Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ike Avianti
"ABSTRAK
Pada penelitian mengenai penentuan obat pilihan berdasarkan tes kepekaan secara invitro telah diperiksa 109 strainkuman patogen, yang terdiri dari 16 strain Streptococcus viridans, 17 strain Streptococcus pneumoniae, 24 strain Staphy lococcus aureus, 22 strain Psedornonas aeruginosa, 10 strain Proteus vulgaris, 10 strain Escherichiaco1i dan 10 strain Kiebsiella pneumoniae, yang semuanya berhasil diasingkan dani para penderita yang datang di Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tes kepekaan ini dilakukan dengan jalan membandingkan kepekaan pelbagai kuinan Patogen tersebut terhadap beberapa obàt antibiotika, yang urnurnnya digunakan untuk terapi seperti Penisum, Ampisilin, K16ksas1in, Sulbenisilin, Eritromisin,Gentamisin, Kanarnisin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Streptomisin dan beberapa obat termasuk golongan sulfonamida,yaitu Kotrirnoksasol, Sulfafurazin,. Sulfonamida, Sulfadiazin, Sulfatiazoidan Sulfan-tetôxazol.
Media untuk tes kepekaan kuman yang digunakan pada penelitian ini adalah media agar "DiagnosticSensitivity Test"(DST), seperti yang dianjurkan olehOrganisasi Kesehatan Dunia.
Hasil percobaán menunjukkan, bahwa dari semua obat antibiotika yang dicoba ternyata Gentainisin merupakan obat yang paling poten yang ternyata efektif terhadap beberapa kurnaii patogen seperti S.aureus, P.vulgaris, E.coli dan K.pneuniôniae, sedangkan dan obat golongan sulfonamida ternyata kotrimoksasol merupakan obat yang paling poten terhadap kuman patogen berikut mi : S.viridans, S.pneu.inoniae, S.aureus,P.vulgaris, E.coli, dan K.pneumoniae.
Oleh karena Kotrirnoksasol Diemiliki spektrurn antibakteri yang luas sedangkan efek sarnpingnya relatif kurang serta harganya yang juga relatif rnurah, bila dibandingkan dengan Gentamisin maka obat tersebut dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan obat pilihan dalam terápi suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen tersebut diatas."
1982
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Astram
"Obat anti tuberkulosis sudah ditemukan lebih dari 50 tahun akan tetapi sampai sekarang tuberkulosis masih saja menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia. Hal ini membuktikan masih ada kelemahan dari metode yang selama ini digunakan. Hal tersebut bisa berupa salah pemberian jenis obat, dosis yang kurang ataupun waktu pengobatan yang tidak cukup. Permasalahan yang diakibatkan karena kesalahan dalam pengobatan ini adalah resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis termasuk salah satunya etambutol sebagai obat anti tuberkulosis lini pertama.
Penelitian ini bertujuan menentukan pola resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap etambutol. Penting untuk mengetahui besarnya resistensi kuman tuberkulosis terhadap etambutol untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder sebanyak 676 sampel dengan kultur positif dari Departemen Mikrobiologi FKUI pada September 2005 sampai Desember 2007 dan telah menjalani pemeriksaan resistensi sesuai dengan panduan WHO/IUATLD. Dari hasil analisis didapatkan bahwa pemeriksaan kultur lebih sensitif bila dibandingkan dengan pemeriksaan BTA serta didapatkan pola resistensi terhadap etambutol sebanyak 16,7%.

Anti tuberculosis medicine had been discovered for more than 50 years; however tuberculosis still exists as one of Indonesia?s greatest health concerns. This proves that there are weaknesses of the current medication method, such as: prescription of incorrect medicine, lack of dosage, or insufficient medication period. The problem arising from these erroneous medications is the resistance of Mycobacterium tuberculosis towards anti tuberculosis medication including ethambutol as first-line anti tuberculosis medicine.
This research aims to determine the resistance pattern of Mycobacterium tuberculosis towards ethambutol. It is of great importance to ascertain the resistance degree of tuberculosis bacteria towards ethambutol to enhance therapy success. This research was conducted by analyzing secondary data of 676 samples with positive cultures from the Department of Microbiology of FKUI on September 2005 to December 2007 and had gone through resistance examination in compliance with WHO/IUATLD guidelines. The analysis result shows that culture examination is more sensitive compared to BTA examination, while the resistance pattern towards ethambutol is at 16.7%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
S09042fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tutri Handayani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan metode difusi cakram standar CLSI dan CDS dalam menentukan pola kepekaan Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotik. Pada metode difusi cakram standar CLSI dapat terjadi double zone inhibition yang dapat mempersulit dalam interpretasi zona hambat yang sesungguhnya. Dengan metode difusi cakram standar CDS diharapkan hal tersebut tidak terjadi. Penelitian ini merupakan uji kesetaraan antara hasil uji kepekaan antibiotik metode difusi cakram menurut standar CDS dan standar CLSI yang dibandingkan dengan Etest sebagai baku emas.
Dari penelitian ini didapatkan hasil metode difusi cakram standar CDS lebih sesuai dengan Etest daripada standar CLSI pada tiga antibiotik yaitu azitromisin (total agreement 96,7%), seftriakson (total agreement 80,0%) dan penisilin (total agreement 73,3%) sedangkan metode difusi cakram standar CLSI lebih sesuai dengan Etest daripada standar CDS pada dua antibiotik yaitu siprofloksasin (total agreement 73,3%) dan spektinomisin (total agreement 73,3%). Pola kepekaan Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotik di RSCM dan pelayanan kesehatan jejaring menurut metode difusi cakram yang paling sesuai dengan Etest yaitu: dengan standar CDS didapatkan azitromisin 86,7%, seftriakson 76,7%, penisilin 16,7% dan dengan standar CLSI didapatkan siprofloksasin 0% dan spektinomisin 70%. Pola kepekaan Neisseria gonorrhoeae terhadap sefiksim yaitu 46,7% yang hanya diujikan dengan standar CLSI. Pemberian sefiksim dan seftriakson yang merupakan terapi pilihan untuk gonore harus diberikan secara bijak, untuk menghindari kejadian resistensi yang lebih luas.

This study aimed to evaluate the use of CLSI and CDS standard disc diffusion method in determining the sensitivity patterns of Neisseria gonorrhoeae to antibiotics. In the CLSI standard disc diffusion method can occur double inhibition zone that can complicate the interpretation of the actual inhibition zone. With the CDS standard disc diffusion method expected it does not happen. This study was a test of equivalence between the results of antibiotic susceptibility test disc diffusion method according to CLSI standards and standardized CDS compared with the Etest as gold standard.
From this study, compared with Etest, the results of the standard disc diffusion method in accordance with CDS over the CLSI standard than three antibiotics, namely azithromycin (total agreement 96.7%), ceftriaxone (total agreement 80.0%) and penicillin (total agreement 73.3%) whereas the standard disc diffusion method according to CLSI more than CDS standard on the two antibiotics are ciprofloxacin (total agreement 73.3%) and spectinomycin (total agreement 73.3%). Neisseria gonorrhoeae patterns of sensitivity to antibiotics in RSCM and health care networks by disc diffusion method that best suits the Etest are with the standard CDS obtained azithromycin 86,7%, ceftriaxone 76.7%, penicillin 16,7% and with the CLSI standards obtained ciprofloxacin 0% and spektinomisin 70%. Neisseria gonorrhoeae pattern of sensitivity to cefixime is 46.7 % which is only tested with the CLSI standard. Cefixime and ceftriaxone as the drug of choice for gonorrhea should be given prudently to prevent the occurrence of resistance more extensive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Furqan Agussalim
"Latar Belakang Oculomycosis didefinisikan sebagai infeksi jamur pada mata, dengan Candida albicans, Aspergillus, dan Fusarium menjadi tiga etiologi yang paling umum. Insiden tahunan oculomycosis diperkirakan mencapai 1.000.000 kasus di seluruh dunia, dengan jumlah kasus tertinggi berasal dari Asia dan Afrika. Di Indonesia, lebih dari 7,7 juta orang menderita infeksi jamur, namun sangat sedikit literatur yang meneliti prevalensi oculomycosis secara spesifik. Oleh karena itu, makalah ini mengeksplorasi sebaran spesies jamur yang diperoleh dari sampel mata pasien di Jakarta, Indonesia. Metode Penelitian ini menggunakan desain deskriptif cross sectional study dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien infeksi jamur di rumah sakit di Jakarta pada tahun 2009 hingga 2020. Data tersebut disaring untuk mengetahui oculomycosis, asal sampel, dan hasil uji sensitivitas. Aplikasi program statistik untuk ilmu sosial (SPSS) 20 digunakan untuk menghitung mean, deviasi standar, dan uji-t untuk membuat representasi data secara statistik dan grafis. Hasil Terdapat 161 spesimen jamur yang dikumpulkan, 152 (94%) diantaranya diperoleh dari kornea, 5 (3,1%) vitreous humor, 2 (1,2%) alis, 1 (0,6%) fibrosis intraokular, 1 (0,6%) sekret mata. . Sampelnya adalah laki-laki sebanyak 125 orang, sedangkan perempuan sebanyak 36 orang dengan rata-rata usia 47,92 tahun. Tiga spesies dengan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2009-2020 adalah Fusarium (n=48), Aspergillus (56), dan Dematiaceae (14). Uji kerentanan menunjukkan bahwa Fusarium rentan terhadap vorikonazol namun resisten terhadap itrakonazol (P ≤ 0,05). Kesimpulan Fusarium, Aspergillus, dan Dematiaceae sebagai tiga penyebab paling umum infeksi mata. Mayoritas pasien adalah laki-laki dan berada dalam usia produktif. Uji kerentanan menunjukkan kerentanan banyak spesies terhadap azol dan poliena.

Introduction Oculomycosis is defined as a fungal infection of the eye, with Candida albicans, Aspergillus, and Fusarium being the three most common etiologies. The annual incidence of oculomycosis is estimated to be 1,000,000 cases worldwide, with the highest prevalence in Asia and Africa. In Indonesia, over 7.7 million people have fungal infection, yet very little literature have explored the prevalence of oculomycosis specifically. Thus, this paper explores the distribution of fungal species obtained from eye samples of patients in Jakarta, Indonesia. Method The research utilizes an analytical cross sectional study design using secondary data obtained from medical records of patients with fungal infection from hospitals in Jakarta from 2009 till 2020. The records were screened for occulomycosis, the origin of the sample, and results of sensitivity test. The statistical program for social sciences (SPSS) application 20 is used to calculate descriptive statistics and t-test. Results There are 161 fungal isolates collected, 152 (94%) of which were obtained from the cornea, 5 vitreous humor, 2 eyebrow. 125 of samples were male patients, while the remaining 36 were female, with an average age of 47.92 years. The three species with the highest number of cases from 2009-2020 are Fusarium, Aspergillus, and Dematiaceae. Susceptibility tests indicate that Fusarium was susceptible to voriconazole but resistant to itraconazole (P ≤ 0.05). Conclusion Fusarium, Aspergillus, and Dematiaceae as the three most common cause of ocular infection. Majority of patients were male and within the productive age. Susceptibility test shows susceptibility of many species to azoles and polyene."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Martinus
"Tuberkulosis merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menjadi sangat berbahaya karena kemampuan penularannya dan mortalitas yang cukup tinggi. Diperlukan metode standar dengan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi dan pengobatan dini sehingga rantai transmisi dapat dihentikan. Salah satu OAT lini pertama yang menjadi dasar pengobatan tuberkulosis adalah streptomisin. Resistensi terhadap streptomisin menjadi salah satu kendala pemberantasan TB di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan sensitivitas antara pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) dan kultur dalam mendiagnosis TB serta pola sensitivitas M. tuberculosis terhadap streptomisin. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder di Departemen Mikrobiologi FKUI pada periode September 2005 hingga Desember 2007, sejumlah 676 sampel. Sampel tersebut merupakan sampel dengan hasil kultur positif dan telah dilakukan uji sensitivitas sesuai dengan panduan WHO/IUATLD. Dari hasil analisis, didapatkan bahwa angka resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap streptomisin adalah sebesar 22.9%, pemeriksaan kultur lebih sensitif bila dibandingkan dengan pemeriksaan BTA dalam mendiagnosis penyakit TB, dan pola sensitivitas terhadap streptomisin menunjukkan penurunan angka resistensi setiap tahun dari tahun 2005 hingga 2007.
Tuberculosis is a respiratory disease caused by Mycobacterium tuberculosis and becomes very dangerous because it?s high potency of contagion and high mortality rate. Standard method with high sensitivity was needed to early detect and treatment for stopping the transmission. One of the first line drugs that has been basically used to treat tuberculosis is streptomycin. Resistance against this drug has been the obstacle in stopping tuberculosis in Indonesia. This research was aimed to determine the sensitivity of acid fast bacilli method compared to culture in tuberculosis diagnosis and the resistance pattern of Mycobacterium tuberculosis against streptomycin. This research was done by collecting and analyzing 676 secondary samples from Microbiology Department Medical Faculty University of Indonesia in September 2005 until December 2007. These samples criteria are positive culture and had been undergone resistance tests based on WHO/IUATLD guidelines. The results of analysis were the resistance of streptomycin was 22.9%, culture test was more sensitive than acid fast bacilli method in tuberculosis diagnosis, and there was decline of resistance against streptomisin from 2005 until 2007."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
S09050fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Ilone
"Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menjadi sangat berbahaya karena kemudahannya untuk menginfeksi orang lain. Rifampisin merupakan salah satu OAT lini pertama yang menjadi dasar obat tuberculosis dan terjadinya resistensi terhadap rifampisin menjadi salah satu kendala pemberantasan TB di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan menentukan pola resistensi M. tuberculosis terhadap Rifampisin serta mengetahui perbandingan monoresisten rifampisin, multi drug resistance (MDR), serta multiresisten lain tuberkulosis. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder sebanyak 676 sampel dengan kultur positif dari Departemen Mikrobiologi FKUI pada September 2005 sampai Desember 2007 dan telah menjalani pemeriksaan resistensi sesuai dengan panduan WHO/IUATLD.
Dari hasil analisis didapatkan pola resistensi terhadap rifampisin sebanyak 23.96% dimana monoresisten rifampisin sebesar 7,24%, MDR TB sebesar 8,73%, serta multiresisten lain sebesar 7,99%.

Tuberculosis is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis and becomes very dangerous because its potency to infect other people. Rifampisin is one of the first line tuberculosis? drugs and its resistance will be the obstacle of reducing Tuberculosis cases in Indonesia.
This research aimed to determine the resistance of rifampisin and also the comparison between monoresistance to rifampicin, multi-drug resistance (MDR), and also the other multiresistance of tuberculosis. This research was done by collecting and analyzing 676 secondary samples which culture results are positive from Microbiology Department Medical Faculty University of Indonesia in September 2005 until December 2007 and had undergone resistance tests based on WHO/IUATLD guidelines.
The results of the analysis were obtained that the resistance of rifampisin was 23.96% where the percentage of monoresistance to rifampicin is 7,24%, MDR TB is 8,73%, and the other multiresistance is 7,99%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
S09060fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raynard Daniel Finantar
"Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan tingkat kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal juga semakin tinggi Oleh karena itu pemerintah mencanangkan program sejuta rumah untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Perumnas sebagai salah satu BUMN diberdayakan kembali oleh pemerintah untuk memenuhi kurangnya pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelayakan terhadap investasi proyek Rusunami Sentraland A8 Cengkareng milik Perumnas dari aspek keuangan menggunakan metode NPV IRR PI dan PP
Sebagai analisis resikonya penulis menggunakan uji sensitivitas dan disimulasikan menggunakan simulasi monte carlo Dengan menggunakan dana Penyertaan Modal Negara sebagai dasar perhitungan penganggaran modal maka dihasilkan NPV sebesar Rp 136 428 000 000 00 dan IRR 28 68 Dari uji sensitivitas diperoleh bahwa NPV sensitif terhadap perubahan biaya sebesar 50 dan dengan simulasi monte carlo diperoleh NPV rata rata Rp 154 384 000 000 00 dengan probabilitas NPV bernilai negatif adalah 12 14

The growth of population from year to year causing the level of public needs of housing also higher Therefore the government launched a program of one million house for economic development and public welfare Perumnas as one of the state owned enterprise empowered again by the government to meet the lack of supply of house for low income people The purpose of this study is to analyze the feasibility of the project investment of Perumnas Rusunami Sentraland A8 Cengkareng from the financial aspects by using the NPV IRR PI and PP method
As the risk analysis the author used a sensitivity test and Monte Carlo simulation By using the State Capital Investment fund as the basis for the calculation of capital budgeting then resulted Rp 136 428 000 000 00 for the value of NPV and 28 68 for IRR The sensitivity test showed that the NPV is sensitive to the changes in costs of 50 And by using the Monte Carlo simulation author got the average value of NPV is Rp 154 384 000 000 00 with the negative probability of NPV is 12 14
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S61349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anida Hilya Syauqi Maudah
"Estimasi yang akurat dari time-integrated activity coefficient (TIAC) ginjal diperlukan untuk optimisasi terapi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, prosedur seleksi model berbasis populasi terbukti baik untuk estimasi ini. Penelitian ini menerapkan uji sensitivitas untuk melihat validitas dari persen coefficient-of-variation (%CV) yang digunakan sebagai alat ukur goodness-of-fit (GoF) pada tahapan seleksi model untuk kasus radioterapi molekuler. Data farmakokinetik populasi dari 63 pasien terapi radioligand 177Lu-PSMA-617 digunakan.
Dilakukan fitting untuk 12 fungsi sums of exponential (SOE) dengan pemodelan NLME terhadap data seluruh pasien. Seleksi model dilakukan dengan uji GoF (inspeksi visual dan %CV) serta pembobotan Akaike. Uji Variance-Based Sensitivity Analysis (VBSA) dijalankan untuk model setiap fungsi dengan Fourier Amplitude Sensitivity Test (FAST) sebagai pembanding.
Hasil VBSA dan FAST sama-sama menunjukkan signifikansi statistik pada arah hubungan yang positif antara indeks sensitivitas dan %CV parameter pada fungsi f6d (gradien = 4,86×10-5 (± 0,91×10-5)) dan f7a (gradien = 3,00×10-2 (± 0,30×10-2)). Hasil tersebut mendukung seleksi model. Model final terbaik yang diperoleh adalah fungsi f6a(t) = A1 exp(-(1 + phys)t) +A2 exp(-(2 + phys)t) − A3 exp(-(3 + phys)t) − (A1 + A2− A3) exp(-(bc + physt). Didapatkan estimasi TIAC ginjal (54,62 ± 23,62) menit. Dengan demikian, penggunaan %CV dalam seleksi model menunjukkan validitas yang didukung oleh uji sensitivitas.

Accurate estimation of the kidney time-integrated activity coefficient (TIAC) is required for therapy optimization. Based on previous studies, a population-based model selection procedure has proven to be good for this estimation. This study applied a sensitivity test to see the validity of the percent coefficient-of-variation (%CV) used as a goodness-of-fit (GoF) measure in the model selection process for molecular radiotherapy cases. Population pharmacokinetic data from 63 patients treated with the radioligand 177Lu-PSMA-617 were used.
The fitting of 12 sums of exponential (SOE) functions with NLME modeling was performed on all patients' data. Model selection was performed using the GoF test (visual inspection and %CV) and the Akaike weighting. The Variance-Based Sensitivity Analysis (VBSA) was run for each function model with Fourier Amplitude Sensitivity Test (FAST) as a comparison.
Both VBSA and FAST results showed statistical significance of positive correlation between sensitivity indices and %CVs of parameters in function f6d (slope = 4.86×10-5 (± 0.91×10-5)) and function f7a (slope = 3.00×10-2 (± 0.30×10-2)). The results here supported the model selection. The best final model found was the function f6a(t) = A1 exp(-(1 + phys)t) + A2 exp(-(2 + phys)t) − A3 exp(-(3 +phys)t) − (A1 + A2 − A3) exp(-(bc + phys)t). From this model, an estimated kidney TIAC of (54.62 ± 23.62) minutes was obtained. Thus, the use of %CV in model selection shows validity supported by the sensitivity test.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusmardi Sumarjo
"Latar Belakang: Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui gambaran klinis dan mikrobiologis penderita infeksi kaki diabetik derajat 3 dan 4 sesuai klasifikasi PEDIS. Penelitian prospektif terakhir pada ulkus/gangren kaki diabetik di RSCM dilakukan tahun 1984. Bahan dan Metode: Penelitian dilakukan prospektif potong-lintang di RSCM pada bulan Maret-Desember 2004 dan didapatkan 52 penderita infeksi kaki diabetik yang memenuhi kriteria inklusi. Gambaran klinis penderita meliputi luka (Iokal) maupun sistemik sesuai klasifikasi PEDIS (Perfusion, Extent, DeptMissue lose, Infection, Sensation), ditambah modifikasinya (bau luka dan krepitasilgas). Pemeriksaan mikrobiologis infeksi kaki diabetik dilakukan biakan kuman aeroblanaerob dan tes kepekaan antibiotik.

Background. This study aimed to recognize clinical pictures and microbiological pattern in 3rd and 4th degrees of the PEDIS classification of diabetic foot infection (OFI). The last prospective study on diabetic ulcer/gangrene in RSCM was conducted in 1984. Materials and Methods. The design was a prospective cross sectional study conducted in RSCM from March till December 2004. There were 52 OFl's patients fulfilled the inclusion criteria. The clinical pictures were included local wounds and systemic manifestations according to the PEDIS classification with additional modification (the wound's odour and crepitation/gas). Microbiological examination were done culture for aerobic/anaerobic microorganisms and the antibiotics sensitivity test."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Johannis Gilbert
"Pemisahan oksigen terlarut dari dalam air sangat diperlukan untuk beberapa industri khususnya industri pembangkit tenaga listrik, semikonduktor dan industri obat dan makanan. Proses pemisahan secara konvensional telah dibuktikan memiliki banyak kekurangan sehingga proses perpindahan massa yang terjadi tidak dapat optimal. Proses pemisahan alternatif untuk desorpsi oksigen terlarut adalah dengan menggunakan kontaktor membran serat berlubang. Kontaktor membran memberikan luas permukaan perpindahan massa yang lebih besar daripada kolom konvensional dan memiliki keunggulan karena tidak terdapatnya kontak antar fasa sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya foaming dan flooding. Luas permukaan membran adalah faktor yang penting di dalam penggunaan modul kontaktor membran serat berongga ini; luas permukaan membran yang besar memberikan luas permukaan kontak antar fasa yang besar sehingga proses perpindahan massa semakin baik. Penggunaan luas permukaan membran yang besar melibatkan lebih banyak jumlah serat membran yang digunakan, sehingga hal ini dapat menyebabkan perbedaan tekanan dalam selongsong modul yang tinggi dan biaya pemompaan fasa cair menjadi besar sekali. Terdapat kondisi optimum pada system membran kontaktor ini, yaitu saat jumlah biaya pemompaan fasa cair dan biaya membran untuk sejumlah perpindahan massa tertentu pada jenis diameter serat yang sama adalah yang paling rendah. Setiap variasi diameter serat membran, diameter selongsong modul dan debit air memiliki jumlah serat tertentu yang harus digunakan. Jumlah serat ini meningkat dengan bertambah besarnya diameter selongsong dan debit air untuk diameter serat membran yang sama. Penggunaan diameter serat membran yang lebih besar menurunkan jumlah serat yang digunakan dalam selongsong yang sama. Jumlah serat terhitung sebelumnya akan digunakan untuk menghitung biaya pemompaan dan biaya membran yang akan digunakan dalam uji sensitivitas untuk penentuan kondisi optimum modul. Kondisi optimum modul direpresentasikan dalam diameter selongsong tertentu yang besarnya bertambah seiring dengan penggunaan diameter serat membran yang semakin besar. Penggunaan diameter selongsong modul yang optimum ini diharapkan dapat mengurangi biaya operasi desorpsi oksigen terlarut dari dalam air.

Dissolved oxygen desorption from water is needed in a few industries especially in the steam power generator plant, semiconductor and food and drugs industries. Conventional separation processes have been proved to be un-efficient so that the mass transfer process can not be optimal. Alternative separation process for dissolved oxygen removal is the application of hollow fiber membrane contactor. Membrane contactor gives higher surface area for mass transfer than conventional column and has the advantage of not having dispersed phases so that the possibility of foaming and flooding to be happened can be reduced. The membrane surface area is an important factor in using hollow fiber membrane contactor; large surface area gives large area for phases to be contacted therefore the separation process is better. The use of large membrane surface area include the use of many number of fibers, so it can cause high pressure drop along the module shell which lead to high pumping cost. There is an optimum condition in this membrane contactor system. This condition is defined as a condition at which the total cost for pumping and membrane for a specified mass transfer reach the lowest point for a given fiber diameter. Every variation of membrane fiber diameter, module diameter and water flowrate has a certain number of fiber to be used. This number of fiber is increased with the increase of module diameter and so with water flowrate for a certain membrane fiber diameter. The use of wider fiber diameter decrease the number of fiber used in the same module. The previous calculated number of fiber will be used to calculate the pumping cost and the membrane cost which are used in a sensitivity test to determine the module optimum condition. The module optimum condition is representated as a specific optimum value of module diameter which value will increase as the use of membrane fiber diameter is increased. By using this optimum modul diameter, a decreased operation cost for dissolved oxygen removal from water can be obtained."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S49667
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library