Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Giava Zahrannisa
"Kenaikan temperatur sebesar 4°C sebelum tahun 2060 mengancam bumi menjadi tidak layak huni bagi manusia. Guna mencegah katastrofe tersebut, negara-negara di dunia berupaya membatasi kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1,5°C di atas level pra industri dan mencapai target emisi nol bersih sebelum tahun 2060. Perdagangan karbon menjadi salah satu instrumen yang paling efisien untuk mencapai target iklim tersebut. Sayangnya, integritas perdagangan karbon sangat lemah akibat tingginya angka tindak pidana seperti: penjualan kredit karbon palsu, klaim palsu terkait manfaat finansial dan lingkungan kredit karbon, kejahatan finansial, kejahatan komputer, dan pemalsuan data emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini menganalisis permasalahan tersebut menggunakan metode penelitian doktrinal dan non-doktrinal. Hasil penelitian menjelaskan bahwa hukum pidana Indonesia belum siap untuk mengakomodasi tindakan pemalsuan data emisi GRK. Menggunakan teori kesempatan tindak pidana serta prinsip kesalahan moral dan kerugian, penelitian ini menunjukkan urgensi dan justifikasi kriminalisasi terhadap pemalsuan data emisi GRK. Kriminalisasi tersebut dilakukan terhadap tiga modus berupa: pemalsuan informasi atau dokumen, perusakan alat monitoring emisi, dan penggunaan sampel palsu. Sebagai solusi, penelitian ini memberikan formulasi kombinasi sanksi administratif dan pidana untuk mengkriminalisasi pemalsuan data emisi GRK agar dapat meminimalisasi kesempatan terjadinya tindak pidana sehingga mampu menjaga integritas perdagangan karbon.

The rise of world temperature by 4°C before 2060 would make the world unhabitable for humans. In response, countries worldwide are binded to limit the temperature increase to 1.5°C above pre-industrial levels and achieve net-zero emissions before 2060. Carbon trading stands out as one of the most cost-efficient instruments to meet these climate targets. However, the integrity of carbon trading is compromised due to high rates of criminal activities. These include: the sale of fake carbon credits, false claims regarding financial and environmental benefits of carbon credits, financial crimes, cybercrimes, and falsification of greenhouse gas emission (GHG) data. Using doctrinal and non-doctrinal method, this research argues that falsification of greenhouse gas emission dataremains unregulated by Indonesian criminal law. This research also argue that the criminalization of GHG data falsification is urgent and justified by implementing crime opportunity theory and justification of criminalization theory. As a solution,  this research provides a formulation of a combination of administrative and criminal sanctions to criminalize falsification of GHG emission data in order to minimize the opportunity for criminal acts so as to be able to maintain the integrity of carbon trading."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanif Fiansyah
"Penelitian ini bertujuan menganalisis dan membandingkan kerangka hukum perdagangan karbon di Uni Eropa, China, dan Indonesia dengan fokus pada dua aspek utama: kerangka hukum dan kebijakan karbon di UE dan China, serta potensi adopsi dan penyempurnaan regulasi Indonesia berdasarkan pembelajaran dari kedua entitas tersebut. Menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah membangun fondasi regulasi perdagangan karbon melalui Peraturan Presiden No. 98/2021, UU No. 7/2021, UU No. 4/2023, dan Permen LHK No. 21/2022, dengan fokus utama pada sektor kehutanan dan penerapan nilai ekonomi karbon. UE, dengan EU Emissions Trading System (EU ETS) yang mapan sejak 2005, menawarkan model komprehensif multisektor dengan mekanisme penyesuaian karbon lintas batas/carbon border adjustment mechanism (CBAM). Sementara itu, China meluncurkan ETS nasional pada 2021 dengan pendekatan berbasis intensitas karbon (carbon intensity), fokus awal pada sektor pembangkit listrik, dan rencana perluasan bertahap. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun Indonesia telah membuat kemajuan signifikan, masih ada ruang untuk penyempurnaan regulasi perdagangan karbon. Adopsi praktik terbaik dari UE dan China, disesuaikan dengan konteks nasional, dapat memperkuat efektivitas sistem perdagangan karbon Indonesia dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi dan pembangunan berkelanjutan. Rekomendasi ini diharapkan berkontribusi pada pengembangan dan penegakan hukum perdagangan karbon di Indonesia yang lebih komprehensif, efektif, dan selaras dengan tren global.

This research aims to analyze and compare the legal frameworks for carbon trading in the European Union, China, and Indonesia, focusing on two main aspects: the current carbon trading legal frameworks in the EU, China, and Indonesia, and the potential adoption and improvement of Indonesian regulations based on lessons learned from these two entities. The research findings indicate that Indonesia has established a foundation for carbon trading regulations through Presidential Regulation No. 98/2021, Law No. 7/2021, Law No. 4/2023, and Ministry of Environment and Forestry Regulation No. 21/2022, with a primary focus on the forestry sector and the implementation of carbon economic value. The EU, with its well-established Emissions Trading System (EU ETS) since 2005, offers a comprehensive multi-sector model with a Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Meanwhile, China launched its national ETS in 2021 with a carbon intensity-based approach, initially focusing on the power generation sector, with plans for gradual expansion. This study concludes that although Indonesia has made significant progress, there is still room for improvement in carbon trading regulations. Adopting best practices from the EU and China, adapted to the national context, can strengthen the effectiveness of Indonesia's carbon trading system in supporting emission reduction targets and sustainable development. These recommendations are expected to contribute to the development and enforcement of more comprehensive, effective, and globally aligned carbon trading laws in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jin, Su Jang
"Tujuan penelitian ini adalah Tinjauan Hukum terhadap Ketentuan Perzinahan di Korea Selatan, Indonesia dan dalam bidang hukum Internasional. Tesis ini membahaskan norma hukum di dalam hukum Korea Selatan, Indonesia dan Hukum International tentang ketentuan Perzinahan di dalam hukum pidana dalam tiap pihak dan membuat perbandingan hukum. Dalam abad 21, banyak organanisasi internasional bergerak untuk menghapuskan hukum perzinahan dalam hukum pidana di setiap negara. Pengadilan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan baru saja memutus untuk menghapuskan ketentuan perzinahan dalam Hukum Pidana Korea Selatan karena ketentuan perzinahan membatasi hak-hak individu, ketentuan perzina tidak efektif dan kesadaran hukum dalam rakyat Korea Selatan telah berubah. Walaupun trend-trend dunia sekarang, masih ada beberapa negara yang masih mengatur ketentuan perzinahan dan menghukum yang melakukan perzinahan. Indonesia adalah salah satu negara yang masih mengatur ketentuan perzinahan dan menghukum yang melakukan perzinahan walaupun Indonesia bergabung ICCPR dan CEDAW. Tanpa memperhatikan kedaulatan setiap negara dan factor social bermacam-macam, Negara yang mengatur ketentuan perzinahan harus mematuhi hukum internasional. Hukum internasional dan setiap negara harus mencari solusi yang memuaskan kedua belah pihak.

This research aims to make a legal review to adultery law in South Korea, Indonesia and International law. The thesis discuses with legal principles of South Korea, Indonesia and International law regarding criminal nature of adultery along with legal histories of each party in this issue and make comparisons. In 21st century, a lot of international organization movements are made to abolish adultery provision within penal code. Recently, South Korean Constitutional Court decided to abolish adultery law provision within their penal code because the provision restricts individual rights, ineffectiveness of provision and change of legal awareness among South Koreans. Despite of current world trend, some countries still retain and execute punishment of adultery. Indonesia is one of the countries that retain and execute punishment of adultery despite of the fact that Indonesia is party of ICCPR and CEDAW. Regardless of state sovereignty and various social factors, countries that retain adultery provision need to respect the international law. Both international law and state party need to look for common ground that can satisfy both parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Al Kahfi
"ABSTRAK
Pada 1992, sebuah konvensi yang diikuti hampir seluruh negara di dunia menetapkan
sebuah kesepakatan dalam penanggulangan isu pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu
penanggulangan terhadap isu ekologis ini adalah dengan memperdagangkan karbon antar negara.
Namun dalam memahami ekologi seseorang harus menyadari adanya lapisan-lapisan dalam
pemahaman ekologi. Ekologi hadir sebagai salah satu perantara antara manusia dan alamnya, salah
satu media yang mempertemukan pemikiran manusia dan alam di sekitarnya, yang memberikan
manusia ruang untuk memahami alam tidak hanya dalam tahap fisik namun juga mental
sebagaimana diutarakan Felix Guattari dalam konsep Tiga Ekologi. Pemahaman ini menyiratkan
bahwa alam dan manusia muncul sebagai satu sinergitas yang bersifat rizomatik. Perkembangan
peradaban dan kemajuan teknologi hendaknya diikuti oleh perkembangan pemahaman ekologis agar
tetap mampu mewadahi manusia melihat alam sebagaimana adanya. Ini dimaksudkan agar tidak
terjadi pemahaman ekologi yang berbasis pada kepentingan tertentu. Setiap kepentingan yang
disematkan pada pemahaman ekologis berdampak pada sinergitas antara manusia dan alam serta
mengakar dan memudarkan konsepsi ekologis yang membutuhkan cara pandang baru dari sudut
yang dan menghadirkan skizoanalitik sebagai salah satu metode dalam melihat ekologi.

ABSTRACT
In 1992, a convention than attended by the entire world was held intended to solve the
problems of climate change and global warming issue. One of the consensus mention of the
allowance of the carbon trading between countries. However, in understanding ecology, one have to
be aware of the layers inside the idea of ecology. Ecology appears as one of the medium between
human and nature, a media that connecting human mind and its environment, and also giving human
its space to understanding nature not only in physical state but also mentally as Felix Guattari quoted
as mental ecology in his Three Ecology conception. The conception implies that human and nature
appears as one synergy as rhizome was. The development of civilization and advancement of
technology should have been followed by the dynamism of the ecology and its ability to conform
such expansion. This issue becomes important or ecology become manipulated for some interest.
Every interest pinned in ecology conception impacting the synergy between human and nature,
giving it a bias definition and shallow meaning. Ecology needs a new or deconstructed perspectives
and seeing from another angle like schizo-analytic method could offer."
2015
S62947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusnandar Prijadikusuma
"Tesis ini membahas share Indonesia yang rendah dalam perdagangan karbon internasional di pasar Protokol Kyoto dengan mekanisme pembangunan bersih / Clean Development Mechanism (CDM). Faktor internal Indonesia yaitu potensi sektor energi dan kehutanan, kepentingan serta kebijakan, dan faktor eksternal yaitu kepentingan negara Annex I dan responnya mempengaruhi posisi Indonesia dalam share perdagangan karbon internasional di pasar Protokol Kyoto tersebut.
Hasil Penelitian menyarankan bahwa pertama konsistensi dan komitmen bersama para pihak baik negara-negara Annex I maupun negara-negara non-Annex I dalam menghadapi perubahan iklim, kedua diperlukan kapasitas yang memadai baik pemerintah, pengembang, konsultan, institusi yang berwenang, perbankan dan asuransi, ahli hukum dan LSM untuk suksesnya proyek CDM. Tanpa kesiapan yang memadai maka kebijakan yang dibuat akan berdampak pada kurang maksimalnya hasil yang diperoleh sesuai dengan kepentingan politik dan ekonomi nasional Indonesia pada tataran global.

This thesis discusses about the low share of Indonesia in international carbon trading at Protokol Kyoto Market with clean development mechanism (CDM). This condition is influenced by internal and external factors. The internal factors in Indonesia are potential of energy and forestry sector, Indonesia interests and policies, while the external factors are the interest of Annex I countries and its response that affect the share position of Indonesia in international carbon trading at Protokol Kyoto market.
The first result of this study suggest that there must a consistency and commitment both from Annex I countries and non-Annex I countries to face of the climate change. The second is sufficient capacity was needed both from government, developers, consultants, institutional authorities, banking and insurance, legal experts and LSM to the success of this CDM project. Improper preparation would made the policy that has been made will make no significant result as the Indonesian national economical and political interest at the global level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T31930
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Iqbal Nurrasyid
"Pada Juli 2021, Komisi Uni Eropa (EU) mengeluarkan proposal CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) yang akan mengenakan biaya tambahan secara sepihak terhadap lima kategori barang padat karbon yang diimpor ke wilayah EU. CBAM yang biasa disebut sebagai Carbon Border Tax (CBT) akan mulai diterapkan oleh EU pada Oktober 2023 sebagai kebijakan pelengkap dari mekanisme Emission Trading System di wilayah EU. CBT bertujuan untuk memperkuat upaya EU dalam mengurangi emisi karbon sekaligus mendorong negara lain untuk mengurangi emisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peluang dan tantangan Indonesia apabila kedepannya akan menerapkan Kebijakan CBT sebagai kebijakan pelengkap setelah Indonesia berhasil menerapkan Kebijakan Harga Karbon secara efektif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 4 peluang dan 3 tantangan yang akan diterima oleh Indonesia apabila akan menerapkan Kebijakan CBT berdasarkan dinamika perkembangan dan kesiapan yang sudah ada baik dari sisi pemerintah, swasta (industri), maupun masyarakat. Adanya peraturan terkait Kebijakan Harga Karbon; Dibentuknya Standar Industri Hijau; Langkah untuk mengendalikan impor dan melindungi industri dalam negeri; serta Indonesia memiliki 285 juta jiwa pada Tahun 2030 akan menjadi peluang apabila akan menerapkan kebijakan CBT. Sementara itu, tantangan yang harus dihadapi yaitu belum adanya kepentingan nasional Indonesia dan komitmen di ASEAN; Tarif yang masih rendah dan tidak seriusnya Kebijakan Harga Karbon di Indonesia; serta Kondisi industri dalam negeri yang belum siap. Penelitian ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar dapat berfokus dalam mempersiapkan kondisi dalam negeri ke arah yang lebih rendah karbon sebelum berencana untuk menerapkan Kebijakan CBT.

In July 2021, the European Union (EU) Commission issued a CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) proposal that would unilaterally impose surcharges on five categories of carbon-intensive goods imported into the EU. The CBAM, commonly referred to as the Carbon Border Tax (CBT), will be implemented by the EU in October 2023 as a complementary policy to the Emission Trading System mechanism in the EU. The CBT aims to strengthen the EU's efforts to reduce carbon emissions while encouraging other countries to reduce their emissions. This research aims to find out Indonesia's opportunities and challenges if in the future it will implement the CBT Policy as a complementary policy after Indonesia has successfully implemented the Carbon Pricing Policy effectively. This research uses a qualitative approach with data collection techniques in the form of field studies through in-depth interviews and literature studies. This research succeeded in identifying 4 opportunities and 3 challenges that will be accepted by Indonesia if it will implement the CBT Policy based on the dynamics of development and existing readiness both in terms of government, private (industry), and society. The existence of regulations related to Carbon Pricing Policy; The establishment of Green Industry Standards; Steps to control imports and protect domestic industries; and Indonesia having 285 million people in 2030 will be an opportunity when implementing CBT policies. Meanwhile, the challenges that must be faced are the absence of Indonesia's national interest and commitment in ASEAN; Low tariffs and the lack of seriousness of the Carbon Pricing Policy in Indonesia; and The condition of the domestic industry that is not ready yet. This study provides recommendations for the government to focus on preparing domestic conditions to become lower carbon before planning to implement the CBT Policy."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Permata Sari Mashari
"Topik perubahan iklim terkait erat dengan pelepasan karbon ke atmosfer. Salah satu cara mengurangi emisi karbon adalah melalui perdagangan karbon dengan mekanisme cap and trade dan mekanisme offset. Menerapkan perdagangan karbon memerlukan investasi keuangan yang signifikan, yang mengharuskan kebijakan keuangan pemerintah dan sektor swasta untuk mendukung upaya mencapai kontribusi yang ditetapkan secara nasional berdasarkan Perjanjian Paris. Rumusan masalah penelitian ini adalah belum adanya kajian yang menganalisis pengujian skenario kebijakan keuangan berkelanjutan dalam kaitannya pada transaksi perdagangan karbon di Indonesia. Tujuan utama penelitian ini untuk membangun model kebijakan intervensi yang dapat diimplementasikan oleh sektor jasa keuangan dalam rangka menurunkan emisi karbon di Indonesia untuk meningkatkan kemampanan ekonomi, pertumbuhan sosial, dan perlindungan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran yang melibatkan metode kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan analisis System Dynamics (SD), kajian bibliometrik, dan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan pendekatan kualitatif memerlukan penelitian literatur, melakukan wawancara ekstensif, dan menyelesaikan survei. Hasilnya menunjukkan adanya kesenjangan penelitian, khususnya mengenai peran sektor jasa keuangan dalam praktik perdagangan karbon. Hasil SD menunjukkan bahwa penerapan perdagangan karbon yang didukung oleh keuangan berkelanjutan akan menghasilkan hasil signifikan dalam rangka pengurangan emisi karbon. Selain itu, analisis AHP menunjukkan bahwa keuangan berkelanjutan lembaga keuangan memainkan peran penting dalam perdagangan karbon.

The subject of climate change is closely linked to the release of carbon into the atmosphere. One viable strategy for reducing carbon emissions is using the cap and trade and offset mechanisms. Implementing carbon trading necessitates substantial financial investment, which mandates government and private sector financial policies to support achieving nationally defined contributions under the Paris Agreement. The research problem is the need for a study illustrating sustainable finance policies' application in Indonesia's carbon trading transactions. The primary objective of this research is to construct a model for policy intervention that the financial services industry can execute to reduce carbon emissions in Indonesia, thereby enhancing economic resilience, social development, and environmental protection. This study employs a mixed methods approach encompassing both quantitative and qualitative methodologies. The quantitative approach involves System Dynamics (SD) analysis, bibliometric studies, and the Analytical Hierarchy Process (AHP), while the qualitative approach necessitates a review of the literature, extensive interviews, and completion of surveys. The findings indicate research gaps, particularly concerning the role of the financial services industry in carbon trading practices. The SD results demonstrate that implementing carbon trading supported by sustainable finance will yield significant outcomes in terms of carbon emission reduction. Furthermore, the AHP analysis highlights the crucial role of sustainable finance in carbon trading, which the financial services industry can undertake."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Az Zahra Sashe Azhar
"Dengan meningkatnya kesadaran global terhadap perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon, perdagangan karbon menjadi instrumen penting untuk mencapai target emisi. Implementasi perdagangan karbon di Indonesia masih awal dan memerlukan regulasi lebih lanjut, terutama terkait sistem perpajakan. Beberapa negara telah mengimplementasikan perpajakan seperti pajak penghasilan, namun di Indonesia hal ini belum ditelaah lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah penghasilan dari perdagangan karbon melalui bursa karbon dan perdagangan langsung merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh), serta membandingkan ketentuan PPh atas penghasilan perdagangan karbon di Australia dan Brazil yang bisa diadopsi oleh Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan mengkaji regulasi, literatur, data sekunder, serta benchmarking. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan perlakuan pajak antara transaksi bursa karbon dan perdagangan langsung, yang memengaruhi efektivitas perdagangan karbon di Indonesia serta terdapat objek PPh atas penghasilan perdagangan karbon. Penghasilan dari bursa karbon dapat dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) yang juga sesuai dengan pengenaan pajak pada saham karena didefinisikan sebagai efek, sedangkan perdagangan langsung masih menjadi perdebatan terdapat potensi besar juga atas penerimaan keuntungan dari penjualan aset tersebut atau keuntungan yang dapat dikenakan PPh badan secara umum dengan tarif 22%. Benchmarking dengan Australia dan Brazil memberikan gambaran ketentuan PPh yang dapat diterapkan di Indonesia.

With the increasing global awareness of climate change and carbon emission reduction, carbon trading has become an important instrument to achieve emission targets. The implementation of carbon trading in Indonesia is still early and requires further regulation, especially regarding the taxation system. Some countries have implemented taxation such as income tax, but in Indonesia this has not been explored further. This study aims to analyze whether income from carbon trading through carbon exchanges and direct trading is an object of Income Tax (PPh), as well as compare the provisions of Income Tax on carbon trading income in Australia and Brazil that can be adopted by Indonesia. The research uses a qualitative descriptive approach by reviewing regulations, literature, secondary data, and benchmarking. The results show differences in tax treatment between carbon exchange transactions and direct trading, which affect the effectiveness of carbon trading in Indonesia and the object of income tax on carbon trading income. Income from carbon exchange can be subject to final income tax Article 4 paragraph (2) which also corresponds to the tax imposition on shares because it is defined as securities, while direct trading is still debatable, there is also a large potential for receiving profits from the sale of these assets or profits that can be subject to general corporate income tax at a rate of 22%. Benchmarking with Australia and Brazil provides an overview of income tax provisions that can be applied in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naifah Uzlah Istya Putri
"Peningkatan urgensi isu perubahan iklim dalam sistem internasional tidak terlepas dari peran aktor-aktor pasar, sehingga memunculkan solusi iklim berbasis pasar — terutama dalam bentuk perdagangan karbon. Negosiasi dalam Protokol Kyoto hingga Perjanjian Paris turut membahas konsep perdagangan karbon, dan realisasinya telah diimplementasikan dan direncanakan di berbagai yurisdiksi. Dengan melakukan penelusuran terhadap literatur berskala internasional yang telah melalui peer-review, tinjauan pustaka ini berupaya untuk memetakan dan menganalisis 52 literatur yang relevan dengan menggunakan metode taksonomi. Tulisan ini akan menjawab rumusan permasalahan utama, yakni bagaimana perkembangan perdagangan karbon dikaji dalam literatur dan kerangka pemikiran hubungan internasional? Hasil pemetaan literatur menunjukkan adanya konsensus mengenai diskursus iklim dan lingkungan, aspek ekonomi, posisi Uni Eropa, serta sikap skeptis terhadap integritas lingkungan dalam konteks perdagangan karbon. Sementara itu, terdapat perdebatan di antara para akademisi mengenai evaluasi perdagangan karbon sebagai kebijakan lingkungan, potensi linking, peran sektor swasta, dan posisi negara berkembang. Analisis penulis menghasilkan sebuah sintesis umum bahwa pembahasan tentang perdagangan karbon dalam hubungan internasional telah melebur dalam diskursus iklim, dengan kekhasan perdebatan tentang hubungan Utara-Selatan, aspek ekonomi dan pembangunan, serta peran aktor non-negara. Penulis juga menemukan adanya celah penelitian berdasarkan tema dan konteks waktu penulisan, tema yurisdiksi yang dibahas, dan paradigma pemikiran yang digunakan.

The increasing urgency of the climate change in the international system is inseparable from the role of market actors, giving rise to market-based climate solutions — especially in the form of carbon trading. Negotiations in the Kyoto Protocol to the Paris Agreement have also incorporated the concept of carbon trading, and its realization has been implemented and planned in various jurisdictions. By conducting a search of peer- reviewed international literatures, this literature review seeks to map and analyze 52 relevant literatures using the taxonomic method. This paper will answer the formulation of the main problem, namely, how is the development of carbon trading studied in the literature and framework of international relations? The results of the literature mapping show that there is a consensus regarding the climate and environmental discourse, economic aspects, the position of the European Union, and skepticism about environmental integrity in the context of carbon trading. Meanwhile, debate among academics have revolved around the evaluation of carbon trading as an environmental policy, the potential of linking, the role of the private sector, and the position of developing countries. The author's analysis results in a general synthesis that discussions about carbon trading in international relations have merged into the climate discourse, with the particularity of debates on North-South relations, economic and development aspects, and the role of non-state actors. The author also finds that there are several research gaps based on the theme and context of writing, the jurisdictional themes that have been discussed, and the thought paradigms being used."
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library