Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rani Widyaningsih
"Segregasi pekerjaan menjadi masalah jika ada hambatan mobilitas faktor produksi. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten memiliki proporsi yang rendah dalam pekerjaan yang didominasi laki-laki. Norma dan elemen hukum/kelembagaan yang terbentuk dalam batas-batas gender tradisional dapat mencegah perempuan memasuki pekerjaan tertentu, menciptakan diskriminasi dan tantangan gender, yang mengakibatkan keluarnya perempuan dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. Sebagian besar karya ilmiah berfokus pada penjelasan mengapa perempuan pergi sementara hanya sedikit penelitian yang menjelaskan mengapa perempuan bertahan di bidangnya. Oleh karena itu, dengan mengadopsi pandangan konstruktivis, penelitian ini menyelidiki latar belakang perempuan masuk, tantangan yang mereka hadapi, dan alasan mengapa perempuan bertahan. Partisipan dari pekerjaan satpam, pengemudi truk, pengemudi ojek online, operator mesin, programmer, dan engineer dikumpulkan dengan menggunakan wawancara semi terstruktur. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pengkodean in vivo, pengkodean pola, data display untuk menarik kesimpulan. Temuan menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan, expected outcome, dan dukungan keluarga mempengaruhi keputusan partisipan untuk masuk. Partisipan juga mengalami tantangan gender (stereotipe dan minoritas) dan tantangan pekerjaan (jam kerja yang panjang). Alasan partisipan kelompok kerah biru bertahan adalah alasan ekonomi, sedangkan kelompok kerah putih mengungkapkan minat dan rasa ingin tahu sebagai alasan utama. Studi ini merekomendasikan penerapan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi perempuan dalam pekerjaan kerah biru dan menciptakan lingkungan belajar yang menantang bagi perempuan dalam pekerjaan kerah putih.

Job segregation becomes a problem if there are barriers to the mobility of the production factors. Research shows that women consistently have low proportion in male-dominated jobs. Legal/institutional norms and elements formed within traditional gender boundaries can prevent women from entering certain jobs, creating gender discrimination and challenges, resulting in women's exit from male dominated jobs. Most scientific work focuses on explaining why women leave while only few studies explaining why women stays in her field. Therefore, by adopting a constructivist view, this study investigates the background of women who pursuing careers in male-dominated jobs, the challenges they face, and the reasons why women persist. Participants from security guard jobs, truck drivers, online motorcycle drivers, machine operators, programmers, and engineers are collected using semi-structured interviews. Data analysis conducted by using an in vivo coding in the first cycle of coding, pattern coding in the second cycle of coding, and data display to draw conclusions. Findings indicated that educational background, expected outcomes, and family support influenced participants' decision to enter. Participants also experienced gender challenges (stereotypes and minorities) and job challenges (long working hours). The reason why participant in blue collar group stay is economic reasons, while the white collar group expresses interest and curiosity as main reasons. This study recommends implementing equal opportunity and treatment for women in blue-collar jobs and creating a challenging learning environment for women in white-collar jobs."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Nafisa
"Tulisan ini berfokus kepada pemisahan gender terhadap perempuan di ruang privat dan ruang publik sebagai upaya untuk mempertegas ‘kodrat’ perempuan yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam pemahaman metode para salaf al-salih atau yang disebut dengan manhaj Salaf oleh kelompok Salafi di Bekasi. Peraturan bagi perempuan untuk tetap berada di rumahnya—mengurus anak dan suami—dinegosiasi oleh sebagian perempuan Salafi yang memiliki peluang untuk mengakses pekerjaan di tempat yang non- syar’i, namun tetap menjunjung syari’at dalam kesehariannya untuk menjaga kesalehan serta komitmennya mengikuti manhaj Salaf. Adanya peluang untuk melakukan resistensi terhadap kewajiban para perempuan Salafi sebagai seorang ibu dan istri akan dilihat melalui sudut pandang agensi dari Saba Mahmood. Dari sudut pandang yang berbeda, para perempuan Salafi yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah sering dilanda kebingungan dalam mematuhi aturan mengenai pemisahan gender dengan kondisi ekonomi dan sosialnya yang tidak stabil. Untuk melihat kehidupan mereka, konsep resiliensi dari Sarah Bracke, yang juga menjadi kritik terhadap resistensi sebagai agensi oleh Saba Mahmood, akan digunakan untuk menggambarkan beragamnya kehidupan perempuan Salafi di Bekasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi kualitatif dengan mewawancarai sepuluh orang informan yang aksesnya didapat melalui seorang informan yang juga adalah gatekeeper penelitian ini. Penulis berargumen bahwa perempuan Salafi di Bekasi, tergantung dengan kondisi kelas ekonominya, memiliki bentuk agensi yang berbeda. Sebagai konklusi, penulis berpendapat bahwa upaya kelompok Salafi dalam mewujudkan kesalehan publik melalui ruang publik yang syar’i, dapat menghasilkan lebih banyak subjek resilien yang hidup perekonomiannya terombang-ambing.

This paper will be focused on the issue of gender segregation towards women in private and public spaces as a means to reinforce the ‘nature’ of women, based on Al- Qur’an and Sunnah in understanding the method of salaf al-salih (manhaj Salaf) by the Salafi group in Bekasi. The discussion about working rules for women in the Salafi discourse often touches on the status of the syar’i or not the syar’i of public space as their place of work. Regulations for women to remain at home—taking care of children and husbands—are negotiated by some Salafi women who have the opportunity to access work in non-syar’i places, but still uphold the syari’a in their daily lives to maintain piety and commitment to follow manhaj Salaf. Any opportunity to resist the obligations of Salafi women as mothers and wives will be seen through the agency's point of view from Saba Mahmood. From a different point of view, Salafi women who come from the lower middle economic class are often confused about complying with the rules regarding gender segregation due to their unstable economic and social conditions. To see into their lives, Sarah Bracke's concept of resilience, which also a criticism of resistance as an agency by Saba Mahmood, will be used to describe the diverse lives of Salafi women in Bekasi. The method used in this study is qualitative ethnography by interviewing ten informants whose access was obtained through an informant who is also the gatekeeper of this study. The author argues that Salafi women in Bekasi, depending on the condition of their economic class, have different forms of agency. In conclusion, the also author argues that the efforts of the Salafi group in realizing public piety through syar’i public spaces can produce more resilient subjects whose economies are shaken up."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Aathifah
"Paradigma terhadap peran setiap gender membatasi kebebasan perempuan untuk hadir di ruang publik sehingga menciptakan segregasi gender terhadap ruang. Sarana olahraga merupakan salah satu contoh ruang yang selalu dikaitkan dengan ruang untuk laki-laki. Perkembangan zaman modern menciptakan ideologi baru dalam melibatkan perempuan ke ruang publik yaitu dengan menciptakan ruang khusus perempuan secara eksklusif. Ruang khusus perempuan diciptakan untuk memenuhi hak perempuan dan memberikan pengalaman spesifik bagi perempuan terutama dalam merasakan kenyamanan dan bebas dari kekhawatiran. Di Indonesia, terdapat kolam renang telah menerapkan segregasi ruang berdasarkan gender khusus perempuan dengan adanya strategi spasial. Kompleksitas dari ruang spasial kolam renang yang tersegregasi gender ini juga mampu memicu pengalaman perempuan di kolam renang.

The paradigm regarding gender roles restricts women's freedom to occupy public spaces, leading to gender segregation in these areas. Sports facilities are often seen as male-dominated spaces. Modern developments have introduced new perspectives on involving women in public spaces by creating exclusive female-only areas. These spaces aim to enhance women's security, privacy, comfort, intimacy, and self-determination. Swimming pools are an example of sports facilities that implement gender segregation through spatial strategies. Architectural elements such as accessibility, legibility, enclosure, permeability, and visual attractiveness influence the quality of these spaces and shape specific spatial behaviors for women."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library