Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jihan Patiendra
"Gagasan tentang kesetaraan gender dalam industry mode sudah awam sejak dulu. Penelitian kualitatif ini menilai penggambaran gender yang terpapar pada shapewear Skims, merek pakaian yang dimiliki oleh tokoh mode Kim Kardashian. Sepanjang sejarah mode, tradisi shapewear sering kali menurunkan martabat wanita, yang berakar dari penggambaran tradisional atas maskulinitas dan feminitas. Makalah ini menelaah konsep penggambaran gender dalam shapewear Skims dengan cara analisis konten pada foto dan text di Instagram. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa Skims telah membawa perspektif baru terhadap gender dimana maskulinitas dan feminitas menjadi setara, seraya memproyeksikan kedua sifat tersebut dengan sentimen positif dengan pola yang memberdaya. Dengan demikian, genderdigambarkan sebagai pemberdayaan dan dukungan atas perempuan. 

The notion of gender equality in fashion has been prevalent since a long time ago. This qualitative research is assessing gender portrayal that appear on Skims shapewear, an undergarment brand owned by global fashion icon Kim Kardashian. Throughout the fashion history, shapewear tradition used to degrade women, which was rooted from traditional portrayal of masculinity and femininity. This paper is looking through how gender is portrayed in Skims shapewear by a content analysis on its Instagram images and text. The result suggests that Skims give out a modern perspective towards gender where it blurs the line between masculinity and femininity, while both traits project positive sentiment in empowering tone. Thus, gender is portrayed as empowerment and support for women."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah
"Jurnal ini membahas amanat dan penggambaran tokoh katak hijau dalam fabel ?굴개굴개 청개구리? (Gulgaegulgae Cheonggaeguri, Nyanyian Katak Hijau). Fabel yang fenomenal baik dalam negerinya sendiri, di Korea, maupun secara global dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa ini bercerita mengenai seekor katak hijau yang tidak pernah mendengarkan perkataan ibunya sehingga menyebabkan ibunya sakit keras dan meninggal. Katak hijau kemudian menyesali perbuatannya. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode deskriptif-kualitatif dalam menganalisis amanat dan penggambaran tokoh katak hijau itu sendiri. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa fabel Gulgaegulgae Cheonggaeguri memiliki amanat yang berkaitan dengan nilai-nilai Konfusianisme yang sangat kental di Korea pada awal abad ke-16 hingga abad ke-17, di antaranya adalah berbakti kepada orang tua dan mengikuti norma yang terdapat dalam masyarakat. Tokoh katak hijau sendiri digunakan karena fabel ini difokuskan pada segmen pembaca anak-anak. Katak hijau yang mudah dijumpai di alam sekitar, memiliki keunikan perilaku dan warna yang mencolok sehingga menarik bagi anak-anak.

This journal discusses a message and a portrayal of a character which is green frog in a fable called '굴 개굴 개 청개구리' (Gulgaegulgae Cheonggaeguri, The Singing Green Frog). This fable well-known in Korea and the world and it has been translated into several languages. The story is about a green frog who never listen to his mother and causes his mother?s illness and death. After that he regrets everything. The method used in this journal is a descriptive-qualitative method. To analyse the message and the portrayal of a green frog. The conclusion from this study indicates that the fable Gulgaegulgae Cheonggaeguri has a message related to the Confucian values, which were very strong in Korea in the early 16th century until the 17th century. The values were to respect parents and to follow the norms in society. Then the green frog is used in this story because it is created for children. While the green frog figure it is used in fable because it focuses on the segment of children readers. Green frogs are easily found everywhere and they also have a unique behaviours and colour which attractive for children."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Enggar Rakhmatiyas
"Seni populer memiliki peran yang sangat diperlukan dalam menyebarkan pemahaman tentang gangguan psikologis. Makalah ini bertujuan untuk melihat apakah penggambaran May dalam film 27 Steps of May (2019) sudah cukup baik dalam menggambarkan seseorang yang menderita Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Ia dianalisis dengan melihat elemen visual seperti penggunaan warna, pemilihan busana, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan teknik sinematografi. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan semiotika, makalah ini menganalisis makna dari setiap elemen visual menggunakan teori Barthes `Three Orders of Signification` (1972). Analisis dilanjutkan dengan melihat keterkaitan antara PTSD-nya dengan elemen visual dan menganalisis apakah penggambaran media ini akurat atau tidak. Penggunaan warna, gaya rambut, pemilihan pakaian, unsur sinematografi, ekspresi wajah, dan gerak tubuh dilihat dari tingkat denotasi, konotasi, dan mitosnya secara berurutan. Temuan menunjukkan bahwa penggunaan elemen visual mengindikasikan May sebagai seseorang yang depresi, kesepian, ketakutan, kurang dominan, dan terisolasi. Sifat-sifat ini menunjukkan gejala penderita PTSD, yang menyatakan bahwa penggambaran identitas dalam film ini akurat. Dari temuan tersebut, masing-masing elemen visual menyampaikan makna yang membangun ciri khas May dan terdapat keterkaitan antara penggambaran May melalui elemen visual dengan PTSD-nya. Temuan ini kemudian menambah kontribusi baru di bidang semiotika dan psikologi dengan menganalisis tokoh film diam yang menderita PTSD dengan pendekatan semiotika

Popular art has an indispensable role in disseminating an understanding about psychological disorders. This paper aims to see if the portrayal of May in the film 27 Steps of May (2019) is a good enough rendering of a person suffering from Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). She is analysed by looking at the visual elements, such as the use of colours, fashion selection, facial expressions, body gestures, and cinematography techniques. Using the descriptive qualitative method and semiotics approach, this paper analyses the meanings of each visual element using Barthes` theory `Three Orders of Signification` (1972). The analysis is continued by seeing any relation between her PTSD with the visual elements and analysing whether the media portrayals are accurate or not. The use of colours, hairstyle, clothes selection, cinematography elements, facial expressions, and body gestures are looked at from the level of denotation, connotation, and myth respectively. The findings show that the use of visual elements indicates May as someone who is depressed, lonely, fearful, less dominant, and isolated. These qualities indicate the symptoms of a PTSD sufferer, which shows that the identity portrayals in this film are accurate. From the findings, each visual element delivers meanings which build the characteristics of May, and there is a relation between the portrayal of May through visual elements with her PTSD. These findings, then, add a new contribution to semiotics and psychology field by analysing a silent film character suffering from PTSD with semiotics approach"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sarumpaet, Riris Kusumawati
2002
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Nisrina
"Penelitian ini bertujuan menggambarkan karakter wanita di film-film orisinil Netflix. Ada beberapa gerakan perempuan yang telah muncul di industri film, namun masih banyak masalah mengenai peran perempuan di dalam industri ini. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis bagaimana karakter dan peran wanita sesuai jenis kelaminnya dan menggolongkannya ke dalam dua kategori, yaitu sifat maskulin dan feminin. Ppenelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif, yaitu analisis konten.

This paper is about the portrayal of women in Netflix Original movies. There have been several movements of women empowerment in the film industry, however some are inapparent as there are still numerous issues rising on women`s roles in the industry. Therefore, this study sheds light on how female characters behave in accordance to their gender and be interpreted into two categories, masculine and feminine traits. Based on Muted-Group Theory, this study was carried out by using a quantitative method on content analysis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sarumpaet, Riris Kusumawati
"Penelitian ini hendak mengenali citra orang Indonesia seperti tampak dalam bacaan anak terbitan Ameriksa Serikat dan memfokuskan perhatiannya pada nada evaluatif dan keakuratan penggambarannya. Sembilan belas buku (tujuh fi ksi, delapan non-fi ksi, dan empat cerita rakyat) tentang Indonesia yang diterbitkan antara 1960 dan 1980 menjadi sampel penelitian. Untuk menemukan penggambaran orang Indonesia dalam bacaan anak secara kuantitatif, digunakan instrumen Evaluation Coeffi cient Analysis, dan analisis kualitatifnya dilaksanakan dengan menggunakan tiga kriteria evaluasi. Analisis data menunjukkan bahwa secara kuantitatif, buku yang diteliti umumnya menggambarkan Indonesia dengan positif. Namun secara kualitatif, enam buku menggunakan bias barat dalam mengukur dan menggambarkan orang Indonesia, serta mempresentasikan Indonesia dengan nada yang negatif. Cerita dan informasi sangat dikuasai oleh dan tentang hal yang eksotik dan indah belaka. Beberapa buku yang sebenarnya baik diracuni overgeneralisasi, ukuran stereotip, dan ketidakakuratan dalam teks, ilustrasi, dan caption.

Children?s books about Indonesia published in the United States 1960-1980. The purpose of this study was to look at the image of Indonesia as presented in children?s literature published in the United States. The study focused upon the evaluative tone and the accuracy with which people in Indonesia are portrayed. Nineteen books (seven fi ctions, eight non-fi ctions, and four folktales) about Indonesia published between 1960 and 1980 constituted the sample of this study. In order to assess the quantitative portrayal of Indonesians in children?s books, the Evaluation Coeffi cient Analysis was used. A qualitative analysis was done using three evaluative criteria. The analysis of the data revealed that quantitatively, the books studied generally were positive in dealing with the image of Indonesians. Qualitatively, the fi ndings were interesting. Six books contained strong Western bias in measuring and depicting Indonesian people, and presenting the country in a negative tone as well. Stories and information about the picturesque and exotic predominated. Some otherwise fi ne books were spoiled by overgeneralization, stereotyping and inaccuracies in the text, illustration, and caption."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Maura Aprilia D`Yona
"Film dapat menjadi sebuah media yang membantu penontonnya mengatasi ketakutan mereka terhadap kematian, juga meminimalisasi stigmatisasi negatif terkait topik tersebut. Penulis mengusulkan bahwa film dan kemampuannya untuk menceritakan sesuatu dapat mengubah kematian menjadi sebuah subyek yang dapat dibicarakan secara terbuka. Penulis melihat bahwa dua film Tim Burton, Corpse Bride (2005) dan Frankenweenie (2012), telah berdiskusi tentang kematian secara kasual. Tulisan ini membandingkan bagaimana kedua film membahas kematian. Tulisan ini juga meneliti bagaimana film Burton menggunakan latar spesifik dan aliansi antara karakter yang hidup dan mati untuk menormalisasi topik kematian. Dengan menggunakan metode analisis teks kualitatif, tulisan ini berusaha membuktikan bahwa film tersebut menormalisasi isu kematian dalam film dengan menggambarkan kematian secara tidak realistis dan berusaha mendorong dibukanya ruang diskusi tentang kematian yang kasual dengan mengulang konflik yang sama di kedua film. Film-film tersebut juga menormalisasi topik kematian dengan menciptakan dunia fiksi yang menerima keberadaan makhluk yang sudah mati dan hubungan mereka dengan makhluk hidup. Terakhir, tulisan ini membahas karakter yang diasingkan dari masyarakat yang digambarkan sebagai pahlawan karena mau menerima keberadaan makhluk yang sudah mati.

Films can be a method to help people cope with their fear of death and minimize the negative stigmatizations surrounding the topic. The writer proposes that film and its ability to tell a story is capable of making death a subject that can openly be talked about. The writer notices two of Tim Burton’s movies, Corpse Bride (2005) and Frankenweenie (2012), are discussing death casually. The article compares how the two movies discuss death. The article also examines why Burton’s films use specific settings and the alliance between the living and the dead characters to normalize death. Using qualitative textual analysis as a method, this article argues that the movies normalize the issues by portraying death unrealistically and encouraging to talk about death casually by using the same conflict in the two movies. The films also try to normalize death by creating a fictional world that is accepting of dead creatures and their contact with the living. Lastly, the article discusses that the characters alienated in their society are portrayed as the hero for accepting dead creatures."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Mediutami Putri
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggambaran perempuan setelah ditetapkannya Hari Perempuan Internasional (Weltfrauentag) dalam dua ilustrasi online yang dimuat pada dua portal ilustrasi online di Jerman, yaitu toonpool.de dan ce-comico.de. Metode penelitian yang digunakan berupa metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Analisis ini menggunakan teori analisis wacana kritis model Sara Mills dan teori semiotik milik Charles Sanders Peirce. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran perempuan dalam media baru berupa ilustrasi online telah mengalami perubahan secara perlahan. Meskipun, penggambaran perempuan dalam dua ilustrasi online tersebut tidak dapat
dengan mudah dipisahkan unsur domestik (sapu, pel dan ember pembersih).

ABSTRACT
The purpose of this research was to find out how the portrayal of women after the establishment of international women s day (Weltfrauentag) in two online illustrations that loaded on two online illustration portal in Germany, i.e. toonpool.de and ce-comico.de. This research methodology is qualitative method that is written by descriptive analysis with the approach of the study of literature. This research used Sara Mills s critical discourse analysis and semiotic theory by Charles Sanders Peirce. The research found that the portrayal of women in the new media in the form of illustrated online has changed slowly. Although, the portrayal of women in two online illustration cannot be easily separated from the domestic items (brooms, mops and buckets of cleanser)."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Bintang Sulaiman
"Breaking Bad AMC, 2008-103 , sebuah drama seri televisi yang menceritakan seorang tokoh utama yang bernama Walter White. Walter adalah seseorang pria keluarga yang berwatak halus dan santun dan pada akhirnya berubah menjadi seorang kriminal yang kejam. Dia memiliki tujuan untuk menyokong finansial keluarganya dan juga untuk membuktikan ke laki-lakiannya. Dari Breaking Bad, dapat dilihat bagaimana konsep hegemoni maskulinitas berkorelasi kepada kekerasan yang merepresentasikan toxic masculinity. Tujuan dari riset ini adalah untuk menunjukan dan mengidentifikasi bagaimana Walter White merepresentasikan bahwa hegemoni maskulinitas bisa merusak hubungan dalam keluarga dan juga hubungan kepada publik atau orang disekitarnya. Diremehkan sebagai pria dari orang sekitarnya mengarahkan saya untuk mengkontekstualisasi Walter White sebagai studi kasus dan representasi konvensional seorang pria yang tertekan akan sebuah standar sosial tentang bagaimana menjadi pria lsquo;sejati rsquo;. Aspek yang di eksplorasi dari riset ini adalah karakterisasi dari Walter White yang mencakup kepribadian, peran sosial, dan interaksi dengan orang di sekitarnya. Riset-riset sebelumnya berfokus pada Breaking Bad adalah tentang argumentasi dan membuktikan bahwa maskulinitas Walter White adalah hasil dari konstruksi sosial dan sebagai kritik terhadap maskulinitas. Belum ada riset yang membahas tentang toxic masculinity yang direpresentasikan oleh Walter White di serial televisi ini. Riset ini mengungkapkan elemen-elemen karakteristik Walter White yang menggambarkan konsep tentang toxic masculinity sebagai akibat dari tidak tercapainya standar maskulinitas pria yang dimana Walter merasa terpinggirkan karena tidak menjadi sosok pria yang ideal dan sesuai standar ekspektasi sosial.

Breaking Bad AMC, 2008-2013 , a crime drama television series that told a story of Walter White, a mild-mannered and underachieving family man who later became a violent criminal drug kingpin in order to fulfill his family financial future as well as his manliness. From Breaking Bad, we can see how the concept of hegemonic masculinity links men towards violence that represents toxic masculinity. The goal of this research is to show and examined how Walter White portrayed hegemonic masculinity can be destructive for a man rsquo;s public and domestic matters. The emasculation of Walter White by his public and domestic matters leads me to contextualize the character of Walter White as a case study and as a conventional representation of men who are oppressed by the pervasive idea of how a man is supposed to be. The aspects explored were Walter White rsquo;s characteristic that includes personality traits, social roles, and interaction between his public and domestic affairs. Previous research focused on Breaking Bad were to argue and examine how Walter rsquo;s masculinity is constructed and as a critique of masculinity. Due to lack of study that examined the consequences of toxic masculinity that is represented through Walter White, this research reveal the characteristic elements of Walter White immaculately depicted the concept of toxic masculinity as result of marginalized ways of being a man."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library