Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Alim Anggono
"Membayar menggunakan dompet digital terbukti cenderung membuat uang yang konsumen bayarkan lebih banyak karena konsumen merasakan pain of paying atau rasa sakit membayar yang lebih sedikit (Boden, Maier, & Wilken, 2020). Penelitan terdahulu belum melihat bagaimana rasa sakit membayar berperan dalam pembayaran top-up pada dompet digital, dan penelitian ini berusaha mencari tahu hal tersebut. Selain itu, penelitian ini juga berusaha mencari tahu adanya moderasi keterikatan terhadap pengaruh tujuan pembayaran terhadap rasa sakit membayar. Penelitian ini merupakan 2 (tujuan pembayaran: top-up vs membayar tagihan) x 2 (keterikatan: tinggi vs rendah) mixed design. Penelitian dilakukan kepada mahasiswa UI yang berusia 18-23 tahun dan terbiasa menggunakan dompet digital. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan pembayaran berpengaruh terhadap rasa sakit membayar yang dirasakan konsumen di mana skor rasa sakit membayar lebih tinggi pada saat membayar tagihan belanja. Keterikatan juga terbukti memoderasi hubungan keduanya.
Paying using a digital wallet has been proven to tend to make consumers pay more because consumers feel less pain of paying (Boden, Maier, & Wilken, 2020). Past research has not looked at how pain of paying plays a role in top-up payments on digital wallets, and this study aims to figure that out. In addition, this study also aims to find out if there is the role of coupling as moderator to the effect of payment objective on pain of paying. This research is a 2 (payment objective: top-up vs paying bills) x 2 (coupling: high vs low) mixed design. The study was conducted on UI students aged 18-23 years and they are all familiar to using digital wallets. The results of this study indicate that the purpose of payment affects the pain of paying felt by consumers where the pain of paying score is higher when consumers paying shopping bills. Coupling has also been shown to moderate their relationship."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Safira Amalia Roza
"Tulisan ini mengangkat permasalahan standar kecantikan yang tidak dapat menyeimbangkan keberagaman kecantikan hingga membawa perempuan pada keadaan narsis dan melankolis sebagai penyebab rasa sakit, serta menarik tawaran terhadap ragam persepsi kecantikan. Hal itu yang disebut sebagai penyebab rasa sakit dalam feminine jouissance, perempuan memperoleh kebahagiaan semu yang akhirnya akan menghasilkan rasa sakit. Muncul banyak kekeliruan dalam memahami konsep kecantikan sehingga mewajarkan rasa sakit dalam memenuhi standar yang ada. Perempuan membutuhkan jalan keluar agar terbebas dari represi yang dialaminya. Penelusuran dalam tulisan ini menggunakan data yang dikumpulkan dari iklan-iklan, sejarah, dan mitos-mitos. Saya menggunakan pendekatan dari tawaran Luce Irigaray terkait subjektivitas feminin. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu kajian literatur dan analisis filosofis menggunakan teori subjektivitas Luce Irigaray. Hasil dari tulisan ini menguatkan penggunaan subjektivitas feminin Luce Irigaray bahwa setiap perempuan harus dapat menjelaskan kecantikan yang ada pada dirinya dan terbuka dengan segala ragam kecantikan yang ada.
This paper raises the standard of beauty that cannot balance the diversity of beauty so as to bring women into a state of narcissism and melancholy as the cause of pain, and draws offers on various perceptions of beauty. This is what is called the cause of pain in feminine jouissance, women get a false happiness that will eventually produce pain. There are many mistakes in understanding the concept of beauty so that it is natural to feel pain in meeting existing standards. Women need a way out to be free from the repression they experience. The search in this paper uses data collected from advertisements, history, and myths. I use the approach of Luce Irigaray's offer of feminine subjectivity. The method used in this paper is literature review and philosophical analysis using Luce Irigaray's theory of subjectivity. The results of this paper reinforce the use of Luce Irigaray's feminine subjectivity that every woman must be able to explain the beauty that exists in herself and be open to all kinds of beauty that exist."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Maria Maharani
"Balet identik dengan gerakan tubuh yang terlihat indah, magis, surgawi, ringan, dan tanpa usaha. Namun, bagi para penari balet, keindahan tersebut dilakukan oleh tubuh yang juga merasakan sakit dan menyimpan memori, serta kode sosial dari strukturnya. Keterlibatan aktif tubuh membuat penari mengembangkan suatu habitus yang terus menaturalisasi rasa sakit sebagai bagian dari proses “menjadi”-nya. Bagi penari balet perempuan, rasa sakit begitu melekat dengan penggunaan pointe shoes. Sejatinya, pointe shoes dibuat untuk meneguhkan keindahan perempuan bak peri atau malaikat dalam dongeng. Pertemuannya dengan rasa sakit kemudian meminggirkan dan mengabjeksi penari ke dalam ruang semiotik chora-nya. Melalui pembangunan lapisan teori antara Angela Pickard dan Julia Kristeva (1941-), tulisan ini mengeksplorasi pengalaman penari balet perempuan atas rasa sakit dan abjeksi, yang ditandai oleh penggunaan pointe shoes. Studi dan tinjauan literatur, serta wawancara, diolah dengan metode kinesemiotik Arianna Maiorani (1970-) untuk mengangkat pemaknaan personal penari dari ruang semiotik ke ruang simbolik, yang ditandai melalui gerak tubuh dalam interaksinya dengan ruang. Pertemuan tanda-tanda pada pointe shoes, menghasilkan suatu pemaknaan yang holistik yaitu estetika rasa sakit yang menyublim.
Ballet is notable for its beautiful, mystical, celestial, weightless, and effortless movements. However, for ballet dancers, these beautiful movements are all done by a body in pain, a body that embeds memories and social codes of its structure. The active involvement of the body enables a ballet dancer to develop a habitus that constantly naturalizes pain as part of the process of its “Being.” For the female, pain is embodied in pointe shoes. Initially, pointe shoes were meant to enhance the female’s beauty, like fairies or angels in fairy tales. The encounter with pain, then, marginalizes and abjects the dancer into her semiotic chora. Through the layering of theories of Angela Pickard and Julia Kristeva (1940-), this paper explores female ballet dancers’ lived experiences of pain and abjection, represented through pointe shoes. Literature research and reviews, as well as interviews, were analyzed with Arianna Maiorani’s (1970-) kinesemiotics method to put a rise to the dancer’s personal meanings, from the semiotics to symbolics, marked through body movements in interaction with space. The confluence of signs represented in pointe shoes creates a holistic meaning, namely the aesthetics of sublimated pain."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library