Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Patriotika Ismail
"Latar belakang: Sarkopenia menjadi masalah kesehatan yang penting dan banyak di jumpai di negara maju dan berkembang. Faktor risiko sarkopenia bersifat multifaktor. Data prevalensi dan faktor risiko sarkopenia di Indonesia masih terbatas, khususnya dimasa pandemi COVID-19 yang sudah dihadapi Indonesia selama dua tahun. 
Tujuan: Mengetahui proporsi dan faktor risiko sarkopenia pada populasi usia lanjut di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumopada masa pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer dengan desain uji potong lintang di poliklinik geriatri dan penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mulai dari bulan November hingga Desember 2021. Subjek dengan kriteria usia >60 tahun, tidak terdapat gangguan penyakit akut saat pemeriksaan, serta tidak mengalami depresi atau gangguan kognitif berat yang tidak didampingi caregiver/keluarga diambil sebagai subjek penelitian. Pemeriksaan menggunakan kuesioner SARC-F, dan pasien dengan nilai 4 dianggap sarkopenia. Karakteristik pasien dengan sarkopenia dibandingkan untuk menilai faktor risiko sarkopenia. 
Hasil:  Terdapat 253 subjek penelitian dengan proporsi sarkopenia 41,5% (IK 95% 35,45-47,55%). Faktor risiko yang berhubungan dengan sarkopenia pada penelitian ini adalah jenis kelamin perempuan, aktivitas menurun (sedentary-aktifitas kurang), status fungsional ketergantungan, penyakit hipertensi, dan penyakit jantung (p < 0.05)
Kesimpulan: Proporsi sarkopenia pada penelitian adalah 41,5% dengan faktor risiko yang berhubungan adalah jenis kelamin, hipertensi, penyakit jantung, status fungsional ketergantungan dan aktivitas yang menurun (sedentary-aktifitas kurang). Oleh sebab itu perlu menjadi perhatian dan pencegahan pada subjek dengan karakteristik tersebut. 

Introduction: Sarcopenia is a prevalent and increasing problem in elderly worldwide. It is also related to various debilitating conditions and poor prognosis. Etiology of sarcopenia is multifactorial. However, the data in Indonesia is still limited. Moreover, not much has been discussed about the prevalence and risk factors for sarcopenia, especially during the COVID-19 pandemic.
Aim: To determine the prevalence and risk factors of sarcopenia in elderly patients in Indonesia during the COVID-19 pandemic.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Geriatric and internal medicine Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, on November 2021 to December 2021. Patients 60 years old and suspected to have sarcopenia were included in the study, while patients with conditions making them unable to undergo examination or in acute conditions were excluded. Patients were defined as having sarcopenia if SARC-F showed a total value of 4. Clinical characteristics of patients were compared to predict sarcopenia.
Results: There were 253 subjects included in this study. A total of 105 (41.5%) subjects were diagnosed to suffer from sarcopenia. Predicting factors of sarcopenia in subjects were woman gender, sedentary physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease (p < 0.05).
Conclusion: The prevalence of sarcopenia in elderly at Cipto Mangunkusumo was 41.5%. Indonesian elderly with female gender, sedentary-low physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease are more prone to suffer from sarcopenia. Therefore, extra attention and prevention are needed for individuals with the characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iwandheny Sepmeitutu
"Latar Belakang: Sarkopenia dan malnutrisi merupakan komplikasi sirosis hati dekompensata yang berhubungan dengan luaran klinis yang buruk. Varises esofagus (VE) merupakan luaran klinis yang paling sering ditemui pada pasien sirosis hati dekompensata. Hubungan komplikasi Varises Esofagus risiko tinggi dengan kejadian sarkopenia dan malnutrisi belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan : mengetahui hubungan antara sarkopenia dan malnutrisi terhadap luaran komplikasi VE risiko tinggi pada pasien sirosis hati.
Metode: Studi observasional cross-sectional dilakukan pada 155 pasien di RS Cipto Mangunkusumo pada Januari hingga September 2023. Sarkopenia didefinisikan sebagai kehilangan massa dan kekuatan otot dan atau menurunnya performa fisik sesuai dengan kriteria AWGS 2019 (Asian Working Group for Sarcopenia). Kriteria malnutrisi menggunakan GLIM (Global Leadership Initiative on Malnutrition). Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Total 155 pasien sirosis hati, 48 pasien memiliki VE risiko tinggi dan 107 pasien memiliki VE risiko rendah. Prevalensi sarkopenia pada pasien sirosis hati ditemukan sebesar 42,6%, sementara prevalensi malnutrisi ditemukan sebesar 82,6%. Kombinasi koeksistensi sarkopenia dan malnutrisi ditemukan sebesar 42,6%. Status sarkopenia berhubungan secara statistik dengan kejadian VE risiko tinggi setelah dikontrol dengan variabel Child Pugh (Adjusted PR: 1,62 (IK 95%: 1,01-2,59; p=0,04). Sementara itu tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara malnutrisi dengan kejadian VE risiko tinggi. Pada evaluasi kombinasi koeksistensi dua faktor risiko sarkopenia dan malnutrisi, ditemukan hubungan yang bermakna terhadap kejadian VE risiko tinggi.
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara sarkopenia terhadap VE risiko tinggi. Selain itu, adanya koeksistensi sarkopenia dan malnutrisi sebagai faktor risiko gabungan secara statistik signifikan dalam kejadian VE risiko tinggi.

Background: Sarcopenia and malnutrition are complications of decompensated liver cirrhosiswhich is associated with poor clinical outcomes. Esophageal varices (VE) are the most common clinical outcome in patients with decompensated liver cirrhosis.The relationship between high-risk complications of esophageal varices and the incidence of sarcopenia and malnutrition has not been widely studied in Indonesia.
Objective :determine the relationship between sarcopenia and malnutrition on the outcome of high-risk VE complications in liver cirrhosis patients.
Method: Cross-sectional observational study was conducted on 155 patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from January to September 2023. Sarcopenia is defined as loss of muscle mass and strength and/or decreased physical performance according to the 2019 AWGS (Asian Working Group for Sarcopenia) criteria. Malnutrition criteria use GLIM (Global Leadership Initiative on Malnutrition). Multivariate analysis was performed using logistic regression.
Results:A total of 155 patients with liver cirrhosis, 48 patients had high risk VE and 107 patients had low risk VE. The prevalence of sarcopenia in liver cirrhosis patients was found to be 42.6%, while the prevalence of malnutrition was found to be 82.6%. The combined coexistence of sarcopenia and malnutrition was found to be 42.6%. Sarcopenia status was statistically related to the incidence of high risk VE after controlling for the Child Pugh variable (Adjusted PR: 1.62 (95% CI: 1.01-2.59; p=0.04). Meanwhile, no significant relationship was found between malnutrition and the incidence of high risk VE. In evaluating the combination of the coexistence of two risk factors for sarcopenia and malnutrition, a significant relationship was found with the incidence of high risk VE. Conclusion:There is a significant relationship between sarcopenia and high risk VE. In addition, the coexistence of sarcopenia and malnutrition as combined risk factors was statistically significant in the occurrence of high-risk VE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Husna
"Indonesia akan mengalami penuaan penduduk dengan proyeksi peningkatan populasi lanjut usia (lansia) sebesar 15.8% pada tahun 2035. Peningkatan populasi lansia dapat mempengaruhi peningkatan kejadian penyakit degeneratif, termasuk sarkopenia yang ditandai dengan hilangnya massa dan kekuatan otot secara progresif. Lansia obesitas dapat mengalami sarkopenia di mana kondisi ini disebut obesitas sarkopenia dengan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan hanya obesitas atau sarkopenia. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar kolesterol total dengan kondisi obesitas sarkopenia pada pasien lansia.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dilakukan pada populasi pasien lansia dengan sarkopenia. Penilaian obesitas sarkopenia pada subjek dilakukan berdasarkan kuesioner SARC-F dan BIA untuk komponen sarkopenia, IMT untuk komponen obesitas, dan kadar kolesterol total dari uji laboratorium melalui data rekam medis RSCM dari bulan Januari – Agustus 2022.
Hasil: Terdapat 157 subjek penelitian dengan prevalensi yang mengalami obesitas sarkopenia sebanyak 94 orang (59.87%). Pada analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa kadar kolesterol total memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan obesitas sarkopenia (p= 0.376). Rerata kadar kolesterol total pada kelompok sarkopenia tanpa obesitas adalah 177.65 ± 38.75 dan pada kelompok obesitas sarkopenia adalah 176.21 ± 46.73.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol total dengan kondisi obesitas sarkopenia pada pasien lansia.

Indonesia will experience an aging population, with a projected increase in the elderly population by 15.8% in 2035. An increase in the elderly population can affect the incidence of degenerative diseases, including sarcopenia, characterized by progressive muscle mass and strength loss. The elderly with obesity can experience sarcopenia. This condition is called obesity sarcopenia, with higher morbidity and mortality than only obesity or sarcopenia. This study aims to determine the relationship between total cholesterol levels and obesity sarcopenia in elderly patients.
Method: This research is a cross-sectional study of elderly patients with sarcopenia. Sarcopenic obesity assessment was performed on subjects based on the SARC-F and BIA questionnaires for sarcopenic components, BMI for obesity components, and total cholesterol levels from laboratory tests through RSCM medical record data from January - August 2022.
Result: There was 157 subjects in total, with a sarcopenic obesity prevalence of 94 people (59.87%). The bivariate analysis showed that total cholesterol levels had no significant relationship with sarcopenic obesity (p = 0.376). The mean total cholesterol level in the sarcopenia group without obesity was 177.65 ± 38.75 and in the sarcopenia obesity group was 176.21 ± 46.73.
Conclusion: There is no significant relationship between total cholesterol levels and sarcopenic obesity in elderly patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tiffany
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui nilai titik potong tes SPPB sebagai tes performa fisik dalam mendiagnosa sarkopenia pada pasien lanjut usia di rawat jalan. Selain itu juga untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas tes SPPB berdasarkan kecepatan jalan 6 meter untuk estimasi performa fisik sebagai komponen sarkopenia. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien lanjut usia rawat jalan di RSUPN Ciptomangunkusumo. Pada penelitian ini didapatkan 100 subjek yang diminta melakukan uji SPPB, uji kecepatan jalan 6 meter, uji penilaian massa otot dengan BIA (Bio Impedance Analysis), dan penilaian kekuatan otot dengan menggunakan handgrip dynamometer. Dari hasil penilaian didapatkan nilai titik potong 7 untuk populasi total dan populasi perempuan. Sedangkan untuk populasi laki laki didapatakan nilai 8. Setelah didapatkan titik potong baru, dilakukan uji diagnostik antara nilai SPPB titik potong baru dengan status performa fisik menurun berdasarkan kecepatan jalan 6 meter. Dari penilaian didapatkan sensitivitas 81.5% dan spesifisitas 73.7% untuk populasi total. Pada populasi perempuan didapatkan sensitivitas 81.4% dan spesifisitas 66.7%. Sedangkan untuk populasi laki laki menggunakan titik potong 8 didapatkan sensitivitas 81.8% dan spesifisitas 71.4%. Kesimpulan penelitian ini adalah SPPB dengan nilai titik potong 7 untuk populasi perempuan dan 8 untuk populasi laki laki baik dipakai sebagai alat uji untuk screening dan diagnostik performa fisik sebagai komponen sarkopenia rawat jalan.

This thesis aims to determine the cut-off point of the SPPB test as a physical performance test in diagnosing sarcopenia in elderly patients on an outpatient basis. In addition, to determine the sensitivity and specificity of the SPPB test based on a walking speed of 6 meters to estimate physical performance as a component of sarcopenia. This study is a cross-sectional study of elderly outpatients at Ciptomangunkusumo General Hospital. In this study, 100 subjects were asked to perform the SPPB test, 6 meter walking speed test, muscle mass assessment test using BIA (Bio Impedance Analysis), and muscle strength assessment using a handgrip dynamometer. From the results of the assessment, it was found that the cut-off point was 7 for the total population and the female population. As for the male population, a score of cut oof point is 8. After obtaining a new cut-off point, a diagnostic test was conducted between the SPPB value of the new cut-off point and the decreased physical performance status based on a 6-metre walking speed. From the assessment, sensitivity was 81.5% and specificity was 73.7% for the total population. In the female population, sensitivity was 81.4% and specificity was 66.7%. Meanwhile, for the male population using the 8 cut-off point, the sensitivity was 81.8% and the specificity was 71.4%.The conclusion of this study is that the SPPB with a cutoff value of 7 for the female population and 8 for the male population can be used as a test tool for screening and diagnostic of physical performance as a component of outpatient sarcopenia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abirianty Priandani Araminta
"Latar Belakang: Dengan kesintasan lima tahun sebesar 18%, menempatkan karsinoma sel hati (KSH) sebagai kanker paling mematikan setelah kanker pankreas. Salah satu faktor yang diperkirakan berperan dalam menentukan prognosis KSH adalah kompsosisi tubuh pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai sarkopenia sebagai faktor prognostik pasien KSH memberikan hasil yang inkonsisten.
Tujuan: Menilai peran sarkopenia terhadap kesintasan dan kekambuhan pasien KSH.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan pada basis data PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase, dan Scopus hingga 1 September 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada sitasi studi terkait dan perpustakaan elektronik serta pengumpulan informasi melalui Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Seleksi Studi: Studi kohort yang menilai prognosis dengan melaporkan perbandingan kesintasan, mortalitas, dan/atau periode bebas penyakit pasien KSH berdasarkan ada atau tidak adanya sarkopenia serta periode observasi minimal tiga bulan akan diikutsertakan. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian terhadap judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua peninjau independen. Dari 990 studi, 44 di antaranya memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau. Konfirmasi data studi dilakukan dengan menghubungi peneliti. Tidak ada data tambahan yang didapatkan.
Hasil: Studi yang melaporkan kesintasan kumulatif dirangkum secara kualitatif. Studi yang melaporkan Cox proportional hazard ratio (HR) dimasukkan ke dalam meta-analisis. Hasil meta-analisis menggunakan random-effects model dari 39 studi menunjukkan sarkopenia berhubungan dengan kesintasan yang lebih rendah (HR 1.74, IK 95% 1.49-2.02) dibandingkan pasien KSH non-sarkopenia pada seluruh stadium. Sarkopenia juga berhubungan dengan kekambuhan yang lebih tinggi (HR 1.42, IK 95% 1.15-1.76) dibandingkan pasien KSH non-sarkopenia yang menjalani terapi kuratif. Analisis subgrup berdasarkan tujuan terapi (kuratif dan paliatif), jenis intervensi yang diberikan, serta parameter diagnostik yang digunakan tidak memengaruhi arah hasil luaran.
Kesimpulan: Sarkopenia berhubungan dengan kesintasan pasien KSH yang lebih rendah dan periode bebas penyakit yang lebih singkat pada pasien yang menjalani terapi kuratif.

Background: With overall 5-year survival of 18%, HCC is the second most lethal cancer after pancreatic cancer. One of the factors compromising prognosis in HCC patients is body composition. Nonetheless, studies evaluating sarcopenia as prognostic factor in HCC show inconsistent results.
Objective: To assess the role of sarcopenia in overall survival and disease-free survival of HCC patients.
Data Source: We searched PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase and Scopus through September 1, 2020. Secondary searching was done by snowballing method including references of qualifying articles and manual searching through e-library and information gathering through Indonesian Association for the Study of Liver.
Study Selection: Cohort studies evaluating prognosis and reporting comparation of overall survival, all-cause mortality, and/or disease-free survival of HCC patients with and without pre-existing sarcopenia and minimum observation period of three months were included. No restriction regarding year of publication and language. Titles, abstracts, and articles were reviewed by two independent reviewer. Of 990 studies identified in our original search, 44 articles met our eligibility criteria.
Data extraction: Data extraction was done by two reviewer. We contacted authors for data confirmation and no additional information were obtained.
Result: Studies reporting cumulative survival were summarized qualitatively. Studies reporting Cox proportional hazard ratio (HR) were combined in a metaanalysis. A random-effects model meta-analysis of 35 studies showed that sarcopenia was associated with an reduced overall survival HR of 1.59 (95% CI 1.42-1.77) and increased recurrence with HR of 1.10 (95% CI 1.03-1.17) after curative treatment compared with non-sarcopenic HCC patients through all stages. Subgroup analyses showed aim of treatment (curative vs palliative), type of interventions, and parameter used to define sarcopenia did not modify both clinical outcomes.
Conclusion: Sarcopenia is associated with reduced overall survival and shorter disease-free survival in HCC patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Anggawiyatna
"Pendahuluan: Berkurangnya kekuatan otot seiring usia sudah dianggap sebagai suatu penyakit degeneratif. Penyebab tersering adalah defisiensi vitamin D. Sebagian besar studi yang ada menunjukkan efek menguntungkan dari supplementasi vitamin D. Namun masih terdapat kontroversi. Tujuan studi ini adalah untuk meninjau secara sistematis tentang efek supplementasi vitamin D terhadap kekuatan otot, berdasarkan hasil dari studi terdahulu.Metode: Penelitian ini merupakan metaanalisis. Dilakukan penelusuran literatur melalui Pubmed, ScienceDirect, dan CENTRAL pada Desember 2017. Studi yang diambil adalah studi RCT, meneliti pengaruh pemberian suplementasi vitamin D dengan luaran klinis kekuatan otot, subjek usia di atas 65 tahun. Qualitas tiap studi dihitung dengan Jadad scale, risiko bias dihitung sesuai Cochrane guideline. Parameter HG, KE, CRT, TUG, dan SPPB diekstraksi dan dilakukan metaanalisis dengan menghitung beda rerata untuk menghitung besar efek.Hasil: 17 studi RCT diikutsertakan dalam penelitian. Qualitas tiap studi berkisar antara sedang-baik. Rentang usia 68,8-86,6 tahun. Lama follow up 3-12 bulan. Dosis vitamin D yang diberikan bervariasi 400-2000 IU/hari, atau 150.000 IU/3 bulan. Didapatkan hasil beda rerata 6.96 1.33, 12.60 untuk parameter KE p 0.02 , beda rerata -5.03 -25.04, 14.98 untuk parameter CRT p 0.62 , beda rerata -2.72 -6.90, 1.45 untuk parameter TUG 0.20 , beda rerata 0.11 -7.94, 8.17 untuk parameter SPPB p 0.98 , dan beda rerata 3.24 0.81, 5.66 untuk parameter HG p 0.009 .Pembahasan: Pemberian suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kekuatan otot yang diukur dengan parameter KE dan parameter HG. Namun tidak ditemukan perbedaan bermakna pada penghitungan parameter CRT, TUG, dan SPPB.

Introduction Decreased muscle strength with age is considered a degenerative disease. The most common causes is vitamin D deficiency. Most studies have shown beneficial effects of vitamin D supplementation. However, there are still controversies. This study was aimed to systematically review the effects of vitamin D on muscle strength, based on results from previous studies.Methods This is a metaanalysis study. Literature searches performed through Pubmed, ScienceDirect and CENTRAL in December 2017. Included in the studies were RCTs, which measured the effect of vitamin D supplementation with clinical outcomes of muscle strength, in subjects over 65 years of age. The quality of each study was calculated with Jadad scale, the risk of bias calculated according to Cochrane guideline. Parameters HG, KE, CRT, TUG, and SPPB were extracted and calculating the mean difference to analyse the effect.Result Seventeen RCTs were included. The quality ranged from moderate good. Age range 68.8 86.6 years. Length of follow up 3 12 months. The vitamin D dose varies from 400 2000 IU day, or 150,000 IU 3months. The mean difference was 6.96 1.33, 12.60 for KE p 0.02 5.03 25.04, 14.98 for CRT p 0.62 2.72 6.90, 1.45 for the TUG 0.20 0.11 7.94, 8.17 for the SPPB p 0.98 and 3.24 0.81, 5.66 for HG p 0.009 .Discussion Vitamin D supplementation can increase muscle strength measured by measuring KE and HG. However, there were no significant difference was found in CRT, TUG, and SPPB. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erpryta Nurdia Tetrasiwi
"Latar Belakang: Individu dengan diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dilaporkan mengalami peningkatan risiko terjadinya sarkopenia dan juga sebaliknya. Penelitian mengenai DMT2 dengan sarkopenia mayoritas berasal dari populasi geriatri. Sampai saat ini belum ada studi yang membandingkan profil metabolik dan parameter inflamasi di kelompok DMT2 dengan dan tanpa sarkopenia pada usia yang lebih muda.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan rerata profil metabolik dan parameter inflamasi pada penyandang DMT2 nongeriatri dengan dan tanpa sarkopenia.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan individu dengan DMT2 nongeriatri berusia  18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021- Januari 2022. Dilakukan pengambilan data sekunder berupa antropometri dan laboratorium yang mencakup Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR), HbA1c dan profil lipid. Kadar interleukin (IL)-6 dan IL-10 serum diukur menggunakan teknik ELISA. Kelompok sarkopenia terdiri atas possible dan true sarcopenia berdasarkan kriteria Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) 2019.
Hasil: Dari 100 subjek, 35 subjek dikategorikan ke dalam possible sarkopenia dan 4 subjek true sarkopenia. Subjek DMT2 nongeriatri dengan sarkopenia memiliki median (RIK) nilai HOMA-IR dan kadar HbA1c yang lebih tinggi dibanding subjek tanpa sarkopenia yaitu berturut-turut [6,52 (4,05-17,26) vs. 4,66 (2,61-10,14); p=0,025] dan [9,0% (7,3-10,3)% vs. 7,4% (6,6-8,45)%; p=0,002]. Tidak terdapat perbedaan kadar profil metabolik lain dan IL-6 antara kedua kelompok, sementara kadar IL-10 hanya terdeteksi pada 33 sampel sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
Kesimpulan: Median nilai HOMA-IR dan kadar HbA1c kelompok DMT2 nongeriatri dengan sarkopenia lebih tinggi dibanding kelompok tanpa sarkopenia. Tidak ditemukan perbedaan kadar profil metabolik lain dan IL-6 sebagai parameter inflamasi antara kedua kelompok tersebut. Tidak dilakukan analisis beda rerata kadar IL-10 karena sedikitnya sampel yang terdeteksi.

Background: Individuals with type 2 diabetes mellitus (T2DM) are at increased risk for sarcopenia and vice versa. Studies in T2DM with sarcopenia mostly came from the geriatric population. To date, no study has compared the metabolic profile and inflammatory parameters in younger T2DM subjects with and without sarcopenia.
Aim: This study aimed to assess the mean differences in the metabolic profile and inflammatory parameters of nongeriatric T2DM individuals with vs. without sarcopenia.
Method: This cross-sectional study involved nongeriatric T2DM individuals aged 18-59 years old visiting Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and January 2022. Secondary data was obtained, namely anthropometric and laboratory data including Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR), HbA1c and lipid profile. Serum levels of interleukin (IL)-6 and IL-10 were measured using the ELISA technique. The sarcopenia group consists of individuals with possible and true sarcopenia based on the Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) 2019 criteria.
Results: From 100 subjects, 35 was categorized as possible sarcopenia and 4 as true sarcopenia. Nongeriatric T2DM subjects with sarcopenia had significantly higher median (interquartile range) HOMA-IR and HbA1c compared to nonsarcopenic subjects [6.52 (4.05-17.26) vs. 4.66 (2.61-10.14); p=0.025] and [9.0% (7.3-10.3)% vs. 7.4% (6.6-8.45)%; p=0.002]. There were no differences in other levels of metabolic profile and IL-6 between the two groups, while IL-10 levels were only detected in 33 samples and could not be analyzed further.
Conclusion: Median HOMA-IR and HbA1c nongeriatric T2DM subjects with sarcopenia was higher than those without sarcopenia. There was no difference in other metabolic profile and IL-6 level as inflammation parameter between the two groups. IL-10 was not analysed further due to the small sample number that were detected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>