin tidak efisien dalam menangani sengketa. Pada tahun 2020 WTO mengalami krisis penyelesaian sengketa karena WTO secara resmi tidak memiliki Appellate Body yang beroperasi. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya anggota Appellate Body yang dapat menangani proses banding. Dalam upaya untuk mengatasi krisis tersebut, beberapa negara anggota WTO membentuk perjanjian plurilateral yang disebut sebagai Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA). Melalui MPIA, proses banding dilakukan dengan mekanisme arbitrase yang didasari oleh Pasal 25 Dispute Settlement Understanding. Akan tetapi, apakah MPIA dapat dikatakan sebagai solusi untuk mengatasi krisis penyelesaian sengketa yang dialami WTO? Pada penelitian ini, penulis menganalisis kinerja anggota Appellate Body yang dinilai tidak efisien dan implikasinya terhadap sistem perdagangan multilateral. Selain itu, penulis juga menganalisis efektifitas dari pembentukan MPIA sebagai upaya untuk menyelesaikan krisis penyelesaian sengketa.
......The World Trade Organization (WTO) has a dispute settlement system that in its development was quite effective in resolving trade disputes between its members. However, since 2017 the United States has continuously blocked the appointment of members of the Appellate Body. The refusal was made based on the Appellate Body member’s increasingly inefficient performance in handling disputes. In 2020 the WTO experienced a dispute settlement crisis as the WTO officially did not have an operating Appellate Body. This is because there are currently no Appellate Body members who can hear any appeal process. In an effort to overcome the crisis, several WTO members formed a plurilateral agreement known as the Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA). Through the MPIA, appeal processes are carried out through an arbitration mechanism based on Article 25 of the Dispute Settlement Understanding. However, can the MPIA be considered a solution to overcoming the dispute settlement crisis of the WTO? In this research, the authors analyze the performance of the previous Appellate Body members which was considered inefficient, and its implications for the multilateral trading system. In addition, the author also analyzes the effectiveness of the MPIA as an effort to resolve the dispute settlement crisis. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library