Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Dwi Kurniawan
"Latar Belakang: Ulkus kaki diabetik terinfeksi merupakan kasus DM yang paling banyak dirawat di RS, berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, biaya yang tinggi dan bersifat multifaktorial. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah albumin. Belum ada penelitian yang secara langsung menghubungkan konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Belum ada batasan mengenai konsentrasi albumin yang dapat mempengaruhi perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai konsentrasi albumin serum awal perawatan dan hubungannya dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Metodologi: Penelitian dengan desain kohort prospektif terhadap 71 pasien diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang dirawat inap di RSUPNCM, RSPADGS atau RSP pada kurun waktu April-Agustus 2014. Diagnosis dan klasifikasi ulkus kaki diabetik terinfeksi menggunakan kriteria IDSA. Data klinis dan albumin serum diambil dalam 24 jam pertama perawatan dan diikuti dalam 21 hari perawatan dengan terapi standar untuk dilihat perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Perbedaan rerata konsentrasi albumin antara subjek yang mengalami perbaikan klinis infeksi dan yang tidak, diuji dengan uji t tidak berpasangan dengan batas kemaknaan p<0,05. Untuk analisis multivariat, digunakan analisis regresi logistik dengan koreksi terhadap variabel perancu. Kemudian dinilai kemampuan konsentrasi albumin serum dalam memprediksi perbaikan klinis dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong konsentrasi albumin serum dengan sensitifitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini.
Hasil: Rerata konsentrasi albumin pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik dan yang perbaikan, masing-masing sebesar 2,47 (0,45) g/dL dan 2,94 (0,39) g/dL (p<0,001). Setelah penambahan variabel perancu, didapatkan adjusted OR untuk setiap penurunan konsentrasi albumin 0,5 g/dL adalah 4,81 (IK95% 1,80;10,07). Konsentrasi albumin kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi bahwa ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan mengalami perbaikan dalam 21 hari perawatan dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Konsentrasi albumin serum kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan membaik dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.

Background: Infected diabetic foot ulcer is the most common case of diabetes mellitus (DM) for hospitalization. It is associated with high morbidity, mortality, expensive cost of treatment and has multifactorial aspects. Albumin is considered as one of the factors associated with the disease. No studies have been conducted to demonstrate direct association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Moreover, no standardized value on albumin level has been set, particularly that may influence the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Objective: To obtain data about serum albumin level at early hospitalization and to recognize its association with clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Methods: A prospective cohort study was conducted. The study evaluated 71 patients with infected diabetic foot ulcers who were hospitalized at Cipto Mangunkusumo Hospital, Gatot Soebroto Hospital or Persahabatan Hospital between April and August 2014. Diagnosis and classification of infected diabetic foot ulcers were made using the IDSA criteria. Clinical data and serum albumin level were obtained within the first 24 hours of hospitalization and the data were followed within 21 days of hospitalization with standard treatment in order to evaluate any clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Unpaired t test with significance value of p <0,05 was used to show the difference of the mean of serum albumin level between subjects with clinical improvement and without clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Afterwards, a logistic regression analysis with adjustment to the confounding variables was used. ROC curve and AUC were used to analyze the capacity of serum albumin level in predicting clinical improvement. Then, a cut-off point of serum albumin level with the best sensitivity and specificity was determined to predict the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Results: The mean of serum albumin concentration of the group with clinical improvement and without improvement were 2,47 (0,45) g / dL and 2,94 (0,39) g / dL (p <0,001) respectively. After adjusting the confounding variables, we found that serum albumin level had an adjusted OR of 4,81 (95% CI 1,80;10,07) for every decrease in albumin level of 0,5 g / dL. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL had sensitivity of 75% and specificity of 69,6% in predicting that the infected diabetic foot ulcers would not improve within 21 days of hospitalization.
Conclusions: There is a association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL can predict that the infected diabetic foot ulcers will not improve with sensitivity of 75% and specificity of 69,6%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Amin
"ABSTRAK
Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering diteuka di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Hipoalbuminemia telah lama diketahui sebagai pertanda prognosis buruk pada pasien dengan penyakit kritis, namun peranannya pada pasien VAP belum jelas diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan albumin serum inisial dalam memprediksi mortalitas pasien VAP.
Metode: Kami melakukan penelitian kohort retrospektif dengan menganalisis data pasien VAP yang dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo selama kurun waktu tahun 2003- 2012. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kadar albumin serum inisial: Grup-1 (kurang dari 2,7 g/dL), Grup-2 (2,7-3,5 g/dL), Grup-3 (lebih dari 3,5 g/dL). Risiko mortalitas selama perawatan dianalisis dengan Cox propotional hazard model.
Hasil: Dari 194 pasien yang diikutsertakan, sebanyak 95 (49%) pasien termasuk dalam Grup-1, 83 (42,8%) pasien termasuk dalam Grup-2 dan 16 (8,2%) pasien termasuk dalam Grup-3. Mortalitas selama perawatan terjadi terjadi pada 58,2% subjek. Rasio hazard terjadinya mortalitas untuk Grup-1 dan Grup-2 adalah 2,48 (IK 95% 1,07 sampai 5,74; p = 0,033) dan 1,42 (IK 95% 0,60 sampai 3,34; p = 0,43) apabila dibandingkan dengan Grup-3.
Simpulan: Adanya hipoalbuminemia akan meningkatkan risiko mortalitas. Kadar serum albumin inisial sebaiknya dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien VAP."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Saputra
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
T40167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Allan Taufiq Rivai
"Hipoalbuminemia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada penyakit ginjal kronik. Hemodialisis dapat pula menyebabkan keadaan hipoalbuminemia. Kadar albumin kurang dari 4 g/dl termasuk faktor risiko utama mortalitas pada pasien hemodialisis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 dan hubungannya dengan kelompok usia, jenis kelamin dan derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun).
Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pasien yang menjalani hemodialisis di RSCM pada bulan Februari 2009. Data kadar albumin serum dibagi menjadi dua status, yakni normal dan hipoalbuminemia. Hubungan antara kelompok usia, jenis kelamin derajat lama hemodialisis dan status albumin serum diuji dengan uji chi square (p<0,05).
Dari hasil penelitian, didapatkan 108 subjek dengan umur rerata 50,48 (SD 13,44) tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita. Median lama hemodialisis 2,3 (0,3-17,5) tahun. Proporsi hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 4 g/dl) pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSCM bulan Februari 2009 sebesar 41,7%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok usia (< 50 tahun dan ¡Ý 50 tahun) ataupun jenis kelamin dengan status albumin serum (normal dan hipoalbuminemia). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun) dengan status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 (OR = 2,56; CI: 1,01 ¨C 6,58). Kadar albumin serum cenderung lebih rendah pada pasien dengan lama hemodialisis satu tahun atau kurang.

Hypoalbuminemia is a common complication in chronic renal disease. Hemodialysis can also cause hypoalbuminemia. Serum albumin level less than 4g/dl is a major risk factor for mortality in hemodialysis patients. The objective of the study is to know the state of serum albumin of hemodialysis patients in RSCM on February 2009 and its relationship with group age, sex, and degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year).
The design used was cross sectional study. Subjects were patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009. The data of serum albumin level was categorized into normal or hypoalbuminemia state. The association between group age, sex, and degree of hemodialysis duration with the state of serum albumin were tested using chisquare test (p<0.05).
From the study, there were 108 patients with a mean age of 50.48 (SD 13.44) years old and a median hemodialysis duration of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. Proportion of hypoalbuminemia (serum albumin level < 4 g/dl) in patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009 is 41.7%. There are no significant relationship between group age (< 50 years old and ¡Ý 50 years old) and sex with the state of serum albumin. The relationship between degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year) and the state of serum albumin is significant (OR = 2.56, CI: 1.01 ¨C 6.58). Serum albumin level tend to be lower in patients who undergo hemodialysis for 1 year or less.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fahmi
"Sekretom merupakan medium kultur sel punca (stem cells) yang berisikan molekul-molekul protein yang disekresikan oleh sel. Pengaplikasian sekretrom dalam dunia medis dapat menggantikan terapi sel punca karena jauh lebih aman dan memiliki fungsi penyembuhan yang hampir sama dengan terapi sel punca. Dalam suatu penyembuhan atau terapi menggunakan obat atau bahan aktif, faktor transfer obat menjadi salah satu parameter keberhasilan. Untuk mengoptimalkan transfer obat maka obat atau bahan aktif yang digunakan dapat dienkapsulasi dalam suatu vesikel, salah satunya adalah transfersom. Transfersom merupakan vesikel berbasis lipid yang tersusun atas fosfolipid dan surfaktan sebagai edge activator. Dengan menggunakan transfersom memungkinkan obat atau bahan aktif dihantarkan secara transdermal, tanpa melalui injeksi, operasi, maupun pemasangan implan. Pada penelitian ini, transfersom dibuat untuk enkapsulasi bovine serum albumin sebagai model protein sekretom. Bahan penyusun transfersom yang digunakan dalam penelitian ini adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) dan Tween 80 dengan perbandingan fosfolipid dengan surfaktan adalah 97,5:2,5 %w/w. Pada penelitian ini partikel transfersom dibentuk dengan melibatkan siklus freeze-thaw untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik transfersom. Perlakuan siklus freeze-thaw tersebut terbukti dapat memengaruhi karakteristik transfersom. Dalam penelitian ini, siklus freeze-thaw dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi hingga 81,63 ± 0,004% dengan ukuran partikel sekitar 180,70 ± 0,87 nm. Selanjutnya, protein yang dilepaskan secara in-vitro selama 78 jam mencapai 52,80%, lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan freeze-thaw. Dengan demikian, perlakuan siklus freeze-thaw dapat digunakan untuk meningkatkan karakteristik partikel transfersom.

The secretome is a stem cell culture medium containing protein molecules that are secreted by the cells. In the medical field, secretome can substitute stem cell therapy because it is safer and almost has the same function as stem cell therapy. In a cure or therapy using drugs or active ingredients, the drug transfer factor is one of the parameters of success. To optimize drug transfer, the drugs or active compounds can be encapsulated into a vesicle, one of which is transfersome. Transfersome is a lipid based vesicle composed of phospholipid and surfactant as an edge activator. By using transfersome, drugs or active compounds can be transferred transdermally without any injection, operation, or implant placement. In this research, transfersome is made for encapsulating bovine serum albumin as a secretome protein model.  The building blocks for transfersomes used in this study were dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) and Tween 80 with a 97.5:2.5 %w/w ratio of phospholipids to surfactants. In this research, transfersome is fabricated with involving the freeze-thaw cycles method to study its effect to transfersome characteristics. The freeze-thaw cycles that are involved in transfersome fabrication is proved affecting to transfersome characteristics. In this research, freeze-thaw cycles can increase particle encapsulation to 81.63 ± 0.004% with a particle size of 180.70 ± 0.87 nm. Furthermore, the protein released from transfersome particle for 78 hours reached 52.80%, more than without freeze-thaw cycles treatment. Hence, freeze-thaw cycles treatment can be used to improve transfersome particle characteristics."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Kirana Andranilla
"Pengembangan terapi berbasis protein meningkat signifikan selama 30 tahun terakhir untuk penyembuhan berbagai penyakit. Namun, sifat alami protein seperti berat molekul yang besar dan permeabilitas membran yang buruk menyebabkan terapi diberikan secara injeksi. Pemberian ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dan limbah jarum, sehingga diperlukan sistem penghantaran baru yaitu dissolving microneedles (DMN). DMN dibuat dengan cara two-step casting micromolding yang melokalisasi bahan aktif untuk berada di bagian jarum. Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai model protein, diformulasikan ke dalam DMN dengan polimer poli(vinil alkohol) (PVA) 1,25-5% dan poli(vinil pirolidon) (PVP) 30-40%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengevaluasi formula DMN yang mengandung BSA (DMN-BSA) dengan metode pembuatan two-step casting micromolding. Evaluasi sediaan DMN-BSA meliputi morfologis, kekuatan mekanis dan insersi, uji pelarutan dan insersi dalam kulit, pengukuran kadar BSA, uji pelepasan in vitro, serta uji iritasi secara in vivo. Berdasarkan keseluruhan evaluasi yang telah dilakukan, formula F15 dengan polimer kombinasi PVP 30% dan PVA 1,25% merupakan formula yang paling berpotensi untuk formulasi BSA ke dalam DMN. F15 memiliki morfologi yang baik, hasil penurunan tinggi jarum yang rendah dengan nilai 13,53 ± 0,03%, dan dapat masuk hingga lapisan keempat pada Parafilm M®. Selain itu, F15 dapat menembus ke dalam kulit dan memiliki kadar BSA yang tinggi setelah proses pembuatan, yaitu 91,91 ± 1,05 %. DMN-BSA dengan formula ini dapat menghantarkan BSA hingga 93,31 ± 5,49% dan tidak menimbulkan iritasi setelah diaplikasikan pada kulit tikus selama 24 jam. Sehingga, DMN dengan kombinasi polimer PVP-PVA berpotensi untuk menghantarkan BSA secara transdermal dan tidak menimbulkan iritasi.

Over the last 30 years, there has been a significant increase in the development of protein-based therapies for the treatment of various diseases. However, due to the nature of the protein, such as its high molecular weight and poor membrane permeability, therapy must be administered via injection. This administration can be uncomfortable for the patient and generate waste needles, therefore a new delivery system, namely dissolving microneedles (DMN), is required. DMN is made using a two-step casting micromolding process that concentrates the active ingredient in the needle. As a protein model, bovine serum albumin (BSA) was formulated into DMN with poly(vinyl alcohol) (PVA) 1.25-5% and poly(vinyl pyrrolidone) (PVP) 30-40%. The goal of this study was to obtain and evaluate the DMN-BSA formula using the two-step casting micromolding method. Morphology, mechanical strength and insertion, dissolution and skin insertion tests, BSA level measurement, in vitro permeation tests, and in vivo irritation tests were all used to evaluate DMN-BSA preparations. Based on the evaluations, the F15 formula with a combination of 30% PVP and 1.25% PVA had the greatest potential for BSA formulation into DMN. F15 had good morphology, a low needles height reduction of 13.5±0.03%, and penetrated up to the fourth layer of Parafilm M®. Furthermore, F15 penetrated the skin and had a high BSA level after the manufacturing process of 91.91±1.05%. This formula of DMN-BSA delivered up to 93.31±5.49% BSA and did not cause irritation after 24 hours administered on rat skin. As a result, DMN with a PVP-PVA polymer combination had the potential to deliver BSA transdermally while causing no irritation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marendra Mahathir
"Latar Belakang: Banyak keluhan subjektif yang timbul pada kehamilan trimester III seperti gatal, edema tungkai, rasa baal, kesemutan dan nyeri pada pergelangan tangan. Keluhan tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup ibu hamil. Selama kehamilan dapat terjadi perubahan kadar albumin yang cukup masif yang diduga berhubungan dengan timbulnya keluhan subjektif tersebut.
Objektif: Mengetahui hubungan kadar albumin dengan keluhan subjektif (gatal, edema tungkai, rasa baal, kesemutan dan nyeri pada pergelangan tangan) pada kehamilan trimester III.
Metode: Ibu hamil trimester III tanpa penyakit penyerta yang kontrol kehamilan di poliklinik antenatal care (ANC) RSCM dan RSIA Anggrek Mas (n=78). Sampel tersebut di kelompokan menjadi sampel dengan keluhan subjektif (n=50) dan tanpa keluhan subjektif (n=28). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar serum albumin pada semua subjek penelitian di labolatorium dan dilakukan analisis untuk mencari hubungan variabel tersebut.
Hasil dan Kesimpulan: Kadar albumin di bawah 3.51 g/dl berhubungan bermakna secara statistik dengan keluhan kesemutan (P=0.025) dan edema tungkai (P=0.001) dengan sensitifitas & spesifisitas masing-masing 76% & 55% dan 47% & 92%. Perubahan kadar albumin tidak berhubungan dengan keluhan gatal (mean 3.60 g/dl), rasa baal (mean 3.61 g/dl) dan rasa nyeri pada pergelangan tangan (mean 3.60 g/dl)

Background: There was many of subjective complaints arise in the third trimester of pregnancy such as itching, leg edema, numbness, tingling, and pain in the wrist. These complaints can cause a decrease in the quality of life for pregnant women. During pregnancy, changes in albumin levels are quite massive which is thought to be related to subjective complaints that arise.
Objective: Knowing the asociation beetween albumin serum levels and subjective complaints (itching, leg edema, numbness, tigling and pain in the wrist) during the third trimester of pregnancy
Methods: Third trimester pregnant mother without complication that control their pregnancy in the clinic RSCM and RSIA Anggrek Mas (n=78). These samples are grouped into samples with subjective complaints (n=50) and without subjective complaints (n=28). Furthermore, albumin serum level examination of all subject were performed on laboratory and all the result were analyze to obtain the association between these variables.
Results and Conclusions: Albumin serum levels below 3.51 g/dl were statistically significantly related to numbness complaints (P=0.025) and leg edema (P=0.001) with sensitivity & specificity of 76% & 55% and 47% & 92%, respectively. Changes in albumin levels were not associated with complaints of pain tingling (mean 3.60 g/dl), numbness (mean 3.61 g/dl) and pain in the whirst (mean 3.60 g/dl ).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vikie Nouvrisia Anandaputri
"Latar Belakang. Pasien kanker laring dapat mengalami malnutrisi sebelum
menjalani radioterapi yang ditandai dengan penurunan berat badan yang tidak
disengaja akibat penurunan massa bebas lemak. Kasus serial ini bertujuan untuk
mengamati kaitan asupan protein dengan perbaikan fat free mass index (FFMI).
Metode. Empat pasien pada serial kasus ini didiagnosis karsinoma sel skuamosa
laring pascalaringektomi total dan diseksi leher stadium III dan IV dengan status
gizi malnutrisi berat dan sedang, berat badan normal, dan obes I, berusia 51-62
tahun yang dikonsulkan ke dokter Gizi Klinik pada bulan Agustus sampai
November 2019 sejak awal radioterapi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan
kondisi klinis melalui jalur oral. Pemantauan dilakukan pada minggu pertama
radiasi, selama radiasi, minggu terakhir radiasi, dan pascaradiasi.
Hasil. Kadar albumin serum keempat pasien dalam batas normal dan meningkat
saat akhir radiasi pada tiga orang pasien. Pasien malnutrisi sedang mengalami
penurunan FFMI dengan asupan protein <2 g/kg BB, pasien malnutrisi berat
mengalami peningkatan FFMI dengan asupan protein 1,1-1,4 g/kg BB. FFMI
pasien obes meningkat lalu menurun dengan asupan protein 0,8-1,7 g/kg BB.
FFMI pasien BB normal meningkat dengan asupan protein 2 g/kg BB. Rentang
asupan protein adalah 0,7-1,5 g/kg BB saat awal radiasi, selama radiasi 0,8-2 g/kg
BB, akhir radiasi 1,1-2 g/kg BB.
Kesimpulan. FFMI cenderung mengalami peningkatan sampai akhir radiasi pada
asupan protein yang mencapai 2 g/kg BB pada pasien BB normal. Perlu penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan asupan protein dan FFMI pada pasien KSS laring
yang menjalani radioterapi.

Bacground. Laryngeal cancer patients can experience malnutrition before
undergoing radiotherapy characterized by unintentional weight loss due to a
reduction in fat free mass. Aim of the case series to observe protein intake with fat
free mass index (FFMI) improvement.
Method. Four patients were diagnosed with laryngeal squamous cell carcinoma
post total laryngectomy and neck dissection with nutritional status of severe and
moderate malnutrition, normal weight, and obese grade I, aged 51-62 years who
were consulted to Clinical Nutrition physician in August to November 2019 which
underwent radiotherapy. Medical nutrition therapy is given according to the
clinical condition of each patient through oral. Monitoring was carried out in the
first week, during, the end, and after radiation.
Results. Serum albumin were within normal level and increased at the end of
radiation in 3 patients. FFMI of malnourished patients was decreased with
protein intake <2 g/kg BW. FFMI of severely malnourished patients increases
with protein intake from 1.1 to 1.4 g/kg body weight. FFMI of obese patients
increases then decreases with protein intake from 0.8 to 1.7 g/kg body weight.
FFMI of normoweight patients increases with a protein intake of 2 g/kg BW. The
range of protein intake is 0.7-1.5 g/kg BW at first week, 0.8-2 g/kg BW during,
and 1.1-2 g/kg BW at the end of radiation.
Conclusion. FFMI tends to increase on protein intake 2 g/kg BW in normoweight
patients. Further research is needed regarding the relationship of protein intake
and FFMI in laryngeal patients undergoing radiotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>