Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bonita Effendi
Abstrak :
Latar Belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan inisiasi bundle care dapat memperbaiki luaran pasien dengan sepsis. Namun, akurasi diagnosis sepsis masih sulit. Bakteremia Gram-negatif memiliki risiko syok sepsis lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Tujuan penelitian adalah mengetahui peran skor qSOFA, prokalsitonin, serta gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas pasien sepsis bakteremia Gram-negatif. Metode Penelitian kohort retrospektif dan prospektif menggunakan data rekam medik dan registri pasien sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM melibatkan pasien berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM selama Maret 2017-Oktober 2020. Data yang diekstraksi adalah karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium, serta luaran yaitu mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pemantauan. Hasil 128 subyek penelitian terdiri atas 50,8% pasien laki-laki dengan median usia 48 (RIK 46-51) tahun. Mortalitas pasien dengan bakteremia Gram-negatif terjadi pada 51,6% dengan kesintasan kumulatif 48,4% (SE 0,96%). Peran skor qSOFA terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam 28 hari perawatan dengan (AUROC 0,74; IK95% 0,66-0,82). Prokalsitonin menunjukkan performa yang buruk (AUROC 0,45; IK 95% 0,36-0,54) dalam memprediksi mortalitas pasien bakteremia Gram-negatif di RSCM. Bila dibandingkan dengan hasil nilai titik potong skor qSOFA, nilai AUROC skor qSOFA ditambah prokalsitonin, tidak berbeda bermakna AUROC 0,74 vs AUROC 0,75. Kesimpulan Performa skor qSOFA merupakan sistem skor terbaik dalam memprediksi mortalitas pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. Performa gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin tidak memberikan penambahan performa prediktor mortalitas dalam perawatan pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. ......Background. Sepsis is a leading cause of mortality and morbidity globally. Early diagnosis and initiation of bundle care may improve the outcome. However, accurate diagnosis of sepsis is still challenging. Gram-negative bacteremia was reported to have higher risk of septic shock and poor prognosis. Aim of this study is to evaluate the role of qSOFA and procalcitonin in predicting mortality risk in patients with Gram-negative bacteremia, furthermore adding procalcitonin to the qSOFA score may improve the ability to predict mortality. Methods. This was a retrospective and prospective cohort study performed based on medical records and sepsis registry of Tropical and Infectious Disease Division, Internal Medicine Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, conducted on patients aged > 18 years of age hospitalized from March 2017 until October 2020. The following data were obtained: sample characteristics, laboratory parameters, and 28-day mortality outcomes during hospitality. Results. 128 patients were enrolled. There are 50.8% male patients with median (IQR) of age 48 (46-51) years. Mortality rate of Gram-negative bacteremia is 51.6% with cumulative survival 48.4% (SE 0.96%). The role of qSOFA score to predict 28-day mortality rate is (AUROC 0.74; 95% CI 0.66-0.82). Procalcitonin shows poor performance in predicting mortality of patients with Gram-negative bacteremia (AUROC 0.45, 95% CI 0.36-.0.54). Combining qSOFA score with procalcitonin does not improve the ability to predict the 28-day mortality risk (AUROC 0.75, 95% CI 0.66-0.84). Conclusion. qSOFA score shows good performance in predicting mortality of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia. By adding procalcitonin does not improve its ability to predict mortality risk of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustine Purnomowati
Abstrak :
Beberapa peneliti telah berusaha menentukan penderita mitrai stenosis yang “ideal” untuk BMV tetapi belum ada keseragaman pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV; sedangkan kepustakaan di Indonesia mengenai hal ini masih sedikit. Untuk mengetahui variabel-variabel prediktor keberhasilan dini BMV, diteliti ulang hasil dini BMV pada 228 penderita stenosis mitrai yang menjalani BMV selama periode tahun 1993 dan 1994. Mereka terdiri dari 74.6% perempuan dan 25.4% laki-laki, berusia rata-rata 36.8 tahun dengan lama gejala rata-rata 23.7 bulan ( median 12 bulan ). Hipertensi pulmonal terdapat pada 95% kasus, 51,3% diantaranya menunjukkan hipertensi pulmonal berat. Fungsi jantung NYHA kias 1,11,III dan IV berturut-turut ditemukan pada 4.4%, 58,3%, 32,9% dan 2.2%. Gambaran EKG menunjukkan irama sinus normal pada 54.8% dan 45.2% fibrilasi atrium. Skor mitrai 8 terdapat pada 67.8% (97 dari 143 penderita) dan > 8 pada 32.2 % ( 46 dari 143 penderita ). Sesuai dengan kriteria penelitian, sebanyak 52.6% kasus menunjukkan hasil dini BMV optimal, sub-optimal pada 46% dan gagal pada 1.3% kasus. Pencapaian hasil dini BMV optimal adalah sebanding dengan peneliti lain bila memakai kriteria sesuai peneliti yang bersangkutan. Segera pasca-BMV terjadi perubahan hemodinamik yang sangat bermakna ( p < 0.001). Melalui analisa logistik regresi ganda terdapat 4 variabel yang bermakna yaitu : EKG, penebalan katup mitrai, tekanan rata-rata atrium kiri pra-BMV dan regurgitasi mitrai pra-BMV sebagai variabel prediksi keberhasilan dini BMV. Dibandingkan peneliti-peneliti lain, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV. Segera pasca-BMV terjadi penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis yang sangat bermakna (p < 0.001 ). Analisa logistik regresi ganda menunjukkan tekanan rata-rata arteri pulmonalis pra-BMV sebagai variabel prediktor penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis pasca-BMV. Mengenai variabel prediktor penurunan tekanan arteri pulmonalis ini, sayang sekali belum ditemukan kepustakaan yang dapat dijadikan pembanding. Komplikasi yaitu regurgitasi mitrai teijadi pada 24.5% kasus, angka ini lebih rendah dibandingkan peneliti-peneliti lain yang mendapatkan angka MR pasca-BMV sebesar 35- 46%. Seperti halnya peneliti lain, melalui analisa logistik regresi ganda tidak ditemukan variabel prediktor regurgitasi mitrai pasca-BMV. Komplikasi lain yaitu udem paru akut pada 1.7% dan 1.3% tamponade jantung yang teijadi segera setelah pungsi transeptal. Melihat perubahan hemodinamik yang sangat bermakna pasca-BMV dan frekwensi komplikasi yang relatif kecil, maka BMV merupakan terapi alternatif yang cukup efektif dan aman bagi penderita mitrai stenosis simtomatis tertentu. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kejadian restenosis, mengevaluasi peijalanan klinik penderita dengan regurgitasi mitrai pasca BMV dan hipertensi pulmonal yang menetap.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Supena
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang dapat dijadikan rujukan untuk meramalkan terjadinya putus sekolah secara dini di Sekolah Dasar. Sebuah model teoritik tentang prediktor putus sekolah telah diajukan sebagai hipotesis penelitian dan diuji untuk melihat kesesuaiannya dengan data di Iapangan. Ada 7 variabel Iaten yang ditelili untuk dilihat pengaruhnya terhadap putus sekolah dini yaitu (1) rendahnya prestasi belajar, (2) rendahnya keterikatan siswa terhadap sekolah, (3) kedekatan anak dengan teman yang putus sekolah, (4) rendahnya kemampuan menangguhkan kesenangan jangka pendek, (5) rendahnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak, (6) rendahnya aspirasi orang tua mengenai pendidikan anak dan (7) rendahnya tingkat pendidikan orang tua.

Ada 184 anak yang terlibat sebagai sampel penelitian. Mereka adalah anak-anak usia Sekolah Dasar yang menjalani kegiatan mencari uang di sejumlah tempat keramaian di kota Bekasi, yaitu pasar, mal, slasiun kereta api, temrinal, dan lampu merah. Sejumlah angket, wawancara dan studi dokumen telah digunakan untuk mengumpulkan data dalam studi ini. Program LISREL versi 8.30 digunakan untuk menguji model teoritik yang dihipotesiskan. Penelitian juga dilengkapi dengan kajian kualitatif melaIui wawancara mendalam kepada 4 subjek yang telah putus sekolah.

Analisis kuantilatif menemukan bahwa rendahnya prestasi belajar dan rendahnya keterikatan siswa terhadap sekolah berpengaruh Iangsung terhadap terjadinya putus sekolah dini di Sekolah Dasar. Rendahnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berhubungan tidak Iangsung dengan rendahnya prestasi belajar dan dengan terjadinya putus sekolah. Keterlibatan orang tua berhubungan dengan prestasi belajar dan putus sekolah melalui pengaruhnya terhadap keterikatan siswa terhadap sekolah. Kedekatan dengan teman putus sekolah, rendahnya kemampuan menangguhkan kesenangan jangka pendek dan rendahnya aspirasi orang tua berhubungan tidak langsung dengan rendahnya prestasi belajar dan terjadinya putus sekolah. Ketiga variabel tersebut berhubungan dengan prestasi belajar dan putus sekolah melalui pengaruhnya terhadap keterikatan siswa terhadap sekolah. Tingkat pendidikan orang tua ditemukan tidak signifikan pengaruhnya terhadap putus sekolah dan terhadap variabel lainnya.

Kajian kualitatif memberi dukungan terhadap hasil analisis kuantitatif. Putus sekolah merupakan sebuah peristiwa yang kejadiannya dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari berbagai pihak di antaranya adalah anak itu sendiri, kondisi keluarga, teman bermain dan situasi sekolah. Kamalasan dan komitmen siswa yang rendah terhadap sekolah telah menjadi pemicu anak keluar dari sekolah. Rendahnya komitmen terhadap sekolah di antaranya disebabkan karena pengaruh teman yang telah putus sekolah, godaan mencari uang dan bermain, rendahnya aspirasi dan partisipasi orang tua dalam pendidikan anak, serta pengalaman yang buruk di sekolah. Ditemukan keoenderungan bahwa pada awalnya anak menjalani aktivitas sekolah secara baik dan wajar. Berbagai kondisi telah menyebabkan anak mulai menjalani aktivitas mencari uang sebagai kegiatan tambahan di Iuar jam sekolah. Berbagai pengalaman yang terjadi selama menjalani sekolah sambil mencari uang, akhirnya mendorong mereka keluar dari sekolah.

Hasil-hasil penelitian memberi implikasi terhadap beberapa hal di antaranya adalah (1) putus sekolah bukan semata-mata persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan sosial-psikologis yang ada pada anak, keluarga, dan masyarakat, (2) penanggulangan putus sekolah harus didekati secara komprehensif dengan menyoroti berbagai permasahan yang menjadi faktor penyebabnya dan melibatkan berbagai pihak yang terkait, (3) pemerintah, sekolah dan masyarakat perlu memberi perhatian yang Iebih serius di dalam menyikapi persoalan anak-anak yang putus sekolah, dengan cara mengembangkan langkah-Iangkah atau program yang sistimatik untuk menoegah dan menanggulanginya.
Abstract
The purpose of this research is to identify the variables that can be used as references in predicting the early school-dropout in the Elementary School (Sekolah Dasar). A theoretical model about the predictor of the school-dropout has been proposed as a research hypothesis and tested to see the relevance with the data. There are seven laten variables that have been studied to see the effect on the early school-dropout. These seven variables are (1) low academic achievement (2) low school bonding (3) students' closeness with the drop-outs (4) low ability to delay gratification (5) low involvement of the parents in children's education (6) low parents' aspiration in the children's education (7) low parents' level of education.

There are 184 students involved as the samples of the research. They are at the Elementary School age who work for money in several public places ln Bekasi, such as markets, malls, train station, bus stations, and the traflic lights. Questionnaires and intenriews have been used to collect data in this research. LISREL program 8.30 version is used to test the hypolhized theoretical model. This research is also completed with the qualitative data through deep interview on four students drop-out.

The quantitative analysis found that the low academic achievement and the low school bonding directly affect on the early school-dropout. Low involvement of the parents in chidren's education is indirectly related with students? low academic achievement and the accurances of school-dropout. The parents' involvement relate with academic achievement and the school-dropout through the effect on school bonding. Students? closeness with the drop-outs, low ability to delay gratification and low parents aspiration are indirectly related with low academic achievement and school-droout. These three variables relate with academic achievement and school-dropout thmugh the effect of school bonding. Parents level of education does not have a significant effect on the school-dropout and other variables.

Qualitative data supports the result of the quantitative data. The school-dropout is a phenomenon that is influenced by many factors. These are the students themselves, the conditions of the family, playmates, and the school conditions. Laziness and low students commitment to school have been triggers for the students to dropout from School. Low commitment to school is caused by the influence of school-dropouts. temptation to eam money and playing, low aspiration and participation of the parents in students education, and bad experience happens in school. At the beginning, the students do their school activity well. Many conditions caused them to start working for money as an additional activity out of the school hour. Many experiences happen during the school and working for money. lt finally force them to dropout.

The results of the research give an implication to some factors. They are: (1) school-dropout is not only a matter of finance but also it is a matter of social-psychology of the students, family and society. (2) the solution of school dropout have to be approached comprehensively by conceming some problems as the factors caused involving many related parties (3) The govemment, school and society need to give more serious attention in dealing with this problem by developing systematic program to prevent and to solve it.
2004
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Aziza Nursyirwan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi virus influenza menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan pada lansia. Vaksin influenza sebagai satu-satunya modalitas pencegahan yang ada saat ini memiliki efikasi yang lebih rendah pada lansia dibanding dewasa muda 17-53 vs 70-90 . Hal ini dimungkinkan karena pada lansia terjadi perubahan respons imun akibat penuaan serta faktor-faktor risiko lain. Beberapa studi telah dilakukan untuk menilai status kesehatan lansia sebagai faktor risiko terhadap respons antibodi terhadap vaksinasi influenza. Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada populasi lansia di posyandu lansia Jakarta Timur yang mendapatkan vaksin influenza. Sebanyak 277 subjek diperiksa titer antibodi pra dan satu bulan pasca-vaksinasi influenza. Faktor-faktor risiko berupa usia, jenis kelamin, status olahraga, status merokok, penyakit DM tipe 2, paru, kardiovaskular, status nutrisi MNA Mini Nutritional Assessment , status GDS Geriatric Depression Scale , dan titer antibodi pra-vaksinasi dinilai pada masing-masing subjek. Hasil Penelitian : Proporsi lansia yang mengalami serokonversi kenaikan titer pasca-vaksinasi sebanyak 4 kali lipat titer awal adalah 50,9 141/277 . Pada analisis multivariat, faktor-faktor prediktor serokonversi satu bulan pasca-vaksinasi influenza pada lansia di komunitas adalah keadaan tidak depresi p=0,048, OR=2,1, IK=1,01-4,30 , status olahraga ge; 5 kali seminggu minimal 30 menit p=0,013, OR 4,0, IK 1,34-11,76 , dan titer antibodi pra-vaksinasi yang tidak seroprotektif p=0,000, OR 6,4, IK 3,40-11,99 . Kesimpulan : Faktor-faktor prediktor serokonversi pasca-vaksinasi influenza pada lansia di komunitas adalah status depresi, status olahraga, dan titer antibodi pra-vaksinasi influenza. Kata Kunci : influenza, vaksinasi, serokonversi, faktor prediktor.
ABSTRACT
Background Influenza virus infection causes significant morbidity and mortality in the elderly. The influenza vaccine as the only existing prevention modalities currently has lower efficacy in the elderly than younger adults 17 53 vs. 70 90 . This is possible because the elderly changes due to aging of the immune response as well as other risk factors. Several studies have been conducted to assess the health status of the elderly as a risk factor for antibody responses to influenza vaccination. Methods This study is a retrospective cohort study in the elderly population in East Jakarta Posyandu who got the influenza vaccine. A total of 277 subjects with antibody titre pre and one month post vaccination influenza were examined. Risk factors such as age, gender, exercise status, smoking status, type 2 diabetes, pulmonary, and cardiovascular disease, nutritional status of MNA Mini Nutritional Assessment , GDS Geriatric Depression Scale , and pre vaccination antibodi titre were assessed in each subject. Results The proportion of elderly people who seroconverted fourfold rise or more in antibody titer post vaccination was 50.9 141 277 . On multivariate analysis, the predictor factors that affect seroconversion of one month post influenza vaccination in the elderly on the community is a no depression state p 0.048, OR 2.1, CI 1.01 to 4.30 , exercise status ge 5 times per week minimal 30 minutes p 0.013, OR 4.0, CI 1.34 to 11.76 , and not seroprotective pre vaccination p 0.000, OR 6.4, CI 3.40 to 11.99 . Conclusion Predictor factors affecting seroconversion post influenza vaccination in the elderly on the community is depression status, exercise status and pre vaccination antibody titre. Keywords influenza, vaccination, seroconversion, predictor factor.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryatun
Abstrak :
Latar Belakang: Penggunaan terapi antiretroviral (ARV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS. Namun penggunaan ARV juga sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dalam berbagai manifestasi dan gradasi, mulai dari yang ringan sampai potensial mengancam nyawa. Pemahaman tentang prediktor kejadian reaksi hipersensitivitas dapat membantu klinisi dalam menatalaksana pasien HIV/AIDS sehingga memberikan luaran klinis yang lebih baik. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya reaksi hipersensitivitas pada penggunaan obat nevirapin dan efavirenz pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien HIV/AIDS rawat jalan di UPT HIV RSCM selama Januari 2004 sampai Desember 2013. Status demografik, data klinis dan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada prediktor dengan data nominal dan Uji Mann Whitney pada prediktor dengan data numerik. Adanya data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Semua variabel yang memenuhi syarat akan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil: Total subjek yang mendapat terapi ARV baik sebagai terapi pertama kali (naïve patient) atau substitusi pada kelompok nevirapin berjumlah 2.071 subjek dan efavirenz 1.212 subjek. Insiden terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin dan efavirenz adalah sebesar 14%, dan 4,5%. Insiden kejadian reaksi hipersensitivitas silang adalah 5%. Prediktor reaksi hipersensitivitas yang bermakna pada analisis multivariat adalah prediktor terkait penggunaan nevirapin, yaitu jenis kelamin perempuan (OR=1,622; IK95% 1,196-2,199; p=0,002), CD4+ awal >200 sel/mm3 (OR=1,387; IK95% 1,041-1,847; p=0,025), koinfeksi dengan hepatitis C (OR=1,507; IK95% 1,138-1,995; p=0,004), dan kadar SGPT awal >1,25 kali batas atas nilai normal (OR=1,508; IK95% 0,998-2,278; p=0,051). Sedangkan prediktor reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan efavirenz tidak ada yang memiliki kemaknaaan secara statistik. Simpulan: Jenis kelamin perempuan, jumlah CD4+ awal >200 sel/mm3, koinfeksi dengan hepatitis C dan kadar SGPT awal yang abnormal merupakan prediktor independen terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin pada pasien HIV/AIDS.
Background: ARV therapy decreases morbidity and mortality in AIDS/HIV patients. Beside its benefits, ARV therapy induces hypersensitivity reactions manifesting in various level of severity from mild to life threatening symptoms. Understanding the predictors of hypersensitivity reaction will help clinicians to manage HIV/AIDS patients particularly in anticipating the risks that will give better clinical outcomes. Objectives: To determine the predictors of hypersensitivity reactions in nevirapine and efavirenz administration among HIV/AIDS patients in RSCM . Methods: This is a cohort retrospective study in patients with HIV/AIDS in UPT HIV RSCM during January 2004 to December 2013. Demographic status, clinical and laboratory data are obtained from medical records. Bivariate analysis using Chi-Square test performed on nominal data and Mann Whitney test on numeric data. Incomplete data is resolved by multiple imputation techniques. All eligible variables analyzed with multivariate analysis using logistic regression. Results: There are 2.071 naïve patients or substitution regiment in nevirapine group and 1.212 subjects in efavirenz group. Hypersensitivity reaction incidence in nevirapine and evafirenz group are 14% and 4.5% consecutively. Cross hypersensitivity reaction incidence between these drugs is 5%. Hypersentivity reaction predictors associated with nevirapine administration are female gender (OR=1,622; 95%CI 1,196-2,199; p=0,002), baseline CD4+ absolute count >200 cells/mm3 (OR=1,387; 95%CI 1,041-1,847; p=0,025), hepatitis C coinfection (OR=1,507; 95%CI 1,138-1,995; p=0,004), and baseline ALT level > 1.25 x ULN (OR=1,508; 95%CI 0,998-2,278; p=0,051), but there is no predictors associated statistically significant with efavirenz hypersensitivity reaction. Conclusion: Female gender, baseline CD4 absolute count >200 cells/mm3, hepatitis C coinfection and baseline ALT level > 1.25 x ULN are independent predictors for hypersensitivity reaction due to nevirapine usage in HIV/AIDS.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Christina
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Keganasan meningkatkan risiko trombosis vena sekitar 2-7 kali. Insideni trombosis vena pada tumor ganas ovarium dilaporkan berkisar antara 5-29 . Berbagai faktor yang terkait dengan kondisi pasien usia, indeks massa tubuh, komorbid , karakteristik tumor ukuran, stadium, histologi, ascites dan terapi kemoterapi, lama pembedahan, jumlah perdarahan di laporkan dapat menjadi prediktor trombosis vena dalam TVD namun penelitian mengenai model prediksi TVD khususnya untuk populasi Indoensia masih terbatas. TUJUAN: Mengetahui faktor ndash; faktor prediktor trombosis vena dalam pada tumor ganas ovarium. DESAIN DAN METODE: Penelitian cohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan merekrut 116 pasien dengan dugaan tumor ganas ovarium yang akan menjalani operasi. Berbagai variable lain yang diduga sebagai prediktor TVD seperti kadar pra-terapi trombosit, D-Dimer, fibrinogen, usia, indeks massa tubuh IMT , komorbid, stadium, diameter, histologi, bilateralitas tumor, adanya ascites, metastasis jauh diukur dan dicatat. Pasien diikuti untuk gejala dan tanda TVD. Pasien yang memiliki gejala dan tanda klinis TVD dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi Duplex vascular. HASIL: Seratus tiga pasien tumor ganas ovarium diikutkan dalam analisis. Insideni TVD adalah 16.5 dan 88.2 kejadian TVD terjadi sebelum pembedahan. Tidak ditemukan kejadian TVD selama perawatan pasca operasi dengan rata rata lama perawatan 8.8 hari. Kombinasi beberapa variable menghasilkan model prediksi kejadian TVD pada tumor ganas ovarium yang mencakup metastasis jauh OR 28,99; IK 95 3,83-219,52, IMT ge; 22,7 kg/m2 OR 15,52, IK 95 2,24-107,37 , kadar D-Dimer ge; 1700 mg/ml OR 13,30, IK 95 2.40-73,84 , stadium lanjut OR 6,66; IK 95 1,05-42,27 , histologi epithelial OR 6,5; IK 95 0,34-125,75 , diameter tumor ge; 18,25 cm OR 2,36, IK 95 0,48-11,54 , adanya komorbid OR 2,49, IK 95 0,53-11,66. Skor prediksi kejadian TVD adalah skor 3 untuk metastasis jauh, IMT ge; 22,76 kg/m2, D dimer ge; 1700 mg/dl, skor 2 untuk stadium lanjut, skor 1 untuk komorbid, diameter tumor ge; 18,25 cm, histologi epitelial dan skor 0 jika tidak ditemukan factor risiko atau nilai variable dibawah titik potong. Skor ge; 8 dari 14 adalah skor minimum dengan nilai prediksi TVD yang baik dengan AUC 0,92 IK 95 0,86-0,98, probabilitas 86,46, sensitivitas 64.7, spesifisitas 90.7. KESIMPULAN: Model prediksi kejadian TVD dapat membantu memprediksi pasien tumor ganas ovarium yang berisiko tinggi untuk mengalami TVD sehingga dapat dipertimbangkan pencegahan TVD selektif. ......BACKGROUND: Malignancy increase the risk of venous thromboembolism around 2 7 fold. Its incidence in ovarian malignancy ranged within 5 29 . Various characteristics related to patients age, body mass index, comorbid , tumor stage, tumor diameter, histology, ascites, distant metastasis or treatment length of surgery, bleeding, transfusion were found as predictor of venous thromboembolism. Predictor model of DVT occurrence in ovarian malignant tumor especially in Indonesian population is still limited. OBJECTIVE: To evaluate the prediction model of deep vein thrombosis DVT in ovarian malignant tumor. METHOD: This prospective cohort study enrolled 116 patients with suspected ovarian malignant tumor. Suspected risk factors of venous thromboembolism such as age, body mass index BMI , comorbid, pretreatment D dimer, fibrinogen, thrombocyte level, tumor diameter, staging, presence of distant metastasis, ascites, tumor histopathology, length of surgery, intraoperative blood loss and blood transfusion were measured and recorded. Patient who had symptoms and signs of DVT was confirmed with Doppler ultrasonography. RESULT: Incidence of symptomatic DVT was 16.5 and 88.2 cases occurred before surgery. No case of symptomatic DVT was observed during post operative hospitalization with mean length of stay 8.85 days. Predictor factor of DVT were distant metastasis OR 28,99 95 CI 3,83 219,52, BMI ge 22,7 kg m2 OR 15,52, 95 CI 2,24 107,37 , D Dimer ge 1700 mg ml OR 13,30, 95 CI 2.40 73,84, advanced stage OR 6,66 95 CI 1,05 42,27 , epithelial tumor OR 6,5 95 CI 0,34 125,75, tumor diameter ge 18,25 cm OR 2,36, 95 CI 0,48 11,54, comorbid OR 2,49, 95 CI 0,53 11,66. Prediction score of DVT were score 3 for distant metastasis, BMI ge 22,7 kg m2, D Dimer ge 1700 mg ml, score 2 for advanced stage, score 1 for tumor diameter ge 18,25 cm, comorbid, epithelial tumor and score 0 for the absence of variables or value of variable was less than the cut off. Total score ge 8 of 14 is the least score which has a good predictive value for DVT ocurence with AUC 0.92, 95 CI 0.86 0.92, probability 86,46, sensitivity 64.7, specificity 90.7. CONCLUSION: Prediction model of DVT may help to predict the patient with malignan ovarian tumor who had high risk of DVT therefore can consider selective DVT prevention.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Bimo Indrasmoro
Abstrak :
Catheter-related bloodstream infections (CRBSIs) adalah salah satu infeksi yang paling sering didapat di rumah sakit. Perkiraan saat ini adalah antara 15% hingga 30% dari semua bakteremia nosokomial terkait dengan kateter. Peningkatan kadar PCT dianggap sebagai indikasi laboratorium yang utama dari infeksi akut, dan PCT merupakan penanda CRBSI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prokalsitonin sebagai prediktor keberhasilan medikamentosa pada kasus CRBSI. Metode : Subjek penelitian sebagian diperoleh dari rekam medis pasien yang masuk melalui poliklinik dan IGD RSCM, selanjutnya diseleksi sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Pasien akan dipantau selama menjalani rawat inap di rumah sakit, dan dilihat perkembangan penyakit serta keberhasilan medikamentosa yang di dapat oleh pasien selama 2 minggu, sehingga didapatkan data seberapa besar kejadian keberhasilan terapi medikamentosa dan kejadian penggantian kateter pada pasien dengan CRBSI didalam rekam medis. Hasil : Variabel bebas dan variabel tergantung akan dilakukan analisisi bivariate menggunakan uji perbandingan dua rerata, jika sebaran variabel bebas tersebut normal maka akan menggunakan uji independent t-test dan jika sebaran variabel bebas tidak normal maka dilakukan uji menggunakan mann whitney. Apabila dari hasil uji bivariate terdapat nilai p value bermakna atau p value <0,2 maka akan dilanjutkan menggunakan uji penentuan titik potong dengan metode kurva ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifitas terbaik. ......Background : Catheter-Related Bloodstream Infections (CRBSI) are one of the most common infections acquired in hospitals. Current estimates are between 15% and 30% of all catheter-associated nosocomial bacteremia. Elevated procalcitonine (PCT) levels are considered the primery laboratory indication of acute infection, and PCT is a marker of CRBSI. The purpose of this study was to determine PCT as a predictor of success medication in CRBSI cases. Methods : The research subjects were partially obtained from the medical records of patients who entered through the polyclinic and the RSCM ER, then selected according to the inclusion and exclusion criteria that had been determined by the researcher. Patients will be monitored during hospitalization in the hospital, and seen the progress of the disease and the success of medication obtained by the patient for 2 weeks, in order to obtain data on how much the incidence of successful medical therapy and the incidence of catheter replacement in patients with CRBSI is in the medical record. Results : The independent variables and dependent variables will be analyzed using a bivariate comparison test of two means, if the distribution of the independent variables is normal, it will use the independent t-test and if the distribution of the independent variables is not normal, then the test is carried out using the Mann Whitney. If the results of the bivariate test have a significant p value or p value <0.2, it will be continued using the cut point determination test with the ROC curve method to get the best sensitivity and specificity. Conclusion : In this study, the value of procalcitonin can be a predictor of medical success in CRBSI cases.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrianto Reksodiputro
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini meninjau kembali dikotomi terhadap aktivis mahasiswa radikal dan moderat yang dibuat ahli-ahli politik makro. Pengelompokan yang mereka buat dilakukan berdasarkan isu-isu, format gerakan, serta sikap dan tindakan aktivis-aktivis mahasiswa yang bisa diamati. Berbeda dengan ilmu politik konvensional, ilmu psikologi politik melihat perilaku politik dari sudut pandang dorongan-dorongan non-politis yang mendasari perilaku tersebut. Karena itu, penelitian ini berusaha mencari prediktor-prediktor baru untuk membedakan aktivis mahasiswa radikal dan moderat berdasarkan sejumlah faktor psikologis yang dianggap penting dalam demokrasi. Faktor-faktor tersebut adalah orientasi politik (terdiri dari toleransi politik, komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, kemanjuran politik, dan kepercayaan politik) serta partisipasi politik. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivis mahasiswa radikal dan moderat dalam hal orientasi politik dan partisipasi politik (P = 41,870, pada tingkat signifikansi 0,001). Aktivis mahasiswa radikal ternyata mempunyai tingkat komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, kemanjuran politik internal, dan partisipasi politik ekstra konvensional lebih tinggi di banding aktivis mahasiswa moderat. Sedangkan kemanjuran politik eksternal dan kepercayaan politik lebih tinggi pada aktivis mahasiswa moderat. Dari semua variabel yang diukur, prediktor-prediktor terbaik untuk membedakan dua kelompok tersebut adalah kepercayaan politik, partisipasi politik ekstra-konvensional, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Selain itu, ditemukan bahwa aktivis mahasiswa secara umum (baik radikal maupun moderat) sudah memiiliki orientasi politik yang tepat untuk mendukung demokrasi di Indonesia. Hanya saja, kepercayaan mereka terhadap pemerintah sangat rendah. Selain itu, mereka cenderung tidak yakin bahwa aspirasi mereka akan direspon oleh pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang mereka lakukan umumnya tidak melibatkan kekerasan dan pengrusakan, serta cenderung tidak melibatkan hubungan dengan pejabat pemerintah dan partai politik. Sementara saran yang diberikan sebagai hasil penelitian ini adalah agar kegiatankegiatan politik di kalangan aktivis mahasiswa diberikan perhatian dan dukungan yang lebih besar oleh pemerintah.
2003
S3226
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khadidiatou Amirou
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan sinisme perubahan organisasi diantisipasi sebagai hambatan yang akan muncul dalam menjalankan proses perubahan organisasi. Untuk itu, perlu diketahui apa saja faktor yang mempengaruhi sikap ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sikap percaya pada organisasi terhadap sinisme perubahan organisasi. Sampel penelitian terdiri atas 276 karyawan yang diambil dari dua lembaga keuangan BUMN dan dua lembaga keuangan perusahaan swasta. Sikap percaya pada organisasi diukur dengan Organizational Trust Index (OTI) dan sinisme perubahan organisasi diukur dengan Cynicism About Organizational Change Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sikap percaya pada organisasi terhadap sinisme perubahan organisasi, dengan dimensi keandalan sebagai dimensi yang memiliki efek terbesar.
ABSTRACT
The existence of cynicism about organizational change was predicted to be an obstacle during organizational change process. Thus, it was crucial to know what factors affected this attitude. The purpose of the current research was to investigate the effect of organizational trust on cynicism about organizational change. The research sample consisted of 276 employees obtained from two public and two private financial institutions. Organizational trust was measured with Organizational Trust Index (OTI), while cynicism about organizational change was measured with Cynicism About Organizational Change Scale. Results from the research showed that organizational trust predicted cynicism about organizational change, with the reliability dimension showing the biggest effect size.;
2016
S65066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vesri Yoga
Abstrak :
Latar Belakang: Kolangitis akut merupakan penyakit dengan tingkat mortalitas tinggi sehingga diperlukan diagnosis dan tatalaksana segera. Tokyo Guidelines 2018 (TG18) sebagai modalitas diagnostik perlu dinilai sensitivitasnya. Serta prediktor mortalitas kolangitis akut di Indonesia masih belum pernah diteliti.  Tujuan: Menilai performa diagnostik TG18 dan prediktor mortalitas pasien kolangitis akut dewasa di Indonesia. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan menggunakan rekam medis pasien kolangitis RSCM dari tahun 2019-2022. Perbandingan dengan baku emas ERCP dilakukan untuk TG18. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk menilai prediktor mortalitas.  Hasil: Subjek penelitian 163 orang dengan 51,5% laki-laki dengan rerata usia 51,0 ±12,81 tahun. Tingkat mortalitas selama di rumah sakit mencapai 11,6%. Sensitivitas TG18 dengan ERCP adalah 84,05% (95%CI 77,51-89,31%). Prediktor mortalitas yang bermakna pada analisis univariat adalah TG18 derajat III (RR 13,846 (3,311-57,897), p<0,001), riwayat keganasan (RR 4,400 (1,525-12,687), p=0,006), pemilihan antibiotik tidak sesuai pedoman (RR 3,275 (1,366-7,851), p=0,008) dan kadar prokalsitonin ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,440 (1,056-5,638), p=0,037). Pada analisis multivariat prediktor yang bermakna adalah TG18 derajat III (RR 10,670 (2,502-45,565), p=0,001), penggunaan antibiotik tidak sesuai pedoman (RR 2,923 (1,342-6,367), p=0,007), dan kadar prokalsitonin ≥2.0 ng/mL (RR 2,371 (1,183-4,753), p=0,015).  Simpulan: Sensitivitas TG18 cukup tinggi sehingga bisa digunakan untuk membantu diagnosis kolangitis akut. Prediktor mortalitas kolangitis akut mencakup derajat III berdasarkan TG18, pengguaan antibiotik tidak sesuai pedoman, dan kadar prokalstionin ≥2.0 ng/mL. ......Background: Acute cholangitis is a disease with a high mortality rate that requires prompt diagnosis and treatment. Tokyo Guidelines 2018 (TG18) as a diagnostic modality need to be assessed for sensitivity. Predictors of acute cholangitis mortality in Indonesia are still unknown. Objective Assessing the diagnostic performance of TG18 and predictors of mortality in adult acute cholangitis patients in Indonesia. Methods A retrospective cohort study was conducted using the medical records of RSCM cholangitis patients from 2019-2022. Comparisons with the ERCP gold standard were made for TG18. Bivariate and multivariate analyzes were performed to assess predictors of mortality. Results The research subjects were 163 people with 51.5% male with a mean age of 51.0 ± 12.81 years. The mortality rate during hospitalization reached 11.6%. The sensitivity of TG18 with ERCP as the gold standard were 84.05% (95%CI 77.51-89.31%). Significant predictors of mortality in Univariate analysis was TG18 grade III (RR 13,846 (3,311-57,897), p<0,001), history of malignancy (RR 4,400 (1,525-12,687), p=0,006), the use of antibiotics did not comply with the guidelines (RR 3,275 (1,366-7,851), p=0,008) and procalcitonin level ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,440 (1,056-5,638), p=0,037) In multivariate analysis the significant predictors were TG18 degree III (RR 10,670 (2,502-45,565), p=0,001), the use of antibiotics did not comply with the guidelines (RR 2,923 (1,342-6,367), p=0,007) and procalcitonin level ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,371 (1,183-4,753), p=0,015). Conclusions: The sensitivity of TG18 is high enough that it can be used to help diagnose acute cholangitis. Predictors of acute cholangitis mortality included grade III based on TG18, inappropriate use of antibiotics and procalcionine level  ≥ 2.0 ng/mL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>