Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Utama
"ABSTRAK
Latar belakang. Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi. Tungau debu rumah TDR merupakan aeroalergen tersering yang mensensitisasi reaksi alergi. Pada tahun 1988 reseptor vitamin D VDR , berhasil di klon. Reseptor vitamin D berlokasi di beberapa jaringan dan sel tubuh manusia, termasuk di peripheral blood mononuclear cells PBMCs dan limfosit T yang telah teraktivasi. Riset yang lebih jauh memperlihatkan bahwa vitamin D mempunyai beberapa efek dari pengaturan sitokin terhadap beberapa sel yang berbeda dari sistem imun. Vitamin D dapat menekan respon Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.Tujuan. Melihat pengaruh pemberian Vitamin D terhadap kadar IL-10, IFN-? dan histamin pada kultur PBMC pasien rinitis alergiMetode. Sampel merupakan darah segar whole blood penderita rinitis alergi yang telah dilekukan prick test, serta diiisolasi dengan metode Ficoll. Bahan biologis tersimpan yang berupa supernatan kultur. Kultur sel limfosit sebelum perlakuan, diberi pendedahan tanpa atau dengan 1,25 OH 2D3 100 nM, waktu inkubasi 7 hari, dengan penambahan PHA dan alergen tungau pada hari ke-4. Kultur sel-sel PBMC dari pasien RA setelah perlakuan, dilakukan harvest pada hari ke-7, kemudian supernatanannya dialikuot untuk diukur kadar sitokin IFN-? dan IL-10, dan diuji secara statistik untuk melihat pola dari tiap parameter.Hasil: Pemberian alergen tungau tanpa vitamin D menyebabkan meningkatnya kadar histamin serta menurunkan kadar IL-10 dan IFN-?. Pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC yang telah diberi alergen tungau menyebabkan peningkatan kadar IL-10 dan penurunan kadar IFN-? dan histamin.Simpulan: Menurunnya kadar histamin dan IFN-? terhadap stimulasi alergen tungau pasien rinitis alergi yang diberi vitamin D cenderung berhubungan dengan meningkatnya kiadar IL-10.

ABSTRACT
Background. Allergic rhinitis is an inflammatory disease caused by an allergic reaction in atopic patients. House dust mites TDR are the most common aeroalergens that sensitize allergic reactions. In 1988 vitamin D receptor VDR , successfully in clones. Vitamin D receptors are located in several tissues and human body cells, including peripheral blood mononuclear cells PBMCs and activated T lymphocytes. Further research has shown that vitamin D has some effects of cytokine regulation on several cells different from the immune system. Vitamin D can suppress Th1 and Th2 responses. Th1 and Th2 cells inhibit the development of each other. Aim.To identify the Effect of Vitamin D On IL 10 IFN and histamine levels on PBMC Cultur of Allergic Rhinitis PatientsMethod. The sample is fresh blood whole blood of allergic rhinitis patients who have been prick tested, and isolated by Ficoll method. Pre treated lymphocyte culture, treated with or without 1,25 OH 2D3 100 nM, and incubated for 7 days, with addition of PHA and allergen mites on day 4. Cultures of PBMC cells from RA patients after treatment were harvested on day 7, then the supernatant was dialyzed for measured levels of IFN and IL 10 cytokines using elisa kits and tested statistically to see patterns of each parameter.Result. Giving allergen mites without vitamin D causes increased levels of histamine and lowers levels of IL 10 and IFN . Provision of vitamin D in PBMC cell culture that has been given allergen mites causes increased levels of IL 10 and decreased levels of IFN and histamine.Conclusion. Reduced levels of histamine and IFN against allergen mite stimulation of allergic rhinitis patients given vitamin D tend to be associated with increased IL 10 levels."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renaningtyas
"Latar Belakang: Pemeriksaan histopatologi pada apendisitis akut dianggap sebagai
pemeriksaan baku emas, walaupun tidak selalu dapat membuktikan adanya
peradangan akut. Hal tersebut menimbulkan dugaan adanya patogenesis lain yang
belum diketahui. Beberapa penelitian menemukan adanya korelasi antara sel mast
dengan saraf enterik pada apendisitis akut. Tujuan penelitian ini adalah melihat
kepadatan sel mast dan jaringan saraf, serta korelasi derajat kepadatan sel mast
dengan derajat kepadatan jaringan saraf pada dinding apendisitis akut. Bahan dan
cara kerja: Penelitian observasional analitik potong lintang dilakukan pada 97
sediaan histopatologi apendisitis akut yang dikelompokkan menjadi apendisitis akut
fokal, supuratif, gangrenosa dan perforatif. Penilaian sel mast menggunakan pulasan
Toluidine blue dan penilaian jaringan saraf menggunakan pulasan IHK S100.
Kemudian dilakukan penilaian korelasi derajat kepadatan sel mast dengan derajat
kepadatan saraf enterik yang masing-masing dikelompokkan menjadi 4 derajat, pada
lapisan submukosa dan muskularis, menggunakan uji Sommers'd. Hasil: Kepadatan
sel mast/lpb lebih tinggi pada apendisitis akut fokal (3,9±1,3) dibandingkan
apendisitis akut supuratif-gangrenosa. Sedangkan kepadatan jaringan saraf enterik/lpb
lebih tinggi pada apendisitis akut supuratif-gangrenosa (3,7±0,9). Terdapat korelasi
kuat antara derajat kepadatan sel mast dengan derajat kepadatan jaringan saraf enterik
pada lapisan muskularis apendisitis akut (p<0,05; r=0,733). Sedangkan pada lapisan
submukosa terdapat korelasi lemah antara kedua variabel tersebut (p>0,05; r=0,118).
Tidak terdapat perbedaan kepadatan sel mast dan kepadatan jaringan saraf yang
bermakna pada kelompok apendisitis akut (p>0,05). Kesimpulan: Kepadatan sel
mast tertinggi terdapat pada apendisitis akut fokal, sedangkan kepadatan jaringan
saraf tertinggi pada apendisitis akut supuratif-gangrenosa. Terdapat korelasi kuat
antara derajat kepadatan sel mast dengan derajat kepadatan jaringan saraf enterik
pada lapisan muskularis, sedangkan korelasi lemah terdapat pada lapisan submukosa apendisitis akut.

Background: Histopathologic examination is the gold standard for diagnosis of acute
appendicitis, although no obvious histopathological signs of acute inflamation shown.
Therefore other unknown pathogenesis is suspected. Several studies prove there is
correlation between mast cells and enteric nerve system on acute appendicitis. The
aims of this study are to see the density of mast cell and enteric nerve and to evaluate
correlation between grade of mast cell density and enteric nerve density on
histopathologically acute appendicitis. Material and methods: A cross-sectional
retrospective study was conducted on 97 histopathologically acute appendicitis which
grouped as acute focal, acute suppurative, gangrenous (phlegmonous) and
perforative. All sections were subjected to toluidine blue stain for mast cell and S100
stain for enteric nerve. The density of mast cell and enteric nerve were designed into
4 grades. A correlation test between grade of mast cell density and grade of enteric
nerve density were studied in submucosa and muscularis using Somers?d correlation
test. Results: The highest densities of mast cell/hpf (3,9±1,3) and enteric nerve/hpf
(3,7±0,9) were found in acute focal appendicitis and suppurative-gangrenous
appendicitis respectively. There was strong correlation between grade of mast cell
density and enteric nerve density in muscularis (p<0,05; r=0,733), whereas the
submucosal layer had the weak one (p>0,05; r=0,118). There was no significant
difference for mast cell and enteric nerve density on each group (p>0,05).
Conclusion: The highest densities of mast cell and enteric nerve were found in acute
focal appendicitis and suppurative-gangrenous appendicitis respectively. There was
strong correlation between grade of mast cell density and grade of enteric nerve
density in muscularis layer of acute appendicitis, meanwhile the weak correlation was
on submucosa.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library