Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rohani Agustini
Abstrak :
Hiperglikemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nefropati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2. American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan albumin-to-creatinine ratio (ACR) setiap tahun untuk mendeteksi adanya nefropati diabetik. Pemeriksaan 1,5-anhydroglucitol (1,5-AG) merupakan salah satu pemeriksaan untuk monitoring kontrol glikemik. 1,5-AG merupakan penanda yang lebih sensitif untuk mengetahui adanya fluktuasi glukosa dan hiperglikemia postprandial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia yang terjadi secara intermiten lebih merusak endotel dibandingkan hiperglikemia yang stabil. Desain studi pada penelitian ini adalah potong lintang. Pada penelitian ini dilakukan analisis statistik untuk mendapatkan hubungan 1,5-AG dan HbA1c, 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP, area under curve dan titik potong 1,5-AG sebagai indikator kontrol glikemik, dan perbedaan median kadar 1,5-AG serta HbA1c pada pasien dengan ACR < 30 mg/g dan ≥ 30 mg/g. Hasil penelitian ini didapatkan koefisien korelasi Spearman antara kadar 1,5-AG dan HbA1c pada pasien DMT2 adalah -0,74 (p<0,001), sedangkan nilai koefisien korelasi antara kadar 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP pada pasien diabetes melitus tipe adalah -0,45 (p<0,001). Luas area under curve 1,5-AG sebagai indikator kontrol glikemik sebesar 87,1%. Titik potong 1,5-AG untuk indikator kontrol glikemik adalah 10,7 μg/mL. Pasien DMT2 dengan kadar ACR ≥ 30 mg/g memiliki median kadar 1,5-AG yang lebih rendah (6,4 μg/mL) dibandingkan pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g (median kadar 1,5-AG 12,4 μg/mL), p = 0,007. Terdapat perbedaan median kadar HbA1c yang bermakna (p<0,001) pada pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g dan ACR ≥ 30 mg/g. Pasien DMT2 dengan kadar ACR ≥ 30 mg/g memiliki median kadar HbA1c yang lebih tinggi (7,9%) dibandingkan kadar HbA1c pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g (6,9%). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan terdapat korelasi negatif kuat bermakna antara 1,5-AG dan HbA1c; dan korelasi negatif sedang bermakna antara 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP. Terdapat perbedaan rerata kadar 1,5-AG dan HbA1c yang bermakna antara pasien diabetes melitus dengan ACR < 30 mg/g dan ≥ 30 mg/g. Titik potong 1,5-AG yang direkomendasikan sebagai indikator kontrol glikemik adalah 10,7 μg/mL.
Hyperglycemia is one of the risk factors for diabetic nephropathy in type 2 diabetes mellitus patients. American Diabetes Association (ADA) recommended annual albumin-tocreatinine ratio (ACR) screening to detect the presence of diabetic nephropathy. 1,5-anhydroglucitol (1,5-AG) is one of the parameters for monitoring glycemic control. 1,5-AG is a more sensitive marker to detect glucose fluctuations and postprandial hyperglycemia. Previous studies showed that intermittent hyperglycemia is more damaging to endothelials than stable hyperglycemia. The study design was cross sectional. In this study, the statistical analysis was performed to obtain the association between 1,5-AG and HbA1c, 1,5-AG and 2-hour postprandial blood glucose; the area under curve and the cutoff of 1,5-AG as an indicator of glycemic control; and the median difference of 1,5-AG and HbA1c value from patients with ACR <30 mg/g and ≥ 30 mg/g. In this study, the coefficient of correlation between the value of 1,5-AG and HbA1c in patients with T2DM is -0,74 (p<0,001), while the coefficient of correlation between 1,5-AG and 2-hour postprandial blood glucose in patients with diabetes mellitus type is -0,45 (p<0,001). The area under curve of 1,5-AG as a glycemic control indicator is 87,1%. The 1,5-AG cutoff point for the glycemic control indicator is 10,7 μg/mL. Patients with T2DM with ACR levels ≥30 mg/g had significantly lower median value of 1,5-AG (6,4 μg/mL) than patients with T2DM with ACR <30 mg/g (12,4 μg/mL). There was significant difference in median HbA1c value from patients with T2DM with ACR <30 mg/g and ≥ 30 mg/g. Patients with T2DM with ACR levels ≥30 mg/g had higher median HbA1c value (7,9%) than HbA1c patients with T2DM with ACR <30 mg/g (6,9%). In this study concluded that the there was a strong and significant negative correlation between 1.5-AG and HbA1c and a moderate and significant negative correlation between 1.5-AG and 2-hour postprandial blood glucose. There was a significant difference of median value of 1,5-AG and HbA1c between patients with diabetes mellitus and ACR <30 mg/g and ACR ≥ 30 mg/g. The cutoff of 1,5-AG which was recommended as a glycemic control indicator was 10,7 μg/mL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Pemberian kombinasi ekstrak phaseolus vulgaris dosis 1500 mg dan akar bose dosis 50 mg menghasilkan penurunan kadar glukosa posprandial yang tidak bermakna jika dibandingkan pemberian 50 mg akarbose saja.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Irawati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian minuman teh hijau setelah konsumsi makanan tinggi lemak dalam bentuk makanan cepat saji, terhadap perubahan kadar TNFα serum sebagai penanda inflamasi postprandial dibandingkan dengan air putih. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over, alokasi acak, tersamar tunggal yang dilakukan pada individu sehat berusia 18?24 tahun di FKUI Jakarta, bulan Maret hingga April 2013. Sebanyak 20 orang menjadi subyek penelitian setelah melalui proses seleksi dan pemilihan subyek dengan simple random sampling, 1 orang subyek drop out, sehingga 19 orang subyek mengikuti penelitian hingga selesai. Data yang diperoleh meliputi usia, jenis kelamin, asupan energi dan lemak dengan metode food record 3x24 jam, serta kadar TNFα serum pada keadaan baseline dan 2 jam postprandial dengan menggunakan metode ELISA. Didapatkan sebagian besar subyek penelitian berjenis kelamin perempuan (57,9%), dengan median usia subyek adalah 20 tahun (19 ? 22 tahun). Persentase konsumsi lemak harian adalah sebesar 32,46 ± 5,2 persen lemak dan rerata asupan lemak sebesar 58,59 ± 15,21 gram per hari. Pada kedua kelompok perlakuan terdapat penurunan kadar TNFα serum postprandial yang signifikan, yaitu sebesar 15,8% dengan median -0,16 (- 0,48 ? 0,38) pg/mL pada kelompok teh hijau dan sebesar 6,9% dengan median - 0,07 (-1,02 ? 0,1) pg/mL pada kelompok air putih. Tidak didapatkan perbedaan perubahan kadar TNFα serum yang bermakna antara subyek yang diberi minuman teh hijau dengan air putih setelah pemberian makanan tinggi lemak (p=0,533).
ABSTRACT
The objective of this study is to know the effect of green tea consumption after high fat meal on the difference (delta) of serum TNFα as the marker of postprandial inflammation, compared to water consumption. This is an experimental, randomized, single blind, cross over study on healthy adult 18?24 years of age in FKUI Jakarta, March to April 2013. Twenty people become the subjects of this study after the selection and simple random sampling process. One subject was dropped out from the study, so 19 subjects completed the study. Data collected in this study are age, sex, energy and fat intake using 3x 24 hours food record, and serum TNFα baseline and 2 hours postprandial using ELISA method. Most of the study subject are female with the percentage of 57,9%, and the median age is 20 years old (19?20 years old). Daily fat consumption of the study subjects is 32,46 ± 5,2 % , with the mean of 58,69 ± 15,21 grams fat per day. In both study group, there are significant decreasing serum TNFα level, as much as 15,8% with median -0,16 (-0,48 ? 0,38) pg/mL in green tea group and 6,9% with median -0,07 (-1,02 ? 0,1) pg/mL in water group. There is no significant difference on serum TNFα level between two groups (p=0,53
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frisca
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pemberian teh putih dengan teh hijau pasca konsumsi makanan tinggi lemak terhadap perubahan kadar malondialdehida MDA plasma pada subjek hipertrigliseridemia borderline. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain cross over, alokasi acak, tersamar ganda. Subjek yang diteliti sebanyak 18 orang adalah subjek pekerja kantor dengan hipertrigliseridemia borderline berusia 20-55 tahun di tiga perusahaan di Jakarta. Intervensi yang diberikan berupa minuman dengan 7,5 gram teh putih dan 7,5 gram teh hijau, masing-masing dalam 200 ml air dengan suhu 95-100oC dan penyeduhan selama 10 menit. Minuman teh putih maupun teh hijau dikonsumsi setelah subjek mengonsumsi makanan tinggi lemak. Kadar MDA plasma diukur sebelum dan 4 jam setelah intervensi. Usia rata-rata subjek adalah 33,94 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki dan memiliki status gizi obesitas I. Proporsi asupan lemak harian subjek melebih batas jumlah konsumsi yang dianjurkan yaitu 34 . Asupan karotenoid, vitamin C dan vitamin E subjek lebih rendah dari jumlah yang direkomendasikan.Terdapat perbedaan yang bermakna pada perubahan kadar MDA plasma 4 jam setelah konsumsi makanan tinggi lemak pada pemberian 7,5 gram teh putih dalam 200 mL air dibandingkan dengan pemberian teh hijau p=0,01 .
ABSTRACT
Abstract The objective of this study was to compare the effect of white tea to green tea after high fat food consumption on malondialdehyde MDA plasma level in borderline hypertriglyceridemia subjects. This is a randomized, experimental, cross over design with random allocation, double blind trial. There are 18 subjects consist of 14 male office workers ranging from 20 55 years old with borderline hypertriglyceridemia from three companies. Intervention is provided in the form of 7.5 grams green tea and 7.5 grams white tea each in 200 ml of water with a temperature of 95 100 C and brewed after 10 minutes. White tea and green tea were given after subjects consumed high fat food. Blood samples were collected pre meal and 4 hours post meal and assayed for MDA. The results showed that 10 out of 18 people were obese type I. The proportion of subjects daily fat intake were 34 which exceeds the limit of consumption recommended. On the contrary, the intake of carotenoids, vitamin C and vitamin E subjects are lower than the amount recommended. There were significant differences in the changes of MDA plasma level four hours after the consumption of high fat food in the supplementation of white tea compared to green tea p 0.01 .
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wafa
Abstrak :
ABSTRAK
Diabetes melitus adalah salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan 4% kematian di Indonesia. Efektivitas obat antidiabetes tipe 2 biasanya dilihat dari nilai HbA1c yang mencerminkan rata-rata glukosa darah pasien, glukosa darah 2 jam postprandial dan glukosa darah puasa. Terapi diabetes melitus tipe 2 memiliki berbagai pola terapi kombinasi. Terapi yang berbeda akan memberikan efektivitas yang berbeda pula. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi kombinasi metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose terhadap parameter glikemik pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu nilai HbA1c, glukosa darah 2 jam postprandial dan glukosa darah puasa. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan pengumpulan data primer dan sekunder menggunakan teknik total population sampling. Data primer yang digunakan adalah hasil pengisian kuesioner dan data sekunder didapatkan dari rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara responden yang menggunakan metformin-sulfonilurea dibandingkan dengan responden yang menggunakan metformin-akarbose terhadap perubahan nilai HbA1c (p value=0.060). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose dengan nilai glukosa darah 2 jam postprandial akhir (p value=0.655) dan nilai glukosa darah puasa akhir (p value=0.460). Variabel olahraga mempengaruhi efektivitas metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose terhadap perubahan nilai HbA1c, variabel jenis kelamin terhadap perubahan nilai glukosa darah 2 jam postprandial dan variabel diet terhadap perubahan nilai glukosa darah puasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan efektivitas antara terapi kombinasi metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose.
ABSTRACT
Diabetes mellitus is an uninfectious disease that causes 4% of deaths in Indonesia. The effectiveness of type 2 antidiabetic drugs is usually seen from the HbA1c value that reflects the patient's average blood glucose, 2-hour postprandial blood glucose and fasting blood glucose. Type 2 diabetes mellitus therapy has various combination therapy patterns. Different therapies will provide different effectiveness. This study aims to compare the effectiveness of metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose combination therapy on glycemic parameters of type 2 diabetes mellitus patients, namely HbA1c value, postprandial 2 hours blood glucose and fasting blood glucose. This research is a retrospective cohort study with primary and secondary data collection using purposive sampling technique. Primary data used are the results of filling out the questionnaire and secondary data obtained from medical records and hospital information systems. The analysis showed that there was no significant difference between respondents who used metformin-sulfonylurea compared with respondents who used metformin-acarbose to changes in the HbA1c value (p value=0.060). The analysis also showed that there was no significant relationship between metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose with 2 hours postprandial blood glucose value (p value=0.655) and fasting blood glucose value (p value=0.460). Sports variable affects the effectiveness of metformin-sulfonylureas and metformin-acarbose on changes in HbA1c values, gender variable on changes in postprandial 2 hours blood glucose values and dietary variable on changes in fasting blood glucose values. The conclusion of this study is that the effectiveness comparison of metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose combination therapy is not significant.
2019
T55013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumalun, Victor Larry Eduard
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumsi beras merah pecah kulit terhadap kadar malondialdehida plasma postprandial setelah makan makanan tinggi lemak pada individu dewasa sehat. Desain penelitian ini adalah desain uji klinis, cross over, tersamar tunggal. Penelitian ini melibatkan 13 subyek: 8 laki-laki dan 5 perempuan, dengan rerata usia 38,3 ± 6,7 tahun. Subyek penelitian diberikan makanan tinggi lemak dalam tiga waktu makan, yaitu makan pagi, makan siang, dan snack di antara dua waktu makan tersebut, dan diberikan juga nasi dari beras merah pecah kulit atau nasi dari beras putih sebagai kontrol. Total lemak yang diberikan sebesar 140 g. Kadar MDA plasma diukur pada basal, 2 jam, dan 3 jam setelah makan siang. Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan terjadinya stres oksidatif postprandial yang lebih rendah pada kelompok yang diberikan nasi dari beras merah pecah kulit dibandingkan dengan kelompok yang diberikan nasi dari beras putih pada jam kedua dan ketiga postprandial walaupun tidak bermakna secara statistika (p > 0,05). Penelitian ini menunjukkan adanya tendensi konsumsi beras merah pecah kulit dapat menurunkan stres oksidatif postprandial yang terjadi setelah mengonsumsi makanan tinggi lemak, pada orang dewasa sehat.
ABSTRACT
The objective of this study was to evaluate the effect of whole red rice on postprandial plasma MDA concentrations after a high-fat meal intake in healthy adults. This is a clinical trial, cross over, single blind design which involved 13 subject, 8 men, and 5 women, with aged was 38,3 ± 6,7 years old. The subjects were given high fat meal for breakfast, lunch, and snacking between them. For each breakfast and lunch, the subjects were given rice from whole red rice or white rice as a control. Totally, the fat contents was 140 g. Blood samples for plasma MDA were assesed at baseline, 2 hours, and 3 hours after lunch. This study indicate a tendency in which whole red rice did lower degree of postprandial oxidative stress than white rice on two or three hours postprandial although no statistically significant (p > 0,05). The results of this pilot study shows a trend that intake of whole red rice may decreased postprandial oxidative stress that occur after intake of high fat meal in healthy adults.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolla Permata
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perubahan kadar trigliserida (TG) serum postprandial setelah 2 jam dan 4 jam pemberian konsumsi satu butir telur omega-3 dibandingkan dengan telur ayam biasa. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over, alokasi acak, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap individu sehat berusia 19-24 tahun di FKUI Jakarta, bulan September 2013. Berdasarkan kriteria penelitian, didapat 24 orang subyek yang dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 12 orang. Data yang diperoleh meliputi sebaran dan karakteristik subyek, asupan lemak, karbohidrat, kolesterol dan polyunsaturated fatty acid (PUFA), serta kadar TG serum awal, 2 jam dan 4 jam postprandial. Analisis data menggunakan uji t berpasangan dan Wilcoxon. Median usia subyek penelitian adalah 21 tahun dan sebagian besar subyek penelitian ini adalah laki-laki yaitu 15 orang dari total 24 orang. Rerata IMT subyek termasuk ke dalam kategori normal untuk Asia Pasifik. Asupan karbohidrat antar kedua kelompok pada periode run in tidak berbeda bermakna (p = 0,30) begitupun pada periode wash out (p = 0,44). Asupan lemak subyek kedua kelompok pada periode run in tidak berbeda bermakna (p = 0,74) dan pada periode wash out juga tidak berbeda bermakna (p = 0,85). Asupan kolesterol pada subyek melebihi jumlah anjuran dan jumlah asupan PUFA di bawah nilai anjuran. Perubahan kadar TG serum 2 jam postprandial pada kelompok perlakuan telur omega-3 yaitu -2,79±13,86 mg/dL sedangkan pada kelompok kontrol telur ayam biasa 4,38±10,07 mg/dL. Terdapat perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok (p = 0,03). Perubahan kadar TG serum 4 jam postprandial antar kedua kelompok juga terdapat perbedaan bermakna (p = 0,04) yaitu pada kelompok perlakuan 0,00(-38-57) mg/dL dan pada kelompok kontrol 6,00±13,25 mg/dL. Dari penelitian ini disimpulkan pengaruh konsumsi satu butir telur omega-3 lebih baik dibandingkan satu butir telur ayam biasa terhadap kadar TG serum postprandial.
The objective of this study was to evaluate the change of 2 and 4 hours postprandial triglycerides serum after given an omega-3 egg compared with an ordinary egg in healthy young adult. This is an experimental, randomized, single blind, cross over study on healthy young adult 19-24 years of age in FKUI Jakarta, September. By study criteria, 24 subjects were randomly allocated to one of two groups, 12 subjects for each group. Data collected in this study consist of subject distribution and characteristic, intake of carbohydrate, fat, cholesterol, polyunsaturated fatty acids (PUFA) and triglycerides serum, that were assessed before treatment, 2 hours and 4 hours after. The statistical analyses used dependent t-test and Wilcoxon. Median of age in subject is 21 years and 15 subjects of the study are male . BMI of study subjecst is in normal category for Asia Pacific. The carbohydrate intakes between both groups in 'run in period' are not significantly different (p = 0.30) and also in 'wash out period' (p = 0,44). Intakes of fat between both groups are also not significantly different in 'run in period' (p = 0,74) and 'wash out period' (p = 0,85). Cholesterol intake in both groups was higher than recommendation, and PUFA lower than recommendation. Changes of 2 hours postprandial triglycerides serum in omega-3 group (treatment) is -2,79±13,86 mg/dL and in ordinary egg group (control) is 4,38±10,07 mg/dL. There is significantly different in both groups (p = 0,03). Changes of 4 hours postprandial triglycerides serum in both groups is also significantly different (p = 0,04) which is in treatment group is 0,00(-38-57) mg/dL and in control group is 6,00±13,25 mg/dL. The conclusion from this study is the effect of an omega-3 egg consumption is better than an ordinary egg consumption on postprandial TG serum.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trismiyanti
Abstrak :
Kadar trigliserida (TG) darah postprandial yang tinggi merupakan satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Minuman teh hijau dapat membantu menurunkan peningkatan kadar TG darah postprandial melalui penghambatan absorpsi lemak di lumen usus. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perubahan kadar TG darah postprandial antara kelompok perlakuan (KP) yang mendapat makanan tinggi lemak dan 200 mL minuman teh hijau (7328,29 mg katekin) dibandingkan dengan kelompok kontrol (KK) yang mendapatkan makanan tinggi lemak dan air putih (0 mg katekin), merupakan uji klinis dengan desain paralel, alokasi acak, tersamar tunggal, dilakukan terhadap 40 orang mahasiswi sehat. Data yang diperoleh meliputi karakteristik subjek serta kadar trigliserida darah puasa, dua, dan empat jam postprandial. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan. Rerata usia subjek penelitian adalah 20 tahun dengan rerata IMT subjek termasuk kategori normal untuk Asia Pasifik. Kadar TG darah empat jam postprandial pada KP didapatkan lebih rendah (88,26 ± 23,47 mg/dL) secara signifikan (p = 0,03) dibandingkan KK (107,84 ± 30,49 mg/dL). Perubahan kadar TG darah empat jam postprandial kedua kelompok juga terdapat perbedaan bermakna (p = 0,02), pada KP 18,26 ±12,75 mg/dL sedangkan KK 33,05 ± 22,86 mg/dL. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa peningkatan kadar TG darah empat jam postprandial didapatkan lebih rendah pada subjek yang mengonsumsi minuman teh hijau dibandingkan air putih. ......The elevated level of postprandial blood triglycerides (TG) may be a risk factor for cardiovascular disease. Green tea catechins is believed to lower the postprandial blood TG level by inhibiting intestinal absorption of dietary fat. The aim of this study was to evaluate the changes of two and four hours postprandial blood TG levels after given high fat meal with green tea beverage (738,29 mg catechins) compared with water (0 mg catechins) in healthy college student girls. This is a clinical trial with a parallel design, randomized allocation, single blind study conducted on 40 healthy college student girls. Data obtained include subject characteristics, blood TG levels, that were assessed before treatment, two and four hours after. The statistical analyses used independent t-test. The mean age of study subject is 20 years with a mean BMI of subjects fall in to normal category for the Asia Pacific region. Consentrations of four hours postprandial blood TG in green tea group (treatment) is 88,26 ± 23,47 mg/dL and in water group (control) is 107,84 ±30,49 mg/dL. There is significantly different in both groups (p = 0,03). Changes of four hours postprandial blood TG in both groups is also significantly different (p = 0,02) which is in treatment group is 18,26 ±12,75 mg/dL and 33,05 ± 22,86 mg/dL in control group. This study suggests that the increase in blood TG levels obtained four hours postprandial were lower in subjects who consumed tea beverage than plain water.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Sakti Dwi Permanasari
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan tinggi lemak yang dikonsumsi bersamaan dengan teh putih atau teh hijau terhadap kadar trigliserida serum pasca prandial. Penelitian ini menggunakan desain uji klinis, alokasi acak, cross over, dan tersamar ganda. Sebanyak 23 subjek hipertrigliseridemia borderline mengikuti penelitian dan mendapatkan dua kali perlakuan, yaitu mengonsumsi makanan tinggi lemak bersamaan dengan 7,5 gram teh putih atau teh hijau. Perlakuan dilakukan dalam dua hari dengan periode wash out 3 hari. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik subjek, asupan energi dan lemak, serta kadar trigliserida serum puasa dan pasca prandial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia subjek adalah 32,96 8,04 tahun dengan rerata IMT sebesar 26,23 3,62 kg/m2 yang termasuk dalam kategori overweight dan obesitas 1. Kadar trigliserida puasa tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok perlakuan p=0,079 . Hasil dari pengukuran kadar trigliserida serum pasca prandial pada kelompok teh putih lebih rendah secara bermakna 231,43 76,49 mg/dL, p=0.024 . Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar trigliserida serum pasca prandial setelah mengonsumsi makanan tinggi lemak bersama dengan meminum 7,5 gram teh putih lebih kecil dibandingkan meminum teh hijau. Kata kunci : hipertrigliseridemia borderline; teh putih; teh hijau; makanan tinggi lemak; trigliserida serum pasca prandial
ABSTRACT
AbstractThe increase in postprandial triglycerides can be one risk factor for cardiovascular disease.The aim of this research is to evaluate the effect of consumption high fat diet with white tea or green tea on postprandial serum triglyceride level. This study was a clinical trial, random allocation, cross over, and double blind. Twenty three hypertriglyceridemia borderline subjects completed this study. Each subject got twice treatment, which are consumption high fat diet with white tea or green tea. This treatment held in two days with three days wash out period. Data obtained include subject characteristics, dietary assessment of energy and fat intake, fasting and postprandial serum triglyceride levels. The mean age of subject is 32,96 8,04 years with a mean BMI of subject is 26,23 3,62 kg m2, categorized in overweight and obese. Fasting serum triglyceride level didn rsquo t show significantly different p 0,079 . The result from post prandial serum triglyceride levels from white tea group were significantly lower 231,43 76,49 mg dL, p 0,024 . This study suggest that the increase of post prandial serum triglyceride levels after consumed high fat diet and white tea were lower than green tea. Keywords green tea high fat diet hypertriglyseridemia borderline postprandial serum triglyceride level white tea
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library