Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sulistia Gunawan Ganiswarna
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
S70307
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Alkindy
Abstrak :
ABSTRAK
Rifampisin merupakan senyawa antibiotik golongan makrolida yang berkhasiat sebagai antituberkulosis yang menghambat inisiasi pembentukan rantai RNA pada bakteri. Pemantauan terapi obat dengan menggunakan kertas sampel darah kering memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan plasma yaitu minimum invasif pada pasien, volume darah yang dibutuhkan sedikit, analit relatif stabil, mudah dalam distribusi dan penyimpanan, tidak membutuhkan tenaga phlebotomist, mengurangi resiko infeksi dan hemat biaya. Rifampisin dapat memberikan efek terapi apabila kadar pada konsentrasi maksimum mencapai 8-24 g/ml. Analisis rifampisin dilakukan pada 18 orang pasien tuberkulosis di rumah sakit umum daerah Bekasi yang mendapatkan regimen rifampisin dalam bentuk kombinasi dosis tetap dengan isoniazid. Darah yang digunakan sebagai sampel diambil pada 2 jam dan 6 jam setelah pemberian rifampisin masing-masing sebanyak 100 l. Analisis rifampisin dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi detektor UV. Kurva kalibrasi rifampisin linear pada rentang konsentrasi 1 ndash;30 g/ml. Hasil analisis konsentrasi rifampisin pada 18 pasien tuberkulosis menunjukkan bahwa konsentrasi rifampisin yang terukur berada pada rentang 1,26 g/ml hingga 18,33 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi terukur pada rifampisin bervariasi antar pasien. Pada hasil analisis, terdapat 7 dari 18 pasien yang memiliki konsentrasi dalam rentang terapi, hal ini menunjukkan bahwa dosis yang diberikan sudah tepat. Sedangkan 11 dari 18 pasien memiliki konsentrasi dibawah rentang terapi sehingga membutuhkan penyesuaian dosis.
ABSTRACT
Rifampicin is an antibiotic from macrolide group using for anti tuberculosis, which block initiation of comformation RNA chain of bacteria. Therapeutic drug monitoring using dried blood spots had some advantages such as less invasive, just need a small volume, analyte relatively stable, easy in distribution and storage, doesn rsquo t need a phlebotomist, reduce the risk of infection and cost effectiveness. Rifampicin may provide therapeutic effect if have a maximum concentration of 8 24 g ml. Rifampicin analysis was performed on 18 tuberculosis pasients in General Bekasi Hospital who get rifampicin in fixed dose combination which is containing isoniazid. The blood sample was taken 2 hours and 6 hours after oral administration of tablet as much as 100 l. Rifampicin analysis had determined by high performance liquid chromatography UV detector. Rifampicin calibration curve had linear in the range of 1 30 g ml. Result of the analysis of rifampicin in 18 tuberculosis patients showed the measured value of rifampicin are in the range of 1.26 to 18.33 g ml. Based on the result,the concentration of rifampisin in patients were varied. There were 7 of 18 patients had concentration in therapeutic range, it shows that the treatment is appropriate. While 11 of 18 patients had concentration below the therapeutic range, it means that it need the dose adjustment.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Siskawati
Abstrak :
Latar belakang: Multidrug therapy (MDT) merupakan kombinasi obat yang aman dan efektif untuk pengobatan kusta, yang antara lain bertujuan untuk mencegah resistensi obat. Resistensi obat MDT, khususnya rifampisin, penting karena dapat menggagalkan program pengendalian penyakit kusta oleh WHO. Diduga salah satu faktor pencetusnya adalah kepatuhan pengobatan pasien yang buruk, sehingga perlu dilakukan penelitian guna mengetahui kejadian resistensi rifampisin pada pasien kusta tipe MB berdasarkan kepatuhan pengobatan baik dibandingkan kepatuhan kepatuhan pengobatan buruk. Tujuan: Mengetahui perbandingan kejadian resistensi rifampisin pada pasien kusta tipe MB berdasarkan kepatuhan pengobatannya. Metode: Dilakukan penelitian analitik dengan rancangan penelitian comparative cross sectional pada pasien kusta tipe multibasiler. Sampel diambil dari kerokan kulit pada pemeriksaan slit skin smear, kemudian dilakukan analisis dengan teknik PCRsequencing. Hasil: Terdapat 57 subyek penelitian (SP) yang diikutsertakan pada penelitian ini. Pada kelompok kepatuhan pengobatan baik (29 SP), resistensi rifampisin terjadi pada 1 SP (3,4%). Sedangkan pada kelompok kepatuhan pengobatan buruk (28 SP), ditemukan 8 sampel (28,6%) dengan M. leprae yang resisten terhadap rifampisin. Kejadian resistensi M. leprae terhadap rifampisin pada kepatuhan pengobatan buruk lebih tinggi dibandingkan dengan kepatuhan pengobatan baik (OR= 11,2; 95% IK=1,296-96,787; p=0,012). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan kejadian resistensi M. leprae terhadap rifampisin pada kepatuhan pengobatan buruk 11 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kepatuhan pengobatan baik. ...... Background: Multidrug therapy (MDT) is a combination of safe and effective drugs for the treatment of leprosy which have additional aim to prevent drug resistance. MDT resistance, especially to rifampicin, is very important as it could prevent the target to eliminate leprosy by the WHO. One of the suspected causes of resistance is poor drug compliance by the patient; therefore it is necessary to perform a study to assess the prevalence or rifampicin? resistance on multibacillary (MB) type leprosy patients based on good compare to poor drug compliance. Purpose: To compare the prevalence of rifampicin? resistance on MB type leprosy patients based on drug compliance. Methods: Analytical study was performed with comparative cross sectional design on MB type leprosy patients. Samples were taken from skin smear on slit skin smear examination, which then analyzed with PCR sequencing technique. Results: 57 study subjects were enrolled in this study. On good drug compliance group (29 subjects), only 1 resistance (3,4%) was found. Meanwhile on poor drug compliance group (28 subjects), there are 8 resistance (28,6%) cases found. Mycobacterium leprae resistance to rifampicin? was found significantly higher on poor compliance patient group compared to the good compliance group. (OR= 11,2; 95% IK= 1,296-96,787; p=0,012). Conclusion: This study revealed that the prevalence of Mycobacterium leprae resistance to rifampicin? group of patients with po.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Juwita Nelwan
Abstrak :
Latar belakang: Obat kotrimoksazol dan rifampisin telah lama diketahui memiliki efek anti mikotik. Peran kedua antimikroba ini terhadap candida belum diteliti, sehingga dirasa perlu untuk diteliti sehingga dapat dimasukkan dalam pedoman tatalaksana medis berbasis bukti untuk pasien HIV dan tuberkulosis. Metode: Studi prospektif pada pasien HIV dan tuberkulosis dengan metode quasi-experiment, dilakukan di poliklinik HIV dan Poliklinik Paru pada bulan Oktober 2009-Agustus 2011. Pada tiap pasien dilakukan pemeriksaan kumur rongga mulut sebanyak dua kali untuk melihat adanya kolonisasi Candida, yang diidentifikasi menggunakan Saboraud Dextrose Agar dan ChromAgar. Kumur dilakukan sebelum pasien diberikan obat kotrimoksazol untuk profilaksis PCP dan obat rifampisin untuk TB, kumur kedua dilakukan dua minggu setelah pengobatan. Proporsi, jenis dan jumlah kolonisasi kandida dirongga mulut pasien dibandingkan sebelum dan setelah pengobatan. Hasil: Didapatkan total 86 orang pasien terdiri dari 40 orang pasien HIV dan 46 orang pasien TB. Kolonisasi awal pada pasien HIV 57,5% dan 19,5% pada pasien TB, sebagian besar adalah candida albicans baik pada pasien HIV maupun TB (82,6% vs. 77,8%). Dua minggu mendapat kotrimoksazol pada pasien HIV dan rifampisin pada pasien TB didapatkan penurunan kolonisasi menjadi 47,5% vs. 12,5%). Penurunan ini bermakna pada kedua kelompok pasien, kotrimoksazol OR 0,2 (0,05-0,93; p<0,04) dan rifampisin 0,21 (0,08-0,58; p<0,01). Didapatkan juga penurunan jumlah hitung koloni secara absolut. Simpulan: Kotrimoksazol dan rifampisin menurunkan kolonisasi Candida rongga mulut pasien HIV dan TB pada pemakaian selama dua minggu ......Background: Cotrimoxazole and rifampicin are known as a broadspectrum antibiotics that have also antimicotic effect. However, limited data is available. This study aimed to provide data on role of these antibiotics to Candida species. Methods: A quasi experimental prospective study among HIV and tuberculosis patient in HIV and TB clinic, evaluated from Ocotber 2009 and August 2011. Each patient received two times oral rinse, before and within 2-weeks cotrimoxazole treatment for HIV and rifampicin treatment for TB. Proportion, species and number of colonization were compared. Hasil: Of 86 patients, 40 were HIV seropositive patients and 46 were TB patients. HIV-seropositive patients was 57.5% colonized with candida and 19.5% for TB patients; in majority was C.albicans (82.6% vs. 77.8%). During 2-weeks treatment, colonization was decreased to 47.5% among HIV patients received cotrimoxazole and 12.5% in TB patients received rifampicin. The proportion of colonization reduced significantly during cotrimoxazole 0.2 (95%CI 0.05-0.93; p<0.04) and rifampicin 0.21 (95%CI 0.08-0.58; p<0.01). Number of colonization was also reduced. Conclusions: Cotrimoxazole and rifampicin reduced Candida colonization in HIV and TB patients within two weeks exposure.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hema Novita Rendati
Abstrak :
Rifampisin dan isoniazid merupakan regimen pengobatan tuberkulosis utama yang memerlukan pengukuran kadar dalam darah untuk mengoptimalkan proses pengobatan dan mencegah resistensi. Metode biosampling yang sering digunakan memiliki keterbatasan terkait kenyamanan pasien. Volumetric Absorptive Microsampling (VAMS) hadir untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknik biosampling VAMS untuk analisis rifampisin dan isoniazid pasien tuberkulosis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi-photodiode array. Sampel VAMS diekstraksi menggunakan 1 mL asetonitril dengan baku dalam cilostazol dan dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi pada suhu kolom 40°C yang terdeteksi pada 261 nm. Fase gerak yang digunakan terdiri dari 50mM buffer amonium asetat pH 5,0-asetonitril-metanol (40:30:30) dengan laju alir 0,5 mL/menit selama 15 menit. Metode ini telah memenuhi persyaratan parameter validasi yang ditetapkan oleh FDA tahun 2018 yaitu selektivitas, carry-over, batas bawah kuantifikasi, linearitas, akurasi, presisi, perolehan kembali, integritas pengenceran, dan stabilitas. Analisis dilakukan dengan kurva kalibrasi pada kisaran 1,0–30 μg/ml untuk rifampisin dan 0,4-20 μg/ml untuk isoniazid. Hasil analisis dari 21 pasien tuberkulosis RSUD dr. Chascullah Abdulmadjid Kota Bekasi menunjukkan bahwa 52,38% pasien memiliki konsentrasi darah yang rendah pada setidaknya salah satu obat, 28,57% pasien berada dalam kisaran terapeutik, dan 23,81% memiliki konsentrasi isoniazid yang tinggi dalam darah. Penyesuaian dosis diperlukan untuk sebagian besar pasien yang memiliki konsentrasi subterapetik. Metode ini efektif untuk mendukung pemantauan terapi rifampisin dan isoniazid terkait kenyamanan dan keamanan pasien. ......Rifampicin and isoniazid are anti-tuberculosis drugs that require measurement of blood levels to optimize the treatment process and prevent resistance. The conventional biosampling technique often used has limitations related to patient comfort. Volumetric Absorptive Microsampling (VAMS) exists to overcome it. This study aims to develop and apply the VAMS technique for the analysis of rifampicin and isoniazid in tuberculosis patients using a high-performance liquid chromatography-photodiode array. VAMS samples were extracted using 1 mL of acetonitrile with internal standard cilostazol and analyzed using high-performance liquid chromatography at a column temperature of 40°C detected at 261 nm. The mobile phase used consisted of 50 mM ammonium acetate buffer pH 5.0, acetonitrile, and methanol (40:30:30) with a flow rate of 0.5 mL/minute for 15 minutes. This method has met the validation parameter requirements set by the FDA in 2018, namely selectivity, carry-over, lower limit of quantification, linearity, accuracy, precision, recovery, dilution integrity, and stability. Analysis was carried out with a calibration curve in the range of 1.0–30 μg/ml for rifampicin and 0.4–20 μg/ml for isoniazid. The results from 21 tuberculosis patients of RSUD Dr. Chascullah Abdulmadjid Bekasi showed that 52.38% of patients had low blood concentrations of at least one of the drugs, 28.57% of patients were in the therapeutic range, and 23.81% had high concentrations of isoniazid. Dosage adjustments are necessary for most patients who have subtherapeutic concentrations. This method is effective in supporting the monitoring of rifampicin and isoniazid therapy regarding patient comfort and safety.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Alkindy
Abstrak :
ABSTRAK
Rifampisin merupakan senyawa antibiotik golongan makrolida yang berkhasiat sebagai antituberkulosis yang menghambat inisiasi pembentukan rantai RNA pada bakteri. Pemantauan terapi obat dengan menggunakan kertas sampel darah kering memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan plasma yaitu minimum invasif pada pasien, volume darah yang dibutuhkan sedikit, analit relatif stabil, mudah dalam distribusi dan penyimpanan, tidak membutuhkan tenaga phlebotomist, mengurangi resiko infeksi dan hemat biaya. Rifampisin dapat memberikan efek terapi apabila kadar pada konsentrasi maksimum mencapai 8-24 g/ml. Analisis rifampisin dilakukan pada 18 orang pasien tuberkulosis di rumah sakit umum daerah Bekasi yang mendapatkan regimen rifampisin dalam bentuk kombinasi dosis tetap dengan isoniazid. Darah yang digunakan sebagai sampel diambil pada 2 jam dan 6 jam setelah pemberian rifampisin masing-masing sebanyak 100 l. Analisis rifampisin dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi detektor UV. Kurva kalibrasi rifampisin linear pada rentang konsentrasi 1 ndash;30 g/ml. Hasil analisis konsentrasi rifampisin pada 18 pasien tuberkulosis menunjukkan bahwa konsentrasi rifampisin yang terukur berada pada rentang 1,26 g/ml hingga 18,33 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi terukur pada rifampisin bervariasi antar pasien. Pada hasil analisis, terdapat 7 dari 18 pasien yang memiliki konsentrasi dalam rentang terapi, hal ini menunjukkan bahwa dosis yang diberikan sudah tepat. Sedangkan 11 dari 18 pasien memiliki konsentrasi dibawah rentang terapi sehingga membutuhkan penyesuaian dosis.
ABSTRACT
Rifampicin is an antibiotic from macrolide group using for anti tuberculosis, which block initiation of comformation RNA chain of bacteria. Therapeutic drug monitoring using dried blood spots had some advantages such as less invasive, just need a small volume, analyte relatively stable, easy in distribution and storage, doesn rsquo t need a phlebotomist, reduce the risk of infection and cost effectiveness. Rifampicin may provide therapeutic effect if have a maximum concentration of 8 24 g ml. Rifampicin analysis was performed on 18 tuberculosis pasients in General Bekasi Hospital who get rifampicin in fixed dose combination which is containing isoniazid. The blood sample was taken 2 hours and 6 hours after oral administration of tablet as much as 100 l. Rifampicin analysis had determined by high performance liquid chromatography UV detector. Rifampicin calibration curve had linear in the range of 1 30 g ml. Result of the analysis of rifampicin in 18 tuberculosis patients showed the measured value of rifampicin are in the range of 1.26 to 18.33 g ml. Based on the result,the concentration of rifampisin in patients were varied. There were 7 of 18 patients had concentration in therapeutic range, it shows that the treatment is appropriate. While 11 of 18 patients had concentration below the therapeutic range, it means that it need the dose adjustment.
2017
S69934
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Restu Anggita
Abstrak :
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan dan salah satu obat yang digunakan adalah antibiotik rifampisin. Walaupun terapi oral rifampisin untuk pasien tuberkulosis sudah tersedia, terapi secara inhalasi yang menargetkan langsung ke paru dan alveolus diharapkan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan inovasi serbuk kering inhalasi yang dapat digunakan dalam regimen terapi tuberkulosis. Penelitian terhadap pengembangan obat TB dalam bentuk serbuk kering sudah ada, namun belum ada yang mengombinasikan kitosan dengan gelatin. Pada penelitian ini dilakukan formulasi, karakterisasi, dan evaluasi sitotoksisitas dari lima serbuk kering inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan-gelatin dengan variasi konsentrasi kitosan dan gelatin. Serbuk dibuat menggunakan metode semprot kering, kemudian dianalisis bentuk dan ukuran partikel geometris dan aerodinamisnya, lalu diuji pelepasannya dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 dan SLS 0,05%, dan dalam larutan KHP pH 4,5. Formulasi dengan profil pelepasan yang paling baik diambil untuk diuji sitotoksisitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dipilih F3 (Kit-Gel 2:1) sebagai formula terbaik dengan bentuk partikel sferis, rentang diameter partikel geometris 0,825-1,281 μm dan ukuran partikel aerodinamis 11,857 ± 1,259 μm, dengan persentase rifampisin kumulatif yang terdisolusi dalam dapar fosfat sebesar 45,894 ± 0,876% dan dalam larutan KHP sebesar 42,117 ± 0,912%. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT assay dan parameter viabilitas sel. Serbuk F3 lebih aman digunakan daripada rifampisin dalam konsentrasi 0,1 mg/mL dengan viabilitas sel sebesar 91,68%. ......Tuberculosis is a respiratory tract disease in which one of the first-line agents used is rifampicin. Oral rifampicin for TB patients is widely available, but inhalation therapy that targets the lungs and alveolus directly could give a better outcome. This drives the need for developing a dry inhalation powder that could be incorporated into the therapeutic regimen of TB. Previous studies on the development of TB medication have been performed, but the application of combination of excipients of chitosan and gelatin as carrier has not been studied. In this study, formulation, characterization, and cytotoxicity evaluation of five rifampicin dry inhalation powders with various concentration of its chitosan-gelatin carrier were studied. The powder was produced with dry-spraying method. Its shape, aerodynamic and geometric particle size were then analyzed. Its releasing profile in phosphate buffer (pH 7.4 and SLS 0.5%) and potassium hydrogen phthalate (pH 4.5) was also tested. Formulation with the best releasing profile was used for cytotoxicity test. F3 (Chit-Gel 2:1) showed the best profile with spherical particle shape and geometric and aerodynamic particle size 0.825-1.281 μm and 11.857 ± 1.259 μm respectively, the cumulative rifampicin percentage dissolved in phosphate buffer and potassium hydrogen phthalate (KHP) were 45.894 ± 0.876% and 42.117 ± 0.912%, respectively. Cytotoxicity evaluation was conducted using MTT assay method with cell viability as the parameter. F3 is less cytotoxic than rifampicin in 0.1 mg/mL with cell viability 91.68%.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Ayuningtyas
Abstrak :
Terdapat zat aktif yang kurang stabil dalam waktu lama jika dibuat dalam sediaan suspensi yang mengandung banyak air seperti rifampisin. Di Indonesia belum tersedia suatu pembawa sediaan suspensi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kestabilan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formula pembawa suspensi yang stabil secara fisik dan kimia setelah penambahan isi kapsul rifampisin sebagai zat aktif. Formulasi dibuat sebanyak 4 formula dengan variasi jenis dan konsentrasi bahan pensuspensi. Formula pembawa terbaik dari hasil evaluasi volume sedimentasi, redispersi, dan pH dipilih, lalu ditambahkan kapsul rifampisin dan dilakukan pengujian stabilitas. Uji stabilitas fisik pada suhu kamar 25˚± 2˚C, suhu dingin 4˚± 2˚C, dan suhu tinggi 40˚± 2˚C selama 28 hari meliputi pengujian terhadap organoleptis (bau, bentuk, warna) dan pH menunjukkan bahwa suspensi rifampisin mengalami perubahan warna menjadi merah agak kehitaman setelah 7 hari penyimpanan, bau seperti obat, peningkatan pH, serta perubahan konsistensi. Uji stabilitas kimia dilakukan pada kondisi suhu kamar dengan menetapkan kadar rifampisin dalam suspensi menggunakan KCKT. Kadar suspensi rifampisin mengalami penurunan hingga 0,82% selama masa penyimpanan 14 hari pada suhu kamar. Dalam penelitian ini, suspensi rifampisin stabil secara fisik selama 7 hari, namun sangat tidak stabil secara kimia. ......Active ingredients in suspending vehicles with high water content, such as rifampicin, can degrade over time due to their instability. In Indonesia, there is no available suspending vehicle that can effectively address this stability issue. This research aimed to develop a stable suspending vehicle after the addition of rifampicin capsule contents as the active ingredient. Four formulations were prepared with variations in the type and concentration of suspending agents. The best suspending vehicle based on the evaluation of sedimentation volume, redispersion, and pH was selected, and then rifampicin capsules were added and stability testing was performed. Physical stability testing conducted at room temperature of 25˚± 2˚C, refrigerated temperature of 4˚± 2˚C, and elevated temperature of 40˚± 2˚C for 28 days, including organoleptic (smell, form, and color) and pH testing, revealed a color change of the rifampicin suspension to a reddish-black color after 7 days of storage, along with a medicinal odor, increased pH, and consistency change. Chemical stability testing was conducted at room temperature conditions by determining the rifampicin content in the suspension using HPLC. The rifampicin suspension concentration decreased by up to 0,82% during the 14-day storage period at room temperature. In this research, the rifampicin suspension was found to be physically stable for 7 days, but chemically very unstable.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Ilone
Abstrak :
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menjadi sangat berbahaya karena kemudahannya untuk menginfeksi orang lain. Rifampisin merupakan salah satu OAT lini pertama yang menjadi dasar obat tuberculosis dan terjadinya resistensi terhadap rifampisin menjadi salah satu kendala pemberantasan TB di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menentukan pola resistensi M. tuberculosis terhadap Rifampisin serta mengetahui perbandingan monoresisten rifampisin, multi drug resistance (MDR), serta multiresisten lain tuberkulosis. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder sebanyak 676 sampel dengan kultur positif dari Departemen Mikrobiologi FKUI pada September 2005 sampai Desember 2007 dan telah menjalani pemeriksaan resistensi sesuai dengan panduan WHO/IUATLD. Dari hasil analisis didapatkan pola resistensi terhadap rifampisin sebanyak 23.96% dimana monoresisten rifampisin sebesar 7,24%, MDR TB sebesar 8,73%, serta multiresisten lain sebesar 7,99%.
Tuberculosis is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis and becomes very dangerous because its potency to infect other people. Rifampisin is one of the first line tuberculosis? drugs and its resistance will be the obstacle of reducing Tuberculosis cases in Indonesia. This research aimed to determine the resistance of rifampisin and also the comparison between monoresistance to rifampicin, multi-drug resistance (MDR), and also the other multiresistance of tuberculosis. This research was done by collecting and analyzing 676 secondary samples which culture results are positive from Microbiology Department Medical Faculty University of Indonesia in September 2005 until December 2007 and had undergone resistance tests based on WHO/IUATLD guidelines. The results of the analysis were obtained that the resistance of rifampisin was 23.96% where the percentage of monoresistance to rifampicin is 7,24%, MDR TB is 8,73%, and the other multiresistance is 7,99%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
S09060fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>