Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Alfa Shobrina
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan pemerintah Amerika Serikat bersedia merenegosiasi South Pacific Tuna Treaty (SPTT). SPTT merupakan perjanjian akses perikanan antara AS dan negara-negara Kepulauan Pasifik yang dibentuk pada tahun 1987. Pada Januari 2016 SPTT hampir hancur karena AS memutuskan untuk keluar dari perjanjian, tetapi berhasil diselamatkan ketika AS bersedia untuk menegosiasikan ulang perjanjian tersebut dengan negara-negara Kepulauan Pasifik. Pada Juni 2016, keduanya sepakat untuk merestrukturisasi SPTT dengan mengamandemen beberapa persyaratan perjanjian. Penelitian ini menganalisis mengapa AS bersedia untuk renegosiasi SPTT dengan pihak Kepulauan Pasifik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, teori two-level game digunakan dalam penelitian ini. Tujuannya untuk mengeksplorasi interaksi yang terjadi antara level domestik dan internasional pada renegosiasi SPTT. Hasil analisis  menunjukkan bahwa Departemen Luar Negeri AS memiliki wewenang untuk renegosiasi SPTT dan lembaga tersebut mendapat dukungan dari mayoritas kelompok domestik AS yang memiliki kepentingan sejalan dengannya. Negosiator juga melakukan beberapa strategi dalam rangka memperbesar dukungan dari kelompok-kelompok domestik sehingga SPTT dapat direnegosiasi. Berdasarkan analisis mengenai motivasi AS renegosiasi SPTT, hal itu mengindikasikan bahwa SPTT bukan hanya sekedar melayani kepentingan ekonomi AS, tetapi juga kepentingan strategis AS di kawasan Pasifik Selatan. ......This research aims to explain the reason of the United States government renegotiate the South Pacific Tuna Treaty (SPTT). The SPTT was formed in 1987 is a fisheries access agreement between the US and Pacific Island States. In January 2016 the SPTT was almost destroyed because the US decided to withdraw from the treaty, however, the treaty was saved when the US was willing to renegotiate with the Pacific Island States. In June 2016, both parties agreed to restructure the SPTT by amending several agreement terms. This thesis analysis why the US is willing to renegotiate SPPT with the Pacific Islands. To answer that question, two-level game theory is used in this research. The use of two-level games theory is to find out the interactions between the domestic and international levels in the SPTT renegotiation. The findings of this research showed that the US Department of State has the authority to renegotiate the SPTT and the agency has the support from the majority of US domestic groups who have similar interest. Negotiators also perform some strategies in order to increase support from domestic groups so that the SPTT could be renegotiated. Based on an analysis of the US motivation to renegotiate the SPTT, it indicates that the SPTT is not just serving US economic interests, but also US strategic interests in the South Pacific region.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gan Chaterina Tirta Ganitiya
Abstrak :
Tesis ini menjabarkan mengenai pola interdependensi yang dikemukakan oleh Keohane dan Nye yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Indonesia terkait isu masalah perpanjangan Kontrak Karya PT Freepeort Indonesia yang akan segera berkahir pada 2021. Saat ini pemerintah sedang sibuk dalam menyiapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh PT Freeport Indonesia, jika ingin kontrak karyanya di perpanjang. Mengingat pelanggaran – pelanggaran serta kerugian yang telah dialami oleh Indonesia selama masa periode kontrak karya yang kedua, maka dapat dipastikan bahwa renegosiasi tersebut akan berjalan cukup sulit. Masalah – masalah yang ditimbulkan oleh PT Freeport Indonesia selama masa periode kontrak karya kedua ini diantaranya terkait isu lingkungan, kesenjangan sosial, divestasi saham, serta pembangunan tempat pemurnian atau smelter yang seharusnya sudah dibangun dalam 5 tahun sejak Undang Undang Minerba diterbitkan. Meskipun dalam kontrak karya pertama PT Freeport Indonesia memiliki power yang lebih besar untuk menekan Pemerintah Indonesia, karena kebutuhan pemerintah saat itu akan investasi asing guna meningkatkan pembangunan Indonesia. Namun, pada seiring berjalannya waktu, maka Pemerintah Indonesia melalui kontrak karya kedua mulai sedikit demi sedikit menunjukan kekuatannya kepada pemerintah Amerika Serikat lewat PT Freeport Indonesia. ......This thesis describes the patterns of interdependence proposed by Keohane and Nye happened between the US and Indonesia over the issue of the extension problem of Contract of Work (CoW) of PT Freeport Indonesia that will soon expires in 2021. Currently, the government is busy in preparing the terms - conditions that must be met by PT Freeport Indonesia, if it wants to renew his contract of work until 2041. Given the violations and losses that have been experienced by Indonesia during the second period of the contract of work, it can be ascertained that the renegotiation will take quite difficult. The problems posed by PT Freeport Indonesia during the second period of the contract's work were related to environmental issues, social inequality, divestiture, as well as the construction of purification or smelters that should have been built in the five years since the Mining Law was published. Although in the first contract of works of PT Freeport Indonesia, US has a greater power to press the Government of Indonesia, because the needs of the current government to get the foreign investment to boost the development of Indonesia. However, as time goes on, the Government of Indonesia through the second contract of work began gradually shows its strength to the US government through PT Freeport Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Rachel
Abstrak :
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia seyogyanya digunakan untuk kepentingan rakyat. Pemerintah Indonesia membuka kesempatan bagi bangsa asing untuk menanam modal mereka di Indonesia dalam rangka mengembangkan kemakmuran bangsa Indonesia dengan memanfaatkan kekayaan alam bumi Indonesia. Akan tetapi agar kemakmuran rakyat Indonesia dapat terjamin, maka perusahaan tambang asing diwajibkan untuk menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Namun di dalam prakteknya kewajiban divestasi perusahaan pertambangan asing ini belum dapat berjalan dengan lancar. Maka dengan penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai masalah mengapa divestasi tersebut masih terhambat sehingga pada akhirnya dapat dijadikan alasan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya antara pihak asing yakni PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia. Indonesia is a country which is rich in natural resources. These natural resources are, in the first place for the benefit of the Indonesian people. In recent years, the Indonesian government has removed certain obstacles to foreign investment in Indonesia so as to exploit these natural resources and in turn, to increase the prosperity of all Indonesians. However, at particular times, foreign mining companies are obliged to sell their shares to the government of Indonesia. In practice, this divestment obligation has not been exercised smoothly. This thesis attempts to answer why divestment has not been exercised smoothly especially in regards to the renegotiation of the Contract of Works between PT. Freeport Indonesia and the Government of Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S1549
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Aurelia Salsabila
Abstrak :
Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya adalah eksistensi perjanjian yang terganggu pelaksanaannya dikarenakan terdapat sejumlah pihak yang tidak bisa memenuhi prestasi atau kewajiban kontraktualnya dengan mendalilkan pandemi Covid-19 sebagai kategori keadaan memaksa (force majeure). Penelitian ini membahas pelaksanaan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi karena pandemi Covid-19 di Indonesia dan Malaysia. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan pada kedua negara yang menjadi fokus perbandingan dalam penelitian ini. Simpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya ketentuan yang secara khusus menyatakan pandemi Covid-19 sebagai force majeure baik dalam hukum perjanjian Indonesia maupun Malaysia mengakibatkan suatu sengketa kontrak yang terjadi harus dinilai berdasarkan kasus per kasus serta memperhatikan kesesuaiannya dengan berbagai ketentuan yang berlaku. Saran yang dapat diberikan adalah para pihak yang akan mengadakan perjanjian sebaiknya merumuskan klausul tentang force majeure secara tegas dan jelas, serta dapat melakukan renegosiasi sebagai upaya pelaksanaan perjanjian apabila tidak ditemukan klausul yang secara jelas mengatur tentang kondisi tertentu karena pelaksanaan perjanjian tetap harus diupayakan sebab adanya kekuatan mengikat pada setiap perjanjian yang dibuat secara sah. ......The Covid-19 pandemic has had a significant impact on various aspects of people’s lives, one of which is the existence of contracts whose implementation has been disrupted because there are some of parties who cannot fulfill their achievements or contractual obligations by postulating the Covid-19 pandemic as a category of force majeure. This research discusses the implementation of contracts due to defaults due to the Covid-19 pandemic in Indonesia and Malaysia. The method used is normative juridical by examining laws and regulations and court decisions in the two countries which are the focus of comparison in this research. The conclusion of this research is that there are no provisions specifically stating the Covid-19 pandemic as a force majeure in both Indonesia and Malaysia contract law resulting in a contract dispute that occurs must be assessed on a case-by-case basis and pay attention to its compliance with various applicable provisions. Advice that can be given is that the parties who are going to enter into a contract should formulate clauses regarding force majeure explicitly and clearly, and also can renegotiate as an effort to implement the contract if no clause is found that clearly regulates certain conditions because the implementation of the contract must still be pursued because of the existence of binding force on any contract made legally.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library