Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ummyatul Hajrah
Abstrak :
ABSTRAK
Pada proses produksi alas kaki, lem sering digunakan sebagai bahan perekat yang mengandung benzena. Benzena telah ditetapkan sebagai bahan karsinogen pada manusia dimana jalur pajanan utama melalui inhalasi.Pajanan benzena terhadap tubuh mempunyai dampak yang sangat buruk pada kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi tingkat risiko kesehatan pekerja menurut pajanan benzena udara di lingkungan kerja dan mengetahui gambaranintake non karsinogen dan intakekarsinogen pajanan benzena terhadap gejala gangguan pernapasan pekerja. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dan pendekatan analisis risiko pada pekerja di empat industri alas kaki informal di Desa Pagelaran, Ciomas, Bogor pada Agustus ndash; September 2017. Jumlah sampel sebanyak 96 pekerja yang diperoleh dengan metode purposif sampling. Sampel udara sebanyak 12 titik untuk mengukur konsentrasi benzena di dalam ruang kerja yang diukur dengan alat perangkap udara dan instrument Gas Chromatography GC . Data pekerja diperoleh melalui wawancara, pengukuran tinggi badan denganmicrotoise dan berat badan menggunakan alat timbangan. Hasil penelitian menujukkan 21pekerja memiliki risiko kanker ECR>1?10-4 dan11 pekerjamemiliki risiko non kanker real time RQ
ABSTRACT
In the production process of footwear, glue is often used as an adhesive material containing benzene. Benzene has been established as a carcinogenic substance in humans where the main exposure pathway is through inhalation. Benzene exposure to the body has a very bad impact on healtuat h. This study aims to estimate the level of occupational health risk by exposure to benzene in the work place and to know the scope of non carcinogenic intake and carcinogen intake of benzene exposure against respiratory symptoms. This study uses cross sectional study design and risk analysis approaches to workers in four informal footwear industries located in Pagelaran, Ciomas, Bogor in August to September 2017. The total sample is 96 workers obtained by purposive sampling method. Air samples of 12 points to measure benzene concentrations in the workspace as measured by air trapping device and Gas Chromatography GC instrument. Workers data obtained through interviews, measurements of height with microtoise and weight using the instrument weighing scale. The results showed 21 workers had cancer risk ECR 1 10 4 and 11 workers had non cancer risk real time RQ
2018
T49669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efi Kurniatiningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Anak-anak merupakan kelompok umur yang memiliki risiko tinggi karena pencemaran particulate matter PM10. Oleh sebab itu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan asupan pajanan PM10 dengan gejala gangguan pernafasan pada anak sekolah dasar. Dalam penelitian ini variabel intake pajanan particulate matter, jenis kelamin, umur dan status gizi diteliti pengaruhnya terhadap gejala gangguan pernafasan. Disain studi yang digunakan adalah cross sectional, analisis data dilakukan dengan univariat dan bivariat terhadap 102 responden. Pengukuran PM10 dilakukan selama 1 jam pada 4 titik sampling telah menunjukkan bahwa konsentrasi PM10 telah melampaui baku mutu sebesar 120,25 μg/m3. Sebanyak 43,1% responden mengalami gejala gangguan pernafasan dan disimpulkan bahwa intake pajanan PM10 yang tinggi berhubungan signifikan dengan gejala gangguan pernafasan dengan peluang 3 kali dibanding responden dengan intake pajanan rendah (p value =0,009). Hubungan antara intake PM10 dan gejala gangguan pernafasan dipengaruhi juga oleh umur responden dengan p value 0,018.
ABSTRACT
Children are within high risk age group of particulate matter PM10 exposure. Therefore, a study needs to be conducted to see the correction of PM10 exposure intake with respiratory symptoms in elementary students age group. In this study, the intake of the PM10 exposure, the gender, the age and the nutritional status are examined to know their effects on the respiratory symptoms. The study design being used is cross sectional, with univariat and bivariat analysis on 102 respondents. The measurement of PM10 carried out in 1 hour at 4 sampling points has shown that the concentration of the PM10 has exceeded the standard quality of 120.25 μg/m3. A total of 43.1% respondents are experiencing respiratory symptoms and it is concluded that high exposure intake of PM10 is significantly associated with respiratory symptoms with higher chances a chance of 3 times compared to respondents with low exposure intake (p value = 0.009). The relationship between the exposure of PM10 and respiratory symptoms is also influenced by the age of the respondents with p value of 0,018
2015
S59264
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Ario Seno
Abstrak :
Partikel debu lingkungan kerja yang berukuran 0,1 - 10 p.m dapat membahayakan kesehatan, karena partikel ini di udara yang relatif lama dan akan terhirup oleh pekerja melalui saluran pernafasan, yang pada akhirnya akan menimbulkan penyakit saluran pernafasan. Adakah hubungan pajanan kadar debu inhalabel lingkungan kerja dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan, dan adakah hubungan antara variabel pengganggu dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan di bagian produksi Indarung V PT Semen Padang. Ruang Lingkup penelitian ini adalah pajanan debu inhalabel dan timbulnya gejala penyakit saluran pemafasan pekerja di bagian produksi Indarung V PT Semen Padang. Rancangan Penelitian ini adalah observasional dan dilaksanakan secara cross sectional dan bersifat kuantitatif Lokasi Penelitian di bagian Produksi Indarung V PT. Semen Padang. Kadar debu inhalabel lingkungan kerja yang diambil sebanyak 40 sampel, diukur dengan Personal Dust Sampler, sedangkan besarnya sampel tenaga kerja sebanyak 40 orang. Kadar debu inhalabel lingkungan kerja dalam rentang minimum 1,88 mg/m3, maximum 10,46 mg/m3, rata-rata 4,25 mg/m3, standar deviasi 2,65 mg/m3. Pekerja yang terpajan melebihi nilai ambang batas sebanyak 12.5 %. Timbulnya gejala penyakit saluran pemafasan 32,5 %. Pekerja dengan gejala penyakit saluran pernafasan sebagian besar adalah pada kelompok umur < 30 tahun, pendidikan tamat SD, IMT kurang, masa kerja 10-20 tahun, tidak ikut latihan K3, kebiasaan tidak memakai alat pelindung diri, kebiasaan merokok dengan jenis rokok campuran (kretek dan Putih). Hubungan kadar debu inhalabel menunjukkan ada hubungan dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan. Karakteristik yang berhubungan dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan adalah umur, pendidikan, IMT, masa kerja, pelatihan K3, pemakaian alat pelindung diri, dan yang tidak berhubungan tempat kerja dan kebiasaan merokok. Hasil uji multivariat dengan regresi logistik ditemukan bahwa variabel NAB, APD dan kebiasaan merokok yang berpeluang. untuk timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan. Sedangkan yang berikteraksi adalah variabel NAB dan penggunaan APD. Model Persamaan Regresi Logistik Logit p(x) = - 16.497 - 0.647 * Kelompok Umur - 2.423 * Pendidikan - 2.674 * Status Gizi + 3.261 * Masa Kerja - 1946 * Latihan K3 + 5.117 * Nilai Ambang Batas + 4.859 * Pemakaian APD + 6.755 * Kebiasaan Merokok + 3.462 * APD * NAB. Rekomendasi yang diusulkan pada rekruitment pekerja di bagian produksi minimal berpendidikan SLTA, melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan berkala. Pengenalan lapangan melalui observasi lapangan, latihan-latihan, baik latihan K3 ataupun latihan proses produksi. Perlu ditingkatkan pemantauan, penegakan peraturaan dalam penggunaan APD seperti masker. Pemantauan, pengendalian dan pemeliharaan Electrostatic Precipitator dan Wet Scrubber secara teratur dan berkesinambungan. Sesuai dengan kebijakan direksi, maka perlu dilakukan koordinasi antara K2LH, Rumah Sakit dengan atasan pekerja langsung harus dijalin untuk pembinaan pekerja dalam penggunaan APD. ...... Dust Related Respiratory Symptoms of Workers Employed at PT. Semen Padang Cement suspended particuled dust with size of 0,1 to 10 µm will affects workers' exposed for health of, exposed for a long period of time, will develope respiratory tracts system. Scope of this research is to identify a relationship between workers exposed and symptoms of respiratory. Design of research was observasional and application of Cross sectional study and quantitative technical analysis. The location of this was in the production section of Indarung V PT. Semen Padang with sample size of 40 samples and using Personal Dust Sampler. The consentration of inhalabel dust was ranging from minimum 2,60 mg/m3, to a maximum of 10,46 mg/m3, mean was 5,44 mg/m3, standard deviation 2,24 mg/m3. Result of this research were 12,5 % of the sample exposed more has the threshold limit value. The symptom of respiratory tract were 32,5 % among worker employed of less than are 30 years, senior high school level, normal body mass index and 10-20 years length of services, smoking and not using personal protective equipment. The relationship between the concentration of inhalabel dust and the development of symptoms seems to be attributed by age, education, body mass index, length of services, occupational health and safety training, personal protective equipment, but there is no related with work place and smoking habits. The result of multivariat analysis with Logistic regression showed that three variables such as threshold limit value, personal protective equipment and smoking habits have the probability of induced respiratory tract symptom. Two variables threshold Iimit value and personal protective equipment was more interacts each other in related to the development respiratory tract symptom. Logistic regression model is Logit p(x) = - 16.497 - 0.647 * age group - 2.423 * education - 2.674 * Body Mass Index + 3.261 * length of services - 3.946 * training on safety and health + 5.117 * threshold limit value + 4.859 * using protective devices + 6.755 * smoking habits + 3.462 * threshold limit value * using protective devices. This research suggested that for new employees in the production section of PT Semen Padang should have minimum senior high school, preemployment and periodical medical examination, occupational health and safety training, production processes training, enforcement of personal protective equipment Control tecimologi by using Electrostatic Precipitator and Wet Scrubber to monitor dust emmission and maintenance of its. The clear management policies accountability related to the Occupational safety health and environment.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Muchlis
Abstrak :
Krisis ekonomi yang diperberat oleh berbagai bencana telah menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya beli serta harga barang yang melambung, sehingga tidak dapat memenuhi hak dan kebutuhan anak. Akibat lebih jauh yaitu banyaknya anak yang terpaksa meninggalkan sekolah dan rumah guna mencari nafkah di jalanan, sehingga jurnlah anak di jalanan di kota besar menunjukkan peningkatan yang tajam. Situasi kehidupan di jalanan memberikan akses bagi anak-anak tersebut untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat memberikan penghasilan atau sekedar bergaul dan bermain bersama teman sebayanya. Namun demikian kehidupan di jalanan juga membuat anak jalanan cenderung untuk melakukan kebiasaan yang buruk. Sebuah survey besar pada tahun 2001, dikatakan merokok merupakan kebiasaan buruk yang paling banyak dilakukan oleh anak jalanan, setelah itu kebiasaan rninuman keras, memakai napza dan kebiasaan lain termasuk sex bebas. Sementara itu situasi dan lingkungan sehari-hari di jalanan sangat membahayakan kehidupan anak karena ancaman kecelakaan dan kesehatannya. Salah sate ancaman kesehatan yang dapat timbul adalah terpaparnya anak-anak tersebut dengan bermacam polutan udara yang ada di sekitar lingkungan sehari-harinya beraktifitas. Di jalanan pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar polusi udara. Zat yang dihasilkan emisi gas buang kendaraan bermotor antara lain karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrokarbon, partikel, sulfur oksida, asam organik, aldehid dan timbal. Jakarta merupakan kota ke 3 setelah Meksiko dan Bangkok sebagai kota dengan dengan polusi udara yang terparah. Sebagian besar polutan udara di Jakarta dan kota besar lainnya berasal dari kendaraan bermotor. Lebih dari 20% kendaraan di Jakarta diperkirakan melepas gas beracun tersebut melebihi ambang batas yang dinyatakan aman dan peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan terus meningkatkan pemakaian bahan bakar yang mengakibatkan polusi udara yang meningkat pula. Pencemaran udara oleh polutan sisa pembakaran kendaraan bermotor di Indonesia dan tahun ke tahun cenderung meningkat. Kondisi pencernaran udara terlebih di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung tingkat polusi udaranya kini tengah mencapai ambang batas yang membahayakan kesehatan manusia selain juga merusak lingkungan seperti beberapa jenis tanaman yang mati akibat kadar gas buang yang mencemari udara semakin berat. Pencemaran tak dapat terelakkan lagi akibat terus membengkaknya jumlah kendaraan bermotor, di Jakarta sendiri jumlah kendaraan bermotor pada akhir tahun 2002 saja sudah mencapai 3,5 juta unit. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta melaporkan kondisi/kualitas pencemaran udara pada tahun 2001 : Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebesar 72,15 % tergolong kategori sedang 19,1 % kategori bails, 8,49 % masuk kategori tidak sehat, dan sisanya 0,27 % termasuk kategori sangat tidak sehat. Angkutan darat berperan memberikan kontribusi pencemaran udara dengan komposisi 78,32 % (SO2), 29,18 % (NO2). 62,62 % (Hidrokarbon), 85,78 % (CO), serta debu (partikulat) 6,9 %.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasna Pramita
Abstrak :
Latar Belakang Prevalensi asma meningkat dalam 30 tahun terakhir dan bervariasi di berbagai negara, komunitas, etnis yang berbeda. Penelitian di Indonesia melaporkan prevalensi asma pada anak dan orang dewasa 6-7 %. identifikasi faktor-faktor risiko seperti faktor keturunan, atopi, urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, gizi, pola makanan, obesitas dengan kejadian asma perlu untuk menjelaskan variasi tersebut. Sampai saat ini studi prevalensi asma dan identifikasi faktor risiko di daerah pantai dengan jumlah sampel yang besar belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan Mencari faktor-faktor risiko asma pada anak sekolah usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu. Metodologi Uji potong lintang dilanjutkan dengan disain kasus kontrol bersarang. Pada responden dibagikan kuesioner yang dikelompokkan berdasar diagnosis asma, pernah asma dan bukan asma. Untuk kelompok asma dalam 12 bulan terakhir, pernah asma dan tidak asma (keiompok kontrol) dipilih secara acak untuk dilakukan uji tusuk kulitlskin prick test. Hasil Telah dilakukan di 15 sekolah (SD, SLTP, SLTA) yang tersebar di Kepulauan Seribu sebanyak 1505 responden terdiri atas 713 laki-laki dan 792 perempuan. Distribusi responden menurut jenis kelamin pada kasus asma dan kontrol tidak terdapat hubungan yang bermakna (IK 95%; 0,54-1,47, p=0,66). Hubungan orang tua menyandang asma dengan kejadian asma pada responden menunjukkan hubungan bermakna. Pada ayah (IK 95%; 6,09-59,9, p=0,001). Pada ibu (IK 95%; 1,23-7,95, p=4,001), Berdasarkan hasil uji tusuk kulit pada kelompok mengi dan kontrol menunjukkan hubungan yang bermakna (D. Pteronyssinus) dengan kejadian asma (p 0,0001). Sedangkan faktor risiko asma lainnya (urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, dan obesitas) tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma. Simpulan PrevaIensi gejala asma pads anak usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu berdasarkan riwayat mengi = 11,8%, mengi 12 bulan terakhir = 5,4 %. Didapat hubungan bermakna pada orang tua menyandang asma terhadap kejadian asma pada anak. Hasil uji tusuk kulit (D. pteronyssinus) menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma.
Background The prevalence of asthma has been increasing in the last 30 years and varied among different countries, communities and ethnic groups. Study in Indonesia had reported that the prevalence of asthma in children and adults was 6-7%. Identification of risk factors, atopy, smoking, pet, nutrition, dietary pattern, obesity and incidence of asthma are necessary to explain the variation. Up to now, study on the prevalence of asthma and risk factors identification with big sample size in maritime region has never been conducted in Indonesia. Objectives The aim of the study is to determine risk factors of asthma in school children aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu. Methods A cross sectional study continued by nested case control was conducted in Kepulauan Seribu in June 2005. All respondents have to fill out questionnaire forms and were grouped based on diagnosis of asthma, history of asthma and no asthma. For the asthma group in last 12 months, history of asthma and no asthma (control group) were selected randomly for skin prick test. Results Data was obtained from 1505 subjects in 15 schools (elementary school, junior high school, senior high school) consisted of 713 boys and 792 girls. The prevalence of asthma in adolescents aged 13 - 18 years old in Kepulauan Seribu based on symptom of wheezing (11.8%), wheezing in the last 12 months (5.4%). Distribution of respondents based on gender found no significant relation between asthma and control group (CI 95%; 0.54-1.47, p=4.66). Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma (fathers CI 95%; 6.09-59.9, p=0.04I and mothers CI 95%; 1.23-7.95, p=0.001). Based on skin prick test, we found there was significant relation between alergen (D. Pteronyssinus) with incidence of asthma (p=4.0001), while other risk factors (family size, smoking, obesity, pet) had not showed significant relation with asthma. Conclusions The prevalence of asthma in adolescent aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu based on history of wheezing was 11.8%, while symptom of wheezing in 12 month was 5.4%. Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma. Skin prick test (D. pteronyssinus) had significant relation with incidence of asthma.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Suci Ramadhany
Abstrak :
Latar belakang: Stasiun pengisian bahan bakar umum SPBU semakin banyak didirikan untuk memenuhi kebutuhan bensin kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Petugas SPBU merupakan profesi yang memiliki risiko tinggi terpajan oleh polutan berbahaya yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor dan uap bensin terutama saat melakukan pengisian bensin. Kombinasi pajanan gas buang kendaraan dan uap bensin ini diduga berperan terhadap penurunan faal paru. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di SPBU wilayah Jakarta Pusat dan Utara pada bulan Agustus 2017-Februari 2018. Sebanyak 97 petugas SPBU diambil pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling. Subjek penelitian tersebut mengikuti wawancara dengan kuisioner, pemeriksaan spirometri dan foto toraks. Pengukuran kadar sulfur dioksida SO2 , nitrogen dioksida NO2 , karbonmonoksida CO , ozon O3 , particulate matter 2,5 PM 2,5 dan uap bensin benzene dilakukan di lokasi penelitian. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan hasil spirometri normal pada 56,7 subjek, kelainan berupa restriksi sebanyak 42,3 subjek, obstruksi pada 1 subjek dan tidak ada yang mengalami kelainan campuran restriksi dan obstruksi. Sebagian besar subjek 84,6 tidak mengalami keluhan respirasi, sebanyak 10,3 subjek mengalami batuk kering dan 5,1 subjek mengeluh batuk berdahak. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara arus puncak ekspirasi APE dengan masa kerja dengan nilai p 0,011 namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan parameter kapasitas vital paksa KVP , KVP, volume ekspirasi paksa pada detik pertama VEP1 , VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Kesimpulan: Prevalens kelainan faal paru petugas SPBU pada penelitian ini sebesar 43,3 dan keluhan respirasi pada 15,4 subjek. Diperlukan penelitian lebih lanjut secara kohort mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi faal paru pada petugas SPBU.
Background: To satisfy growing needs of petrol consumption in big city many new petrol stations has been built. Petrol station attendant is considered to have high risk exposure to dangerous pollutant from motor vehicle emission and petrol fumes, especially while filling up petrol tanks. Combination of those exhaust and petrol fumes is suspected to cause the reduction of lung function. Methods: This research is a cross sectional study done in petrol station in Central Jakarta and North Jakarta region between August 2017 and February 2018. A total of 97 petrol station attendants were taken in this research using consecutive sampling technique. The subjects were interviewed with questionnaires, spirometry and chest radiograph. Measurements of sulfur dioxide SO2 , nitrogen dioxide NO2 , carbon monoxide CO , ozone O3 , particulate matter 2,5 PM 2,5 and steam gasoline benzene concentrations were performed at the study sites. Results: In this study, normal spirometry results in 56.7 of subjects, abnormalities in the form of restriction in 42.3 of subjects, obstruction in 1 of subjects and none of which experienced mixed disorders of restriction and obstruction. Most subjects 84.6 did not experience respiratory complaints, as many as 10.3 of subjects had a dry cough and 5.1 of subjects complained of cough with phlegm. There was a statistically significant association between peak expiratory flow and duration of work with a p value of 0.011 but no significant association with other parameters such as forced vital capacity FVC , FVC, forced expiratory volume in the first second FEV1 , FEV1 and the ratio of FEV1/FVC. Conclusion: Prevalence of lung function abnormalities of petrol station attendant in this research is 43,3 and respiratory symptoms at 15,4 subject. Further cohort studies are needed on factors affecting lung function in gas station personnel.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Kekhawatiran akan tingginya kadar partikulat di udara Jakarta terkait dengan efek kesehatan pernapasan. Begitu pula, konsentrasi tinggi partikulat dalam rumah ditengarai merupakan bahaya potensial kesehatan untuk penghuni rumah. Makalah ini didasari oleh sebuah penelitian potong lintang di rumah sebuah desa di Jakarta yang dilakukan untuk sebuah disertasi gelar Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dalam kaitan dengan kesehatan, penelitian itu mengungkapkan bahwa efektivitas ventilasi lebih ditentukan oleh variasi konsentrasi partikulat rumah (PM10) daripada karakteristik fisik rumah. Di samping itu, gejala gangguan pernapasan pada anak balita ternyata berhubungan positif dengan konsentrasi PM10. Sifat-sifat fisik rumah seperti ukuran jendela, kamar dan lain-lain, kecuali kelembaban rumah, ternyata tidak berhubungan dengan variasi kesehatan para penghuninya. Penelitian ini mengisyaratkan bahwa PM10 merupakan indikator yang lebih baik untuk rumah sehat daripada ciri-ciri fisik rumah. Juga, tinggi kadar PM10 yang paling sensitif dan spesifik untuk menduga terjadinya gejala gangguan pernapasan adalah 70 mg/m3. Batas konsentrasi PM10 ini cocok dengan nilai petunjuk Badan Kesehatan Dunia sebesar 70 mg/m3 untuk partikel thorasik. (Med J Indones 2005; 14: 237-41)
Concerns for the high concentration of particulates in the ambient air of Jakarta had been associated with respiratory health effects. Accordingly, the high concentration of indoor air particulate in homes was also recognized as a potential health hazard to the household. This paper was based on findings in a cross-sectional study in homes of a village, Jakarta done for a dissertation of a doctoral degree in Public Health. In relation to health aspect, ventilation effectiveness was more predicted by the variation of indoor particulates concentrations (as PM10) than the physical characteristic of the houses. Besides, respiratory symptoms rates among children under-five were positively associated to PM10 concentrations. Except for the house dampness factor, no physical features of the houses such as sizes of windows, rooms, and the like, contributed to the variability of health of the occupants. This research suggested that PM10 concentration was a better indicator for a healthy house than the physical characteristics of the house. As such, the most sensitive and specific level of PM10 concentration to predict the development of respiratory symptoms was 70mg/m3. This cut-off concentration of PM10 agreed with the guideline value set on the level of 70mg/m3 for the thoracic particles by the World Health Organization. (Med J Indones 2005; 14: 237-41)
Medical Journal Of Indonesia, 14 (4) October December 2005: 237-241, 2005
MJIN-14-4-OctDec2005-237
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library