Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fikri Fahruroji
"Latar belakang: Salah satu mekanisme nyeri inilamasi adalah sensitisasi perifer yang dimediasi oleh prostaglandin E2 (PGE2) di terminal nosiseptor perifer. Konsekuensi sensitisasi adalah hiperalgesia yang menandai penurunan ambang nosiseptor atau modulasi aneka reseptor dan kanal ion nyeri. Hiperalgesia dapat diatasi oleh agen antinosiseptif inhibitor siklooksigenase~2 (COX-2) selektif, namun pada praktiknya analgesik tersebut dilaporkan masih memiliki kelemahan. Dalam hal ini, Morinda citrifolia L. dikategorikan etnomedika tropis yang diyakini memiliki efek antinosiseptif dalarn berbagai kasus nyeri kronis. Secara in virro jus Morinda citrofolia L. dilaporkan mampu menginhibisi aktivitas enzimatik COX-2 secara selektif, sehingga sangat potensial untuk mengatasi hiperalgesia.
Tujuan: Membuktikan efek antinosiseptif Morinda cirrifolia L. dapat menurunkan beda laten hiperalgesia tennal, dan pola beda latennya dibandingkan cele-coxib, Serta pengaruh diet teratur Morfnda citryblfa L. terhadap hewan coba yang diinduksi carrageenan sesuai metode modyied ho! plaie (MHP).
Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental pada tikus Sprague- Dawley (SD) dengan model nyeri inflamasi menggunakan algogenik cm-rageenan. Parameter yang diteliti adalah beda laten reaksi menghindar antara telapak tungkai yang diinjeksi carrageenan secara intraplantar dengan telapak tungkai kontralateral melalui uji nyeri hot plate tesf. Nilaj beda laten ditentukan pada tahapan respon hiperalgesia menit ke-15, ke-60, ke-180, dan ke-300 setelah diinduksi nyeri inflamasi.
Hasil: Diperoleh penurunan rerata beda laten pada tikus yang diberi minum Morinda citrofolia L. sebelurn diinjeksi carrageenan secara bermakna dibandingkan rerata beda masa laten tikus yang diberi minum salin. Nilai tersebutjuga tidak signifikan perbedaannya dengan rerata beda laten pada tikus yang diobati celecoxfb maupun tikus yang diberi rninum Morfnda citrwlfa L. selama I0 hari.
Kesimpulan: Efek antinosiseptif Morinda citrffolfa L. dapat menurunkan beda laten hiperalgesia terrnal dengan model nyeri inflamasi pada tikus yang diinduksi algogenik carrageenan. Pola beda laten tersebut mirip dengan efek celecoxib, sehingga keduanya sama-sama terbukti dapat menginhibisi respon hiperalgesia termal. Sedangkan efek diet Morinda cfrrifolia L. secara teratur tidak signifikan mempengaruhi penurunan beda laten hiperalgesia termal.

Background: One mechanism of inflammatory pain was peripheral sensitization that mediated by prostaglandin E2 (PGE2) at peripheral terminal nociceptor. Therefore hyperalgesia was occurred and indicated reduction of threshold nociceptor or modulation of many receptors and ion channels of pain. Antinociceptive agent that is used for the treatment of hyperalgesia is selective cyclooxygenase 2 (COX-2) inhibitor, but practically it has several problems. Morinda citryblia L. was categorized as tropical ethnomedicine that was believed has antinociceptive effect, especially in many types of chronical pain. Based on in vitro research, Morinda ein-girlie L. was reported inhibited enzymatic activity of COX-2 selectively, thus it was potencial to relieve hyperalgesia.
Objective: To proved that antinociceptive effect of Morinda citryblfa L. could decrease A latency of thermal hyperalgesia, and its value compare with celecoxib, and the effect of regular diet of Morfnda citrjfolia L. in rat-carrageenan induced based on modified hot plate test (MI-IP) method.
Method: This was an experimental study in rat Sprague-Dawley (SD) with pain inflammatory model using algogenic carrageenan. The parameter was the A latency of withdrawal reaction between paw that was injected by carageenan ip! and contralateral paw through hot plate test. The A latency was measured at 15, 60, 180, and 300 minutes after inflammatory challenge.
Result: The rat that treated with Morinda cirryolia L. an hour before carrageenan injection has A latency of thermal hyperalgesia that was significantly different from rat that was treated with saline. That value was not different significantly than the A latency of the rat that was treated with celecoxib or the rat that was regular treated with Morinda citrofolia L. for 10 days.
Conclusion: Antinociceptive effect of Morinda citrofolia L. decreased A latency of thermal hyperlagesia with pain inflammatory model in rat carrageenan induced. This A latency was similar with the effect of celecoxib, thus both were inhibited thermal hyperalgesia response. While the effect of regular diet of Morinda Citrofolia L. was not significantly influence the decreasing of A latency of thermal hyperalgesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32875
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Ayu Witarini
"Latar belakang: Penyakit alergi didasari reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi mekanisme imunologi spesifik diperantarai oleh IgE. Warga kota Denpasar memiliki karakteristik spesifik, yaitu tingkat memelihara hewan berbulu anjing dan konsumsi daging babi yang tinggi. Data sensitisasi alergen pada anak di kota Denpasar belum ada. Penelitian sensitisasi alergen dapat memberikan gambaran sensitisasi spesifik untuk anak di kota Denpasar sehingga upaya pencegahan penyakit alergi dapat dilakukan dengan lebih efektif.
Tujuan: Mengetahui sensitisasi alergen pada anak dengan penyakit alergi dermatitis atopi, asma, rinitis alergi yang dibuktikan melalui uji tusuk kulit di RSUP Sanglah Denpasar.
Metode: Penelitian potong lintang di Poliklinik Rawat Jalan Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Sanglah, Denpasar, periode Januari 2017-Maret 2017. Anak usia 3-18 tahun dengan dermatitis atopi, asma, rinitis alergi dan orang tua setuju mengikuti penelitian akan diinklusi. Sensitisasi alergen dibuktikan melalui uji tusuk kulit terhadap alergen spesifik inhalan dan/atau ingestan, hasil positif bila diameter urtika 3 mm. Data dinyatakan sebagai proporsi, dilakukan pengelompokan berdasarkan jenis penyakit alergi dan umur.
Hasil: Proporsi anak dengan penyakit alergi, yaitu dermatitis atopi 30,5, asma 57,9, dan rinitis alergi 56,8. Proporsi berdasarkan multimorbiditas penyakit adalah dermatitis atopi dengan asma 8,5, dermatitis atopi dengan rinitis alergi 4,2, asma dengan rinitis alergi 24,2, dermatitis atopi dengan asma dan rinitis alergi 4,2, dermatitis atopi 13,7, asma 21, rinitis alergi 24,2. Sensitisasi pada kelompok dermatitis atopi usia 3-6 tahun tersering terhadap alergen ingestan, usia sekolah baik pada dermatitis atopi, asma, maupun rinitis alergi sensitisasi terutama terhadap alergen inhalan D. farinae, D. pteronyssinus, kecoa.
Simpulan: Proporsi penyakit alergi tertinggi pada anak di kota Denpasar adalah asma dengan rinitis alergi. Sensitisasi terutama terhadap alergen inhalan pada anak usia sekolah.

Background: Allergic disease in children is based on hypersensitivity reactions initiated by specific immunologic mechanism mediated by IgE. Residents of Denpasar city have their own characteristics in terms of the level of having furry animals dogs and the level of consumption of pork is high. While allergen sensitization data for the children of Denpasar is still not available. Allergen sensitization research in Denpasar will give a picture of the sensitization type specifically for children in Denpasar in order for having more effective prevention programs.
Objectives: To study the sensitization of allergens in children with atopic dermatitis, asthma, and allergic rhinitis that proven through skin prick test at Sanglah Hospital Denpasar.
Methods: A cross sectional study was done in the Outpatient Immunology Allergy Polyclinic, Sanglah Hospital, Denpasar in the period of January to March 2017. Children 3 18 years who are diagnosed with atopic dermatitis, asthma, and allergic rhinitis, and the parents signed a letter of approval, will be included. Allergen sensitization proven by skin prick test against specific allergens inhalants and or ingestants, and it classified positive results when indicating wheal diameter ge 3 mm. The data is calculated as a proportion number and is grouped based on the type of allergy and age.
Results: The proportion of children with allergy was atopic dermatitis 30.5, asthma 57.9, and allergic rhinitis 56.8. While the proportion based on the multimorbidity of the disease is atopic dermatitis with asthma 8.5, atopy dermatitis with allergic rhinitis 4.2, asthma with allergic rhinitis 24.2, atopy dermatitis with asthma and allergic rhinitis 4.2, atopic dermatitis 13, 7, asthma 21, and allergic rhinitis 24.2. Sensitization in the atopy dermatitis at age 3 6 years group frequently to ingestant allergen, but at school age in both atopic dermatitis, asthma, and allergic rhinitis sensitization especially to inhalants allergen D. farinae, D. pteronyssinus, and cockroaches.
Conclusions: Children in Denpasar showed the highest proportion of allergies for asthma and allergic rhinitis, with the majority of allergen are inhaled at school age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ummu Mastna Zuhri
"Latar Belakang: Resistensi insulin pada jaringan otot skelet, hepar, dan adiposit merupakan penyebab utama terjadinya DM tipe 2 serta berbagai penyakit metabolik lain. Resistensi insulin masih sulit diatasi menggunakan obat yang tersedia, sehingga pencarian obat sensitisasi insulin, terutama pada jaringan otot skelet menjadi urgensi dalam riset obat antidiabetes. Salah satu tanaman obat yang berpotensi dikembangkan sebagai obat sensitisasi insulin adalah brotowali.
Tujuan: Mengidentifikasi target terapi utama dari brotowali sebagai agen sensitisasi insulin melalui pendekatan in silico, menguji aktivitasnya secara in vitro pada kultur sel otot skelet L6.C11, dan mengidentifikasi senyawa aktifnya menggunakan metode LC-MS/MS metabolomik.
Metode: Pencarian target terapi utama resistensi insulin yang ditarget oleh brotowali dilakukan melalui analisis jejaring farmakologi yang diikuti dengan simulasi penambatan molekuler dan dinamika molekuler. Kultur sel otot skelet L6.C11 digunakan sebagai model sel resisten insulin pasca-induksi tinggi glukosa dan tinggi insulin. Hasil fraksinasi terhadap ekstrak metanol brotowali (n=33) diuji aktivitasnya terhadap peningkatan kadar glikogen dan inhibisi fosforilasi serin-312 pada IRS1(metode enzime-linked immunosorbent assay), serta peningkatan GLUT4 tertranslokasi (metode konfokal-imunositokimia). Metode LC-MS/MS metabolomik digunakan untuk menganalisis metabolit dari fraksi-fraksi uji. Analisis statistik komparatif melalui uji ANOVA satu arah dan analisi multivariat melalui PCA dan OPLS untuk mengidentifikasi senyawa penanda bioaktif.
Hasil: Analisis jejaring farmakologi memprediksi adanya tiga jalur terapi dari resistensi insulin yang ditarget oleh senyawa kandungan brotowali (jalur persinyalan PI3K, TNF, dan MAPK). Fosforilasi serin-312 pada IRS1 ditentukan menjadi target terapi dalam pengujian in vitro didasarkan pada perannya yang besar pada patogenensis resistensi insulin (degree: 12). Hasil uji in vitro mengidentifikasi fraksi 3 sebagai fraksi dengan aktivitas tertinggi dari seluruh fraksi uji (2,55+0,12 ?g/mL; 45,68+3,20%; 64,07+1,78 AU) dalam aktivitas peningkatan glikogen, inhibisi pIRS1 ser-312, dan peningkatan translokasi GLUT4. LC-MS/MS metabolomik mampu mengidentifikasi senyawa penanda bioaktif batang brotowali berupa tinoskorsida D, higenamin, dan tinoskorsida A.
Kesimpulan: Analisis komputasi jejaring farmakologi mampu memprediksi dengan baik target terapi dan senyawa aktif brotowali. Secara in vitro, senyawa kandungan batang brotowali mampu meningkatkan sensitisasi insulin dengan senyawa penanda bioaktif berupa tinoskorsida D, higenamin, dan tinoskorsida A.

Background: Insulin resistance in skeletal muscle tissue, liver and adipocytes is the main cause of type 2 DM and various other metabolic diseases. Insulin resistance is still difficult to overcome using available drugs, so the search for insulin sensitizing drugs, especially in skeletal muscle tissue, is an urgency in antidiabetic drug research. One of the medicinal plants that has the potential to be developed as an insulin sensitizing drug is brotowali.
Objectives: To identify potential therapeutic targets of brotowali as an insulin sensitizing agent through an in silico approach, to test its in vitro activity in L6.C11 skeletal muscle cell culture, and to identify its active compounds using the LC-MS/MS method.
Methods: The search for the potential therapeutic target of insulin resistance targeted by brotowali was carried out through network pharmacology analysis followed by molecular docking and molecular dynamics simulations.
The fractionation of brotowali methanol extract (n=33) were tested for their activity on increasing glycogen levels and inhibition of serine-312 phosphorylation on IRS1 (enzyme-linked immunosorbent assay method), as well as increasing translocated GLUT4 (confocal-immunocytochemical method). The LC-MS/MS metabolomics method was used to analyze the metabolites of the tested fractions. Comparative statistical analysis through one way ANOVA test and multivariate analysis through PCA and OPLS to identify bioactive marker compounds.
Results: Network pharmacology analysis predicted three therapeutic pathways of insulin resistance targeted by brotowali’s compounds (PI3K, TNF, and MAPK signaling pathways) with the PI3K pathway as the main pathway. Sequentially the signaling pathway regulate the glucose homeostasis, anti-inflammation, and cell proliferation. Phosphorylation of serine-312 in IRS1 was determined to be a therapeutic target in in vitro testing based on its major role in the pathogenesis of insulin resistance (degree: 12). In vitro tests identified fraction 3 as the fraction with the highest activity of all tested fractions (2.55+0.12 µg/mL; 45.68+3.20%; 64.07+1.78 AU) in glycogen increasing activity , inhibition of pIRS1 ser-312, and increased GLUT4 translocation sequentially. The bioactive marker compounds of brotowali stems were identified as tinoscorside D, higenamin, and tinoscorside A.
Conclusion: Network pharmacology computation was successfully predict the therapeutic targets and active compounds of brotowali. At in vitro test, compounds contained in brotowali stems can increase insulin sensitization with bioactive markers were tinoscorsida D, higenamin, and tinoscorsida A.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RR Reni Indraswari
"Baja tahan karat jenis austenitik tipe 316L banyak digunakan di berbagai industri. Untuk menyambungkan antar pipa dilakukan pengelasan, akan tetapi dalam penggunaannya sering terjadi korosi pada sambungan lasnya. Pada penelitian ini dilakukan pengelasan pada logam SS 316L dengan ukuran 150 mm x 300 mm, tebal 1,5 mm dan 3 mm. Metoda pengelasan yang dilakukan adalah SMAW and GTAW dengan variasi jenis filler (ER316L dan TGX-R316LT1-5) dan penggunaan gas back purging/shielding argon. Gas pelindung yang digunakan untuk metoda GTAW adalah argon murni.
Setelah proses pengelasan, akan dilakukan beberapa pengujian seperti pengujian kekerasan, metallografi untuk melihat struktur mikro serta pengujian ketahanan pitting. Pengujian dilakukan dengan membedakan spesimen yang dipreparasi dan yang tidak dipreparasi sebelum dilakukan pengujian dengan mencelupkan ke dalam larutan ferric cholride.
Hasil dari penelitian ini yaitu data pengujian kekerasan yang menunjukkan bahwa daerah Weld Metal memiliki kekerasan yang paling tinggi dari daerah lainnya dan dari pengamatan struktur mikro ditemukan adanya presipitasi karbida. Pada pengelasan baja tahan karat jenis ini juga ditemukan adanya oksida-oksida permukaan karena temperatur tinggi dan fenomena sensitisasi yang tidak lepas mempengaruhi ketahanan korosi, khususnya korosi pitting.

Austenitic Stainless Steel type 316L is mostly used in various industries. Usually, joining between the pipes by welding. Although on the use often happened corrosion failure on the weld joint.
This research use SS316L materials with size 150 mm x 300 mm, thickness 1,5 mm dan 3 mm. Methods welding are SMAW and GTAW with variation in filler metals (ER316L and TGX-R316LT1-5) and using gas back purging/shielding. Than, will be researched by hardness test and metallography test to know microstructure and pitting resistance test. Tests carried out by distinguishing specimens that are not prepared and prepared prior to testing by dipping into a solution of ferric chloride.
The result of this analysis, hardness test which show that Weld Metal zone is the hardest from the other. From the microsturcture analize show carbide precipitation. In welding stainless steel types are also found the existence of surface oxides due to high temperature and sensitization phenomena that can?t be separated affecting corrosion resistance, particularly pitting corrosion."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
T27966
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hartinah
"Abstrak
Gejaia creep mernpa/can peristiwa rnuiurnya .vuatu material yang dapat diakiziri dengan terjadiiiva para/ran akibat pemberian beban konstan pada tennneranir yang cu/mp tinggifengujian creep yang clilakukan memakan wakru _vang xanga/ lama dapat mencapai bertahun-ta/mn untuk pemberian beban yang kecil, karena itu untuk segera mengetalnii karakleristik creep dari suatu material diadakan pengigiian creep yang dnnercepat dengan inengambil beban yang nzendekati titik yield material yang diuji pada ternperatur tinggi (sekitar 0,-I 7},,).
Benda zgi yang dignnakan pada penelitian ini adalah baja tahan karat austenitik AIS! ripe 304. Alasan penggunaan material ini adalah melihat apfilcasinya yang nienclaminasi penggunaan baja tahan karat Iainnya terutama pada temperatur tinggi dengan beban lertentu.Kedua parameter tersebut sangat menentalran perilalcu creep dari xuatu material disampiirg karakteristik a'ari material iiu sendiri.
Untuk meningkatlcan ketahanan creep material _nada materiai dilakukan proses ani/ dengan nzeinpertirnbangkan pengaruh sensitisasi yang teqadi pada baja ta/Ian karat austenitilc ini. Benda :gi yang diganakan terdiri dari benda uji awai tanpa dianil, benda uji yang dianil 650"C dan 900°C dengan waktu talzan I jam. Yerhadap ketiga benda :gi dilakukan :yi creep sesuai dengan standarBS 3500 pada temperatur 677"C dengan beban sebesar 500 N setelah ilu diia/rulcan pengarnatan .vrrulctur mikro untuk mengamati sensitisasi.
Hasii dari pengujian ini yaitu baja AISI 304 yang diani! pada tenyoeratur 650"C memiiiki ketaiianan creep paling baik diantara lcetiga benda ini. Baja AISI 304 yang dianil pada temperatur 9000 C le/Jih tahan creep dibanding baja yang tidalr dianii. A/can tetapi karena pengaruh sen.s?itisa.si cukup besar yang terjadi .vela/na proses ani), malta baja ini ketahanan creep-nya lebih kecil dibanding bqia yang dianil pada /ernperatur 650° C. Sensitisasi pada baja AISI 304 menyebabkan bagian batas butir baja menjadi keras dibanding butimya yang meluna/c akibat proses anil. Mengerasnya batas butir dilsebabkan karena kram Icarbida yang mengendap bertindak sebagai penghalang gerak dislokasi sehingga dislokasi-
dislokasi lainnya menjadi menumpulc di batas butir dan alchirnya akan rnenyebabkan baja mudah patah ketika diberi beban tarik yang diawali dengan inisiasi retak intergranular pada batas burir. Pada benda uji yang dianii 6500C didapat ketahanan creep yang paling tinggi lcarena adanya presgpital karbida pada matriks yang beifungsi sebagai rintangan bagi gerak dislokasi dan sed!/fitnya _presipitat karbida pada batas butir menyebabkan benda :yi ini mengalami efongasi yang cu/cup panjang sebelum terjadingya iceretakan. Benda :ji ani! 650°C mengalami pertambahan panjang 2% dari elongasi material awa/ sedangiran benda Wi ani! 900°C mengalami penuranan 8%.

"
2000
S41535
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suzy Maria
"ABSTRAK
Latar Belakang: Atopi yang ditandai dengan sensitisasi (produksi IgE) terhadap alergen merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit alergi. Karena komposisi genetik cenderung stabil, peningkatan prevalensi penyakit alergi diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang berubah.
Tujuan: Mengetahui faktor yang memengaruhi sensitisasi terhadap alergen hirup dan munculnya manifestasi penyakit alergi pada populasi dewasa muda di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada mahasiswa baru Universitas Indonesia tahun 2019. Mahasiswa diminta mengisi kuesioner berisi data demografi, kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), menjalani pemeriksaan fisik dan uji cukil kulit terhadap lima alergen hirup (kecoa, Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, bulu kucing, epitel anjing). Sensitisasi ditandai dengan terdapat setidaknya satu hasil positif pada uji cukil kulit. Jika terdapat hasil positif pada dua atau lebih alergen, subyek disebut mengalami polisensitisasi. Manifestasi alergi yang dinilai berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi.
Hasil: Proporsi sensitisasi adalah 44,8% (128 dari 286 subyek), sedangkan proporsi manifestasi penyakit alergi adalah 57,7% (165 dari 258 subyek). Manifestasi penyakit alergi didapatkan pada 84 (65,6%) subyek dari subkelompok yang tersensitisasi. Sensitisasi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (OR 2,25; IK95% 1,38-3,71; p=0,001) dan subyek yang lahir secara caesar (OR 2,46; IK95% 1,22-5,06; p=0,013), sebaliknya lebih sedikit pada subyek yang berasal dari urban (OR 0,54; IK95% 0,32-0,90; p=0,019). Subyek yang tersensitisasi cenderung untuk memiliki manifestasi penyakit alergi (OR 1,79; IK95% 1,10-2,95; p=0,020). Pada subkelompok yang tersensitisasi, manifestasi penyakit alergi ditemukan lebih banyak pada subyek yang tinggal di urban (OR 2,58; IK95% 1,15-6,01; p=0,024), obese (OR 5,25; IK95% 1,35-34,92; p=0,036), dan mengalami polisensitisasi (OR 2,26; IK95% 1,01-5,10; p=0,046).
Simpulan: Sensitisasi terhadap alergen hirup dipengaruhi oleh jenis kelamin lakilaki, status urban, dan riwayat persalinan caesar. Munculnya manifestasi penyakit alergi dipengaruhi oleh adanya sensitisasi. Pada subkelompok yang tersensitisasi, munculnya manifestasi penyakit alergi dipengaruhi oleh status urban, obesitas, dan polisensitisasi.

ABSTRACT
Background: Atopy marked by allergen sensitization (IgE production) is a risk factor for allergic diseases. Since genetic composition tends to be stable, the increase of allergic diseases prevalence is suspected due to changing environment factors.
Purpose: To identify the factors affecting sensitization to inhalant allergen and allergic diseases manifestation in Indonesian young adults.
Methods: Cross-sectional study done on Universitas Indonesia 2019 new students. Students were asked to fill in a demographic questionnaire, an International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) questionnaire, undergo physical examination and skin prick tests for five inhalant allergens (cockroach, Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, cat hair, dog epithelium). Sensitization was marked by at least one positive result on the skin prick test. If there were two or more positive allergen results, subject was deemed as being polysensitized. Evaluated allergic manifestations were asthma, allergic rhinitis, dan atopic dermatitis.
Result: Sensitization was found in 44.8% (128 out of 286 subjects), while allergic diseases clinical manifestation was found in 57.7% (165 out of 258 subjects). The manifestation was found in 84 (65.6%) subjects from the sensitized subgroup. Sensitization was found more on male (OR 2.25; 95%CI 1.38-3.71; p=0.001) and subjects born by caesarean section (OR 2.46; 95%CI 1.22-5.06; p=0.013), whereas fewer on subjects from urban (OR 0.54; 95%CI 0.32-0.90; p=0.019). Sensitized subjects tended to demonstrate allergic diseases manifestation (OR 1.79; 95%CI 1.10-2.95; p=0.020). In the sensitized subgroup, allergic diseases manifestation was found more on subjects living in urban (OR 2.58; 95%CI 1.15-6.01; p=0.024), are obese (OR 5.25; 95%CI 1.35-34.92; p=0.036), and are polysensitized (OR 2.26;
95%CI 1.01-5.10; p=0.046).
Conclusion: Sensitization to inhalant allergens was affected by male sex, urbanstatus, and caesarean section birth. Allergic diseases manifestation was affected by presence of sensitization. In the sensitized subgroup, allergic diseases manifestation was affected by urban status, obesity, and polysensitization."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Joko Susanto
"Latar belakang: Tungau debu rumah TDR merupakan alergen hirup yang penting pada asma alergik. Namun, penelitian diagnostik molekuler menggunakan Imunoglobulin E IgE spesifik akibat sensitisasi alergen TDR dihubungkan dengan derajat keparahan asma alergik belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar IgE spesifik serum kuantitatif akibat sensitisasi alergen Dermatophagoides D. pteronyssinus, D. farinae dan Blomia B. tropicalis pada asma alergik intermiten dan persisten.
Metode: Desain penelitian potong lintang pada pasien asma alergik dewasa yang diundang untuk pemeriksaan IgE spesifik serum dan merupakan bagian dari penelitian payung di Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, RS Cipto Mangunkusumo. Derajat keparahan asma ditentukan berdasarkan kriteria Global Initiative on Asthma GINA 2015 dan dikelompokkan menjadi intermiten dan persisten. Pemeriksaan IgE spesifik serum kuantitatif menggunakan metode multiple allergosorbent test Polycheck Allergy, Biocheck GmbH, Munster, Germany . Alergen TDR yang diperiksa adalah D. pteronyssinus, D. farinae, dan B. tropicalis. Perbedaan antara dua kelompok dianalisis dengan uji Mann-Whitney.
Hasil: Sebanyak 87 subyek dilibatkan dalam penelitian ini; 69 79,3 subyek adalah perempuan. Rerata usia pasien adalah 40,2 tahun. Enam puluh tiga 72,4 pasien menderita asma dan rinitis alergik. Sebanyak 58 66,7 pasien asma persisten. Gambaran sensitisasi alergen TDR adalah 62,1 D. farinae; 51,7 D. pteronyssinus dan 48,3 B.tropicalis. Median kadar IgE spesifik secara bermakna lebih tinggi pada asma persisten dibandingkan asma intermiten untuk alergen D. farinae 1,30 vs. 0,0 kU/L; p=0,024 dan B. tropicalis 0,57 vs. 0,0 kU/L; p=0,015 . Kadar IgE spesifik D. pteronyssinus lebih tinggi pada asma persisten dibandingkan intermiten 0,67 vs. 0,00 kU/L; p=0,066.
Kesimpulan:Gambaran sensitisasi alergen secara berurutan didapatkan D. farinae 62,1, D. pteronyssinus 51,7 dan B. tropicalis 48,3 . Kadar IgE spesifik akibat sensitisasi D. farinae dan B. tropicalis lebih tinggi secara bermakna pada pasien asma persisten dibandingkan asma intermiten. Kadar IgE spesifik akibat sensitisasi D. pteronyssinus lebih tinggi pada pasien asma persisten dibandingkan asma intermiten, tetapi secara statistik tidak bermakna.

Introduction House dust mites HDM are an important inhalant allergen in allergic asthma. However, molecular diagnostic study using specific IgE level induced by HDM allergens associated with asthma severity has not been done in Indonesia.
Objective To investigate the difference of serum quantitative specific IgE levels induced by Dermatophagoides D. pteronyssinus, D. farinae and Blomia B. tropicalis sensitization in intermittent and persistent allergic asthma.
Method This was a cross sectional study on adult allergic asthma patients who were invited for serum specific IgE testing. This study was a part of a larger research within the Division of Allergy and Immunology, Cipto Mangunkusumo Hospital. Asthma severity was defined based on Global Initiative on Asthma GINA 2015 criteria and were grouped as intermittent or persistent. Quantitative specific IgE testing was done on blood serum using a multiple allergosorbent test Polycheck Allergy, Biocheck GmbH, Munster, Germany . The HDM allergens tested were D. pteronyssinus, D. farinae, and Blomia tropicalis. Difference between two groups were analyze using Mann Whitney test.
Results A total of 87 subjects were enrolled in this study 69 79.3 were women. Mean patients rsquo age was 40, 2 years. Sixty three 72.4 patients had asthma and allergic rhinitis. Fifty eight 66.7 patients were classified as persistent asthma. The prevalence of sensitization was 62.1 D. farinae, 51.7 D. pteronyssinus, and 48.3 Blomia tropicalis. The median of specific IgE levels is significantly higher in persistent asthma compares to intermittent asthma induced by D. farinae median 1.30 vs. 0.0 kU L p 0.024 and B. tropicalis median 0.57 vs. 0.0 kU L p 0.015 sensitization. Level of Specific IgE D. pteronyssinus is also to be higher in persistent asthma than the level measured in intermittent asthma 0.67 vs. 0.00 kU L p 0.066.
Conclusion Sensitization of HDM allergens is shown to be highest for D. farinae 62.1 , followed by D. pteronyssinus 51, 7 and Blomia tropicalis 48, 3 . Specific IgE level induced by D. farinae and Blomia tropicalis sensitization are significantly higher in patients with persistent compares to intermittent asthma, whereas specific IgE level induced by D. pteronyssinus sensitization to be higher in persistent asthma although not statistically significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library