Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aruan, Bonita Irene
"Penelitian ini menelaah tentang bagaimana konsep Keadilan Restoratif seharusnya dimaknai dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Masih dimaknainya konsep Keadilan Restoratif sekedar sebagai penghentian perkara serta adanya pemahaman oleh Aparat Penegak Hukum yang menilai bahwasanya mekanisme Keadilan Restoratif yang membuka ruang dialog antara korban dan pelaku secara langsung atau Victim-offender Mediation sebagai satu-satunya mekanisme untuk mencapai Keadilan Restoratif seringkali menjadi penghalang untuk dapat diterapkannya konsep Keadilan Restoratif secara tepat dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Disamping itu, adanya ketimpangan relasi kuasa yang nyata dan potensi terjadinya reviktimisasi terhadap korban sedianya juga menjadi faktor lain yang menjadi penghambat keberhasilan penerapan konsep Keadilan Restoratif. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian diantaranya: Pertama, mengenai bagaimana konsep Keadilan Restoratif dimaknai dalam penanganan suatu perkara pidana. Kedua, bagaimana seyogyanya konsep Keadilan Restoratif harus dimaknai dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Ketiga, bagaimana pengimplementasion konsep Keadilan Restoratif pada penanganan kasus kekerasan seksual oleh Aparat Penegak Hukum di Indonesia melalui putusan serta kasus aktual yang ditangani. Guna memperluas khazanah pengetahuan, penelitian ini juga akan turut melakukan analisis terhadap penerapan konsep Keadilan Restoratif di beberapa negara seperti Kanada, Victoria, Belgia dan Selandia Baru. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa prinsip Keadilan Restoratif sedianya masih dapat diterapkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dengan beberapa catatan sebagai berikut: Pertama, harus dipahaminya Keadilan Restoratif tidak hanya sebatas sebagai mekanisme penghentian perkara; Kedua, Victim-Offender Mediation (Mediasi Penal) bukanlah satu-satunya mekanisme Keadilan Restoratif yang dapat diterapkan dalam kasus kekerasan seksual dan tidak selalu dapat diterapkan dalam setiap penanganan kasus kekerasan seksual mengingat pada faktanya setiap korban kekerasan seksual memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda; dan Ketiga, fasilitator Keadilan Restoratif yang menangani kasus kekerasan seksual harus dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan mumpuni terutama berkaitan dengan dinamika kontrol dalam kekerasan seksual.

This research examines how the concept of Restorative Justice should be interpreted in addressing cases of sexual violence. The prevailing interpretation of Restorative Justice merely as case termination, coupled with the understanding by Law Enforcement Authorities that the Restorative Justice mechanism, which facilitates direct dialogue between victims and offender or also known as Victim-offender Mediation, is often seen as the sole mechanism to achieve Restorative Justice frequently acts as a barrier to the accurate implementation of the Restorative Justice concept in handling sexual violence cases. Additionally, the existence of power imbalances and the potential for revictimization of the victims are other factors that hinder the success of implementing the Restorative Justice concept. By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, how the concept of Restorative Justice is interpreted in handling criminal cases. Second, how the concept of Restorative Justice should ideally be interpreted in handling sexual violence cases. Third, how the implementation of the Restorative Justice concept in handling sexual violence cases by Law Enforcement Authorities in Indonesia is carried out through decisions and actual cases handled. To expand the knowledge base, this research also analyzes the application of Restorative Justice concept in several countries such as Canada, Victoria, Belgium, and New Zealand. The results of this research show that Restorative Justice principles should still be applicable in handling sexual violence cases, with the following considerations: First, it is essential to understand that Restorative Justice is not merely a mechanism for case termination; second, Victim-offender Mediation is not the only Restorative Justice mechanism that can be applied in sexual violence cases, and it may not always be the right choice given the fact that every victim of sexual violence has different psychological conditions; and third, a Restorative Justice facilitator in handling sexual violence cases must be equipped with comprehensive knowledge and proficiency, especially regarding the dynamics of control in sexual violence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawati Puteri
"Skripsi ini menganalisis Putusan No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn yang
menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara kepada korban perkosaan yang melakukan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Hakim yang mengadili perkara tidak cukup memperhitungkan bahwa, korban adalah seorang anak, mengalami kehamilan akibat perkosaan inses, dan tidak dapat mengakses aborsi yang legal karena keterbatasan pengetahuan dan sumber daya. Hakim hanya menggunakan
batu uji berupa ketentuan prosedural mengenai aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah posisi perempuan korban perkosaan dalam pengaturan aborsi di Indonesia dan implikasinya dari perspektif teori hukum feminis. Penulis menggunakan metode normatif empiris dan teori hukum feminis
dengan konsekuensi metodologis melihat permasalahan ini dari perspektif perempuan. Korban perkosaan terbentur kebuntuan legalitas formal untuk dapat mengakses aborsi yang aman. Korban perkosaan memiliki kecenderungan mengalami trauma pasca perkosaan sehingga sulit berinteraksi dan melaporkan perkosaan yang terjadi, cenderung tidak mengetahui gejala dan usia kehamilan, sehingga terlambat melakukan visum et repertum dan laporan yang dibutuhkan. Selain itu, fenomena victim blaming meletakkan kehamilan akibat perkosaan
sebagai takdir yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan oleh korban. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan tentang aborsi di Indonesia belum dapat mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban perkosaan. Terdapat batas usia kehamilan dan persyaratan birokratis untuk dapat melakukan aborsi. Selain itu, belum terdapat rumah sakit yang dapat menyelenggarakan aborsi secara legal. Sehingga diperlukan perubahan pengaturan usia kehamilan, pemangkasan prosedur birokratis, dan penetapan rumah sakit tertentu sebagai penyelenggara fasilitas layanan kesehatan yang dapat melakukan aborsi secara sehat, aman, dan legal.
This thesis analyzes Decision No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn which gave 6 months imprisonment for a victim of rape who had an abortion that was not in accordance with prevailing laws. The Panel of Judges have failed to consider the facts that she is a child who had a pregnancy due to incest rapes and she could not access legal and safe abortion since she had limited knowledge and resources. The Panel of Judges limitedly used the formality and procedural provisions regarding
abortion as regulated in Law Number 36 of 2009 on Health and its derivative regulations. The main problem in this thesis is the position of women rape victim in the regulation of abortion in Indonesia and its implications from feminist legal theory perspective. The author uses empirical normative method and feminist legal theory by looking at this problem from women's perspective as the methodological consequence. Rape victim is hampered by a formal legality impasse to be able to
access safe abortion. In fact, rape victim has a tendency to experience trauma after the rape. Rape victim is often founded to be difficult to interact with. It is hard for a rape victim to report the rape that has been occured, the rape victim tend to not aware of the symptoms and age of pregnancy, therefore it is often too late to conduct visum et repertum and reports as required. In addition, the phenomenon of victim
blaming puts pregnancy due to rape as a destiny that must be accounted by the victim. Those whole things lead the victim to experience re-victimization and obstacles in proving the crime of rape that has befallen her. Research results find that, regulations of abortion in Indonesia have not been able to accommodate the needs and experience of rape victim. There are limitation based on age of
pregnancy and bureaucratic requirements to be able to conduct an abortion. In addition, there has been no hospital yet that can carry out legal abortion. It is necessary to amend the age of pregnancy limitation, trim the bureaucratic procedures, and establish certain hospitals as health services providers that can conduct healthy, safe, and legal abortion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library