Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Patsy Sarayar Djatikusumo
Abstrak :
Tujuan :untuk mendapatkan data kadar vitamin C plasma dan humor akuos penderita katarak senilis dan faktor-faktor yang berhubungan. Tempat : Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUPN Cipto Mangunkusumo Metodologi : suatu studi korelasi, dengan subjek 123 penderita katarak senilis yang menjalani operasi katarak, dipilih secara consecutive sampling. Data meliputi data umum, gradasi katarak, pola dan asuhan makan ditentukan dengan metode tanya ulang 2x24jam dan FFQ serta pemeriksaan kadar vitamin C plasma dan humor akuos menggunakan spektrofotometri. Hasil : Kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C terdapat pada 26% subjek. Pola makan dan asupan vitamin C dengan kriteria kurang pada 62,6% dan 52,9% subjek. Median kadar vitamin C plasma 0,545 (0,203 - 1,986) mgldL dan humor akuos 16,753 (3,528 - 37,505) mg/dL, Penderita katarak gradasi III mempunyai kadar vitamin C plasma yang tertinggi, sedangkan di humor akuosnya terendah. Terdapat korelasi positif antara vitamin C plasma dengan asupan zat gizi (energi, protein dan serat) dan vitamin C humor akuos. Terdapat hubungan antara pola makan, asupan zat gizi, kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C dengan gradasi katarak. Kadar vitamin C plasma > 0,7 mg/dL (batas risiko katarak) yang diperoleh dari asupan vitamin C 140 mg/hari mempunyai hubungan dengan gradasi katarak. Kesimpulan : Tidak( ada subjek penelitian yang menderita defisiensi vitamin C. Kadar vitamin C humor akuos pada katarak gradasi III lebih rendah dibanding gradasi lanjut kemungkinan dikarenakan sejumlah serat-serat lensa masih aktif menggunakannya. Pola makan yang baik, asupan vitamin C > 140 mg/hari dan kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C lebih banyak ditemukan pada penderita katarak gradasi awal. Dibutuhkan asuhan vitamin C lebih tinggi dari AKG untuk menunda progresivitas katarak.
Purpose: to identify the plasma and aqueous humor level of vitamin C in senile cataract patient and related factors. Setting: Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Material and Method: A correlation study of 123 consecutive samples of senile cataract patients who underwent cataract surgery. Data were collected include demographic profiles, cataract grades, assessment of dietary profile and intake by food recall 2x24 hours question and FFQ, vitamin C level in plasma and aqueous humor, analyzed by spectrophotometer method. Result: Subject who regularly consumed vitamin C supplement was up to 26%. Poor dietary profile and vitamin C intake were found on 62.6% and 52.9% of the subject respectively. The median of vitamin C level in plasma was 0.545 (0.203-1.986) mg/dL and in aqueous humor was 16.753 (3.528-37.505) mg/dL. The highest median plasma level along with the lowest median aqueous humor level of vitamin C was found on cataract grade 3. Plasma level of vitamin C had a positive correlation with a variety of nutrient intake (energy, protein and fiber) and vitamin C level in aqueous humor. The grade of lens opacities was associated with dietary profile, intake of nutrient, vitamin C supplement consumption. Plasma level of vitamin C higher than 0.7 mg/dL during vitamin C intake of 140 mg per day was related with the grade of lens opacities. Conclusion: None of these senile cataract patients was vitamin C deficient. The aqueous humor level of vitamin C in cataract grade 3 was lower than in other grades. It is assumed that numerous healthy lens fibers are still active utilizing the vitamin C in aqueous humor. Fine dietary profile, high vitamin C intake (>140 mg/dL) and regular consumption of vitamin C supplement were associated with grades of cataract. It is suggested to increase vitamin C intake higher than RDA in order to prevent the progression of cataract.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryanti
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui prevalensi katarak senilis dan faktor-faktor risiko yang berperan pada kejadian katarak di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross-sectional, pada 2550 subyek dari 85- klaster. Semua subyek dilakukan kunjungan rumah untuk pemeriksaan visus secara kasar dengan pin-hole, pemeriksaan lensa serta segmen posterior mengunakan senter dan oftalmoskop langsung. Setelah itu dilakukan wawancara faktorfaktor risiko katarak. Faktor-faktor risiko yang berperan dicari dengan memakai analisis statistik multivariat. Hasil: Subyek yang dapat diperiksa secara lengkap sebesar 95% dari semua target, Prevalensi katarak senilis di kabupaten Kutai Kartanegara adalah 31,7%. Faktor-faktor yang berperan pada kejadian katarak antara lain faktor usia, suku dan letak geografi. Kesimpulan: Prevalensi katarak senilis di Kutai Kartanegara masih tinggi, diperlukan penanganan yang komprehensif dan Iintas sektoral. Suku Dayak dan penduduk yang tinggal di daerah pegunungan inempunyai risiko katarak lebih besar di bandingkan dengan keseluruhan pupulasi yang tinggal di Kabupaten Kutai Kartanegara. ...... Objective: To determine the prevalence rates and contribution of risk factors cause of senile cataract in east Kalimantan. Method: An observational cross-sectional study was carried out involving 2550 subjects aged 50 years and over divided into 85 clusters. Home visits were conducted for ophthalmology examination including visual acuity evaluation with pin-hole, inspection of posterior segment and lens using flash light, and direct ophthalmoscopy. Major risk factors were analized using multivariate statistical method. Results: Ninety five percent subjects were examined completely. Prevalence of senile cataract in Kutai Kartanegara was 31,7%. The factors influent cataract prevalence were age, ethnic and geographic. Dayaknis and people living in mountain range have higher cataract risks than others population in this study. Conclusion: Prevalence of senile cataract in Kutai Kartanegara is quite high. More comprehensive cataract management is needed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
Abstrak :
Pemberian rekomendasi fit to fly setelah dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi pada pilot yang mengalami katarak berdasarkan protocol Civil Aviation Safety Regulations CASR 67 KP 303 tahun 2012 diberikan setelah 2 bulan pascabedah. Saat ini dengan kemajuan teknologi dan modifikasi teknik, kestabilan tajam penglihatan pascabedah dapat lebih cepat dicapai. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukkan dalam hal perubahan kebijakan lama masa unfit penerbang dengan katarak yang dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi. Agar penerbang yang tajam penglihatannya sudah stabil dan sudah memenuhi kriteria fit to fly dapat secepatnya kembali bertugas guna mengurangi loss of work. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kohort retrospektif. Data diambil dari rekam medis, dilakukan perbandingan best corrected visual acuity BCVA dalam satuan desimal praoperasi, hari pertama, serta minggu pertama, kedua, keempat, dan kedelapan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling, didapatkan 16 rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Seluruh sampel berjenis kelamin laki-laki 100 berusia 59 ndash; 61 tahun. BCVA didapatkan berbeda bermakna pada hari pertama pascabedah yang dibandingkan dengan prabedah p
According to Civil Aviation Safety Regulations CASR protocol 67 KP 303 in 2012, fit to fly recommendation after refractive phacoemulsification surgery performed on pilots with cataractswas given 2 months postoperatively. Nowadays with technological advances and technique modifications, the visual acuity stability postoperative can be more quickly achieved. This study aims to provide insight in terms to change the old policy of unfit period for pilots with cataracts performed phacoemulsification refractive surgery. It aims to reduce the loss of work so the aviators who visual acuity has been stable and already meet the criteria fit to fly can quickly return to serve. This study is a quantitative study with a retrospective cohort design. Data were taken from medical records, then we compared best corrected visual acuity BCVA in decimal preoperative, first day, and first, second, fourth and eighth week. Sampling was done by total sampling method, we got 16 medical records that match inclusion and exclusion criteria. All samples of male sex 100 aged 59 - 61 years. BCVA was found to differ significantly on the first postoperative day compared with preoperative p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library