Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Debby Sonita F.
"ABSTRAK
Adat Batak Toba yang didasarkan pada sistem kekerabatan patrilineal mempengaruhi perlakuan orangtua dan masyarakat terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Perlakuan tersebut memiliki kaitan dengan konsep diri yang terbentuk pada diri mereka^ terutama pada perempuan yang menjadi tokoh inferior dalam adat Batak Toba. Dengan alasan tersebut. penelitian ini berusaha menggali bagaimana gambaran konsep diri yang terbentuk pada perempuan Batak Toba dewasa muda yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Pendekatan dalam penelitian ini adalah melalui kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner dan wawancara. Dari hasil pemerolehan data dengan menggunakan kuesioner, ditemukan bahwa subyek dengan konsep diri positif cenderung memiliki kemantapan dan keyakinan dalam memandang dan menilai diri sendiri, memiliki konsep diri yang terintegrasi dengan baik, namun cenderung untuk tidak terbuka sehingga melakukan kecurangan tfaking). sedangkan subyek dengan konsep diri negatif cenderung memiliki keraguan dalam memandang dan menilai diri sendiri, memiliki konsep diri yang juga terintegrasi dengan baik, dan cenderung terbuka. Dari hasil pemerolehan data melalui wawancara, ditemukan bahwa semua subyek (2 orang) mengakui bahwa adat Batak Toba memberi pengaruh paling besar pada subdimensi kepuasan (internal) dan subdimensi keluarga (eksternal) konsep diri mereka. Seluruh subyek juga mengaku bangga dan bersyukur telah dilahirkan sebagai perempuan Batak Toba. 'l Selama ini, penelitian mengenai pengaruh adat Batak Toba terhadap konsep diri lebih terfokus pada laki-laki yang menjadi tokoh superior dan esensial dalam masyarakat Batak Toba. Padahal, pada kenyataannya adat Batak Toba juga berpengaruh terhadap konsep diri perempuan."
2005
S3488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan strategi yang ditempuh perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian dari harta ayah atau suaminya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimanakah perempuan Batak Toba menggunakan atau tidak menggunakan sistem hukum nasional, sistem hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi sosial yang lain, dalam melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Kemudian, perubahan perubahan apa raja dari segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba yang berdampak terhadap akses perempuan migran di kota kepada harta waris. Dalam hal mengungkapkan perubahan, akan diungkapkan bagaimanakah keterlibatan para warga masyarakat Batak Toba dalam peristiwa-peristiwa sosial, politik dan hukum pada tingkat makro memberi dampak terhadap terjadinya perubahan kebudayaan Batak Toba, yang akhirnya berdampak terhadap akses perempuan kepada harta waris. Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarki dapat ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Zhafira Alyatsany Viary
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pilihan perempuan Batak dalam menjalani waithood atau menunda pernikahan. Penelitian ini mengeksplorasi secara mendalam terkait proses dari pilihan waithood pada perempuan Batak dan faktor-faktor yang melatarbelakangi pilihan perempuan Batak ber-waithood. Studi-studi sebelumnya secara luas telah membahas fenomena waithood yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan menunda pernikahan dan juga melajang. Namun, masih sedikit studi-studi sebelumnya yang mengaitkan fenomena waithood dengan faktor atau latar budaya. Menurut peneliti, penting untuk membahas faktor budaya yang dapat mempengaruhi pilihan perempuan untuk menunda pernikahan. Melalui teori pilihan rasional, peneliti memiliki argumen bahwa adanya fenomena waithood memunculkan berbagai pilihan yang tentunya memiliki keuntungan bagi kehidupan perempuan terutama bagi perempuan Batak yang memiliki kultur patriarki yang kuat pada lingkungannya yang mengakibatkan pilihan hidup mereka sering kali terbatas. Pada penelitian ini, peneliti melakukan eksplorasi pada proses pengambilan keputusan berwaithood dan faktor-faktor yang mendorong pilihan perempuan Batak untuk waithood. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus pada perempuan batak yang menjalankan waithood. Ada 5 (lima) Informan yang berdomisili di area jabodetabek yang di wawancara secara mendalam. Temuan studi menunjukkan bahwa selama proses pengambilan keputusan perempuan Batak yang memilih waithood, didorong oleh berbagai faktor dari faktor internal, faktor keluarga, faktor teman, faktor budaya dan juga faktor media.

This study aims to explain the choice of Batak women in undergoing waithood or delaying marriage. This research explores in depth the process of waithood choices in Batak women and the factors behind the choice of Batak women in waithood. Previous studies have widely discussed the phenomenon of waithood which includes factors that influence the choice of delaying marriage and also being single. However, there are still few previous studies that relate the phenomenon of waithood to cultural factors or settings. According to the researcher, it is important to discuss cultural factors that may influence women's choice to delay marriage. Through rational choice theory, the researcher has an argument that the existence of the waithood phenomenon raises various choices which certainly have advantages for women's lives, especially for Batak women who have a strong patriarchal culture in their environment which results in their life choices often being limited. In this study, researchers explored the decision-making process of waithood and the factors that encourage Batak women's choice of waithood. This research uses a qualitative approach with case studies on Batak women who practice waithood. There are 5 (five) informants who live in the Jabodetabek area who were interviewed in depth. The findings of the study show that during the decision-making process of Batak women who choose waithood, it is driven by various factors from internal factors, family factors, friend factors and also media factors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Desy Christina
"ABSTRAK
Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang patrilineal yaitu mengikuti
garis keturunan ayah. Sebelum menikah, wanita merupakan bagian dari kelompok
ayahnya dan setelah menikah ia akan ?rneninggalkan? keluarganya dan masuk ke
dalam satuan kekerabatan suaminya. Kedudukan dan peran wanita dalam adat Batak
Toba ditentukan oleh posisi ayah atau suaminya dan ia tidak memiliki posisi sendiri
dalam adat. Lain halnya dengan pria yang dianggap raja dan selalu ditinggikan
kedudukannya dibandingnya wanita.
Perbedaan kedudukan antara pria dan wanita Batak Toba sangat jelas terlihat salah
satunya dalam pengambilan keputusan pada acara-acara adat. Pada forum-forum
resmi seperti itu, pendapat wanita kurang didengarkan dan prialah yang lebih
dominan dalam memutuskan segala sesuatu. Para wanita Batak sendiri jika ditanyai
pendapatnya, rnenyerahkan hal itu kepada para suami dan akhirnya suamilah yang
berbicara. Selain itu subordinasi wanita Batak Toba ini pun terjadi di gereja HKBP
sebagai tempat mayoritas masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen Protestan
beribadah. Jika kita amati di gereja-gereja HKBP di seluruh Indonesia, mayoritas
pendeta, guru huria dan penetua didominasi oleh kaum pria (Siregar, 1999).
Marjinalisasi posisi wanita Batak Toba memang sudah tidak sesuai lagi dengan
tuntutan modernisasi dan demokrasi saat ini. Sudah selayaknya persepsi yang
menomorduakan kedudukan wanita dalam masyarakat Batak itu diubah. Sulitnya,
ideologi peran jender seseorang sangat tergantung pada konteks sosial di mana orang
tersebut berada dan konsepsi budaya tersebut mengenai jender. Sehingga jika dalam
kognisi orang Batak pensubordinasian wanita dalam taraf tertentu sesuai dengan
belief yang mereka anut, maka hal tersebut akan lebih dipandang sebagai harmoni
daripada dominansi dalam struktur patriarkat (Muluk, 1995).
Kedudukan dan peran wanita dalam masyarakat Batak Toba tidak lepas dari role-
expectation yang ada dalam masyarakat tersebut. Melalui penelitian ini penulis ingin
mengetahui gambaran ideologi peran jender pria dewasa muda Batak Toba, role-
expectation terhadap wanita dari perspektif kedua belah pihak dan pengaruhnya
terhadap aktualisasi diri wanita. Metode yang digunakan yaitu untuk mendapatkan gambaran ideologi peran jender
pria dewasa muda Batak Toba di Jakarta digunakan metode kuantitatif dengan
menggunakan kuesioner adaptasi SRI. Pemahaman yang mendalam mengenai role-
expectation dan darnpaknya terhadap aktualisasi diri dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif.
Teori yang menjadi landasan penelitian ini meliputi budaya Batak Toba yang
menggambarkan kedudukan wanita dalam masyarakat adat dan sistem kekerabatan
mereka, teori mengenai masa dewasa muda, role-expectation dan jender sebagai
konstruksi sosial, serta teori-teori mengenai aktualisasi diri.
Hasil analisis data kuantitatif didapatkan gambaran bahwa pada cukup banyak aspek
SRI pria dewasa muda Batak Toba menganut ideologi peran jender tradisional lebih
banyak daripada yang modern. Analisis tambahan terhadap data kontrol dengan
menggunakan one-way anova dan t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam hal ideologi peran jender berdasarkan usia, pendidikan, status,
pengeluaran tiap bulan dan lama subyek tinggal di Jakarta.
Hasil analisis kualitatif didapati kesimpulan bahwa kedua subyek pria masih
menganut ideologi peran jender tradisional terutama mengenai kedudukan pria dan
wanita dalam keluarga. Para responden memandang kedudukan pria sebagai kepala
keluarga dan wanita sebagai ibu rumah tangga sebagai sesuatu yang wajar walaupun
responden wanita memiliki harapan untuk diperlakukan sejajar (sebagai patner) oleh
pasangannya. Para responden wanita juga cenderung untuk konform dengan budaya
yang ada dan berlaku. Sebagian besar dari mereka menginginkan perubahan namun
tidak disertai dengan usaha yang mengarah ke sana.
Saran yang diajukan untuk masyarakat Batak Toba adalah untuk melakukan
introspeksi diri apakah pandangan bahwa pria adalah raja dan wanita memiliki
kedudukan yang lebih rendah masih layak dipertahankan melihat dampak yang
dialami oleh wanita dalam mencapai aktualisasi dirinya. Pengubahan pandangan ini
disarankan melalui agama dan gereja karena adat yang bersifat mutlak akan sulit
untuk diubah.
Penelitian yang sempa disarankan untuk diadakan guna memberikan pengetahuan
tambahan bagi para konselor perkawinan maupun yang menangani orang-orang yang
mengalami masalah dalam aktualisasi diri. Konsepsi peran jender tiap-tiap
masyarakat adat di Indonesia mempengaruhi bagaimana orang tersebut memandang
dirinya dan lawan jenis dalam hal nilai-nilai, peran dan kedudukan mereka. Penelitian
ini diharapkan dapat membantu untuk menemukan pendekatan yang tepat dalam
konseling
Untuk penelitian lanjutan, beberapa saran yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah
menambah jumlah sampel, memperhatikan karakteristik agama subyek, memiliki
norma normatif mengenai ideologi peran jender pria Indonesia, mencari cara
pengolahan data yang lebih tepat dan memperkaya variabel yang mungkin
berpengaruh terhadap ideologi peran jender."
2000
S3011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firma Novita
"Penelitian ini mengkaji kompleksitas pengalaman perempuan Batak Toba terkait penerapan falsafah hidup Hagabeon dan otonomi atas tubuhnya pada perkawinan yang belum memiliki anak laki-laki. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe studi kasus. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap 6 (enam) subjek utama. Penelitian ini menggunakan teori Pierre Bourdieu tentang habitus dan doxa, teori Kate Millet tentang Sexual Politics serta teori Eksistensialis Simone De Beauvoir. Hasil analisis menunjukkan pengetahuan terkait dengan falsafah hidup subjek penelitian tidak menunjukkan perbedaan berarti, namun pemaknaan pada masing-masing subjek membuat kondisi tersebut menjadi berbeda. Terkait pengalaman subjek penelitian tentang kontrol atas fungsi reproduksi, subjek penelitian menjelaskan bahwa sudah tidak lagi terobsesi memiliki anak yang banyak. Faktor hidup merantau, kesehatan dan ekonomi menjadi latar belakangnya. Namun, keinginan untuk memiliki anak laki-laki tetap menjadi tujuan mereka. Temuan memperlihatkan subjek penelitian berada pada kondisi paradoks. Mereka menjadi perempuan yang memiliki kesadaran tentang otonomi tubuhnya, dengan bernegosiasi terkait jumlah anak yang jauh lebih sedikit dibanding dengan konsep awal Hagabeon. Di sisi lain mereka tetap menginginkan anak laki-laki sebagai gambaran idealisasi mereka untuk mewujudkan status sebagai perempuan sempurna (Gabe) dalam perspektif budaya Batak Toba, yang dapat dicapai perempuan Batak Toba dengan memiliki banyak anak dan memiliki anak laki-laki sebagai penerus marga.

This study examines the complexity of the experience Batak Toba women that related to the application of Hagabeon`s life philosophy and autonomy over his body in Batak Toba marriages that do not yet have sons. This study used a qualitative approach with case study where data was obtained through in-depth interviews and observations of 6 (six) main subjects. The author used Pierre Bourdieu's of habitus and doxa, Kate Millet`s of Sexual Politics and the Existentialist of Simone De Beauvoir theories. All of these theories basically complement each other and can further explain the problems experienced by the subject of research. The results of the analysis show that the knowledge which is held in relation to the life of philosophy by the research subjects did not show significant differences but the meaning of each subject made the condition different. Regarding to the experience of the subjects about control over reproductive functions, the subjects explained that they were no longer obsessed with having children in large numbers. Life, health and economic factors are the background. Nevertheless, the desire to have sons remains their goal. The findings of this research show that the subject of the study is a paradoxical condition. On the other hand, they become women who have an awareness of their bodies autonomy with negotiate the number of the children far less than the ideal number in the initial concept of Hagabeon. However, on the other hand they still want son who are a picture of idealization for them to realize their status as perfect women (Gabe) in the perspective of Batak Toba culture which can be achieved by Batak Toba women in having many children and having son as successor to the clan."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Larasati
"Skripsi ini membahas mengenai alasan perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris dalam masyarakat adat Batak Toba serta hak perempuan terhadap harta kekayaan ayahnya. Pembahasan dilakukan melalui studi literatur, pengamatan di lapangan, serta wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif, meliputi penelitian terhadap pengertian dan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, serta pendekatan empiris untuk memperoleh fakta mengenai perilaku subyek hukum terkait dengan permasalahan yang dibahas. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris karena pada dasarnya, kehidupan perempuan merupakan tanggung jawab dari laki-laki baik ayah maupun saudara laki-lakinya , perempuan juga sudah tidak akan menjadi anggota kerabat dari klan ayahnya ketika ia menikah sehingga tidak ada hubungan hukum, dan masyarakat adat Batak Toba menghindari adanya tindakan pengalihan harta apabila terjadi pemberian warisan kepada perempuan. Perempuan juga memiliki hak untuk menikmati kekayaan ayahnya, yang dapat diperoleh dengan melalui pemberian dari pewaris ataupun pemberian dari saudara laki-lakinya. Walaupun Negara, melalui putusan Mahkamah Agung tahun 1961, telah memutuskan bahwa perempuan adalah ahli waris yang sama kedudukannya dengan laki-laki, tidak semua masyarakat Batak Toba mengakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris, terutama bagi keluarga Batak Toba yang masih bertempat tinggal di Desa Sibuntuon, dan tidak ada keseragaman pemahaman akan hak perempuan terhadap harta kekayaan orangtuanya yang diakibatkan tidak tertulisnya hukum waris adat Batak Toba. Dalam hal ini para tokoh Adat yang menekuni hukum adat Batak Toba dapat turut andil dalam memberikan pengertian terkait dengan proses waris-mewaris dalam masyarakat Batak Toba.

This thesis talks about the reasons why Batak women are not regarded as a legal heir in Batak Toba's custom and also their rights on their father's properties. The discussion is held through thorough literature study, field observatory and interviews. The research in this discussion is done through a normative approach, including research through legal understanding and provisions, whether it is written or not, as well as an empirical approach to obtaining facts about the behavior of legal subjects related to the issues discussed. The research has come to a conclusion that woman in Batak Toba's custom is not considered as a legal heir because they are considered as a responsibility of men whether it is their father or their relatives and women in Batak Toba's customs are no longer considered as a true relatives of their father's family clan as soon as they are married, which leave them with no legal relationship with their father. Although they are not considered as a legal heir, Batak Toba women also have the rights to enjoy their father's riches, which they can gained from the heir or gifts from their brothers. Although Indonesia's Law through the Supreme Court's decision of 1961 has ruled out that women are in the same position of heirs to men, not all Batak Toba community especially those in Sibuntuon Village consider women as heirs. There is also no uniform understanding of women's rights to their parents' property due to the unwritten law of the inheritance of Batak Toba. In this case, those who are considered as indigenous leaders in the community who pursue the customary law of Batak Toba can contribute in providing understanding about the inheritance process of Batak Toba community.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library