Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djokomulono
"Kebijaksanaan luar negeri Amerika dalam menghadapi krisis Teluk merupakan produk dari suatu proses pengambilan keputusan yang pada dasarnya didahului oleh konflik kelembagaan antara Presiden dan Kongres. Krisis tersebut bermula dari invasi irak atas Kuwait yang berakhir melalui proses penyelesaian dengan cara kekerasan yaitu perang. Permasalahan utama di dalam penelitian tesis adalah berkenaan dengan penggalangan Amerika pada periode pemerintah Presiden Bush yang menghasilkan kebijaksanaan melakukan perang (war policy), ditinjau dari perspektif Amerika yang dilihat pada dua dimensi, yaitu domestik dan eksternal.
Dimensi domestik Amerika ditekankan pada hubungan kepentingan politik dan kepentingan militer yang mempengaruhi proses dan hasil (output) pengambilan kebijaksanaan luar negeri serta adanya kendala kelembagaan yang dihadapi Presiden Bush terhadap Kongres. Akibatnya sebagian kebijaksanaan yang dihasilkan mendahului persetujuan Kongres, seperti pengiriman pasukan ke luar negeri dan penambahan jumlah pasukan Amerika. Termasuk kebijaksanaan yang berkenaan dengan pernyataan perang (war policy) diwarnai dengan adanya konflik kelembagaan meskipun pada akhirnya konsensus dapat dicapai.
Untuk memecahkan pokok permasalahan di dalam tesis ini digunakan teori Elit Politik dari C. Wright Mills yang pada intinya menyatakan bahwa setiap kebijaksanaan nasional yang dihasilkan dibuat oleh sekelompok kecil individu yang terdiri dari tiga kategori, yaitu birokrasi, pejabat militer dan elit ekonomi. Di dalam tesis ini peran elit ekonomi tidak memiliki pengaruh langsung atau menonjol atas kebijaksanaan yang dihasilkan, namun pada kategori birokrasi dan pejabat militer menunjukkan bukti yang kuat atas pengaruh langsung tersebut. Kategori birokrasi itu ditunjukkan dengan adanya konstelasi hubungan dan peran antara Presiden Bush dengan Kongres.
Sedangkan kategori pejabat-pejabat militer terpusat pada tingkat inner circle yang ada disekitar Presiden terutama yang berkaitan dengan mekanisme pengambiian keputusan. Pada tingkat inilah faktor-faktor pengalaman dan psikologis Presiden Bush sangat berpengaruh terhadap upaya penggalangan Amerika dalam Perang Teluk tersebut. Pengalaman politik yang luas menyebabkan ia memiliki hubungan erat dengan para pemimpin dunia, sehingga mempermudah membujuk mereka membentuk Pasukan Multinasional (multinational Forces) di luar kerangka pasukan PBB, melalui pembicaraan jarak jauh secara langsung (hot-line). Faktor psikis seperti adanya hambatan kelembagaan dengan Kongres yang dikuasai mayoritas Demokrat dan minoritas Republikan yang beraliran konservatif, menghasilkan kebijaksanaan tanpa persetujuan Kongres. Selain itu ketidakmampuan mengatasi masalahmasalah penting di dalam negeri terutama perekonomian Amerika, menyebabkan Presiden Bush memanfaatkan Perang Teluk sebagai alat politik untuk meraih dukungan publik dalam rangka kampanye pemilihan presiden periode kedua.
Pada dimensi eksternal yang dianggap "menguntungkan" terhadap segala risiko yang mungkin timbul dari kebijaksanaan pengiriman pasukan ke wilayah Teluk dan pernyataan perang Amerika, antara lain adalah memudarnya Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika; ketergantungan Republik Rakyat Cina dalam mengatasi perekonomian dalam negeri dan adanya masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menyusul peristiwa Tiannamen; serta ketersediaan beberapa negara untuk membiayai perang. Beban biaya perang yang tidak ditanggung sepenuhnya oleh Amerika merupakan salah satu alasan (economic reason) lahirnya kebijaksanaan perang."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Humairoh
"Political marketing menjadi subjek yang semakin menyita perhatian. Salah satu hal yang membuat topik ini menarik adalah karena semakin berkembangnya negative campaign pada saat melakukan political marketing. Namun sumber negative campaign bisa juga berasal dari pemberitaan negatif di media. Pemberitaan negatif di media ini yang kemudian dapat mempengaruh intention to vote dari masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji peran dari negative news dalam memoderasi party identification, political trust, political interest dan government performance terhadap intention to vote. Subjek penelitian ini adalah dampak pemberitaan negatif gubernur incumbent terhadap Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2022. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah SEM dengan menggunakan variabel moderasi. Hasil menunjukkan bahwa political interest tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap intention to vote sedangkan ke tiga variabel lainnya terbukti memiliki hubungan positif yang signifikan. Sedangkan negative news terbukti hanya memperlemah hubungan political trust dengan intention to vote incumbent. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa negative campaign terhadap incumbent melalui negative news masih terlihat belum efektif dalam melemahkan intention to vote incumbent seseorang.

The growth of negative campaign commited during marketing is one of the factors that is making political marketing topic interesting. On the other hand, the negative coverage done by the media can also be the source of negative campaign. The negative news from media can then influence public's intention to vote. Therefore, this study is aiming on examining the role of negative news in moderating party identificaiton, political trust, political interest and government performance towards interntion to vote. This study's subject is the impact of negative news towards incumbent governors on the election of the DKI Jakarta's Governer in 2022. The method used for this study is Structural Equation Model (SEM) method with moderation variable. Results shows that political interest doesn't have any significant relations towards the intention to vote. On the other side, the other three variables are proved to be positively influence intetion to vote. Meanwhile, negative news is proved to weaken the relationship between political trust and intention to vote incumbent but not in others. In conclusion, negative news is somehow still inefective in weakening one's intention to vote for incumbent."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan Al Kautsar Anky
"Kebijakan impor beras di Indonesia merupakan salah satu isu yang hangat diperdebatkan. Walaupun Presiden Joko Widodo berjanji untuk mengadakan swasembada paras, namun impor beras Indonesia pada tahun 2018 meningkat secara signifikan. Sepanjang tahun 2018, Indonesia mengeluarkan izin impor beras sebanyak tiga kali dengan total nilai impor sebesar 2,25 juta ton. Masyarakat Indonesia memiliki skeptisme akan keterlibatan kepentingan politik dan perburuan rente di dalam kebijakan impor beras tersebut. Hal tersebut disebabkan realisasi impor yang dilakukan ketika produksi domestik sedang memasuki masa panen raya. Dalam rangka menginvestigasi keberadaan kepentingan politik dan perburuan renta pada impor beras tahun 2018, penulis menggunakan metode AHP-GameTheory untuk menggambarkan preferensi pembuat kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam model tersebut, penulis melibatkan tujuh pemain yang terdiri atas Koordinasi Kementerian Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, BULOG, Pelobi, Konsumen, dan Produsen. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat apakah pemerintah menjalankan mandat masyarakatnya secara baik atau buruk. Karena kebijakan impor beras pada tahun 2018 berdampak buruk kepada pendapatan petani pada tahun 2019, penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah tidak didedikasikan penuh untuk kepentingan masyarakat. Keterlibatan kepentingan politik dan perburuan rente menyebabkan kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Indonesias rice import license could be one of the warm issues in 2018. Even though Mr. Joko Widodo, Indonesian president, has promised for rice self-sufficiency yet, Indonesia rice import in 2018 was rising dramatically. Throughout 2018, Indonesia has issued rice import license for 3 times by the total volume of 2,25 million tons. Indonesia society put their skepticism of political and rent-seeking involvement in rice import license 2018. It was caused by the publication of import license when rice domestic production is on harvesting season. In order to investigate the existence of political interest or special interest in rice import license in 2018, the writer used AHP-Game Theory to capture the decision makers preference that include intangible feeling. In the model framework, the writer puts 7 players consist of Coordination Ministry of Economy, Ministry of Trade, Ministry of Agriculture, BULOG, Lobbyist, Consumer, and Producer. The purpose of this study is to proofing does the government carry out the mandate in a good way or the government abuse the society mandates. Since the effect of rice import in 2018 harmful for producers income in 2019, the governments policy is not fully dedicated for society interest. The involvement of political and rent-seeking interest made the governments policy missing match to what society required."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
hsing Wang, Ching
"Party identification has a crucial influence on individual political attitudes and behavior. Although many past studies have identified the factors affecting individual party identification, little scholarly attention has been paid to the relationships between dispositional factors and party identification. Therefore, this study aims to examine how personality traits influence individual partisanship, that is, whether the traits of extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, and openness to experience would make individuals become partisans or independents. By using two original survey datasets, this study finds that the Big Five personality traits have no direct effects on Taiwanese people’s partisanship, but they could exert indirect effects on partisanship through political interest and strength of individual position on the independence-unification issue. Specifically, agreeableness and conscientiousness could respectively have a negative or positive indirect effect on partisanship via political interest. Besides, agreeableness and openness to experience could respectively have a negative or positive indirect effect on partisanship via individual position on the independence-unification issue. Consequently, although this study reveals no direct relationships between personality traits and partisanship, it does not necessarily mean that personality traits have nothing to do with partisanship. In fact, personality traits could indirectly influence Taiwanese people’s partisanship through the mediation of political attitudes. To sum up, this study confirms that dispositional factors could have a certain influence on Taiwanese people’s partisanship and provides a new theoretical perspective to explain Taiwanese people’s party identification. However, due to data limitations, this study only provides an exploratory analysis, and calls for future research to identify more complete relationships between personality traits and Taiwanese people’s party identification."
Taipei: Taiwan Foundation for Democracy, 2021
059 TDQ 18:4 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library