Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
Pelzer, Dave
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
362.733 PEL pt (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Indra Surya, 1965-
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006
332.63 IND p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Angela Putri Iskandar
"
ABSTRAK2 Broke Girls dan Glee dinominasikan sebagai serial televisi paling banyak ditonton di Amerika Serikat. Keduanya termasuk karakter Asia dalam cerita. Namun, di kedua serial televisi, karakter Asia diwakili sebagai stereotip dan lelucon tentang ras Asia yang diwakili dari perspektif orang-orang Barat. Makalah ini akan membahas stereotip dan bentuk dominasi lainnya seperti yang terlihat dari percakapan. Namun, meski karakter Asia di kedua serial televisi tersebut didominasi oleh karakter Barat, namun kaum terpinggirkan mampu melawan dominasi. Sikap orang Asia akan diperiksa dengan menggunakan teori perlawanan oleh Vinthagen yang berhubungan erat dengan teori hubungan kekuasaan oleh Focault. Kedua serial televisi ini telah menunjukkan bahwa terpinggirkan karakter orang Asia mampu melawan dominasi dan perlawanan balik. Makalah ini akan memeriksa kesamaan dan perbedaan os resistansi dalam dua serial televisi ini.Kata kunciAsia; Dominasi Barat; Serial televisi; Hak istimewa putih; Barat.
ABSTRACT2 Broke Girls and Glee are nominated as the most watched television series in The United States. Both of them include Asian character within the story. However, in both television series, the Asian characters are being represented as stereotypes and jokes about Asian race that were represented from the perspective of the Western people. This paper is going to discuss the stereotypes and other forms of the domination as seen from the conversations. Yet, eventhough the Asian characters in both television series are being dominated by the Western character, the marginalized are able to fight back toward the domination. The attitude of the Asians will be examined using the theory of resistance by Vinthagen which relate closely to the theory of power relations by Focault. These two television series have shown that the marginalized the Asians characters are able to resist the domination and fight back. This paper will examine the similarities and the difference os the resistence in these two television series.KeywordsAsian Western domination Television series White privilege Western."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
London: Routledge, 2018
401.41 ELI
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Yuhanti
"Sistem kredensial dengan pembatasan kewenangan klinik berbasis profesionalisme bertujuan menjamin akuntabilitas tenaga profesional keperawatan dan memastikan bahwa pasien mendapatkan layanan yang aman. Sistem ini disosialisasikan melalui Lokakarya Penetapan Kewenangan Klinik yang menggunakan metode pembelajaran inovatif dalam bentuk simulasi. Simulasi merupakan bentuk yang belum umum digunakan untuk sosialisasi walaupun sangat bermanfaat sebagai metode pemelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas Lokakarya Penetapan kewenangan klinik dengan metode simulasi sebagai bentuk sosialisasi sistem kredensial bidang keperawatan dalam meningkatkan pengetahuan peserta. Metode yang digunakan adalah pretest and post test without control. Sebelum dan sesudah lokakarya, pengetahuan partisipan diukur dengan test tentang sistem kredensial. Hasil pretest dan posttest dianalisis dengan uji t berpasangan. Penelitian ini menemukan adanya perbedaan bermakna antara pengetahuan pretest dan posttest, artinya lokakarya penetapan kewenangan klinik dengan metode simulasi efektif menyosialisasikan sistem kredensial. Metode simulasi dapat digunakan untuk melengkapi metode yang sebelumnya dilakukan dalam rangka sosialisasi sistem kredensial.
Simulation of Determination Clinical Authority Effective as Dissemination Tool the System Credentials Nursing Profession. The credentialing system with the delineation of clinical privilege is based on the principles of professionalism. It aims to ensure the accountability of nurses and patient safety. This system is introduced in Clinical Privilege Workshop which used simulation as learning approach. Because simulation is seldom used as a tool to disseminate an innovation, this study aimed to test the effectiveness of simulation method to disseminate credential system in nursing. This study used  pre test and post test without control. Before and after workshop, participants knowledge was measured using a knowledge test related to credentialing system. Paired t-test was used for the analysis. This study revealed there is a significant difference between the pre and post test, it means Clinical Privilege Workshop with simulation effectively disseminates the credentialing system. Simulation methods can be applied to complete methods existing used in order to support the dissemination of the nursing credential system."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
610 UI-JKI 16:3 (2013)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Dwi Handayani
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kedudukan hak privilege negara terhadap hak preferensi pemegang Hak Tanggungan apabila objek yang dibebani Hak Tanggungan dilakukan penyitaan terkait tindak pidana. Untuk menjelaskannya penulis menjabarkan bagaimana objek HT dapat dilakukan sita oleh negara sehingga mengalihkan status hukum dari benda jaminan menjadi benda sitaan negara dan berada dibawah kewenangan negara. Lalu penulis mengaitkan proses peralihan status tersebut dengan hak istimewa (privilege) yang dimiliki negara, yang timbul karena objek jaminan yang disita negara termasuk dalam lingkup piutang negara yang dapat mengesampingkan preferensi pemegang HT. Oleh karena itu penulis juga menjabarkan bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang HT yang harus mengalah terhadap privilege negara. Hasil dari skripsi ini bahwa atas penyitaan objek HT kedudukan hak privilege negara diutamakan dari preferensi pemegang HT. Namun penyitaan objek HT masih menimbulkan perdebatan oleh Para Ahli terutama mengenai kedudukan yang harus didahulukan antara pemegang HT dan Negara atas objek jaminan yang terkait hasil tindak pidana korupsi. Seiring dengan berkembangnya modus kejahatan berdalih jaminan Hak Tanggungan, maka saran dari penulis perlu pengaturan yang tegas dalam UUHT atas penyitaan objek yang dibebani Hak Tanggungan dan batasan ruang lingkup yang jelas atas definisi Piutang Negara yang dinyatakan dalam penjelasan umum angka 4 UUHT.
This thesis discusses how the privileged position of state against the preference position of mortgage right holder when collateral objects are confiscated by state - related to the crime. The author describes by explaining how the collateral object could be confiscated by the state which had divert the legal status of collateral objects into confiscated objects under the authority of the state. Then author describes how the transition process of object with special rights (privilege) held by state, which is confiscated, emphasize on the scope of national accounts so have to override the preference of mortgage holders. Therefore, the authors also describe how the legal protection is given to creditors as mortgage right holders, which has correlation with collateral objects confiscated by the state in corruption cases and the legal action could be done by the creditors. The result of this thesis is that preference position of mortgage right holder is under the privileged position of state when collateral objects are confiscated by state. Meanwhile, the Confiscation of mortgage is still debating within the expert, due to the conflict of interest between the state and the creditors (the state is considered more important than the creditors). Along with the development mode of mortgage fraud over the past few years, the suggestion that the author can give is the need for clear regulation in the Mortgage Law about confiscation of collateral objects and also clear limits the scope of National Accounts definitions set out in item 4 general description of UUHT."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62101
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Steven Sim
"Proses pengembangan perangkat lunak tidak hanya terdiri dari tugas pengembangannya saja, melainkan terdapat juga tugas-tugas yang bersifat operasional terkait proses DevOps dan IT Ops. Tugas-tugas tersebut secara tradisional dilakukan dengan cara manual, akan tetapi proses tersebut berlangsung cukup lama dan sifatnya yang berulang, manual, dan tidak memiliki nilai tambah pada aplikasi disebut toiling works yang berdampak buruk pada produktivitas pengembang perangkat lunak. Proses pengerjaan tugas yang manual tersebut berpotensi besar melanggar least privilege principle dimana pelaksana tugas hanya boleh diberikan akses ke sumber daya yang memang diperlukan saja karena pelaksana tugas diberikan akses penuh ke sebuah shared jump host server. Solusi ChatOps sebagai model kolaborasi dimana pekerjaan dilakukan di dalam aplikasi chat berpotensi untuk menyelesaikan dua masalah tersebut dalam pelaksanaan tugas DevOps dan IT Ops. Implementasi dari solusi ChatOps ini dilakukan pada tiga buah tugas dari tahap requirements gathering menggunakan Slack sebagai aplikasi chat dan Semaphore Ansible sebagai tasks handler. Pengujian dilakukan dengan membandingkan solusi ChatOps dengan metode manual dengan tiga buah parameter yaitu waktu untuk menjalankan tugas, waktu sampai tugas selesai, dan keamanan berdasarkan least privilege principle. Hasil pengujian menunjukkan solusi ChatOps lebih unggul dari metode manual dari sisi waktu dan berpotensi menerapkan least privilege principle yang lebih baik.
Software development process comprises of development tasks and operational tasks mostly related to DevOps and IT Ops. Operational tasks are usually done manually but since it happens oftenly and have no enduring value, it is a toiling work that wastes time. The process that is done manually may also violate least privilege principle since full access to a server is usually given. ChatOps as a collaboration model where work is done inside the chat application has a potential to solve those two issues in doing DevOps and IT Ops related tasks. The implementation of ChatOps as a solution is done with three tasks as a subject based on the requirements gathering results done in this research. Technologies used are Slack as the chat application and Semaphore Ansible as the tasks handler. Evaluation is done by comparing ChatOps solution with the manual method by using three parameters: the time needed to execute the task, the time needed until the task is finished, and the security analysis based on 2 least privilege principle. Evaluation results showed that the ChatOps solution requires less time than the manual method and able to implement better security in terms of better implementation of least privilege principle."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mardi Susanto
"
ABSTRAKSebagaimana dengan masyarakat luas yang memiliki stratifikasi sosial di dalamnya, masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tentu juga memiliki stratifikasi sosial di dalamnya. Berangkat dari asumsi tersebut, tesis ini mencoba untuk menggali keberadaan stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.
Dalam penelitian tentang stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, teori yang dipergunakan sebagai panduan dalam rangka menjawab permasalahan stratifikasi sosial di lembaga pemasyarakatan adalah teori stratifikasi sosial yang dikemukakan oleh Max Weber, Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills yang menyatakan bahwa ada tiga dimensi stratifikasi sosial di Masyarakat yaitu dimensi kekuasaan, previlese dan prestise.
Dengan pendekatan kualitatif diskriptif, penelitian ini berhasil menemukan suatu fakta empiris bahwa pada masyarakat narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang terdapat 4 (empat) dimensi stratifikasi sosial yaitu 1) Kekuasaan, 2) Prestise, 3) Previlese dan 4) kekerasan. Dari studi ini juga ditemukan bahwa dimensi previlese memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap ketiga dimensi lainnya.
ABSTRACTAs with wide society owning social stratification in it, socialize convict [in] institute of pemasyarakatan of course also own social stratification in it. leaving dar of the assumption, this thesis try to dig existence of social stratification of convict in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.In research about social stratification in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, theory which is used as by guidance in order to replying problems of social stratification in lembaga pemasyarakatan is]theory of stratification of social proposed by Max Weber, Gerhard E. Lenski and C. Wright Mills expressing that there is three dimension of social stratification in society that is paintbrush dimension, previlese and presstige.With approach qualitative diskriptif, this research succeed to find a[n empirical fact that [at] society of convict in I Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang of there are 4 ( empat) dimension of social stratification that is 1) power 2) presstige 3) Previlese And 4) hardness. From this study is also found by that dimension of previlese own very dominant influence to third the other dimension."
2007
T20491
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yasmin Ghaisani Sya'bina
"Perikatan sebagai seorang personal guarantee atau penanggung utang (borgtocht) meletakkan diri pada kedudukan yang cukup berisiko. Pada dasarnya, seseorang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam kapasitasnya sebagai personal guarantee. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, seorang personal guarantee berkewajiban untuk melakukan pelunasan atas utang seorang debitur yang tidak membayar utang-utangnya. Namun, dalam melaksanakan perikatannya, seorang personal guarantee diberikan hak istimewa oleh Pasal 1831 KUHPerdata berupa hak untuk menuntut penyitaan dan penjualan harta kekayaan debitur utama terlebih dahulu sebelum harta kekayaannya dieksekusi. Tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang tersebut tidak menutup kemungkinan bagi personal guarantee untuk dimintai pertanggungjawaban di muka Pengadilan. Bahkan, Pasal 1832 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur mengenai pelepasan hak istimewa personal guarantee mengindikasikan adanya kemungkinan personal guarantee dijatuhkan pailit atas utang debitur utama, baik bersamaan maupun tanpa dipailitkannya debitur utama. Sayangnya, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit mengenai kedudukan personal guarantee dalam ruang lingkup kepailitan. Oleh karena itu, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan penafsiran pertanggungjawaban personal guarantee dalam kepailitan. Tulisan ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban jaminan perorangan (personal guarantee) dalam kepailitan dengan dikaitkan pada Putusan Nomor 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/ PN.Niaga.Jkt.Pst.. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan perbandingan dengan yurisprudensi yang bertolak belakang dengan putusan tersebut, yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 922 K/Pdt/1995. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung oleh data sekunder.
Agreement as a personal guarantee (borgtocht) places oneself in a quite risky position. Essentially, an individual bears a significant amount of liability in their capacity as a personal guarantee. As regulated in Article 1820 of the Civil Code, a personal guarantee is obligated to pay off the debts of a debtor who fails to pay their debts. However, in carrying out the agreement, a personal guarantee is given a privilege based on Article 1831 of the Civil Code in the form of the right to demand seizure and sale of the principal’s assets first before executing the personal guarantee’s assets. The liability that is given by the law does not preclude the possibility for personal guarantees to be held accountable before the Court. In fact, Article 1832 paragraph (1) of the Civil Code which regulates the relinquishment of personal guarantee’s privilege indicated the possibility of personal guarantee being declared bankrupt for the principal’s debt, either with or without the principal being declared bankrupt as well. Unfortunately, statutory regulations do not explicitly regulate the legal standing of personal guarantee within the scope of bankruptcy. Therefore, in practice, there are still different interpretations of personal guarantee’s liability in bankruptcy. This article analyzes personal guarantee’s liability in bankruptcy by reviewing Decision No. 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN.NIAGA.Jkt.Pst.. Apart from that, this article also presents a comparison to a jurisprudence that is contrary to the decision, namely Jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 922 K/Pdt/1995. This article is written using a normative juridical research method and supported by secondary data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jason Zefanya
"Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi pengalaman perempuan berkaitan dengan beauty privilege. Studi dilakukan pada kalangan mahasiswi, khususnya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Beauty privilege merujuk pada keuntungan sosial yang diperoleh individu berdasarkan standar kecantikan tertentu. Melalui wawancara mendalam dengan empat informan, penelitian ini mengungkap proses memenuhi standar kecantikan, tekanan yang dihadapi, serta keuntungan sosial, ekonomi, dan politik yang dirasakan individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya memenuhi standar kecantikan tidak hanya meningkatkan rasa percaya diri tetapi juga memberikan akses ke perlakuan sosial yang lebih baik, seperti peluang akademik dan profesional. Namun, fenomena ini juga memunculkan tekanan sosial yang signifikan yang dialami oleh individu, seperti tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang dikonstruksikan di masyarakat, terutama di lingkungan sekitar individu yang mengakibatkan adanya objektifikasi berdasarkan penampilan fisik yang dianggap cantik. Studi ini memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana beauty privilege menciptakan ketidaksetaraan sosial, sekaligus menyoroti pentingnya kesadaran sosial terhadap inklusivitas dan penghapusan bias berbasis penampilan fisik.
This study aims to explore women's experiences related to beauty privilege. The research was conducted among female students, specifically within the Faculty of Social and Political Sciences at the University of Indonesia. Beauty privilege refers to the social advantages gained by individuals based on certain beauty standards. Through in-depth interviews with four informants, this study reveals the process of meeting beauty standards, the pressures faced, as well as the social, economic, and political benefits experienced by individuals. The findings show that efforts to meet beauty standards not only enhance self-confidence but also provide access to better social treatment, such as academic and professional opportunities. However, this phenomenon also brings significant social pressures, such as the demand to conform to socially constructed beauty standards, particularly within one's immediate environment. This often results in objectification based on physical appearance deemed attractive.The study provides a deeper understanding of how beauty privilege creates social inequality while highlighting the importance of social awareness in promoting inclusivity and eliminating appearance-based biases."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library