Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pakpahan, Muchtar
"Suku Batak adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Sumatera. Secara geografis, suku Batak diapit oleh.suku Aceh di sebelah Utara, dan Minangkabau di sebelah Selatan. Menurut sejarah, asal-usul suku Batak berasal dari India. Namun belum ada penelitian Anthropologi yang mendalam mengenai kedatangan orang Batak pertama ke Sumatera. Keadaan sekarang ini, daerah asal tempat tinggal suku Batak di Sumatera, berada di wilayah dataran tinggi pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Pusat-pusat asal tempat tinggal itu secara geografis terletak di Propinsi Daerah tingkat I Sumatera Utara, di Kabupaten Daerah tingkat II: Tanah Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Suku Batak masih dapat dikelompokkan ke dalam beberapa sub-suku. Ada penulis yang mengklasifikasikan suku Batak terdiri dari: Karo, Simalungun, Pakpak, Sipirok-Mandailing, dan Toba. Yang tergolong ke dalam pendapat ini adalah J.C. Vergouwen dan Heiman Billy Situmorang. Kelompok penulis lain berpendapat, selain yang disebutkan tadi (Karo, Simalungun, Pakpak, Sipirok-Mandailing, dan Toba), masih ikut tergolong ke dalamnya Gayo-Alas yang berdiam di Propinsi Aceh. Yang tergolong ke dalam pendapat ini adalah Batara Sangti dan Nalom Siahaan.
Dalam tesis ini penulis lebih condong kepada penggolongan yang dilakukan aleh J.C. Vergouwen dan Billy Situmorang. Sebab adat dan falsafah Gayo-Alas lebih banyak perbedaannya daripada persamaannya dibandingkan dengan kelima sub-suku Batak lainnya. Misalnya sistem kekeluargaan Gayo-Alas lebih dekat pada sistem parental (patrimatri lineal), sedangkan kekeluargaan Batak adalah sistem patrilineal. Kekerabatan masyarakat Batak diikat oleh falsafah dalihan na tolu, sedangkan pada masyarakat Gayo-Alas, hal ini tidak terlihat begitu tegas. Ada yang memakai dalihan na tolu dan ada yang tidak.
Berkaitan dengan masalah pemerintahan, memang terdapat perbedaan yang nyata di antara kelima sub-suku di atas. Misalnya saja antara Toba dengan Simalungun. Pada Batak Toba, manusia itu dipandang sama. Semua orang memiliki hak dan kewajiban adat yang sama. Konsep pemilikan tanah pada masyarakat Toba adalah hak ulayat, dan semua warga dipandang berstatus sama-sama raja. Sedangkan pada Batak Simalungun adalah sebaliknya. Manusia dipandang mempunyai kelas yang berbeda, ada kelas raja yang memerintah dan ada kelas rakyat yang diperintah. Suatu wilayah kerajaan dipandang sebagai milik raja, sehingga orang yang berdiam di wilayah itu adalah rakyat yang mengerjakan milik raja tersebut. Raja memiliki sebuah Istana untuk menjalankan kekuasaannya. Situasi ini mirip dengan sistem pemerintahan kerajaan di Jawa. Simalungun di masa lampau terdiri dari beberapa kerajaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Ihyak
"Karisma yang menyertai kepemimpinan Gus Dur merupakan fenomena yang menarik dan penting untuk diamati. Gus Dur dalam konteks ke-Indonesiaan adalah tokoh yang memiliki karisma memadai. Dia memiliki berkesempatan menjadi pemimpin di berbagai situasi. Kepemimpinan Gus Dur di dunia Pesantren, LSM, juga NU telah meyakinkan dirinya sebagai sosok tokoh yang sangat disegani baik di kalangan komunitasnya sendiri maupun lintas komunitas. Ketika Indonesia dilanda berbagai krisis, maka Gus Dur tampil sebagai tokoh politik. Terjunnya Gus Dur ke wilayah politik praktis inilah yang mengantarkan dirinya sebagai Presiden RI ke-4. Tapi yang terjadi bagi diri Gus Dur sejak tampil sebagai tokoh politik dan pemimpin publik, hanyalah penurunan secara drastis terhadap karisma yang selama ini dimilikinya. Tesis ini memfokuskan perhatian pada proses terjadinya dekarismatisasi pada diri Gus Dur dalam kepemimpinannya di wilayah politik praktis, mencari faktor-faktor yang menyertai terjadinya dekarismatisasi serta menelaah beberapa indikator yang menunjukkan terjadinya dekarismatisasi tersebut.
Fokus penelitian dalam kerangka penulisan tesis ini, digunakanlah teori mengenal karisma dikaitkan dengan kepemimpinan. Dalam hal ini, yang digunakan adalah teori karisma yang dikonstruk oleh Max Weber, kemudian diperjelas oleh beberapa pakar sosiologi yang muncul kemudian, sehingga konsep karisma dalam konteks Indonesia dapat ditemukan. Dari mereka didapat sebuah terminologi karisma yaitu, suatu kualitas seseorang yang memiliki daya tarik tertentu sehingga dapat menjamin stabilitas dimana sang tokoh karismatik ini berada atau berperan. Dalam teori ini kahadiran seorang tokoh karismatik sangat dibutuhkan, terutama jika terjadi krisis multidimensional.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini lebih bersifat kualitatif, yaitu sebuah pendekatan, dimana pandangan subyektif peneliti diletakkan terhadap yang diteliti, dengan mencoba memahami dan menelaah pandangan, tanggapan dan respon dari para informan, serta dari telaah berbagai sumber berkenaan dengan tema tesis ini. Untuk kebutuhan ini, peneliti mengumpulkan data-data melalui tiga cara; wawancara mendalam, studi literatur dan dokumentasi, serta observasi.
sebagai bahan pertimbangan telaah pada tesis ini, penulis mengawali dengan mempelajari potret terbentuk dan tumbuhnya karisma Gus Dur. Dari sinilah penulis menemukan cikal bakal karisma Gus Dur yang tergambar dari dua perspektif. Pertama, karisma Gus Dur muncul dalam perspektif tradisional, yaitu sebagai darah biru kepesantrenan dan penganut ajaran sufisme. Kedua, karisma Gus Dur muncul dalam perspektif kekinian. Pada perspektif ini penulis menemukan bahwa Gus Dur berkarisma karena ditopang oleh kualitas dirinya sebagai ilmuan dan intelektual yang disegani, sebagai aktor demokrasi, juga sebagai pemimpin NU dan tokoh bangsa.
Kernudian penulis mempelajari kepemimpinannya dalam politik politik praktis. Penelusuran ini dimulai sejak pilihan Gus Dur merubah strategi perjuangannya dariyang bersifat kultural menjadi politik kepartaian, naik hingga dilengserkannya sebagai Presiden, sampai dengan tesis ini ditulis. Dari sini ditemukan data-data yang memberikan inspirasi terhadap memudarnya karisma Gus Dur. Berdasarkan data-data yang tersedia, maka tergambar proses terjadinya dekarismatisasi Gus Dur, yang terbagi menjadi lima fase; pertama, terhitung sejak berubahnya strategi perjuangan dan pengabdian Gus Dur dari yang bersifat kultural kepada politik praktis. Kedua, internalisasi nilai-nilai politik menjadi tujuan kekuasaan. Ketiga, mengerasnya respon dan kritik masyarakat terhadap pemerintahan pimpinan Gus Dur. Keempat, mengkristalnya perlawanan berbagai komponen masyarakat terhadap kekuasaan Gus Dur. Kelima, Langgengnya Gus Dur di dunia politik praktis. Bersamaan dengan ini pula telah ditemukan beberapa faktor yang menyertai serta indikator yang menunjukkan terjadinya dekarismatisasi Gus Dur, Pada bagian ini, penulis juga menemukan pertautan antara nilai-nilai karisma dengan politik praktis. Sehingga guna menemukan kerangka ini, penulis merujuk pada konsep Max Weber yang menjelaskan bahwa karisma merupakan fenomena khusus yang dimiliki seseorang yang memungkinkan pada situasi tertentu akan memudar.
Dari telaah dan analisa diatas ditemukan bahwa esensi dekarismatisasi Gus Dur terdapat pada empat hal, yaitu nilai sufismenya, sebagai ilmuan dan intelektuai, aktor demokrasi, dan pemimpin NU serta tokoh bangsa. Sedangkan pada nilai darah biru-nya tidak ditemukan adanya penurunan karisma.
Kesimpulan dari tesis ini, pertama, bahwa konsep Max Weber yang berkenaan dengan memudarnya karisma, pada satu sisi relevan untuk menjelaskan teijadinya dekarismatisasi pada diri Gus Dur, walaupun yang terjadi pada diri Gus Dur tidak seekstrem sebagaimana yang dicontohkan Max Weber. Kedua, oleh karena contoh yang diibaratkan Weber terkesan terlalu ekstrem, maka masih perlu adanya penelitianpenelitian serupa guna ditemukannya sebuah data untuk kesempurnaan konsep tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boston, Jonathan
"The book focuses on how to enhance the political incentives on democratically-elected governments to protect the interests of future generations."
United Kingdom: Emerald, 2017
e20469349
eBooks  Universitas Indonesia Library