Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Abiyu Ilham Hafid
"Skripsi ini membahas mengenai konsep umum dalam penjatuhan pidana tambahan di Indonesia yang menganut postulat Ubi non est principalis, non potest esse accessories yang memiliki arti dimana tidak ada hal yang pokok, maka tidak mungkin ada hal tambahan. Namun pada praktik yang terjadi di Indonesia terdapat beberapa putusan dalam perkara tindak pidana korupsi yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti terhadap korporasi tanpa adanya pidana pokok. Korporasi yang dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti tersebut tidak dijadikan tersangka atau terdakwa dalam perkara tersebut. Jaksa Penuntut Umum biasanya menyelesaikan perkara organ terlebih dahulu dan apabila terbukti adanya keterlibatan korporasi maka korporasi langsung dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Apabila mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No 5 Tahun 2014, maka seharusnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti tidak dapat dijatuhkan tanpa adanya pidana pokok, dan tidak dapat pula dijatuhkan terhadap korporasi yang bukan tersangka atau terdakwa dalam perkara tersebut. Jika pengenaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tersebut tetap dieksekusi, maka dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran hak-hak seseorang untuk membela diri dimuka sidang atas apa yang dituduhkan kepadanya. Serta kedepannya dapat menimbulkan fenomena dimana seseorang yang diuntungkan atas perbuatan korupsi hanya dibebani untuk mengembalikan kerugian negara saja
This thesis discusses the general concepts in additional criminal charges in Indonesia which adhere to the postulate of non est principalis, non potest esse accessories, which means that there are no main points, so there is no additional matter. However, in practice in Indonesia there are a number of decisions in corruption cases that impose additional crimes in the form of payment of compensation money to corporations without the existence of a principal crime. Corporations that have been convicted of additional payment of replacement money are not suspects or defendants in the case. The Public Prosecutor usually settles the organ case first and if there is evidence of corporate involvement, the corporation will be immediately imposed with additional penalties in the form of compensation payment. When referring to the Supreme Court Regulation No. 5 of 2014, then the additional criminal payment of substitute money cannot be imposed without a principal crime, and it cannot also be imposed on a corporation that is not a suspect or defendant in the case. If the additional criminal charges in the form of payment of the substitute money continue to be executed, it is feared that there will be a violation of the rights of a person to defend himself before the trial for what is alleged to him. And in the future it can lead to a phenomenon where someone who benefits from corruption is only burdened to recover the state's losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariman Satria
"ABSTRACT
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku. "
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Galatia Manahan
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai upaya hukum pihak ketiga yang tidak diperkarakan
terhadap Putusan Pidana Tambahan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Hal ini
dikarenakan adanya kekosongan hukum yang mengatur mengenai Pihak Ketiga Yang
tidak diperkarakan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi. Skripsi ini membahas
mengenai Pihak Ketiga Yang Tidak Diperkarakan tersebut seharusnya tidak dapat
dijatuhi Pidana Tambahan Uang Pengganti.

ABSTRACT
This thesis discusses about the judicial remedy for verdict of additional punishment
which can be submitted by third party who are not prosecuted in corruption cases.
This is because of the legal vacuum regarding the third party who are not prosecuted
in corruption cases. This thesis discusses about the third party who are not prosecuted
should not be punished with additional punishment in a form of money substitute."
2016
S63956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Anindya
"Tesis ini membahas tentang tanggung jawab pribadi Direksi dalam tindak pidana korupsi, serta implikasi hukum atas terbitnya putusan pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepada Direksi terpidana korupsi suatu Perseroan terhadap piutang Perseroan kepada Negara yang timbul dari kerjasama Perseroan dengan Pemerintah. Pidana tambahan uang pengganti merupakan sanksi pidana tambahan yang dikenakan kepada terpidana korupsi dengan tujuan untuk mengembalikan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sekaligus sebagai upaya pemulihan kerugian negara. Adanya indikasi terjadinya pencatatan ganda (double counting) pada akun piutang Pemerintah, yaitu yang berasal dari piutang uang pengganti pada laporan keuangan Kejaksaan dengan piutang negara pada Perseroan yang dicatatkan oleh Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) menimbulkan suatu pertanyaan apakah pembebanan uang pengganti yang merupakan bentuk tanggung jawab pribadi Direksi atas kerugian negara dapat sekaligus menjadi bentuk tanggung jawab perseroan kepada negara yang timbul dari hubungan perdata antara Perseroan dengan Pemerintah. Disisi lain, pencatatan ganda akan menimbulkan ketidakadilan, karna Pemerintah menerima pembayaran dua kali atas suatu transaksi yang sama. Penulisan tesis ini menggunakan metode yuridis normative dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur, kemudian diolah dan dianalisa dengan metode kualitatif dan analitis deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penjatuhan sanksi pidana tambahan uang pengganti sebagai pertanggungjawaban pribadi seorang Direksi terpidana korupsi memang tidak dapat serta merta terkonversi menjadi tanggung jawab perseroan kepada Negara, namun demikian peranan pidana tambahan uang pengganti sebagai salah satu bentuk dari asset recovery dalam pertanggungjawaban pidana, membuat negara sebagai korban dari tindak pidana korupsi pada transaksi perdata dengan PT TPPI terpulihkan kerugiannya melalui penjatuhan pidana tambahan uang pengganti.

This thesis examines the personal liability of directors in corruption offenses and the legal implications of the additional penalty of compensation imposed on convicted corporate directors for the company's debt to the state arising from a coperation agreement between the company and the government. The additional penalty of compensation is an additional criminal sanction imposed on convicted corruptors. It aims to return assets obtained from the crime and recover state losses. The indication of double-counting in the government's receivables account, namely from the compensation receivable in the Prosecutor's Office's financial statements and the state debt to the company recorded by the Ministry of Finance as the General Treasurer of the State (BUN), raises the question of whether the imposition of the additional penalty of compensation, which is a form of personal liability of the director for state losses, can also be a form of corporate liability to the state arising from the civil relationship between the company and the government. On the other hand, double counting will create injustice, as the government receives payment twice for the same transaction. This thesis uses a normative juridical method with an approach to statutory regulations. Data was collected through a literature review, processed and analyzed using qualitative and descriptive-analytical methods. The research concludes that the imposition of the additional penalty of compensation as personal responsibility for a convicted corporate director cannot be automatically converted into corporate liability to the state. However, the role of the additional penalty of compensation as a form of asset recovery in criminal liability allows the state, as a victim of corruption in civil transactions with PT TPPI, to recover its losses through the imposition of the additional penalty of compensation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library