Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriah Faisal
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang dasar pengajuan permohonan praperadilan, pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau mengabulkan permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dan apakah penetapan tersangka seharusnya masuk menjadi objek praperadilan pada pembaharuan hukum acara pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan praperadilan, serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembahasan tesis dan pendekatan kasus yaitu empat putusan praperadilan mengenai penetapan tersangka. Data-data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dan diuraikan dalam bentuk kalimat sistematis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dasar pengajuan yang digunakan oleh pemohon yaitu mengacu pada Pasal 28 D UUD 1945, Pasal 17 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Ratifikasi International Covenant On Civil and Political Right dan Pasal 95 KUHAP yang telah diperluas maknanya oleh para pemohon. Pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan tersebut yaitu bahwa belum ada bukti yang cukup saat termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka. Hakim menyatakan bahwa bukti-bukti yang digunakan untuk menentukan seseorang sebagai tersangka, dapat diuji oleh praperadilan, sehingga hakim berkesimpulan bahwa praperadilan dapat menguji mengenai sah atau tidaknya penetapan status tersangka, sedangkan pertimbangan Hakim yang menolak permohonan tersebut yaitu karena KUHAP telah secara limitatif membatasi kewenangan praperadilan dan pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak terdapat dalam Pasal 77 sebagai kewenangan praperadilan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penetapan tersangka merupakan tindakan yang bisa saja diikuti oleh upaya paksa, maka diperlukan sebuah lembaga untuk menguji tindakan tersebut dan dalam RKUHAP 2013, praperadilan akan diganti menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan tetapi belum terdapat aturan mengenai pengujian penetapan status tersangka, maka seharusnya penetapan tersangka dimasukkan sebagai salah satu kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the basic application for pre-trial, consideration of the judge to accepted or to refuse a pre-trial about the determination of the suspect and whether the determination status of the suspect should enter into the object on the renewal pre-trial criminal procedure. The method of this research is normative, which is a study of the legislation and legal literature and doctrine relating to pre-trial and using two approaches, namely the approach of legislation related to the discussion of the thesis and approach the case that the four pre-trial decision regarding determination of suspect. Subsequently, the obtained data is processed qualitatively and described in a systematic form of the sentence.
Research results concluded that the basic filing used by the applicant which refers to Article 28 D of the 1945 Constitution, Article 17 of Law No. 39 of 1999 on Human Rights, The Ratification of The International Covenant On Civil and Political Rights and Article 95 of The Criminal Procedure Code (KUHAP) which has been expanded its meaning by the applicant. Consideration of the judge to accept the request, that because there is no sufficient evidence when the defendant named as a suspect, the judge stated that the evidence that used to determine a person as a suspect, can be tested by the pre-trial, so the judge concluded that pre-trial can test the validity of the determination status of the suspect, while the consideration of judge rejected the petition is because pre-trial in the criminal procedure code (KUHAP) has a limited authority, and examine of the validity of determination of the suspect is not contained in Article 77 as authority of pre-trial.
The research results revealed that the determination of the suspect is an action that could be followed by forceful measures, so it needs an institute to examine such act and in RKUHAP 2013, pre-trial will be replaced by The Preliminary Examining Judge but doesn?t have authority to examine the determination of the status of the suspect, then the determination of the suspects should have been included as one of the authority of The Preliminary Examining Judge.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mona Ervita
"ABSTRAK Salah satu wewenang yang dimiliki oleh penyidik adalah melakukan penghentian penyidikan. Penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik apabila perkara pidana tersebut tidak mempunyai cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. Alasan dari penghentian penyidikan tersebut dituangkan kedalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Penghentian penyidikan ini dapat diuji di praperadilan oleh penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh penyidik KPK, tidak dapat menghentikan penyidikan dan menerbitkan SP3, sehingga kasus korupsi yang ditangani oleh KPK harus berlanjut hingga ke tahap sidang pengadilan. Beberapa kasus korupsi yang belum selesai dan diduga dihentikan oleh KPK salah satunya adalah kasus korupsi Bank Century. Nampaknya upaya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak dapat diuji, karena penyidik KPK tidak berwenang menerbitkan SP3. Ada putusan praperadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui putusan nomor 24/Pid.Pra/2018/Pn.Jkt.Sel dimana pada amar putusannya hakim menyatakan penyidik KPK seolah-olah melakukan penghentian penyidikan. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan meneliti bahan kepustakaan, perundang-undangan, wawancara dengan para akademisi dan praktisi dan analisis putusan praperadilan. Alhasil, tanpa adanya SP3, pemohon dapat menguji keabsahan penghentian penyidikan di praperadilan, dan kasus korupsi Bank Century yang diduga dihentikan oleh penyidik KPK tersebut, dilanjutkan atas perintah hakim praperadilan.
ABSTRACT One of the authorities possessed by investigators is to stop the investigation. Termination of investigation can be carried out by the investigator if the criminal case does not have enough evidence, is not a criminal offense, and is terminated for the sake of law. The reason for the termination of the investigation was poured into the Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Termination of this investigation can be tested in pretrial by a public prosecutor or third party concerned. In cases of corruption that are handled by KPK investigators, they cannot stop investigations and issue SP3, so the corruption cases handled by the KPK must continue to the court stage. Some corruption cases that have not yet been completed and are suspected of being stopped by the KPK, one of which is the corruption case of Bank Century. It seems that the efforts to stop the investigation conducted by KPK investigators cannot be tested, because KPK investigators are not authorized to issue SP3. There is a pretrial ruling that has permanent legal force through decision number 24 / Pid.Pra / 2018 / Pn. JKt. Sel wherein the judge's decision states that the KPK investigator seems to have stopped the investigation. This study uses normative legal methods by examining library materials, legislation, interviews with academics and practitioners and analysis of pretrial decisions. As a result, without the SP3, the applicant can test the validity of the termination of the investigation in pretrial, and the Century Bank corruption case which was allegedly stopped by the KPK investigator, followed by a pretrial judge's order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Bambang Permadi Amiseno
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Kumolosari
"Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.;Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Nurul Afiah
Jakarta: Akademika Presindo, 1986
345.072 RAT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Martosedono
Semarang: Dahara Prize, 1994
345.072 AMI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrik Dwi Septiana
"Pengaturan mengenai praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP saat ini sudah tidak lagi memadai. Pengadilan yang berwenang melakukan pemeriksaan Praperadilan yang bertujuan melindungi pihak-pihak yang dirugikan akibat upaya paksa justru dapat menimbulkan permasalahan baru. Misalnya terkait upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal putusan praperadilan berada di luar kewenangan lembaga tersebut. Tidak adanya pengaturan lebih lanjut terhadap kemungkinan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap pihakpihak yang berperkara dan kasus serupa yang mungkin timbul di masa depan. Agar dapat menjelaskan mengenai pengaturan praperadilan yang ada saat ini maka digunakan metode penelitian yuridis normatif. Selain itu penulisan ini juga dimaksudkan untuk dapat memberi gambaran mengenai permasalahan hukum yang terjadi serta upaya hukum yang dapat dilakukan atas suatu putusan praperadilan yang telah melampaui batas kewenangan. Hasil dari penulisan ini menyarankan agar segera dilakukan pembaharuan KUHAP agar tercipta kepastian hukum mengenai pengaturan praperadilan. Selain itu tulisan ini juga memberi solusi terhadap pihak yang ingin melawan putusan yang melampaui kewenangan institusi tersebut, yaitu melalui permohonan kepada Mahkamah Agung.
......Recently Regulation regarding Pretrial Review (Habeas Corpus) which is stated in the Code of Criminal Procedure is no longer sufficient. District Court's Competency to do the examination of Pretrial Review (Habeas Corpus), aims to protect the parties violated by coercive measures, however could make new problems. For example, a problem related to legal remedy in terms of a pretrial judgment which is exceeds the competency of the Pretrial review. This lack of regulation is more likely shall create legal uncertainty for litigants parties and similar cases that may arise in the future. Normative research method is used in order to illustrate the current pretrial rules. This writing is also intended to be an overview of legal issues and remedies on a pretrial judgment that have exceeded the competency. Results of this study suggest that immediate revision of the Criminal Procedure Code in order to create legal certainty of pretrial issues. In addition, this paper also gives solutions to those who want to challenge the pretrial judgment or court decision that exceeds their competency."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Adriaan
"Sistem peradilan pidana di Indonesia, telah dirancang dengan sedemekian rupa, agar dalam prosesnya, benar-benar menjamin hak asasi dari setiap pihak yang terlibat didalamnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan suatu pengawasan secara horizontal terhadap seluruh upaya paksa yang dilakuan oleh pihak penyidik. Dalam perkembangannya, seringkali terjadi suatu penyimpangan dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia, terutama terkait dengan perkara praperadilan. Hal ini dibuktikan dengan putusan perkara praperdilan dengan nomor register perkara 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, dimana dalam perkara tersebut hakim praperadilan mengeluarkan suatu putusan yang isinya memerintahkan agar pihak termohon melanjutkan proses hukum dan menetapkan status tersangka kepada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi bank century. Sebagaimana diketahui, kewenangan lembaga praperadilan diatur dalam pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, yaitu untuk menyatakan sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan ganti rugi dan rehabilitasi. Lembaga praperadilan tidak berwenang untuk memerintahkan salah satu pihak agar menetapkan status tersangka terhadap seseorang. Oleh karena itu, penulis akan melakukan peneletian terhadap kasus tersebut dengan metode perbandingan, dimana penulis akan melakukan membandingkan sistem lembaga praperadilan Indonesia, dengan sistem praadjudikasi negara Belanda, Amerika Serikat, dan Perancis. Selanjutnya, penulis juga akan meneliti apakah putusan perkara praperadilan tersebut sejatinya telah sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

The criminal justice system in Indonesia has been designed in such a way, so that in the process, it truly guarantees the human rights of every party involved in it. This is evidenced by the existence of an institution whose task is to carry out a horizontal supervision of all forced efforts carried out by the investigators. In its development, there is often a deviation in the implementation of criminal justice in Indonesia, especially related to pretrial cases. This is evidenced by the pretrial case verdict with the case register number 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, wherein the case the pretrial judge issued a decision which ordered that the defendant party continue the legal process and determine the status of the suspect to some allegedly involved in a century bank corruption case. As is known, the authority of the pretrial institution is regulated in article 1 number 10 jo. Article 77 of the Criminal Procedure Code, namely to declare the legitimacy of forced efforts by investigators, termination of investigations or prosecutions, and compensation and rehabilitation. A pretrial institution is not authorized to order one party to determine the suspect's status against someone. Therefore, the authors will examine the case with a comparative method, where the author will compare the Indonesian pretrial system, with the pre-adjudication system of the Netherlands, the United States and France. Furthermore, the author will also examine whether the pretrial case verdicts are in fact in accordance with the development of legislation in force in Indonesia.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.K. Moc. Anwar
Jakarta: Ind-Hill, 1989
345.072 MOC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun, Michael Cecio
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada permohonan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo atas dikeluarkannya Surat Keputusan Penghentian Perkara bagi Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami siapa yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sehingga dapat mengajukan permohonan praperadilan. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk menemukan apakah Anggodo Wijoyo memiliki hak untuk mengkalim dirinya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dalam kasus tersebut. Data yang dihimpun adalah putusan pengadilan yang berkenaan dengan kasus hukum tersebut. Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian dengan interpretasi kualitatif deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa Anggodo Widjojo dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, sebagai saksi korban sehingga memiliki hak untuk mengajukan perpohonan praperadilan. Peneliti menyarankan agar pemerintah membuat aturan perundangan dalam hukum acara pidan yang tidak memiliki multi interpretasi pada istilah pihak ketiga yang berkepentingan.

ABSTRACT
This thesis focuses on pretrial filed by Anggodo Wijojo on the issuance of Termination Case Decree for Bibit Samad Rianto and Chandra M. Hamzah. The other purpose of this thesis is to find out whether Anggodo Widjojo has the right to claim himself as a the third person who has legal standing in the lawcase. This research is based on qualitative, descriptive dan interpretative research method. The data were collected from verdicts that have concern with that lawcase. The research finds out that Anggodo Widjojo can be categorized the third party, as a victim witness who has the right to propose pre-trial in thas case. The researcher suggests that the Government should produce a better Criminal Procedure Code which is not multi interpretative of the term of the third party who has interest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S404
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>