Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Purwanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22521
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Paramaswara
"Persoalan korupsi di Indonesia ini juga menjadi salah satu jenis kejahatan yang sangat sulit dideteksi karena melibatkan kerjasama dengan pihak lain dan sudah mengakar yang tertuang dalam praktik obstruction of justice. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan peran penyidik Polri dalam melakukan penegakan hukum terhadap obstruction of justice sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Teori yang dipergunakan adalah teori kriminalisasi, teori kesengajaan, teori penegakan hukum, dan teori peran. Metode penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kulitatif. Data yang dipergunakan adalah data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, dan data sekunder yang diproleh melalui studi dokumen. Teknik analisis data mempergunakan metode triangulasi data yang
ditindaklanjuti dengan reduksi data, sajian data dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan alasan delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena adanya pertentangan terhadap asas yang fundamental dalam hukum pidana, yang mana berbagai bentuk pertentangan ini berupa segala upaya yang dilakukan dalam bentuk pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam suatu perkara dalam proses peradilan yang sering terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi, sehingga keberadaan peraturan obstruction of justice secara jelas tertuang di dalam penjelasan lebih lanjut di dalam pengarutan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Peran penyidik Polri dalam penanganan obstruction of justice pada tindak pidana korupsi selama ini kurang maksimal karena selama ini penyidik cenderung mengesampingkan adanya tindak pidana lain (obstruction of justice) yang menyertai penyidikan kasus korupsi tersebut, penyebabnya adalah karena mereka merasa cukup kelelahan di dalam penyidikan tindak pidana korupsi sehingga mereka dengan tidak sengaja mengesampingkan adanya tindaka obsruction of justice yang ada disekelilingnya.

The problem of corruption in Indonesia has also become a type of crime that is very difficult to detect because it involves cooperation with other parties and is deeply rooted in the practice of obstruction of justice. Therefore, an in-depth analysis is needed on this matter. The purpose of this study is to analyze the offense of obstruction of justice as a crime regulated in the Corruption Act and the role of Polri investigators in enforcing the law against obstruction of justice as referred to in Article 21 of the Corruption Crime Eradication Act.
The theories used are criminalization theory, intentional theory, law enforcement theory, and role theory. This research method was carried out through a qualitative approach. The data used are primary data obtained through observation and interviews, and secondary data obtained through document studies. The data analysis technique used the data triangulation method which was followed up with data reduction, data presentation and data verification.
The results of the study show that the reason for the offense of obstruction of justice to become a crime regulated in the Corruption Crime Act is due to the conflict with the fundamental principles of criminal law, in which various forms of conflict are in the form of all efforts made in the form of defiance of the function of the instrumentation principle. legality because it is considered to delay, obstruct, or intervene in law enforcement officials who are processing witnesses, suspects, or defendants in a case in the judicial process which often occurs in corruption trials, so that the existence of obstruction of justice regulations is clearly contained in a further explanation in drafting the Corruption Crime Act. The role of Polri investigators in handling obstruction of justice in corruption crimes has so far not been optimal because investigators have tended to rule out the existence of other crimes (obstruction of justice) accompanying the investigation of these corruption cases, the reason is because they feel quite exhausted in investigating criminal acts. corruption so that they unintentionally rule out the obstruction of justice that surrounds them.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Komaldi
"Tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia menjadi salah satu perkara penting yang banyak ditangani oleh penyidik di Satuan Reserse Kriminal khususnya di wilayah hukum Polres Pandeglang. Banyak lembaga jasa pembayaran yang mengeluhkan bahwa debitur yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya kemudian melakukan take over di bawah tangan atau sepengetahuan leasing. Banyak masyarakat awam yang mengira bahwa mengalihkan objek jaminan fidusia hanyalah ranah perdata yang apabila dikemudian hari terjadi ganti rugi maka permasalahn selesai. Namun yang diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia khususnya di pasal 36 menyebutkan bahwa debitur yang mengalihkan objek jaminan fidusia jelas melakukan tindak pidana. Ditambah lagi pihak-pihak ketiga, keempat, dan seterusnya menganggap bahwa permasalahan tersebut hanyalah sebatas antara kreditur dan debitur atau yang bertanda tangan dalam kontrak. Dalam hal ini penyidik Polres Pandeglang, mempunyai peran penting dalam penegakan hukum. Apalagi dalam azaz hukum dikenal adanya azaz keadilan, yang mana dalam perkara pengalihan objek jaminan fidusia, harus dituntaskan sampai ke tangan terakhir. Dijelaskan juga bahwa perbuatan melawan hukum berkaitan dengan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain sehingga pihak tersebut dapat memberikan gugatan, sehingga dapat dimaknai bahwa penerima objek jaminan fidusia di luar dari kontrak pun melakukan tindak pidana. Namun dalam hal ini, terdapat beberapa kendala yang dialami penyidik seperti sulitnya mencari alat bukti yang mengarah tentang take over di bawah tangan, kemudian barang bukti yang sulit ditemukan, serta terlapor maupun saksi yang sulit untuk dimintai keterangan. Sehingga tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui sejauh mana peran penyidik Sat Reskrim Polres Pandeglang dalam menangani perkara pengalihan objek jaminan fidusia dengan menggunakan teori peran, konsep perbuatan melawan hukum, konsep penyidikan, serta konsep fidusia itu sendiri. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus agar lebih tajam dalam menganalisa peran penyidik.

The crime of transferring the object of fiduciary security is one of the important cases that is handled by many investigators in the Criminal Investigation Unit, especially in the jurisdiction of the Pandeglang Police. Many payment service institutions complain that debtors who are unable to carry out their obligations then take over under the hand or with the knowledge of the leasing. Many ordinary people think that transferring the object of fiduciary guarantees is only a civil matter, if compensation occurs in the future, the problem will be solved. However, what is regulated in Law no. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, especially in article 36 states that the debtor who transfers the object of the fiduciary guarantee is clearly committing a crime. In addition, third, fourth and so on parties consider that the problem is only between the creditor and the debtor or those who sign the contract. In this case the Pandeglang Police investigator has an important role in law enforcement. Moreover, in the principle of law, there is a principle of justice, which in cases of transfer of objects of fiduciary guarantees, must be completed to the last hand. It was also explained that acts against the law are related to actions that can cause harm to other parties so that the party can file a lawsuit, so it can be interpreted that the recipient of the fiduciary object outside of the contract also commits a crime. However, in this case, there were several obstacles experienced by investigators, such as the difficulty in finding evidence that led to underhanded take-over, then evidence that was difficult to find, and the reported and witnesses who were difficult to question. So that the purpose of this study is to find out the extent of the role of investigators from the Criminal Investigation Unit of the Pandeglang Police in handling cases of transferring fiduciary guarantee objects by using role theory, the concept of unlawful acts, the investigative concept, and the fiduciary concept itself. In this study a qualitative method was used with the type of case study research in order to be sharper in analyzing the role of the investigator.

"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Ruswin
"Masalah lingkungan hidup adalah perusahaan yang seyogyanya harus diperhatikan oleh semua orang hal tersebut disebatkan karena dampak atas terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup akan berdampak kepada kerusakan alam yang akan mempengaruhi kehidupan di masa yang akan datang dimana generasi berikutnyalah yang akan merasakan dampak tersebut. Pengelolaan lingkungan hidup biasanya diartikan sebagai upaya mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan bertujuan untuk mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang mampu memberi dukungan maksimum dan bermutu bagi peri kehidupan. Pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan upaya meningkatkan hubungan yang harmonis antara kegiatan manusia dengan alam sehingga kualitas kegiatan manusia dan kualitas dukungan alam menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Merupakan tugas kita semua sebagai bagian dari anggota masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Penyidik Polri dan Penuntut Umum sangatlah menentukan dalam menegakan hukum lingkungan karena bagaimanapun juga budaya hukum merupakan sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang dipatuhinya. Sebaik apapun struktur hukum yang dibuat dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang ada tanpa didukung budaya hukum masyarakatnya termasuk aparat penegak hukumnya maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan efektif. Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika salah satu saja unsur tidak berjalan dengan baik maka dapat dipastikan penegakan hukum di masyarakat akan lemah. Penegakan hukum yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari 4 (empat) komponen (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan). Sistem peradilan pidana ,yang terpadu akan memudahkan tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana. Sehubungan dengan. apa yang ingin dicapai dalam tujuan sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Essentially, life environmental is any case that should be observed by all parties, because it has impact either against pollution or life environmental or natural destruction, as well as it will influence the life in the future in which the next generation will bear such impact. Usually, life environmental management is meant as efforts for managing correlation among human and life and environment being aimed to get life environmental quality to be able to give life quality maximally. Life environmental management correlated with efforts for increasing harmonic relationship among nature and human activities, so that, qualities of human activities and natural support will ensure the sustainability of life. It is our duty as part of society member to preserve life environment. Role of both Investigator for Civil Servant (PNS) and Police Department of Republic of Indonesia (POLRI) is very required to enforce environmental laws, however, legal culture is society attitude against law and such adhered law system. How good both legal structure to be made and given legal substance quality, but, without support from society legal system including law enforcers, then, it will not be realized effectively. Those three components is highly influenced for law enforcement. If one of them had not implemented their role effectively, subsequently, law enforcement in society will be weak. The law enforcement to be realized should be made in corridor of criminal justice system comprising four (4)component, those are police, judiciary, justice and correctional facility. By an integrated criminal justice system, then, objective of it may be achieved easily. In relation with what will be achieved by objective of criminal justice system is both rehabilitation and reconciliation of criminal actors, criminal fighting as well as achieving social welfare."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yullya Andina
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan peran penyidik polisi yang ditinjau sebelum dan sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013, sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan (1) Bagaimana perbedaan peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh Notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012?; (2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012? (3) Bagaimana konsep tentang peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh notaris yang dapat memberikan perlindungan terhadap notaris dalam menjalankan tugasnya?. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus notaris X (Notaris Jakarta Timur) yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 ayat 1 KUHP).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan peran penyidik Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam penanganan tindak pidana oleh notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, yaitu meliputi pertama, pemanggilan terhadap notaris yang diduga melakukan tindak pidana, tidak perlu lagi mendapatkan ijin dan MPD melainkan ijin dari MKN. Kedua, tidak berlakunya lagi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT. 0310.TH 2007 yang mengatur tentang pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris. Ketiga, Hak Istimewa Notaris yaitu hak ingkar tetap dapat digunakan notaris dalam penyidikan atau dalam memberikan keterangan kepada polisi. Notaris dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus bersifat profesional. Untuk memberikan perlindungan terhadap notaris pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN. Diharapkan adanya kerjasama yang baik antara penyidik Subdit Harda dengan notaris agar proses penyidikan dapat berjalan dengan cepat, efektif dan efisien.

This research was based on the back ground that there were differences about the role of police investigator between UUJN 2004, UUJN 2014 and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012. The researcher focused on how the best of the concept about notary protection by police investigator who faced the law especially in criminal act viewed by Constitutional Court No. 49/PUU-X/2012 and UUJN 2004. Some problem that proposed in this research are (1) How differences of the police investigator role in criminal act by notary in dispute resolution after Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012?; (2) What the impact of the police investigator role changing in handling of criminal act by notary against notary protection?; (3) How the concept about the role in handling the criminal act by notary which able to give a protection on notary in conducting the duty? Socio-legal approach was used in this research. So, there were two aspect in this research those are doctrinal aspect, i.e. UUJN and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012 and the practice of investigating in criminal act by notary.
This research was conducted in Metro Jaya Police District. The role of the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police in the handling of criminal acts by the notary after the Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012, which includes the first, calling to the notary who allegedly committed the crime, do not need to get permission from the MPD. Secondly, are no longer effective in the provision of Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Justice and Human Rights No. M.03HT.0310.TH 2007 regarding the same thing. Third, the abolition of privilege Notaries in providing information to the police, who feared future public as well as other law enforcement officer can easily "calling out" notary for cases that are not material and do not need to involve a notary as a witness. Cooperation between the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police with INI and PPAT in order to increase as an preventive action to protect a notary by police in handling criminal act by notary. This procedure must be accorded with Article 66 (1) UUJN 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library