Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olga Leodirista
"ABSTRAK

Pendahuluan : Sindrom metabolik merupakan kumpulan kondisi medis yang dapat menyebabkan seseorang terkena diabetes melitus tipe 2 atau penyakit kardiovaskuler. Prevalensi sindrom metabolik pada populasi psikiatri memiliki hasil yang cukup bermakna yaitu sebanyak 3,3% sampai 68% pasien. Olanzapine dikatakan sebagai antipsikotik atipikal yang paling banyak menyebabkan sindrom metabolik, diikuti quetiapin dan risperidon. Metode: Penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang yang dilakukan pada Oktober 2017 hingga September 2018 di unit rawat inap dan rawat jalan Jiwa Dewasa RSCM. Subjek adalah pasien skizofrenia laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 18-59 tahun yang mendapat terapi risperidon, quetiapin atau olanzapin. Pada subjek dilakukan wawancara karakteristik, pengukuran antropometri, pengisian food record 4x24 jam, serta pengambilan sampel darah puasa. Hasil: Pada karakteristik pengukuran sindrom metabolik didapatkan hasil bahwa 70,2% subjek mengalami obesitas sentral dan 79,1% subjek berada di dalam kelompok overweight-obesitas. Sebanyak 80,6% subjek memiliki gambaran pola diet dengan hasil kurang-cukup dari kebutuhan AKG, 89,6% dengan tingkat aktivitas rendah-sedang, 61,2% tidak merokok, 38,8% dengan riwayat obesitas keluarga, dan 59,7% berada dalam kelompok polifarmasi. Peneliti membagi sindrom metabolik menjadi dua kelompok, menurut kriteria IDF dan berdasarkan parameter klinis rutin. Terdapat perbedaan proporsi bermakna antara kelompok sindrom metabolik berdasarkan parameter klinis dengan kelompok obat risperidon, olanzapin, dan quetiapin dengan nilai p=0,017. Terdapat perbedaan proporsi secara bermakna antara kejadian sindrom metabolik kriteria parameter klinis dengan kebiasaan merokok (p=0,011). Diperoleh nilai p=0.012 yang menunjukkan bahwa korelasi antara perilaku merokok dan sindrom metabolik bermakna secara statistik. Nilai korelasi sebesar 0.293 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi lemah. Kesimpulan: Hasil yang bermakna didapatkan pada kelompok sindrom metabolik berdasarkan parameter klinis. Hasil pada kelompok sindrom metabolik berdasarkan IDF tidak bermakna secara statistik dimungkinkan karena parameter laboratorium berada dalam rentang normal, karena pada subjek telah mendapatkan terapi, dan modifikasi gaya hidup.


ABSTRACT


Introduction: The metabolic syndrome is a medical conditions that can cause a person to develop type 2 diabetes mellitus or cardiovascular disease. The prevalence of metabolic syndrome in the psychiatric population has significant results, which are 3.3% to 68% of patients. Olanzapine and clozapine are said to be atypical antipsychotics that cause the most metabolic syndrome, followed by quetiapin and risperidone. Method: Observational study with a cross-sectional study design conducted in October 2017 to September 2018 in the RSCM Adult Mental Health Inpatient and Outpatient Unit. The research subjects were male and female schizophrenic patients with an age range of 18-59 years who received risperidone, quetiapin or olanzapin therapy. Characteristic interviews, anthropometric measurements, 4x24 hour food record filling, and fasting blood sampling were conducted. Results: On the characteristics of the metabolic syndrome measurement, it was found that 70.2% of the subjects had central obesity and 79.1% of the subjects were in the overweight-obese group. As many as 80.6% of subjects had a description of diet patterns with results that were approximately the same as those of AKG requirements, 89.6% with low-moderate activity levels, 61.2% no smoking, 38.8% with a history of family obesity, and 59.7 % are in the polypharmacy group. The researchers divided the metabolic syndrome into two groups, according to IDF criteria and based on routine clinical parameters. There were differences in the significant proportions between the metabolic syndrome group based on clinical parameters with the drug group risperidon, olanzapin, and quetiapin with a value of p = 0.017. There was a significant difference in proportion between the incidence of metabolic syndrome criteria for clinical parameters and smoking habits (p = 0.011). Obtained p value = 0.012 which indicates that the correlation between smoking behavior and metabolic syndrome is statistically significant. The correlation value of 0.293 shows a positive correlation with the strength of a weak correlation. Conclusion: Significant results were obtained in the metabolic syndrome group based on clinical parameters. Results in the metabolic syndrome group based on IDF were not statistically significant because laboratory parameters were in the normal range, because the subjects had received therapy and lifestyle modification.
"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisnawati Bantas
"Sindrom Metabolik (SM) merupakan faktor risiko penting penyakit kardio-
vaskuler yang merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Perbedaan
gender pada SM berkontribusi terhadap perbedaan gender pada penyakit kar-
diovaskuler. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi dan risiko SM
berdasarkan gender di perkotaan Indonesia menggunakan data Riset
Kesehatan Dasar 2007 dan menggunakan rancangan penelitian potong lintang.
Populasi penelitian terdiri dari 13.262 orang pria dan wanita yang tidak hamil
berusia lebih dari 15 tahun yang bermukim di daerah perkotaan. Variabel
penelitian meliputi variabel dependen sindrom metabolik. Variabel independen
utama adalah gender dan variabel kovariat yang lain adalah level 1 (umur, sta-
tus perkawinan, pendidikan, stres, merokok, dan aktivitas fisik), level 2 (penda-
patan keluarga, konsumsi energi rumah tangga, konsumsi protein rumah tang-
ga, konsumsi serat rumah tangga, anggota rumah tangga, dan balita dalam
rumah tangga), dan level 3 (provinsi, status urban, dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM)). Analisis dilakukan dengan multilevel regresi logistik. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa prevalensi SM adalah 17,5 %, prevalensi pada
wanita (21,3%) lebih tinggi daripada pria (12,9%). Risiko sindrom metabolik
berdasarkan gender bergantung pada status umur, pendidikan, dan perkawinan
dari individu. Variasi kejadian SM berdasarkan pendapatan keluarga kecil (nilai
MOR 1,21) dan variasi kejadian SM berdasarkan provinsi juga kecil (nilai MOR
1,18).
Metabolic Syndrome (MS) is an important factor for Cardiovascular
Disease (CVD). One of the main causes of death in Indonesia is CVD. Gender
differences in MS may contribute the gender differences in CVD. This study
aimed to examine the prevalence and MS risk by gender in the urban popula-
tion of Indonesia using Riskesdas 2007 data and cross-sectional design study.
Population of study consisted of 13,262 men and non pregnant women over 15
years old lived in urban area. Variables included in this study are MS as the de-
pendent variable and gender as the main independent variable. The covariate
variables consisted of: level 1 variables (age, marital status, education, stress,
smoking, and physical activity), level 2 (family outcome, household energy con-
sumption, protein consumption, fiber consumption, members, and toddler un-
der 5 years), level 3 (province, urban status, and human development index).
Multilevel logistic regression used in data analysis. Result showed that preva-
lence of MS was 17,5%, on women (21.3%) was higher than men (12.9%). The
risk of MS by gender was depent on age, educational level, and marital status
of individual. The variation of MS occurrence among the family incomes was
small (MOR 1.21), and the variation of MS occurrence among the provinces was
also small (MOR 1.18)."
Universitas Indonesia, 2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sudijanto Kamso
"Data tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif di Indonesia yang diperlukan untuk upaya pencegahan penyakit kardiovaskular sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan determinan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif. Penelitian dilakukan di Jakarta dan sekitarnya dengan menggunakan rancangan cross sectional. Jumlah responden yaitu 220 orang eksekutif laki-laki dan 68 orang eksekutif wanita. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran antropometri, analisis biokimia darah, analisis asupan makanan, pengukuran angka stres, dan pengukuran indeks aktivitas. Analisis regresi logistik ganda dilakukan untuk mengetahui hubungan beberapa independen variabel dengan dependen variabel. Analisis ini menghasilkan indeks massa tubuh (overweight, odds ratio (OR) = 5,54; obesitas, OR = 7,44) dan rasio total kolesterol/high density lipoprotein (HDL)-kolesterol (OR = 8,83) sebagai determinan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan profil lipid dan pengukuran antropometri sederhana yang teratur pada kelompok eksekutif penting dilakukan untuk mendeteksi risiko sindrom metabolik.

Available datas on metabolic syndrome among Indonesian executives are limited, despite the fact of the importance of these data for cardiovaskular prevention. The objective of this study was to assess prevalence of metabolic syndrome and its associations between anthropometric measures, lipid profiles, blood pressure, nutrient intakes, and life style in executive group. A cross sectional study was undertaken in some factories in Jakarta, using multistage random sampling. The respondents were 287 executives, 219 male and 68 female. Data were collected through anthropometric measurements, biochemical blood analysis, nutrient intake, stress score, and activity index assessment. Multiple logistic regression analysis used to assess associations between independent variables and metabolic syndrome. This study showed that body mass index (overweight, odds ratio (OR) = 5,54; obesity, OR = 7,44) and ratio serum total cholesterol to high density lipoprotein (HDL)-cholesterol (OR = 8,83) were potential determinants of metabolic syndrome. This study shows the importance of routine check of lipid profile, blood pressure, and simple anthropometric assessment to detect the risk of metabolic syndrome in the elderly."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Dwi Yulianto
"

Abstrak

Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia. Sekumpulan faktor risiko yang dapat berinteraksi bersama terdiri dari obesitas sentral, kadar trigliserida tinggi, kadar kolesterol HDL rendah, kadar GDP tinggi, dan hipertensi dikenal dengan istilah sindrom metabolik (IDF, 2006). Seseorang yang mengalami sindrom metabolik mempunyai peluang 3 kali untuk mengalami serangan jantung dan stroke (IDF, 2006). Sementara, menurut IDF (2006)diestimasi bahwa 20-25% penduduk dewasa di dunia mengalami sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sindrom metabolik dengan kejadian stroke pada penduduk berusia ≥ 15 tahun di Indonesia setelah dikontrol oleh variabel kovariat. Desain studi penelitian yaitu potong lintang (cross sectional) dengan menggunakan data Riskesdas 2018. Sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperoleh sebesar 24.451 responden. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh proporsi stroke berdasarkan diagnosis dokter sebesar 1,2%. Proporsi sindrom metabolik diperoleh sebesar 24,4%. Hasil analisis multivariat diperoleh hubungan yang signifikan antara sindrom metabolik dengan kejadian stroke (nilai p = 0,000) dengan aPOR sebesar 2,415 (95% CI: 1,883-3,099) dan diperoleh adanya variabel confounding yaitu variabel jenis kelamin dan usia. Sindrom metabolik dapat menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan dalam upaya pencegahan dan pengendalian stroke di Indonesia.

Kata Kunci: Sindrom Metabolik; Stroke; Riskesdas 2018

 


Abstract

Stroke is a non-communicable disease that becomes one of public health problems in the world, including in Indonesia. A group of risk factors that can be interacted together including central obesity, high triglyceride levels, low HDL levels, high GDP levels, and hypertension are known as metabolic metabolism (IDF, 2006). The person who has metabolic syndrome has a chance 3 times to have heart attacks and strokes (IDF, 2006). Meanwhile, according to IDF (2006) it is estimated that 20-25% of the adult population in the world having metabolic syndrome. This research aims to study the relationship between metabolic syndrome and stroke event in population aged ≥ 15 years old in Indonesia after being controlled by covariate variables. The design study of this research is cross sectional using data from Riskesdas 2018. The sample of this research that met the inclusion and exclusion criteria was 24,451 respondents. Based on the result of the analysis, the proportion of strokes based on the doctor's diagnosis is 1.2%. The proportion of metabolic syndrome obtained is 24.4%. The results of multivariate analysis obtained a significant relationship between metabolic syndrome and stroke event (p = 0,000) with aPOR of 2,415 (95% CI: 1,883-3,099) and obtained confounding variables such as gender and age. Metabolic syndrome can be an important factor to consider in efforts to prevent and control stroke event in Indonesia.

Keywords: Metabolic Syndrome; Stroke; Riskesdas 2018

 

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Areta Trustha
"Sindrom metabolik atau sindrom X merupakan kondisi yang berpotensi meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit tidak menular. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi sindrom metabolik di Indonesia mencapai 39% dan lebih banyak terjadi pada wanita. Gaya hidup berpotensi mempengaruhi terjadinya sindrom metabolik. Namun, penelitian terdahulu tentang hubungan gaya hidup yang meliputi aktivitas fisik, pola makan dan merokok terhadap sindrom metabolik menunjukkan hasil yang beragam. Selain itu, belum ada penelitian tentang sindrom metabolik spesifik pada populasi wanita di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan kejadian sindrom metabolik pada wanita usia ≥15 tahun di Indonesia. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan sumber data dari Riskesdas 2018. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi sindrom metabolik pada wanita usia ≥15 tahun di Indonesia sebesar 37,6%. Umur berhubungan signifikan dengan kejadian sindrom metabolik pada wanita (PR=1,711; 95% CI=1,640-1,785; nilai P=0,001). Dalam penelitian ini, aktivitas fisik, merokok, konsumsi makanan manis, minuman manis, makanan berlemak, soft drink, buah, dan sayur tidak terbukti berhubungan secara statistik dengan sindrom metabolik. Karena tingginya prevalensi sindrom metabolik pada wanita di Indonesia, perlu untuk meningkatkan program skrining, seperti pengukuran lingkar perut, tekanan darah, dan gula darah secara rutin. Selain itu, perlu untuk menerapkan gaya hidup sehat bagi wanita untuk mencegah terjadinya sindrom metabolik.

Metabolic syndrome or syndrome X is a condition that can increase a person's risk of developing non-communicable diseases. Based on Riskesdas 2013 data, the prevalence of metabolic syndrome in Indonesia reaches 39% and is more prevalent in women. Lifestyle has the potential to influence the incidence of metabolic syndrome. However, previous research on the relationship between lifestyle including physical activity, diet and smoking on metabolic syndrome has shown mixed results. In addition, there has been no research on specific metabolic syndrome in women in Indonesia. This study aims to determine the relationship between lifestyle and the incidence of metabolic syndrome in women aged ≥15 years in Indonesia. The study design used was cross-sectional with data sources from Riskesdas 2018. The results showed that the prevalence of metabolic syndrome in women aged ≥15 years in Indonesia was 37.6%. Age is significantly associated with the incidence of metabolic syndrome in women (PR=1.711; 95% CI=1.640-1.785; P=0.001). In this study, physical activity, smoking, consumption of sweet foods, sweet drinks, fatty foods, soft drinks, fruit and vegetables were not statistically proven to be associated with metabolic syndrome. Due to the high prevalence of metabolic syndrome among women in Indonesia, it is necessary to improve screening programs, such as routine measurements of abdominal circumference, blood pressure and blood sugar. In addition, it is necessary to adopt a healthy lifestyle for women to prevent metabolic syndrome."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Puspa Riana
"ABSTRAK
Laju urbanisasi, modernisasi dan pertumbuhan penduduk di negara berkembang
menjadi penyebab munculnya penyakit tidak menular (PTM). Indonesia dengan
populasi 247 juta jiwa memiliki prosentase kematian akibat PTM sebesar 71%
(1.106.000 jiwa) dan 23% meninggal usia muda. Sindrom metabolik (SM) adalah
kumpulan faktor risiko meliputi obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, dan
hipertensi yang akan bermuara pada peningkatkan risiko terjadinya diabetes
mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular (PKV). Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan sindrom metabolik
pada pegawai instansi pemerintah yang bekerja di lingkungan pelabuhan Tanjung
Priok dengan menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini menemukan
bahwa prevalensi sindrom metabolik pada pegawai instansi pemerintah di
lingkungan pelabuhan Tanjung Priok adalah sebesar 38,7 %. Variabel independen
yang signifikan dengan kejadian sindrom metaboli yaitu umur (nilai p=0,0005),
lama kerja (nilai p=0,0005), asupan karbohidrat (nilai p=0,032), dan aktifitas fisik
(nilai p=0,003). Variabel yang paling dominan mempengaruhi sindrom metabolik
adalah aktifitas fisik (OR=2,066; CI 95%=1,118-3,819). Individu dengan sindrom
metabolik memiliki risiko 5 (lima) kali lebih besar untuk menderita diabetes
mellitus tipe 2 dan berisiko 3 (tiga) kali lebih tinggi untuk menderita penyakit
kardiovaskular. Oleh karena itu, diperlukan strategi pencegahan seperti skrining,
penyediaan pos PTM, peningkatan aktifitas fisik, dan konsumsi makanan sehat dan
bergizi.

ABSTRACT
Urbanization rate, modernization and population growth in developing countries
becomes the causes of non-communicable diseases (NCDs). Indonesia with a
population of 247 million people has a percentage of deaths from NCDs by 71%
(1.106 million people) and 23% died young. Metabolic syndrome (SM) is a
collection of risk factors include obesity, insulin resistance, dyslipidemia, and
hypertension will lead to increasing the risk of diabetes mellitus (DM) and
cardiovascular disease (CVD). The purpose of this study was to determine what
factors are associated with the metabolik syndrome on government employees who
work in the port of Tanjung Priok using cross sectional design study. This study
found that the prevalence of metabolik syndrome in employees of government
agencies in the port of Tanjung Priok is 38.7%. The independent variables were
significant with metabolik syndrome were age (p = 0.0005), duration of working (p
= 0.0005), carbohydrate intake (p = 0.032) and physical activity (p = 0.003). The
most dominant variable affecting the metabolik syndrome is a physical activity (OR
= 2.066; 95% CI = 1.118 to 3.819). Individuals with metabolik syndrome have a
risk five (5) times more likely to suffer from diabetes mellitus type 2 and risk of 3
(three) times more likely to suffer from cardiovascular disease. Therefore, it is
necessary to conduct prevention strategies such as screening, provision of NCDs
post, increasing physical activity, and consumption of healthy and nutritious food;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhaema
"Terjadinya sindrom metabolik diduga berhubungan dengan pergeseran
gaya hidup masyarakat yang berubah menuju masyarakat modern, dari
mengonsumsi makanan tradisional beralih ke makanan instan dan kebaratbaratan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi sindrom
metabolik dan determinannya dari pola konsumsi, meliputi konsumsi sayur
dan buah serta pola makan makanan manis, asin, berlemak, lauk hewani
berpengawet, dan penggunaan penyedap. Penelitian ini merupakan bagian
dari analisis lanjut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dengan desain
potong lintang. Jumlah sampel setelah pembobotan adalah 1.878.578
orang dengan kriteria berusia 18 tahun ke atas. Pengumpulan data pola
konsumsi, antropometri, klinis, dan biomedis telah dilakukan. Analisis data
menggunakan kai kuadrat dan regresi logistik biner. Prevalensi sindrom
metabolik di Indonesia sebesar 23%, pada perempuan 26,6% dan pada laki-
laki 18,3%. Konsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari sebanyak
43,5% dan kurang dari satu kali per hari 10,5% dengan risiko mengalami
sindrom metabolik sebesar 6,567 kali. Konsumsi makanan asin yang
termasuk dalam kategori sering memiliki proporsi sindrom metabolik sebesar
100% dengan risiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 6,363 kali.
Terdapat hubungan yang signifikan (nilai p < 0,05) antara pola konsumsi
sayur dan buah, frekuensi konsumsi makanan manis, asin, berlemak, lauk
hewani yang diawetkan, penggunaan penyedap, dan mi instan dengan kejadian
sindrom metabolik pada usia produktif.
Kata kunci: Pola konsumsi makanan, sindrom
Occurrence of metabolic syndrome is assumedly related to the changing of
people?s lifestyle into modern society, from consuming traditional food to instant
food and be westernized. This study aimed to determine metabolic
syndrome prevalence and its determinants from consumption patterns including
vegetable and fruit consumption as well as consumption patterns of
sweet, salty, fatty food, preserved animal side dishes and use of seasonings.
This study was a part of advanced Basic Health Research 2013 data
analysis by cross sectional design. A total of sample after weighting was
1,878,578 people on aged 18 years old and older. Collection of consumption
pattern, anthropometry, clinic and biomedic data had been conducted.
Data analysis used chi square and binary logistic regression. Metabolic syndrome
prevalence in Indonesia is 23%, 26.6% on women and 18.3% on
men. Consuming sweet food more than once a day was 43.5% and less
than once a day was 10.5% with 6.567 times risk of suffering metabolic syndrome.
Salty food consumption included into often category had metabolic
syndrome proportion worth 100% with 6.363 times risk of suffering metabolic
syndrome. There was a significant relation (p value < 0.05) between
the pattern of vegetable and fruit consumption, frequency of sweet, salty, fatty
food, preserved animal side dishes, the seasoning use and instant noodle
with metabolic syndrome occurrence in productive age"
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Mataram, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Shirly Gunawan
"Latar Belakang: Sindrom metabolik (MetS) melibatkan endoplasmic reticulum stress (ER stress) di dalam patogenesisnya. 6-gingerol diketahui memiliki banyak efek farmakologi yang berpotensi untuk pengobatan MetS. Studi ini bertujuan untuk meneliti efek modulasi 6-gingerol terhadap MetS melalui jalur ER stress dan menentukan dose-response relationship.
Metode: Pembuatan model MetS menggunakan tikus Sprague-Dawley jantan yang diberikan diet high-fat high fructose (HFHF) selama 16 minggu dan diinjeksi streptozotocin intraperitoneal dosis 22 mg/kgBB pada minggu ke-8. Dua puluh lima ekor tikus dibagi menjadi kelompok diet standar, kontrol negatif (HFHF) dan 3 kelompok perlakuan yang masing-masing diberikan 6-gingerol dosis 50, 100 dan 200 mg/kgBB selama 8 minggu. Setelah tikus dikorbankan, dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, HOMA-IR, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida; serta parameter ER stress yaitu GRP78 dan IRE1, serta pemeriksaan histopatologik hati.
Hasil: Hasil studi menunjukkan 6-gingerol dapat mengurangi berat badan, menurunkan glukosa darah puasa, memperbaiki resistensi insulin, menurunkan kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida serta mengurangi secara signifikan akumulasi lipid dan apoptosis hepatosit (p<0,05). Perbaikan terhadap kelainan metabolik tersebut terjadi melalui downregulasi ekspresi protein GRP78 dan IRE1 pada pemberian dosis 200mg/kgBB secara bermakna (p<0,05).
Kesimpulan: Studi ini berhasil membuktikan efek modulasi 6-gingerol pada sindrom metabolik secara dose-dependent melalui jalur ER stress.

Background: Metabolic syndrome (MetS) implicates ER stress in its pathogenesis. 6-gingerol is known to have many potential pharmacological effects for treating MetS. This study aims to investigate the modulating effect of 6-gingerol on MetS via the ER stress pathway and determine the dose-response relationship.
Methods: To induce MetS, male Sprague-Dawley rats were fed high-fat high fructose (HFHF) diet for 16 weeks and injected with low-dose intraperitoneal streptozotocin (22 mg/kg BW) at week 8. Twenty-five rats were divided into a standard diet group, negative control (HFHF), and three treatment groups with 6-gingerol doses of 50, 100, and 200 mg/kg BW for eight weeks, respectively (given after eight weeks of induction). At the end of the study, all rats were sacrificed. Then the following tests were carried out, including fasting blood glucose, HOMA-IR, total cholesterol, HDL, LDL, and triglyceride levels; and ER stress parameters (GRP78 and IRE1), also a histopathological examination of liver.
Results: 6-gingerol can reduce body weight, lower fasting blood glucose and improve insulin resistance, reduce total cholesterol, LDL, and triglyceride levels, and significantly reduced lipid accumulation and apoptosis in hepatocytes (p<0,05). Improvement of these metabolic abnormalities occurred through downregulation of GRP78 protein expression, IRE1 (dose of 200 mg/kgBW) significantly (p<0.05).
Conclusion: This study proved the modulating effect of 6-gingerol on metabolic syndrome in a dose-dependent manner through the ER stress pathway.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhmi Dwi Novaliudin
"

Program wellness di tempat kerja adalah program untuk mengidentifikasi dan pengendalian penyakit terkait sindrom metabolik, pemberhentian perilaku merokok, latihan fisik dan kebugaran, nutrisi dan pengendalian pola makan, serta manajemen stres pribadi dan pekerjaan, yang diharapkan pekerja dapat terus aktif, terampil sehat dan produktif hingga usia 65 tahun. Sebuah efektivitas program wellness juga perlu dilihat dari sisi karyawan selain itu melihat pentingnya program wellness dalam mengendalikan sindrom metabolik pada karyawan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang memiliki tujuan untuk menggali informasi secara mendalam faktor yang dapat berperan penting terhadap pembentukan persepsi karyawan terhadap implementasi program wellness di PT. X tahun 2024. Informan penelitian ini adalah karyawan PT. X yang ikut serta di dalam program wellness, pengelola program wellness di PT. X, dokter pendamping wellness, karyawan di luar program wellness, serta manajemen PT. X. Pemilihan informan pada penelitian ini dengan menggunakan metode purposive yang sudah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan PT. X menunjukkan persepsi positif terhadap program wellness yang dijalankan, Program wellness juga memberikan sejumlah manfaat positif bagi karyawan dan PT. X di dalam implementasinya. Selain itu faktor pelaku persepsi (sikap, pengalaman, dan harapan) dan faktor situasi (waktu, keadaan tempat kerja, dan keadaan sosial) berperan penting dalam pembentukan persepsi karyawan di dalam menjalankan program wellness di PT.X.


A workplace wellness program is a program for identifying and controlling diseases related to metabolic syndrome, cessation of smoking behavior, physical exercise and fitness, nutrition and diet control, as well as personal and work stress management, with the hope that workers can continue to be active, skilled, healthy and productive until 65 years old. The effectiveness of a wellness program also needs to be seen from the employee's perspective, apart from looking at the importance of a wellness program in controlling metabolic syndrome in employees. This research is qualitative research that aims to explore in-depth information on factors that can play an important role in forming employee perceptions regarding the implementation of wellness programs at PT. X year 2024. The informants for this research are employees of PT. X who participated in the wellness program, wellness accompanying doctors, employees outside the wellness program, and PT.X management. The selection of informants in this research used a predetermined purposive method. The research results show that employees of PT. X show a positive perception of the wellness program being implemented. The wellness program also provides several positive benefits for employees and PT. X in its implementation. Apart from that, perception factors (attitudes, experiences and expectations) and situational factors (time, workplace conditions and social conditions) play an important role in forming employee perceptions in implementing wellness programs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fariha Ramadhaniah
"Indonesia memiliki beban yang serius terhadap penyakit kardiovaskular, terutama PJK. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki angka kematian tertinggi akibat penyakit jantung. Prevalensi PJK berbasis diagnosis dokter tidak mengalami kenaikan, meski begitu, berdasarkan data Riskesdas 2013-2018, terjadi kenaikan terhadap prevalensi faktor risiko PJK. Beberapa faktor risiko PJK yang terjadi bersamaan menyebabkan sindrom metabolik, prevalensinya cukup tinggi di Indonesia dan meningkatkan risiko PJK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar risiko sindrom metabolik terhadap terjadinya PJK di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif, dengan median masa pengamatan 6,8 tahun, data skunder IFLS4 tahun 2007 dan IFLS5 tahun 2014 pada 6.571 responden usia 40-69 tahun. Hasil penelitian mendapatkan prevalensi sindrom metabolik 20%, berdasarkan kriteria Joint Interim Statement. Kasus baru PJK 2,72%, dengan insiden rate 34 per 100.000 orang tahun. Analisis multivariat dengan uji cox regression mendapatkan HR 2,16 (95%CI 1,564-2,985), bahwa seseorang dengan sindrom metabolik memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami PJK dibanding tanpa sindrom metabolik setelah mengontrol variabel jenis kelamin, umur, status merokok, dan aktivitas fisik.

Indonesia has a serious burden of cardiovascular disease, especially CHD. In Southeast Asia, Indonesia has the highest death rate from heart disease. The prevalence of CHD based on doctor's diagnosis did not increase, however, based on the Riskesdas 2013-2018, there was an increase in the prevalence of CHD risk factors. Several risk factors for CHD that occur together cause metabolic syndrome, the prevalence is quite high in Indonesia and increases the risk of CHD. The purpose of this study was to determine the risk of metabolic syndrome on the incidence of CHD in Indonesia. This retrospective cohort study, was followed up for a median of 6.8 years, secondary data from IFLS4 in 2007 and IFLS5 in 2014, population study 6,571 respondents, aged 40-69 years. The results of the study found that the prevalence of metabolic syndrome was 20%, based on the Joint Interim Statement criteria. New cases of CHD are 2.72%, with an incidence rate of 34 CHD per 100,000 person years. Multivariate analysis with cox regression test found HR 2.16 (95% CI 1.564-2.985), that someone with metabolic syndrome had a twice higher risk of developing CHD after adjusting gender, age, smoking status, and physical activity."
Depok: Fakultas Kesehatan dan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>