Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bonita Effendi
Abstrak :
Latar Belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan inisiasi bundle care dapat memperbaiki luaran pasien dengan sepsis. Namun, akurasi diagnosis sepsis masih sulit. Bakteremia Gram-negatif memiliki risiko syok sepsis lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Tujuan penelitian adalah mengetahui peran skor qSOFA, prokalsitonin, serta gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas pasien sepsis bakteremia Gram-negatif. Metode Penelitian kohort retrospektif dan prospektif menggunakan data rekam medik dan registri pasien sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM melibatkan pasien berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM selama Maret 2017-Oktober 2020. Data yang diekstraksi adalah karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium, serta luaran yaitu mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pemantauan. Hasil 128 subyek penelitian terdiri atas 50,8% pasien laki-laki dengan median usia 48 (RIK 46-51) tahun. Mortalitas pasien dengan bakteremia Gram-negatif terjadi pada 51,6% dengan kesintasan kumulatif 48,4% (SE 0,96%). Peran skor qSOFA terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam 28 hari perawatan dengan (AUROC 0,74; IK95% 0,66-0,82). Prokalsitonin menunjukkan performa yang buruk (AUROC 0,45; IK 95% 0,36-0,54) dalam memprediksi mortalitas pasien bakteremia Gram-negatif di RSCM. Bila dibandingkan dengan hasil nilai titik potong skor qSOFA, nilai AUROC skor qSOFA ditambah prokalsitonin, tidak berbeda bermakna AUROC 0,74 vs AUROC 0,75. Kesimpulan Performa skor qSOFA merupakan sistem skor terbaik dalam memprediksi mortalitas pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. Performa gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin tidak memberikan penambahan performa prediktor mortalitas dalam perawatan pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. ......Background. Sepsis is a leading cause of mortality and morbidity globally. Early diagnosis and initiation of bundle care may improve the outcome. However, accurate diagnosis of sepsis is still challenging. Gram-negative bacteremia was reported to have higher risk of septic shock and poor prognosis. Aim of this study is to evaluate the role of qSOFA and procalcitonin in predicting mortality risk in patients with Gram-negative bacteremia, furthermore adding procalcitonin to the qSOFA score may improve the ability to predict mortality. Methods. This was a retrospective and prospective cohort study performed based on medical records and sepsis registry of Tropical and Infectious Disease Division, Internal Medicine Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, conducted on patients aged > 18 years of age hospitalized from March 2017 until October 2020. The following data were obtained: sample characteristics, laboratory parameters, and 28-day mortality outcomes during hospitality. Results. 128 patients were enrolled. There are 50.8% male patients with median (IQR) of age 48 (46-51) years. Mortality rate of Gram-negative bacteremia is 51.6% with cumulative survival 48.4% (SE 0.96%). The role of qSOFA score to predict 28-day mortality rate is (AUROC 0.74; 95% CI 0.66-0.82). Procalcitonin shows poor performance in predicting mortality of patients with Gram-negative bacteremia (AUROC 0.45, 95% CI 0.36-.0.54). Combining qSOFA score with procalcitonin does not improve the ability to predict the 28-day mortality risk (AUROC 0.75, 95% CI 0.66-0.84). Conclusion. qSOFA score shows good performance in predicting mortality of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia. By adding procalcitonin does not improve its ability to predict mortality risk of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Bimo Indrasmoro
Abstrak :
Catheter-related bloodstream infections (CRBSIs) adalah salah satu infeksi yang paling sering didapat di rumah sakit. Perkiraan saat ini adalah antara 15% hingga 30% dari semua bakteremia nosokomial terkait dengan kateter. Peningkatan kadar PCT dianggap sebagai indikasi laboratorium yang utama dari infeksi akut, dan PCT merupakan penanda CRBSI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prokalsitonin sebagai prediktor keberhasilan medikamentosa pada kasus CRBSI. Metode : Subjek penelitian sebagian diperoleh dari rekam medis pasien yang masuk melalui poliklinik dan IGD RSCM, selanjutnya diseleksi sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Pasien akan dipantau selama menjalani rawat inap di rumah sakit, dan dilihat perkembangan penyakit serta keberhasilan medikamentosa yang di dapat oleh pasien selama 2 minggu, sehingga didapatkan data seberapa besar kejadian keberhasilan terapi medikamentosa dan kejadian penggantian kateter pada pasien dengan CRBSI didalam rekam medis. Hasil : Variabel bebas dan variabel tergantung akan dilakukan analisisi bivariate menggunakan uji perbandingan dua rerata, jika sebaran variabel bebas tersebut normal maka akan menggunakan uji independent t-test dan jika sebaran variabel bebas tidak normal maka dilakukan uji menggunakan mann whitney. Apabila dari hasil uji bivariate terdapat nilai p value bermakna atau p value <0,2 maka akan dilanjutkan menggunakan uji penentuan titik potong dengan metode kurva ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifitas terbaik. ......Background : Catheter-Related Bloodstream Infections (CRBSI) are one of the most common infections acquired in hospitals. Current estimates are between 15% and 30% of all catheter-associated nosocomial bacteremia. Elevated procalcitonine (PCT) levels are considered the primery laboratory indication of acute infection, and PCT is a marker of CRBSI. The purpose of this study was to determine PCT as a predictor of success medication in CRBSI cases. Methods : The research subjects were partially obtained from the medical records of patients who entered through the polyclinic and the RSCM ER, then selected according to the inclusion and exclusion criteria that had been determined by the researcher. Patients will be monitored during hospitalization in the hospital, and seen the progress of the disease and the success of medication obtained by the patient for 2 weeks, in order to obtain data on how much the incidence of successful medical therapy and the incidence of catheter replacement in patients with CRBSI is in the medical record. Results : The independent variables and dependent variables will be analyzed using a bivariate comparison test of two means, if the distribution of the independent variables is normal, it will use the independent t-test and if the distribution of the independent variables is not normal, then the test is carried out using the Mann Whitney. If the results of the bivariate test have a significant p value or p value <0.2, it will be continued using the cut point determination test with the ROC curve method to get the best sensitivity and specificity. Conclusion : In this study, the value of procalcitonin can be a predictor of medical success in CRBSI cases.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Ulhaq
Abstrak :
Latar belakang: Pemanfaatan modalitas diagnostik terbaru dalam diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan kolangitis akut telah berkontribusi pada penurunan mortalitas yang signifikan. Salah satu modalitas diagnosis kolangitis akut yang dewasa ini banyak digunakan secara luas adalah menggunakan kriteria diagnosis Tokyo. Walaupun demikian, kriteria TG18 masih memiliki spesifisitas yang relatif kurang, sehingga menyebabkan masih cukup tingginya temuan diagnosis positif palsu. Oleh karena itu, diperlukan penanda inflamasi yang lebih spesifik terhadap infeksi, misalnya procalcitonin (PCT), yang diharapkan dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis kriteria TG18. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi diagnostik dan nilai tambah pemeriksaan kadar prokalsitonin dalam diagnosis kolangitis akut. Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan di Unit Gawat Darurat, rawat jalan, dan Pusat Endoskopi Saluran Cerna (PESC) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan April sampai Desember 2022. Penelitian ini melibatkan 84 pasien ikterus obstruktif yang direncanakan untuk tindakan drainase bilier di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kriteria yang digunakan adalah kriteria TG18. Pemeriksaan baku emas dikatakan positif apabila ditemukan salah satu bukti dari pemeriksaan baku emas, yaitu drainase bilier purulen secara makroskopik pada drainase yang pertama dan kultur bilier positif. Hasil: Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif dari kriteria diagnostik Tokyo 2018 dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 97,10%; 0,0%; 81,71%; 0,0%; dan 0,97.Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif dari kriteria diagnostik prokalsitonin dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; dan 0,38. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif dari kombinasi prokalsitonin dan kriteria TG18 dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; dan 0,38 Kesimpulan: Kriteria TG18 dengan parameter prokalsitonin tidak terbukti dapat meningkatkan nilai diagnostik dari parameter prokalsitonin secara tunggal dalam mendeteksi kolangitis akut. ......Background: Utilization of the latest diagnostic modalities in the diagnosis and management of patients with acute cholangitis has contributed to a significant reduction in mortality. One of the modalities for the diagnosis of acute cholangitis which is widely used today is the Tokyo diagnostic criteria. Even so, the TG18 criteria still have relatively low specificity, resulting in a relatively high number of false positive diagnosis findings. Therefore, a marker of inflammation that is more specific to infection is needed, for example procalcitonin (PCT), which is expected to increase the specificity of the diagnosis of the TG18 criteria. The purpose of this study was to determine the diagnostic accuracy and added value of testing procalcitonin levels in the diagnosis of acute cholangitis. Methods: This prospective observational study with a cross-sectional design was conducted at the Emergency Unit, outpatient care, and PESC of Cipto Mangunkusumo General Hospital from April to December 2022. This study involved 84 patients with obstructive jaundice who were planned for biliary drainage at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The criteria used are the TG18 criteria. The gold standard examination is proven positive if one of the following criteria was noted: namely macroscopic purulent biliary drainage in the first drainage and positive biliary culture. Results: Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and positive likelihood ratio of TG18 criteria in detecting acute cholangitis were 97,10%; 0,0%; 81,71%; 0,0%; and 0,97, respectively. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of procalcitonin in detecting acute cholangitis were 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; and 0,38, respectively. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of combined procalcitonin and TG18 criteria in the diagnosis of acute cholangitis were 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; and 0,38, respectively. Conclusion: TG18 criteria combined with procalcitonin was not found to be superior to procalcitonin only in the diagnosis of acute cholangitis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andra Aswar
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Modifikasi dari kriteria klinis infeksi menurut International Disease Society of America dan International Working Group on Diabetic Foot (IDSA-IWGDF) diperlukan untuk mengevaluasi infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Prokalsitonin (PCT), penanda infeksi yang spesifik untuk infeksi bakteri diketahui bermanfaat dalam menegakkan diagnosis infeksi pada ulkus kaki diabetik. Namun, peranannya dalam menentukan ada tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan belum diketahui, begitu juga nilai tambahnya terhadap penanda klinis infeksi. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan penanda klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi dan PCT dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Metode: Dilakukan studi potong lintang berbasis riset diagnostik pada penyandang diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang sedang mendapatkan pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada kurun waktu Oktober 2011-April 2012. Pasien yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian dilakukan penilaian infeksi pada ulkus menggunakan kriteria klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi (eritema, edema, nyeri, dan panas) dan pemeriksaan PCT. Kemudian dinilai kemampuannya dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong dengan sensitivitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini yang dibandingkan dengan baku emas berupa pemeriksaan bakteri secara kuantitatif dari kultur jaringan ulkus. Hasil: Dari 47 subjek yang diteliti, terdapat 41 subjek dengan ulkus kaki diabetik yang masih terinfeksi berdasarkan pemeriksaan bakteri secara kuantitatif dari kultur jaringan ulkus. Penanda klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi memilki kemampuan prediksi yang baik dalam menentukan masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan dengan AUC: 0,744 (IK 95% 0,576-0,912) dengan titik potong bila ditemukan ≥2 tanda klinis infeksi (Sn: 41,46%; Sp: 100%; NPP: 100%, NPN: 20%). Sedangkan, untuk prokalsitonin didapatkan AUC: 0,642 (IK 95% 0,404-0,880). Simpulan: Kriteria klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi memiliki kemampuan yang baik untuk menentukan masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Belum didapatkan manfaat prokalsitonin dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan.
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wardhana
Abstrak :
Konversi luka bakar merupakan perubahan zona kedalaman dari dangkal menjadi dalam pada 3–7 hari pasca luka bakar. Saat ini, proses autofagi, inflamasi, iskemia, infeksi, dan reactive oxygen species dianggap berperan dalam patogenesis konversi luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor risiko terjadinya konversi luka bakar pada pasien dewasa dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi kejadian konversi luka bakar sebagai acuan tatalaksana konservatif dan operatif. Penelitian dilaksanakan dengan metode nested case control pada pasien luka bakar dewasa yang dirawat di Unit Luka Bakar RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Subjek direkrut dengan metode consecutive sampling pada Februari 2019–Agustus 2020. Faktor risiko yang diteliti adalah karakteristik klinis, pemeriksaan klinis lokal, dan pemeriksaan klinis sistemik. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat regresi logistik. Terdapat 40 subjek kelompok kasus dan 20 subjek kelompok kontrol. Luka bakar di regio trunkus (OR = 3,67; p = 0,028), regio tungkai (OR = 6,93; p = 0,001), luas luka bakar yang dihitung dengan ImageJ ³ 9,49 %TBSA (OR = 32,11 p < 0,001), suhu permukaan luka yang diukur dengan termografi FLIR ONE® ≤ -1,55 oC (OR = 13,78; p < 0,001), kadar prokalsitonin ≥ 0,075 ng/mL (OR = 12; p < 0,001), dan kadar laktat darah ≥ 1,75 mmol/L (OR = 7; p = 0,001) memiliki hubungan bermakna dengan konversi luka bakar. Dikembangkan 3 model konversi luka bakar dari variabel bermakna. Model 1 diterapkan di fasilitas kesehatan tersier dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 85% (IK95% 0,835–1,00; p < 0,001). Model 2 dan 3 dapat diterapkan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder dengan model 2 memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95% dan 70% (IK95% 0,830– 1,00; p < 0,001) dan model 3 memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 85% (IK95% 0,832–1,00; p < 0,001). Model skor yang dibuat dapat dipertimbangkan digunakan dalam praktek seharihari terutama sebagai acuan tatalaksana konservatif dan operatif. ......Burns are a global public health problem with high morbidity and mortality rates. Burn wound conversion describes the process by which superficial-partial thickness burns convert into deeper burns within 3–7 days after the burn. Currently, autophagy, inflammation, ischemia, infection, and reactive oxygen species are thought to play a role in the pathogenesis of burn wound conversion. This study aims to assess risk factors for burn wound conversion and develop a scoring system to predict burn conversion as a reference for burn wound management. The study was conducted using the nested case control method, in adult burn patients who were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo and Jakarta Islamic Hospital Cempaka Putih. Subjects were recruited by consecutive sampling method in February 2019–August 2020. The role of clinical characteristics, local clinical examination, and systemic examination as predictors of burn wound conversion were assessed. The risk factors were analyzed using bivariate and logistic regression multivariate analysis. There were 40 subjects in case group and 20 subjects in control group. Involvement of trunk (OR = 3.67; p = 0.028), limbs (OR = 6.93; p = 0.001), burn extent measured using ImageJ ³ 9.49 %TBSA (OR = 32.11 p < 0.001), wound surface temperature measured using FLIR ONE® thermography ≤ -1.55 oC (OR = 13.78; p < 0.001), procalsitonin level ≥ 0.075 ng/mL (OR = 12; p < 0.001), dan blood lactate level ≥ 1.75 mmol/L (OR = 7; p = 0.001) had significant relationship with burn wound conversion. Three scoring models were developed based on the significant variables with model 1 to be applied in tertiary health facilities and model 2 and 3 to be applied in primary and secondary health facilities with sensitivity and specificity of 92.5% and 85% (95% CI 0.835–1,00; p < 0.001)), 95% and 70% (95% CI 0.830–1.00; p < 0.001) and 92,5% and 85% (95% CI 0.832–1.00; p < 0.001), respectively). The scoring models can be considered to be used in daily practice, especially as a reference for conservative and operative management.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Badai Buana
Abstrak :
Sepsis memiliki angka kematian yang cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh karena penegakan diagnostik, pemantauan, dan tatalaksana yang tidak adekuat. Mortalitas dan morbiditas sepsis masih dalam banyak penelitian di seluruh dunia. Penyebab terbanyak adalah keadaan imunoparalisis pada sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kejadian, gambaran klinis imunoparalisis pada sepsis klinis anak.Penelitian ini dengan desain deskriptif, dimana subjek di IGD, PICU, dan ruang rawat anak RSCM usia 1 bulan ndash; 18 tahun dengan diagnosis sepsis klinis yang memilki 2/lebih dari 4 kriteria: 1 takikardia; 2 takipnu; 3 hipo/hipertermia; 4 leukositosis/leukopenia, dengan bukti infeksi berupa prokalstionin 0,5 ng/mL dan/atau dijumpai pertumbuhan kuman pada kultur. Setelah orangtua subjek mengisi informed consent, pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin, analisa gas darah, prokalsitonin, kultur darah, dan darah diambil untuk pemeriksaan TNF alfa ex vivo. Pemeriksaan TNF alfa ex vivo dilakukan dengan menstimulasi darah segar dengan lipopolisakarida salmonella serotipe abortus equii 500 pg/mL yang kemudian akan dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 4 jam dan disentrifugasi 1000XG selama 5 menit, dilakukan pemeriksaan TNF alfa dengan metode ELISA. Subjek dikatakan imunoparalisis jika didapati hasil TNF alfa ex vivo < 200 pg/mL.Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian imunoparalisis 12 17,1 dari 70 subjek terdiagnosa sepsis klinis. Proporsi laki:perempuan 1,4:1. Status gizi kurang n=8/66,7 lebih banyak didapati pada imunoparalisis sepsis klinis. Fokus infeksi tersering adalah infeksi pada sistem hematologi, nefrologi dan respirasi. Subjek demam 5 41,7 , takikardia 3 25 , takipnu 3 25 dari 12 subjek imunoparalisis pada sepsis klinis anak Untuk pemeriksaan laboratorium, prokalsitonin >2,0 ng/mL dan jumlah leukosit > 11.000/mm3 lebih sering dijumpai.Simpulan: angka kejadian imunoparalisis pada sepsis klinis anak di RSCM 17,1 . Gambaran pasien imnoparalisis pada sepsis klinis yang memiliki persentase besar adalah gizi kurang; pasien dengan fokus infeksi hematologi, nefrologi, dan respirasi; prokalsitonin ge; 2 ng/mL; dan leukosit ge; 11.000/mm3
Mortality in sepsis is high worldwide. It is caused by the diagnostic, monitoring, and inadequate therapeutic. Mortality and morbidity in sepsis is still in research. Immunoparalysis is a leading cause of mortality and morbidity of sepsis. The objectives of this study were investigating incidence, clinical characteristics immunoparalysis in clinically sepsis.Design of study was descriptive. The subjets were children age 1 month-18 years from emergency room, PICU, and pediatric ward with clinically sepsis following ge; 2 of 4 criterias: 1 tachycardia; 2 tachypnea; 3 hypo/hyperthermia; 4 leucocytosis/leucopenia, with proven infection such as procalcitonin 0.5 ng/mL with/without positive culture. After informed consent was filled, subjects were examined blood sample, procalcitonin, blood culture, and TNF alpha ex vivo. Whole blood was stimulated with lipopolysaccharides salmonella serotype abotrtus equii, incubated in 37 0C for 4 hours, centrifugated 1000XG for 5 minutes, and examined for TNF alpha with ELISA. Subjects was defined imunoparalysis with TNF alpha ex vivo < 200 pg/mL.We found the incidence of immunoparalysis was 12 17.1 of 70 clinically sepsis subjects. Malnourished status n=8/66.7 was higher frequency. The large numbers for focus of infection were hematologic, nephrologic, and respiratory system. Subjects had fever 5 41,7 , tachycardia 3 25 , and tachypnea 3 25 from 12 imunoparalysis clinically sepsis subject. Laboratorium findings showed procalcitonin > 2.0 pg/mL 8 66,7 subjects and leucocyte > 11.000/mm3 6 50 subjects.Conclusion: The incidence of imunnoparalysed sepsis was 17.1 . Profile of pediatric clinically sepsis had a big number in malnourished status, focus infectious on hematology, nephrology, and respitarory with laboratorium findings showed procalcitonin > 2.0 ng/mL and leococyte > 11.000/mm3 had a high numbers in immunoparalysed clinically sepsis.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Abdullah
Abstrak :
Infeksi merupakan komplikasi serius dan umum terjadi pada pasien di ruang rawat intensif rumah sakit. Pasien di ruang rawat intensif sering mengalami kondisi kritis dan imunosupresi yang membuat mereka rentan terhadap berbagai infeksi, termasuk yang disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik. Seringkali, penyebab infeksi tidak dapat langsung diidentifikasi, sehingga pemberian antibiotik empiris harus dilakukan, di mana antibiotik diberikan berdasarkan pengalaman klinis dan pengetahuan tentang patogen yang kemungkinan besar terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kuman dan kesesuaian pemberian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman, serta menganalisis hubungan kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris di ruang rawat intensif rumah sakit Cipto Mangunkusumo periode 2022. an observasional yang dilakukan secara potong lintang (cross-sectional) pada penggunaan antibiotik empiris pada pasien ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode 2022. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien yang dirawat di ruang rawat intensif periode Januari- Desember 2022 yang terdiri dari ICU Dewasa (Kanigara) dan ICU IGD RSCM. Perbaikan klinis setelah pemberian terapi antibiotik empiris dinilai dari penurunan jumlah leukosit, penurunan kadar prokalsitonin, perbaikan skor National Early Warning Score (NEWS) pada 0-48 jam setelah antiobiotik empiris dihentikan. Analisis bivariat dilakukan dengan Uji Chi Square, dengan nilai p signifikansi <0,05. Analisis multivariat dilakukan pada faktor perancu dengan Uji Regresi Logistik.

            Pada penelitian ini didapatkan 107 penggunaan antibiotik empiris. Hasil uji sensitivitas kuman pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris menunjukkan bahwa Klebsiella pneumonia dan Acinetobacter sp. adalah kuman yang paling banyak ditemukan, dengan tingkat sensitivitas yang rendah terhadap antibiotik di bawah 40% pada sebagian besar hasil uji sensitivitas kuman. Didapatkan jumlah kesesuaian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman lebih tinggi pada kategori tidak sesuai sebanyak 62,62% (n=67). Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien (p<0,05). Analisis multivariat menunjukkan kesesuaian penggunaan antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas memiliki signifikansi secara statistik terhadap perbaikan klinis (OR 5,26 (1,46-18,95), p = 0,011).

            Penggunaan antibiotik empiris di ruang rawat intensif sebagian besar tidak sesuai dengan hasil uji sensitivitas kuman. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien. Temuan ini menegaskan pentingnya pemilihan antibiotik empiris yang tepat berdasarkan pola kuman dan hasil uji sensitivitas kuman untuk meningkatkan efektivitas perawatan di ruang rawat intensif.


Infections are a serious and common complication in patients in hospital intensive care units. Patients in intensive care often experience critical conditions and immunosuppression, making them vulnerable to various infections, including those caused by antibiotic-resistant pathogens. Often, the cause of the infection cannot be immediately identified, necessitating the administration of empirical antibiotics, where antibiotics are given based on clinical experience and knowledge of the most likely involved pathogens. This study aims to determine the pattern of pathogens and the appropriateness of empirical antibiotic administration with the results of pathogen sensitivity tests, as well as to analyze the relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients receiving empirical antibiotics in the intensive care unit of Cipto Mangunkusumo Hospital for the period of 2022.

            This study is an observational cross-sectional research on the use of empirical antibiotics in intensive care patients at Cipto Mangunkusumo Hospital during the 2022 period. The data collected were medical record data of patients treated in the intensive care unit from January to December 2022, consisting of the Adult ICU (Kanigara) and the Emergency Department ICU of RSCM. Clinical improvement after the administration of empirical antibiotic therapy was assessed from the decrease in leukocyte count, the decrease in procalcitonin levels, and the improvement of the National Early Warning Score (NEWS) within 0-48 hours after the empirical antibiotics were discontinued. Bivariate analysis was performed using the Chi-Square Test, with a significance value of p<0.05. Multivariate analysis was performed on confounding factors using Logistic Regression Test.

            In this study, 107 uses of empirical antibiotics were found. Pathogen sensitivity tests in patients receiving empirical antibiotics showed that Klebsiella pneumoniae and Acinetobacter sp. were the most commonly found pathogens, with a low level of sensitivity to antibiotics below 40% in most pathogen sensitivity test results. In addition, the number of appropriate empirical antibiotics with the results of pathogen sensitivity tests was higher in the inappropriate category by 62.62% (n=67). There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients (p<0.05). Multivariate analysis showed statistical significance (OR = 5,26 (1,46-18,95), p-value = 0.011).

            The use of empirical antibiotics in the intensive care unit was mostly not in accordance with the results of pathogen sensitivity tests. There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients. These findings affirm the importance of selecting the appropriate empirical antibiotics based on the pattern of pathogens and the results of pathogen sensitivity tests to enhance the effectiveness of care in the intensive care unit.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Dediat Kapnosa Hasani
Abstrak :
Latar Belakang: Sindrom ovarium polikistik merupakan kelainan endokrin dan metabolik terbanyak yang dialami oleh wanita usia reproduksi. Penyebab dari SOPK diketahui multifaktorial, namun faktor lemak memiliki peranan penting dalam perjalanan penyakit. Pada pasien SOPK ditemukan akumulasi lemak dilokasi tertentu. Komposisi lemak tubuh dapat menyebabkan proses inflamasi klinis derajat rendah yang berperan dalam terjadinya resistensi insulin pada pasien SOPK. Pengukuran komposisi lemak tubuh berdasarkan indeks massa tubuh kurang spesifik. Persentase lemak tubuh diperkirakan lebih spesifik dalam menggambarkan komposisi lemak tubuh dan memiliki korelasi dengan proses inflamasi kronis derajat rendah yang gambarkan oleh peningkatan prokalsitonin darah pasien dengan SOPK. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi komposisi lemak tubuh terhadap kadar prokalsitonin sebagai penanda biokimiawi inflamasi kronis derajat rendah. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional), di klinik Yasmin RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo dan Laboratorium Terpadu FKUI selama tahun 2014-2015. Pasien yang sudah terdiagnosis SOPK berdasarkan kriteria Rotterdam 2003, dilakukan pemeriksaan indeks massa tubuh, persentase lemak tubuh dengan menggunakan metode bioelectrical impedance analysis dan pemeriksaan prokalsitonin darah. Dilakukan uji korelasi antara indeks massa tubuh dan persentase lemak tubuh terhadap kadar prokalsitonin darah pasien. Hasil: Dari total 32 subyek penelitian, didapatkan peningkatan komposisi lemak tubuh dengan rerata indeks massa tubuh 29,09±5,11 kg/m2 dan komposisi lemak tubuh 39,38±9,04 %. Pada uji korelasi didapatkan peningkatan indeks massa berkorelasi positif terhadap kadar prokalsitonin namun tidak bermakna secara statistik (r =0,27; p =0,131). Persentase lemak tubuh didapatkan berkorelasi positif bermakna secara statistik dengan kadar prokalsitonin (r=0,35; p=0,048). Kesimpulan: Terdapat peningkatan rerata komposisi lemak tubuh pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Persentase lemak tubuh memiliki korelasi yang lebih baik dibandingkan dengan indeks massa tubuh terhadap kadar prokalsitonin darah sebagai penanda biokimia inflamasi kronis derajat rendah pada pasien. ......Background: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is the most common metabolic and endocrine problems in reproductive ages women. PCOS has multifactorial cause, but body fat was known to has significant role in disease course. Patient with PCOS known to have body fat accumulation in some body location. Body fat composition can cause low grade chronic inflamation which can cause insulin resistence. Measuring body fat composition with body mass index is not an ideal method. Body fat percentage should be more specific in measuring body fat composition and should have better corelation than body mass index to procalcitonin as low grade chronic inflamation marker. Purpose: The purpose of this research is to identify corelation between body fat composition and procalcitonin as low grade chronic inflamation in PCOS. Method: The study was conducted with a cross sectional study design, in Yasmin Clinic, RSUPN Dr.Cipto Mangunkusomo and Integrated Laboratory of Medical Faculty University of Indonesia during 2014-2015. Patients who have been diagnosed with PCOS based on the criteria of Rotterdam, 2003, was examined the body mass index, body fat percentage using bioelectrical impedance analysis and blood procalcitonin level. We measure the correlation between body mass index and body fat percentage to procalcitonin levels of the patient's blood. Result: From a total of 32 subjects of the study, we found an increase in body fat composition with a mean body mass index 29.09 ± 5.11 kg/m2 and body fat composition 39.38 ± 9.04%. From correlation test, we found that body mass index was positively correlated to the levels of procalcitonin but not statistically significant (r = 0.27; p = 0.131). Body fat percentage has significant positive corellation to procalcitonin levels (r = 0.35; p = 0.048). Conclutions: There is an increase in the average composition of body fat in patients with polycystic ovary syndrome. Body fat percentage has a better correlation than the body mass index on blood levels of procalcitonin.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R Gantira Wijayakusumah Danasasmita
Abstrak :
Latar Belakang. Pasien demam neutropenia yang bukan akibat efek samping kemoterapi angka kejadiannya semakin meningkat. Kondisi neutropenia meningkatkan risiko terjadinya infeksi, adapun penyebab neutropenia tidak hanya obat kemoterapi. Beberapa sistem penilaian risiko komplikasi digunakan untuk dasar terapi antibiotik pada pasien demam neutropenia pasca kemoterapi, belum ada penelitian terhadap pasien demam neutropenia selain pasca kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk validasi dan menilai performa skor MASCC dan penambahan prokalsitonin pada populasi demam neutropenia tidak terkait kemoterapi. Metode. Penelitian dilakukan pada rekam medis 68 pasien demam neutropenia yang bukan terkait kemoterapi di ruang perawatan RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2018-November 2019. Dilakukan penilaian validasi kalibrasi menggunakan Hosmer- Lameshow dan deskripsi dengan ROC. Hasil. Terdapat variasi skor MASCC dan nilai prokalsitonin subjek penelitian. Median skor MASCC adalah 21 (18-24) yang masuk dalam kategori low-risk. Median prokalsitonin subjek adalah 1,99 ng/mL (0,72-10,60). Performa MASCC menghasilkan kalibrasi baik p>0,05 dan area under curve (AUC) sebesar 0,888(IK95% 0,813-0,962, p = 0,000). Prokalsitonin menunjukkan AUC sebesar 0,797 (IK95% 0,683-0,911, p = 0,000), titik potong 1,67 dengan sensitifitas 78,8% dan spesifisitas 72,4%. Performa gabungan skor MASCC dan prokalsitonin juga menghasilkan kalibrasi Hosmer-Lameshow dengan p>0,05 dan AUC sebesar 0,901 (IK95% 0,827-0,974). Kesimpulan. Dapat disimpulkan bahwa MASCC merupakan instrumen yang baik untuk mendeteksi komplikasi perawatan pada pasien dengan FN yang tidak terkait kemoterapi. Gabungan antara MASCC dan PCT didapatkan hasil yang bermakna dalam prediktor komplikasi dengan validasi baik.
Background. Neutropenia patients who are not due to side effects of chemotherapy are increased. Neutropenia increases the risk of infection. Several complications risk assessment systems are used for antibiotic therapy in patients with post-chemotherapy neutropenia. There are no studies in neutropenic fever patients who are not due to chemotherapy drugs. This study aims to validate and assess the performance of the MASCC score and the addition of procalcitonin in the neutropenia fever population not related to chemotherapy. Methods. The study was conducted on the medical records of 68 neutropenic fever patients who were not chemotherapy-related in the National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo in January 2018-November 2019. The calibration validation was assessed using Hosmer- Lameshow and description with ROC. Results. There are variations in MASCC scores and procalcitonin scores in the study subjects. The median MASCC score is 21 (18-24). The median procalcitonin subject was 1.99 ng / mL (0.72 - 10.60). MASCC's performance resulted in a good calibration of p> 0.05 and area under curve (AUC) of 0.888 (IK95% 0.813 - 0.962, p = 0.000). Procalcitonin showed AUC of 0.797 (IK95% 0.683 - 0.911, p = 0.000), the cut point 1.67 with a sensitivity of 78.8% and specificity of 72.4%. The combined performance of MASCC and procalcitonin scores also resulted in Hosmer-Lameshow calibration with p> 0.05 and AUC of 0.901 (IK95% 0.827- 0.974). Conclusion. It can be concluded that MASCC is a good instrument for detecting treatment complications in patients with FN that are not chemotherapy related. The combination with PCT has significant results
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library