Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Debby Novitadewi Susanto
Abstrak :
Masuknya budaya populer Korea, terutama musik pop, memunculkan fenomena baru yang lain yaitu roleplay di kalangan para penggemarnya. Roleplay merupakan permainan peran, baik memainkan peran karakter fiksi maupun publik figur di kehidupan nyata. Setiap orang dibebaskan memainkan karakter yang mereka inginkan dan mendorong pemain untuk memainkan karakter dengan identitas yang berbeda, salah satunya identitas gender. Dari sinilah muncul fenomena gender swap. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan metode observasi dan wawancara mendalam secara daring untuk menyesuaikan dengan pandemi COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana seseorang mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dan kaitannya dengan stereotip gender yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah informan mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dengan tindakan performatif yang dilakukan secara berulang-ulang melalui tampilan akun, typing, dan interaksi sosial. Dalam mengonstruksikan identitas gendernya, informan melanggengkan dan menentang stereotip gender secara bersamaan. ......The entry of Korean pop culture, especially pop music, has led to another new phenomenon, namely roleplay among fans. Roleplay is a role-playing game, both playing the role of fictional characters and public figures in real life. Everyone is free to play the character they want and encourages players to play characters with different identities, one of which is gender identity. This is where the gender swap phenomenon emerges. This study uses an ethnographic approach with online observation and in-depth interviews to adapt to the COVID-19 pandemic. The purpose of this study is to see how a person constructs a different gender identity and its relation to prevailing gender stereotypes. The results of this study are informants construct different gender identities with performative actions that are carried out repeatedly through account display, typing, and social interaction. In constructing their gender identity, informants perpetuate and oppose gender stereotypes simultaneously.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cazelya Aryaninda Margo Putri
Abstrak :
Pada penelitian ini, penulis menganalisis dua lagu Jerman, yaitu “Vincent” oleh Sarah Connor dan “Queere Tiere” oleh Sookee. Kedua lagu ini dipilih karena dianggap sebagai platform untuk merepresentasikan komunitas homoseksual, yang dapat dibuktikan dari performativitas gender pada kedua lirik lagu. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif untuk menganalisis makna kedua lirik lagu. Selain itu, penulis menggunakan Queer theory oleh Judith Butler (1990), didukung dengan konsep gender performativity untuk menjabarkan performativitas gender yang ditampilkan pada kedua lirik lagu tersebut dan menunjukan bagaimana performativitas pada kedua lagu tersebut dapat dikatakan sebagai performativitas homoseksual. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedua lagu tersebut menunjukkan adanya gender performativity dan performativitas yang ditampilkan pada kedua lirik tersebut membentuk identitas gender seorang homoseksual. ......In this research, writers analyzed two German songs "Vincent" by Sarah Connor and "Queere Tiere" by Sookee. These two songs were chosen because they are considered as platforms to represent the homosexual community, which can be proven from the gender performativity in both song lyrics. In this research, the author uses descriptive analysis method to analyze the meaning of both song lyrics. In addition, writers use Queer theory by Judith Butler (1990), supported by the concept of gender performativity to describe the gender performativity displayed in both song lyrics and show how the performativity in both songs can be said to be homosexual performativity. From this research, it can be concluded that both songs show the existence of gender performativity and the performativity displayed in both lyrics forms the gender identity of a homosexual.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Theresia Indirastuti
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari bagaimana calabai, istilah Bugis untuk waria atau transgender woman, menegosiasikan subjektivitas gendernya agar dapat memperoleh posisi dalam masyarakat Bugis masa kini. Eksistensi dan peran calabai telah diakui dalam tradisi Bugis selama beratus tahun. Perubahan sistem sosial dalam masyarakat Bugis, terutama masuknya Islam dengan sistem seks/ gender yang dikotomis, pendidikan modern dan berubahnya sistem politik membawa perubahan mendasar dalam konteks hidup calabai. Sebagian calabai bertahan pada peran tradisionalnya, sedangkan lainnya memasuki peran nontradisional dalam konteks sosial dengan sistem gender yang lebih dikotomis. Penelitian kualitatif ini mempelajari kehidupan 12 calabai dalam beragam peran. Dengan mengadopsi sudut pandang Michel Foucault mengenai sistem kuasa, Judith Butler tentang performativitas gender, serta Patricia Hill Collins tentang opresi interseksional, ditemukan bahwa subjektivitas gender dinegosiasikan secara cair sepanjang hidup calabai. Negosiasi subjektivitas gender calabai memiliki bentuk yang sangat beragam, tidak kaku dan linier tetapi cair dan berubah-ubah dalam konteks hidup yang berkelindaan relasi kuasa yang beragam serta terus terjadi dalam tahapan hidup yang berbeda-beda. Subjektivitas gender calabai dibangun dengan tujuan yang beragam, tidak ada satu tujuan yang ideal dan stabil, namun berwarna-warni.
ABSTRACT
The research studied how calabai, the Bugis term for transgender woman, negotiates her gender subjectivity to own position in the current Bugis society. Calabai?s existence and roles have been acknowledged in Bugis tradition for hundreds years. Changes in social system, including the entry of Islam with its dichotomous sex/gender system, modern education and changing political system have brought fundamental changes in calabai?s life context. Some calabai hold on to traditional roles, while others enter non-traditional roles in social context with stricter gender dichotomy. This qualitative research studied the life of 12 calabai with diverse roles. By adopting Michel Foucault?s viewpoint on power systems, Judith Butler?s gender performativity and Patricia Hill Collins? intersection oppression, the research found that gender subjectivity is negotiated fluidly in a complex way throughout calabai?s life. Different calabai negotiate her gender subjectivity in different ways, the process is not rigid and linear but fluid and changing through different life context that intertwined with power relations and through life stages. Calabai gender subjectivity is constructed with diverse aim, there is no ideal and stable aim, but expressed in a colourful ways;
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarissa Diantha Azzahra
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membahas performativitas gender pada tokoh Nagisa dalam film Midnight Swan (2020) karya Uchida Eiji serta menganalisis pandangan masyarakat Jepang terhadap performativitas gender yang ditampilkan oleh Nagisa dalam film tersebut. Penelitian ini menerapkan dua teori dalam kerangka analisis, yaitu performativitas gender oleh Judith Butler (1990) dan teori kode-kode televisi John Fiske (1999) yang terbagi dalam tiga level, yaitu realitas, representasi, dan ideologi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis teks dan visual dalam film Midnight Swan. Ditemukan delapan data yang menunjukkan performativitas gender Nagisa dan lima data yang menggambarkan pandangan masyarakat terhadap performativitas gender Nagisa. Temuan ini menunjukkan bahwa tokoh Nagisa tidak hanya ditunjukkan melalui karakternya sebagai transgender, tetapi juga ditunjukkan dengan menjadi seorang ibu dan penari kabaret. Pandangan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu menerima dan menolak performativitas gender Nagisa. Meskipun penolakan akibat budaya patriarki yang telah terinternalisasi pada masyarakat Jepang kerap ditampilkan dalam film, ada sebagian masyarakat Jepang yang masih memberikan pandangan terbuka terhadap performativitas gender yang ditunjukkan Nagisa. Film Midnight Swan menunjukkan bahwa tidak mudah bagi individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai transgender untuk menjalani hidup di lingkungan masyarakat yang bersifat heteronormatif dengan beragam perspektif terkait isu gender. ......This study aims to discuss the gender performativity on the character Nagisa in Uchida Eiji's film Midnight Swan (2020) and analyze the perception of Nagisa's gender performativity within Japanese society as depicted in the movie. This study utilizes two theories in the analytical framework: Judith Butler's concept of gender performativity (1990) and John Fiske's theory of television codes (1999). Fiske's theory is further categorized into three levels: actuality, representation, and ideology. The research method used is text analysis and visual analysis in the Midnight Swan movie. A total of eight data points were identified to assess Nagisa's gender performativity, while five data points were used to analyze society's perspectives on Nagisa's gender performativity. These findings show that Nagisa's character is not solely defined by her transgender identity but also shown through her roles as a mother and cabaret dancer. Society's perspectives on Nagisa's gender performativity can be categorized into two distinct groups: accepting and rejecting Nagisa's gender performativity. Despite the frequent rejection portrayal of internalized patriarchal culture in the film, liberal society nevertheless maintains an open perspective towards Nagisa's gender performativity. The Midnight Swan movie portrays the challenges faced by people who identify themselves as LGBT, including those who are transgender to live their lives in a society with diverse perspectives regarding gender issues.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ummanabiegh Ismail Jalla
Abstrak :
Penelitian ini mencoba mengartikulasikan bagaimana individu Transgender nonbiner mengoperasikan identitas gender mereka dari cisgender menjadi Trans nonbiner melalui praktik doing/undoing gender. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis dengan pendekatan naratif serta analisis visual. Teori yang digunakan antara lain adalah teori Performativitas oleh Judith Butler, Pluralisme Gender oleh Surya Monro dan Michael G. Peletz, dan teori-teori mengenai pembentukan makna. Penelitian ini menelusuri pengalaman hidup lima orang Trans nonbiner yang tinggal di Jakarta dan Yogyakarta terkait eksplorasi gender mereka. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu Trans nonbiner terus menerus melakukan praktik doing/undoing gender. Proses doing/undoing gender yang dilakukan mempengaruhi praktik ketubuhan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima informan menyatakan bahwa proses doing/undoing yang mereka lakukan diawali dengan ketidaknyamanan terhadap diri dan tubuh mereka sendiri dan terus menerus dilakukan dengan bantuan euforia, disforia, dan sistem pendukung yang kuat. Kelima informan menyatakan bahwa identitas Trans nonbiner merupakan bentuk pembebasan dari penindasan eksternal maupun internal untuk menuju penghayatan diri mereka yang sejati di luar batasan-batasan yang ditetapkan kerangka seks/gender biner. ......This research tries to articulate how Transgender non-binary individuals operate their gender identity from cisgender to Trans non-binary through the practice of doing/undoing gender. This research uses a qualitative phenomenological method with a narrative approach and visual analysis. The theories used include Performativity theory by Judith Butler, Gender Pluralism by Surya Monro and Michael G. Peletz, and theories on meaning-making. This research explores the life experiences of five Trans non-binary people living in Jakarta and Yogyakarta regarding their gender exploration. Based on the analysis, this research found that Trans non-binary individuals practice doing/undoing gender continuously and repeatedly. The process of doing/undoing gender determines their bodily practices carried out in daily life. The five informants stated that the doing/undoing process they carried out began with discomfort within themselves and their own bodies and was assisted by gender euphoria, gender dysphoria, and a strong support system. The five informants stated that Trans non-binary identity is a liberation from external and internal oppression to move towards truer forms of selves outside the boundaries set by the binary sex/gender framework.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Pringganti
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas standar ganda moralitas masyarakat terhadap pedofilia perempuan yang dikritik dalam novel Tampa. Tokoh utama yang sekaligus narator dalam Tampa mendekonstruksi wacana gender melalui penokohannya sebagai seorang pedofil perempuan. Penjelasan Butler mengenai gender sebagai tindak performativitas digunakan sebagai kerangka teori analisis strategi manipulasi femininitas tokoh utama sebagai bentuk dari mengimitasi ?yang imitasi? yang dijadikan strategi tak hanya untuk memenuhi hasrat seksual tokoh utama tapi juga untuk memanipulasi masyarakat. Analisis terhadap konsistensi narasi narator menggunakan konsep unreliable narrator yang dikemukakan oleh Booth dan dikembangkan oleh Nünning. Kesimpulan yang didapat adalah narator tidak berjarak dengan norma implied author atau wacana naratif teks sehingga dapat disimpulkan bahwa narator yang juga berperan sebagai tokoh utama hadir sebagai subyek lingustik yang dapat dipercaya untuk menarasikan kenyataan teks. Berdasarkan hasil penemuan dalam penelitian, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama berhasil bermain di simbol dan tanda-tanda femininitas untuk kemudian mengimitasinya.
ABSTRACT
This thesis discusses society?s double standard in response to female pedophilia issue criticized in Tampa. Its main character, who also takes role as the narrator, deconstructs gender discourse through her characterizations as a female pedophile. Butler?s explanation about gender as a performative act is used as a theoretical framework to analyze main character?s strategies in fulfilling her sexual desire towards 14-year-old boys. Manipulation of femininity as a form of imitating? the imitation? is taken as a strategy, not only to fulfill main character?s sexual desire, but also to manipulate society. Moreover, analysis against the consistency of narration uses unreliable narrator concept, proposed by Booth and developed by Nünning. The results show that the narrator has no distance with implied author?s norm or text?s narrative discourse. Thus, it can be concluded that the narrator is present as a linguistic subject who is capable of narrating the text?s reality. According to the findings, the main character manages to play with symbol and femininity signs to later imitate them.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S63958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Nabeela Anindhita Ariny Roboth
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kompleksitas identitas gender melalui lensa karakter Yuu Arima dalam manga Boy Meets Maria. Peneliti menerapkan teori performativitas gender yang dikemukakan oleh Judith Butler untuk memahami isu identitas gender pada karakter Yuu Arima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas gender pada karakter Yuu Arima bersifat cair, tergantung konteks, tidak tetap. Yuu Arima dapat dibaca sebagai gambaran dari keberagaman dan kompleksitas identitas gender. Perjalanan Arima dalam menemukan identitasnya tidak hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, tetapi juga merupakan eksplorasi pribadi yang membebaskannya dari konsepsi-konsepsi baku tentang gender. ......This research aims to describe the complexity of gender identity through the lens of the character Yuu Arima in the manga Boy Meets Maria. The researcher applies the theory of gender performativity proposed by Judith Butler to understand the issue of gender identity in the character Yuu Arima. The research results indicate that the gender identity of the character Yuu Arima is fluid, dependent on the context, not fixed. Yuu Arima can be read as an illustration of the diversity and complexity of gender identity. Arima's journey in finding his identity is not only to fulfill social expectations, but is also a personal exploration that frees him from standard conceptions of gender.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library