Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Audrey Jiwajennie
"Dalam penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogor selama Februari ? Mei 2009 ini, pengabaian terhadap hak atas pelayanan kesehatan terhadap tahanan serta narapidana penderita TBC masih ditemukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbentuk deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa orang informan yang terdiri dari petugas maupun narapidana. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan banyak kendala dalam proses pelayanan kesehatan bagi pasien penderita TBC di LP Bogor. Terlambatnya deteksi terhadap kasus TBC paru, rendahnya kualitas kesehatan penghuni, masalah overkapasitas, belum adanya ruang isolasi khusus bagi pasien penderita TBC paru, serta terbatasnya anggaran menjadi kendala yang dihadapi para petugas kesehatan dalam upaya penanggulangan terhadap penyakit TBC paru di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogor. Namun yang menjadi hambatan dalam upaya penanggulangan terhadap penyebaran penyakit TBC di lingkungan LP Bogor ternyata bukan hanya disebabkan oleh minimnya fasilitas lapas, namun juga disebabkan karena lemahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki baik oleh penghuni, maupun petugas lapas.

In the research conducted at Bogor Penitentiary Class IIA in February - May 2009, negligence towards the inmates? rights to health care, including inmates suffering from TBC, is still found. This research uses descriptive - qualitative approach. Data is gathered through in-depth interview with inmates and wardens. This research finds a lot of hurdles in health care for inmates suffering from TBC in Bogor Penitentiary. Late detection, low general health level, overcapacity, the absence of special isolation unit, and very limited budget are the obstacles for the administrators. But that?s not all. Another contributing factor is the lack of quality in human resources both for the inmates and the wardens."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Murti Ramadhani
"Down Syndrome adalah salah satu ragam disabilitas terbanyak di Indonesia yang jumlahnya terus bertambah berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (“Riskesdas”) tahun 2018. Demi menunjang kualitas hidup yang baik, Penyandang Down Syndrome memerlukan pelayanan kesehatan rehabilitatif yang dapat memberikan kesempatan untuk dapat hidup secara mandiri. Dalam hal ini, Penyandang Down Syndrome sebagai kelompok rentan dan Warga Negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rehabilitatif untuk membantu dan meningkatkan kualitas hidup mereka agar dapat produktif secara sosial dan ekonomis. Permasalahan yang dianalisis oleh peneliti dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab dan peran pemerintah, secara khusus Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan dalam hal pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan rehabilitatif bagi Penyandang Down Syndrome. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan penelitian deskriptif, serta menggunakan data sekunder melalui penelusuran studi kepustakaan dan wawacara. Berdasarkan metode penelitian tersebut, didapatkan hasil penelitian bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan rehabilitatif, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan terkait dengan sosialisasi, kompetensi tenaga kesehatan, serta perlu dibentuk mekanisme khusus untuk mempermudah pelayanan kesehatan rehabilitatif bagi Penyandang Down Syndrome. Selain itu, untuk mewujudkan hasil maksimal, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, yaitu pihak swasta, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat.

According to Basic Health Research, Down Syndrome is one of the most common disabilities and still continues to rise its number in 2018. In order to enhance a better life quality, persons with Down Syndrome need to receive rehabilitative health care that can provide opportunities to live independently. In this case, as a vulnerable group and Indonesian citizens, persons with Down Syndrome have the right to proper rehabilitative health care that can help and improve their quality of life so that they can be socially and economically productive. The problems analyzed by the author in this study are regarding the responsibilities and roles of the government, in particular Ministry of Health, The Provincial and District/City Health Division, and Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan in terms of fulfilling the right to rehabilitative health care for persons with Down Syndrome. This research was conducted in juridical-normative method, a descriptive research approach, and secondary data obtained through library research and interviews. Based on the research method, it shows that the government has made various efforts to fulfill the right to rehabilitative health care, but there are still a number of things that can be improved related to the socialization, the competence of health workers, and it is necessary to establish a special mechanism to facilitate rehabilitative health care for persons with Down Syndrome. In addition, to realize the maximum results, collaboration from various parties are required, namely the private sector, community organizations, and the community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Asmirajanti
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara fungsi pemasaran yang dilaksanakan oleh tenaga keperawatan dengan persepsi kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Islam. Desain penelitian adalah deskriptif eksploratif menggunakan pendekatan potong lintang dan dilengkapi dengan informasi secara kualitatif. Sampel penelitian ini adalah 118 perawat dengan latar belakang pendidikan minimal D-3 Keperawatan, masa kerja minimal 3 tahun dan memberikan pelayanan langsung kepada pasien ditambah 10 orang pasien yang telah dirawat minimal 3 hari untuk memvalidasi informasi dari subyek perawat. Seluruh sampel diambil secara proposional dari 2 Rumah sakit Islam. Analisis yang digunakan adalah uji regresi linier sederhana, chi-square dan uji regresi linier ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara fungsi pernasaran yang dilaksanakan oleh perawat dengan persepsi kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan. Hasil analisis karakteristik individu rerata menunjukkan tidak ada hubungan dengan pelaksanaan fungsi pemasaran. Hasil analisis korelasi dengan a. = 0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara diferensiasi pelayanan, kepemimpinan biaya, fokus pelayanan (variabel babas), dan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama kerja (variabel pengganggu) dengan persepsi perawat tentang kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa lama kerja mempunyai penganruh yang paling besar terhadap persepsi kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan, tetapi hanya 16,5% dari variasi persepsi kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan yang dapat menjelaskan fungsi pemasaran yang dilaksanakan dan karakteristik individu. Hal ini dapat terjadi karena belum optimalnya pelaksanaan fungsi pemasaran oleh tenaga keperawatan disertai persepsi kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan. Untuk itu, praktik keperawatan, institusi rumah sakit dan keilmuan perlu meninjau kembali aspek - aspek yang dapat meningkatkan pencapaian fungsi pemasaran dan mengubah persepsi perawat tentang kesadaran pelanggan akan hak pelayanan kesehatan sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan dapat meningkat.

The purpose of the study was to examine the relationship between the function of marketing done by nurses and the perception of consumer awareness towards patient's rights to health service at Islamic hospitals. The design was descriptive explorative using cross sectional approach and also provided with information from patients. The sample of the study was 118 nurses who have minimal education of D-3 of nursing, minimal experience of 3 years and provide care directly to the patients, also added with 10 patients who were hospitalized for minimal 3 days to validate information from the nurse subjects. The sample was proportionately taken from two Islamic hospitals. The analyses employed simple regression, chie square, and multiple regressions tests.
The findings showed that the function of marketing done by nurses have significant correlation with the nurse' perception of consumer awareness toward patient's rights to health service, and none of the individual characteristics had correlation with the function of marketing done by nurses. Further, from its correlation analysis with a = 0.05 there were significant relationship between differentiation of service, cost leadership, focus of service (independent variables), and age, sex, education and experience (confounding variables) with the perception of consumer awareness towards patient's rights to health service.
The study concluded that experience variable had very strong influence to the perception of consumer awareness towards patient's rights to health service but only 16.5% from variation of the perception of consumer awareness to patient's rights to health service could be explained by the function of marketing done by nurses and individual characteristic simultaneously. This condition may be related to the function of marketing done by nurses that was not optimum in implementation. Therefore, the nursing service, the hospitals and nurses organization need to re-evaluate and improve the factors that could strengthen the achievement of nurse marketing function.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2005
T18691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaryo
"Anak didik pemasyarakatan adalah juga sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak-hak yang harus dihormati oleh siapapun. Sebagai insan yang belum dapat berdiri sendiri, perlu diadakan usaha kesejahteraan anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik jasmani, rohani maupun sosial. Perbedaan yang mendasar antara anak didik pemasyarakatan dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan hanyalah hilangnya kemerdekaan sehingga meskipun berstatus sebagai anak didik pemasyarakatan (anak pidana, anak negara dan anak sipil), hak privatnya harus tetap dipenuhi. Mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak bagi anak didik pemasyarakatan yang sekarang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Hidup bersama sekitar 267 orang menjadi rentan terhadap penyakit. Penyakit yang banyak diderita adalah radang usus dan penyakit diare. Adapun obat yang diberikan adalah diaforml, cantrymoxazol, and metronidazole. Pelayanan kesehatan yang dijalankan melalui klinik sebenarnya diberikan untuk memberikan pelayanan bagi anak didik pemasyarakatan yang bersifat promotif, kuratif, preventif dan rehabilitatif. Keempat jenis pelayanan kesehatan dalam lembaga pemasyarakatan tersebut belum semuanya dilakukan secara teratur karena belum adanya rencana kegiatan atau program kerja bagi petugas medis. Pelayanan kesehatan yang saat ini dijalankan masih tertuju pada aspek kuratif saja. Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang belum memiliki fasilitas laboratorium klinik, sehingga diagnosis penyakit hanya ditentukan secara klinis. Anggaran yang tersedia untuk pelayanan kesehatan bagi anak didik pemasyarakatan selama satu tahun sebanyak Rp 2.400.000. Nilai tersebut masih jauh dari harapan agar anak didik mendapatkan pelayanan secara Iayak dan mendapatkan obat-obatan yang baik. Kerja sama yang telah dilakukan masih harus diteruskan dengan pihak-pihak lain adar lembaga pemasyarakatan anak pria Tangerang dapat memperoleh bantuan obat-obatan secara berkesinambungan.Perlengkapan bagi anak didik pemasyarakatan yaitu pakaian untuk sehari-hari dan peralatan untuk mandi masih memprihatinkan. Untuk itu perlu mendapatkan perhatian yang serius dikarenakan anak didik pemasyarakatan hanya mendapat (disk) jatah pakaian biru yang diberikan sekali pada saat masuk lembaga pemasyarakatan dan untuk peralatan mandi selama ini belum diberikan.

The protege of prison is also as a society member who has rights which have to be respected by o matter who. As individual who not yet earned self-supporting, required being performed the effort prosperity of child so that they can grow and expand fairly weather physically, spiritually and socially. The basic difference among protege of prison with society outside the prison is only loss of independence. Nevertheless, even though they legally are being protege of prison (crime child, state child, and civil child), their privates' rights have to be fulfilled. Getting health service is a basic right for protege of prison who now stay in Child Man Prison of Tangerang. Coexist with around 257 people with diseases. The diseases that suffered by many prisoners are chaffing intestines and diarrhea. As for medicine that given are diaform, cantrymoxazol, and meironidazole. Clinic as representation of health service in Child Man Prison of Tangerang is run to give service for protege of prison promotively, curatively, preventively and rehabilitative. Those service was not yet done regularly altogether because there is no work plan for medical officer and service of health. In this time, health service can only run concentrated to just curative aspect. Since The Child Man Prison of Tangerang does not have laboratory facility, hence diagnosed diseases only determined clinically. Available budget to serve health for protege of prison during one year counted Rp 2.400.000. Those values still far from expectation in order to protege of prison can get service and medicines properly. The cooperation that has been conducted still has to be continued and improved with other parties so that the Child Man Prison of Tangerang can obtain medicine aid continuously. The daily clothes and bath equipments supply for protege of prison are still concern. Serious attention is needed for that require because of they only get blue clothes of disk and bath equipment once at the time they entering prison."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15083
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Hadisetyono
"ABSTRAK
Hak paten merupakan bagian dari pada Hak Kekayaan Intelektual, secara umum pengertian HKI yaitu sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektuaI manusia, dimana sebagai bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan). Perlindungan Paten diberikan untuk perlindungan dalam bidang teknologi termasuk teknologi produk farrnasi atau obat. Hak monopoli dari yang dimiliki pemegang paten mengakibatkan obat menjadi mahal sehingga banyak kalangan masyarakat tidak mampu membelinya pada hal obat tersebut sangat diperlukan, maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya. Hanya dalam perkembangan selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan, yaitu misalnya pembatasan berbpa adanya pengambilalihan oleh Negara.
Kebutuhan terhadap kebijakan tentang PeIaksanaan Paten Oleh Pemerintah sangat mendesak sehubungan dengan penyakit menular HIVIAIDS yang perkembangannya dari tahun ke tahun sedemikian cepat, tingginya angka korban yang meninggal akibat penyakit HIV/AIDS serta semakin meningkatnya jumlah penderita HIVIAIDS, hal ini perlu pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Dengan adanya campur tangan Pemerintah dengan melaksanakan Paten obat antiretroviral (lamivudin dengan Nomor Paten ID 0 002 473 dan Nevirapin dengan Nomor Paten ID 0 001 338), mama harga that dapat ditekan menjadi Iebih murah bahkan diberikan dengan gratis kepada penderita HIVIAIDS, sehingga semakin banyak penderita HIVIAIDS yang dapat menggunakan obat tersebut, namun kenyataannya masih banyak penderita HIVIAIDS yang belum memanfaatkan atau menggunakan obat anti retroviral tersebut.
Permasalahannya adalah sebagai berikut : "Kendala-kendala apakah yang dihadapi penderita HIVIAIDS dalam memperoleh obat-obat anti retroviral 7', khusunya that anti retroviral yang dilindunggi paten, dan paten tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah.
Berdasarkan basil riset bahwa hambatan penderita HIVIAIDS terhadap akses that anti retroviral adalah dalam pelayanan kesehatan dan disebabkan juga oleh penderita HIVIAIDS sendiri yang belum bersedia untuk menggunakan obat anti retroviral karena berbagai pertimbangan.

ABSTRACT
Rights of health of patient HIV/AIDS constraints faced by the patient HIV/AIDS in obtaining drugs of anti retroviral as exploitation of patent by Government. Patent right represent the part of intellectual equity, in general congeniality intellectual property rights that is as rights for properties of arising out or born because intellectual ability of human being, where as part of good and chattel law (law of properties). Patent protection given for the protection of in the field of technology of is inclusive of technology of product of pharmacy or drug. Monopolistic rights from owned by the patent holder result the drug become costly so that a lot of society circle unable to buy it though the drug matter very needed, hence its owner in principle is free go to any length as according to its, and give the content desired own at its contractual terms. Only in growth here in after that freedom experience of the change, that is for example demarcation in the form of existence of take over by State.
Requirement to policy about exploitation of patent by imperative Government referring to contagion HIV/AIDS which its growth from year to year in such a way quickly, height of victim number dying effect of disease HIV/AIDS and also progressively the increasing of amount of patient HIV/AIDS, this matter is governmental need immediately bring an action against to overcome it.
With the existence of Governmental interference by exploitation patent medicine the antiretroviral (lamivudin with the number of patent id 0 002 473 and nevirapin with the number of patent id 0 001 338), hence drug price can be depressed to become cheaper is even given free of charge to patient HIV/AIDS, so that more and more patient HIV/AIDS which can use the drug, but in reality still a lot of patient HIV/AIDS which not yet exploited or use the drug of anti retroviral. Its problems shall be as follows: "Constraints whether/what faced by the patient HIVIAIDS in obtaining drugs of anti retroviral?", especially medicine anti retroviral which protected by patent, and Exploitation of Patent By Government.
Pursuant to result research into that resistance of patient HIVIAIDS to accessing drug antiretroviral in health service and caused also patient HIVIAIDS by self which not yet have the kindness to use the drug of anti retroviral because various consideration.
"
2007
T20833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library