Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Hidayaturrahman
"Abstrak
This study aims to describe the economic potential of islands in Sumenep District. This study uses a qualitative descriptive approach, carried out by collecting data through observation, in-depth interviews, and data tracking. Sumenep District has the largest number of islands in East Java, 287 islands, spread across nine subdistricts. These islands have considerable economic potential, from oil and gas to fisheries, epinephelinae, cromileptes altivelis, and lobster. This area has a great need for the existence of a transportation network as a means of economic mobility of the community, which also affects the price of basic necessities far higher than the area of Sumenep Regency on the mainland, Madura Island and Java Island."
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2018
330 BAP 1:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irna Diana
"Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis daya dukung lingkungan untuk pengelolaan pengembangan pariwisata. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis kesesuaian lahan pada masing-masing obyek wisata, menganalisis daya dukung lingkungan kawasan wisata, dan menganalisis skenario kebijakan pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Pulau Pari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner, studi literatur (data sekunder) dan pengamatan di lapangan (data primer) yang diolah menggunakan analisiskesesuaian lahan, analisis daya dukung lingkungan, dan analisis trade off. Wisata snorkeling berada di Area Perlindungan Laut. Wisata pantai berada di Pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, Pantai Bintang, dan Pantai Berbintang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks kesesuaian wisata pada obyek wisata snorkeling yaitu sesuai sebesar 66%, sedangkan nilai indeks kesesuaian wisata pada obyek wisata pantai yaitu sangat sesuai dengan nilai 98,5% untuk Pantai Pasir Perawan, 92,6% untuk Pantai Kresek, 91% untuk Pantai Bintang, dan 92,6% untuk Pantai Berbintang. Total nilai daya dukung lingkungan dari semua obyek wisata adalah 331 pengunjung/hari. Pengembangan pengelolaan pariwisata 100% dari daya dukung lingkungan yang ada (skenario C) dianggap sebagai skenario terbaik untuk pengelolaan wisata Pulau Pari dengan membatasi jumlah pengunjung yang tidak melebihi 331 pengunjung/hari.

This research is conducted using carrying capacity analysis method for management of tourism development. The purpose of this research is to analyze land suitability for each tourism site, to analyze the carrying capacityof tourism, and analyzing the authority scenario of sustainable tourism in Pari Island. This research conducted using quantitative method with data gathering through literary study (as secondary data), questioner, and field study (as primary data) which conducted using land suitability analysis, carrying capacity analysis, and trade off analysis. Especially the snorkeling that often seen in the Area Perlindungan Laut (APL). While the beach tourism often found in the Pasir Perawan beach, Kresek beach, Bintang beach, and Berbintang Beach.
The research shown that the tourist suitability index snorkeling tour at a tourist attraction that is appropriate for 66%, whereas the tourist suitability index on coastal tourism which is in accordance with the value of 98.5% for the Pasir Perawan beach, 92.6% for Kresek beach, 91% for Bintang beach, and 92.6% for Berbintang beach. The total amount of carrying capacity of environment effort above all tourism site is 331 tourist per day. The developing of tourism is 100% of the existing developing effort (scenario C) which considered as the best scenario for the development of tourism in Pari Island with carrying capacity amount that came per day which is not more that 331 tourists.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Krisianto
"ABSTRAK
Dengan menggunakan kasus elektrifikasi di Kepulauan Seribu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak elektrifikasi terhadap kesejahteraan masyarakat dengan mengevaluasi dampaknya terhadap pengeluaran rumah tangga. Pada Februari 2008, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan mendapat aliran listrik PLN untuk pertama kalinya melalui sambungan kabel listrik bawah laut dari Jakarta. Selanjutnya pada tahap kedua, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mendapat jaringan listrik PLN pada Februari 2012. Pelaksanaan elektrifikasi secara bertahap tersebut, secara tidak langsung menciptakan kelompok treatment dan control yang ideal untuk dilakukannya penelitian evaluasi dampak elektrifikasi.Penelitian ini menggunakan metode Difference in Difference dimana Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan digunakan sebagai treatment group dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebagai control group. Tahun 2007 dipilih sebagai periode awal penelitian dan periode lanjutan adalah tahun 2008 sampai 2011. Hasil regresi menunjukkan bahwa elektrifikasi mengakibatkan dampak signifikan terhadap pengeluaran rumah tangga khususnya pada tahun pertama dan kedua setelah elektrifikasi. Elektrifikasi meningkatkan pengeluaran rumah tangga total, makanan dan bukan makanan. Sedangkan pengeluaran transportasi turun signifikan. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa elektrifikasi dapat meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat yang ditunjukkan oleh peningkatan pengeluaran rumah tangga.

ABSTRACT
By using the electrification cases in Seribu Islands Regency, this research tries to analyze the impact of small islands electrification on community 39 s welfare by evaluating the household expenditures. In February 2008, the Indonesian South Seribu Islands district enjoyed its first electricity connection via submarine cables from the main island Jakarta. In a second stage, the North Seribu Islands district also got a submarine power connection in February 2012. Since the electrification is done gradually, it creates an ideal treatment and control group for impact evaluation methodology.This paper uses Difference in Difference method using the South Seribu Islands district as a treatment group, and the North Seribu Islands district as a control group. 2007 was selected as the baseline period with the follow up period from 2008 to 2011. The regression result shows that electrification gives a significant impacts on household expenditures particularly in the first two year after electrification. It increases the total, food, and nonfood expenditure. At the same time, the household expenditure for transportation purposes drop significantly. From these results, we may conclude that electrification can increase the community economic activity which is showed by the increasing of household expenditure"
2016
T47497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Beberapa wilayah strategis dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia adalahkeberadaan 92 pulau kecil terluar. Pulau-pulau tersebut mempunyai nilai penting karena sebagai tempat titik dasar penentu posisi batas wilayah negara dengan negara tetangga. Tujuan dari penyusunan atlas ini adalah menyajikan informasi spasial tentang pulau-pulau kecil terluar yang dimiliki Indonesia sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Secara garis besar isi atlas ini terdiri dari narasi, foto terestris pulau, peta, dan citra satelit multiresolusi. Kombinasi dari keempat unsur tersebut setidaknya dapat memberikan gambaran umum keberadaan dan kondisi pulau-pulau terluar.Penyusunan atlas ini melibatkan tim dari Bakosurtanal dan tim editor dari berbagai instansi pemerintah serta pihak swasta."
Bogor: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), 2007
551.42 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Beberapa wilayah strategis dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia adalahkeberadaan 92 pulau kecil terluar. Pulau-pulau tersebut mempunyai nilai penting karena sebagai tempat titik dasar penentu posisi batas wilayah negara dengan negara tetangga. Tujuan dari penyusunan atlas ini adalah menyajikan informasi spasial tentang pulau-pulau kecil terluar yang dimiliki Indonesia sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Secara garis besar isi atlas ini terdiri dari narasi, foto terestris pulau, peta, dan citra satelit multiresolusi. Kombinasi dari keempat unsur tersebut setidaknya dapat memberikan gambaran umum keberadaan dan kondisi pulau-pulau terluar.Penyusunan atlas ini melibatkan tim dari Bakosurtanal dan tim editor dari berbagai instansi pemerintah serta pihak swasta."
Bogor: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), 2007
R 551.42 IND a
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Puguh Wibowo
"Dalam perspektif pembangunan di Indonesia, pulau-pulau kecil yang sebagian besar tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) kurang mendapat perhatian yang cukup berarti. Selama ini pembangunan dititikberatkan pada pulau besar yang cenderung bersifat ekstraktif dan mempunyai resiko lingkungan cukup besar. Disisi lain kawasan pulau kecil mempunyai potensi lingkungan besar, karena ekosistem dan lingkungan laut disekitar kawasan mempunyai keragaman dan produktivitas hayati yang tinggi.
Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau di Kabupaten Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dan secara geografis berhadapan dengan perairan Laut Banda. Berdasarkan kedudukannya Pulau tersebut mempunyai potensi perikanan yang cukup besar, demikian pula kawasan pantai di sekelilingnya mempunyai peluang untuk pengembangan budidaya dan jasa wisata. Hal ini mendorong Pemerintah Proipinsi Sulawesi Tenggara untuk mengembangkan kawasan tersebut sebagai kawasan perikanan terpadu.
Masalah penelitian dibatasi pada analisis kebijakan untuk mengembangkan Pulau Wawonii dengan fokus analisis tentang keterlibatan pelaku (stakeholders), skenario pengembangan, masalah pengembangan serta langkah kebijakan yang diperlukan guna mengatasi berbagai kendala dalam implementasi skenario pengembangan. Tujuan penelitian adalah untuk menyusun kebijakan pengembangan Pulau Wawonii, dengan fokus menetapkan skenario pengembangan, analisis keterlibatan pelaku, masalah yang dihadapi dalam pengembangan dan alternatif kebijakan pengembangan. Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan melalui pendekatan metode Diskriptif dengan jenis Studi Kasus dan metode kualitatif. Untuk analisis data digunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan alat bantu Expert Choice Version 9.
Dalam penelitian ini skenario yang diajukan sebagai dasar pengembangan adalah rumusan skenario hasil studi Penyusunan Agromarine yang dilakukan Puslitbang Transmigrasi sebagai berikut : (1) Skenario I adalah menekankan kegiatan utama pada penangkapan yang didukung dengan kegiatan budidaya pantai dan kegiatan pertanian, (2) Skenario II menekankan pada kegiatan utama adalah budidaya pantai dan didukung dengan kegiatan penangkapan dan kegiatan pertanian, (3) Skenario III menekankan kegiatan wisata bahari sebagai kegiatan utama yang didukung dengan kegiatan penangkapan, budidaya pantai dan pertanian.
Hasil analisis dengan pendekatan AHP yang merupakan persepsi seluruh pihak yang berkepntingan menunjukkan, bahwa Skenario I dengan nilai bobot yaitu 0.592 merupakan prioritas utama sebagai dasar untuk pengembangan Pulau Wawonii. Skenario I ini mempunyai nilai bobot lebih tinggi dibandingkan dengan Skenario II (0.278) maupun Skenario III (0.131). Dengan menggunakan Skenario I sebagai dasar pengembangan maka akan mempunyai beberapa implikasi berikut : (a) mempunyai resiko lingkungan relatif kecil, (b) mempunyai multiplier efek yang relatif besar terhadap peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, (c) menjamin keberlanjutan usaha, (d) mempercepat proses pertumbuhan kawasan, dibandingkan dengan ke dua skenario lainnya.
Berdasarkan hasil analisis proses ke depan (Forward Process) menunjukkan, bahwa dari ke empat pelaku yang terlibat, secara hirarkhi Pemerintah Daerah (Pemda) mempunyai nilai-nilai bobot paling tinggi 0.418, Swasta (0.250), Masyarakat (0.223) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai nilai bobot paling rendah (0.110). Dari hasil proses balik (Backward Process) menunjukkan bahwa masalah utama yang menjadi kendala pengembangan adalah koordinasi pengelolaan dengan nilai bobot yaitu 0.395. Selanjutnya masalah dalam pengembangan yang perlu mendapat perhatian, secara hirarkhi adalah keterbatasan modal (0.278), lingkungan dan masalah SDM mempunyai nilai yang sama (0.163). Dari hasil perhitungan terhadap masalah pengembangan juga menunjukkan bahwa instansi yang mempunyai peran dan bertanggung jawab mengatasi masalah koordinasi adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP).
Dari hasil perhitungan dan analisis terhadap kebijakan yang perlu ditempuh seluruh pelaku untuk mengatasi masalah, prioritas utama adalah meningkatkan koordinasi pengelolaan dengan nilai bobot yaitu 0.296. Kebijakan penting lainnya yang perlu dijalankan secara hirarkhi adalah pelatihan (0.212), pembangunan sarana dan prasarana (0.210), perijinan dan fiskal (0.154), penataan ruang (0.068), dan melakukan wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap seluruh kegiatan dengan nilai 0.060.
Berdasarkan analisis terhadap potensi dan analisis kebijakan maka pola pengembangan yang diusulkan adalah : (1) Skenario kebijakan pengembangan adalah Skenario I, (2) Pengembangan usaha dilakukan melalui pendekatan agribisnis dan kemitraan dengan pola Inti - Plasma dan swasta berperan sebagai Pembina, (3) pemanfaatan ruang dengan alokasi adalah : bagian barat sebagai kawasan industri dan pelabuhan, pantai timur sebagai kawasan budidaya pantai dan darat, bagian tengah dan utara sebagai kawasan konservasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Untuk mengembangkan Pulau Wawonii Skenario I merupakan skenario yang diharapkan oleh seluruh pelaku, dengan pertimbangan skenario ini mempunyai resiko lingkungan relatif kecil, mempunyai efek ganda relatif besar terhadap perluasan kesempatan kerja dan pendapatan. (2) Terdapat empat pelaku yang berperan dalam pengembangan Pulau Wawonii, sedangkan pelaku yang mempunyai peran penting adalah Pemerintah Daerah. (3) Dari hasil proses balik (backward process) menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi adalah terkait dengan kelembagaan yaitu lemahnya koordinasi antar pelaku-pelaku. (4) Kebijakan penting yang diperlukan untuk mengatasi masalah secara prioritas adalah meningkatkan koordinasi pengelolaan antar pelaku.
Saran dari penelitian ini adalah: (1) Untuk menjalankan kegiatan pada Skenario I perlu dilakukan melalui pendekatan agribisinis dan pola kemitraan dengan model Inti-Plasma yang meliibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat. (2) Perlu dilakukan penataan ruang untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antar pelaku maupun guna mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. (3) Perlu dibentuk organisasi pengelola pengembangan dengan menetapkan BAPPEDA bertugas sebagai kordinator perencanaan dan DKP sebagai penanggung jawab pelaksana kegiatan pembangunan.

The Policy Study of Small Islands Development (Case Study on Development Polities of Wawonii Island at Kendari District the Province of Southeast SulawesiIn the process of development of Indonesia, small islands mostly located in eastern part of Indonesia are lack of attention. So far the development centered on big islands and tended to extractive sector with high environmental risk. The small islands are about to be neglected in the development process despite they are actually having high environmental potential due to their virgin ecosystem and biodiversities.
The Wawonii Island is one of the small islands in Kendari distric, the province of Southeast Sulawesi, located in facing with Banda Ocean. The island has very high potential fisheries, and so with the coastal areas around the island. Those potential could be developed as cultivation areas as well as tourism services. This condition actually had encouraged the local government to develop the areas as an integrated fisheries development.
This research and thesis is restricted just to analyses some policies concerning with the development of Wawonii Island, especially focused on the analyses of stakeholder involvement, development scenario, implementation problems, needed strategies and stages to solve the problems and obstacles. This research is aimed to compose the policy of development of Wawonii Island covering the alternative scenario of development, stakeholders involvement, the problems emerge, and the alternative strategy of development. The research would use descriptive and qualitative method with case study approach. To analyses the primary data, the instrument of Analytical Hierarchy Process (AHP will be used with other supplementary tools of Expert Choice Version 9.
This research proposed development scenario as a base of developing Wawonii Island through agro marine system. Those scenarios are ass follows: (1) Scenario I, is stressing the main development activities on catchments by the support of coastal cultivation and agriculture activities. (2) Scenario II, is stressing the main development activities on coastal land cultivation by the support of catchments agriculture activities. (3) Scenario III, is stressing the main development activities an oceanic tourism by the support of catchments, land coastal cultivation and agriculture activities.
The research result by using of AHP approach pointed out that the scenario I (with total value of 0.592) is the main priority and becoming alternative scenario that enable the Wawonii Island to develop. This scenario is having more score value than the others indicating respectively (scenario II 0.278, and scenario III 0.131). So the main priority of development scenario for Wawonii Island is the scenario I, that is the implementation of catchments by the support of coastal land cultivation and other agricultural activities.
By using the scenario I as a base of development, the consequences emerge are; a. high rate of environmental risk b. high rate of multiplier effect for work opportunities and income rising, c. ensure the sustainable business, d. fastening the growth areas, compared with the two other scenarios.
Base on the forward process analyses, it was known that from the four stakeholders of involvement, the local government have hierarchical highest value score of 0.418, while the other stakeholders indicate that private sector 0,250, societies 0,223, and the non-government sector (NGO) having the lowest score of 0.110.
Based on the backward process analyses, it was known that that main problem becoming obstacles for development process is the coordination relationship among stakeholders, with total value score of 0.395. It was caused by something that so far there was no government instance to take in place, especially in planning and implementing the Wawonii development activities.
The problems of development, then, need to be attended hierarchically is the limit of capital which having total value score of 0.278. While the environment and human resources having value score of 0.163. From the other analyses it was known that the government instances having important role and responsibilities to solve coordination obstacles are BAPPEDA / Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - (Regional Planning Bureau) as well as Dinas Kelautan dan Perikanan / DKP(Marine and Fisheries Sector).
Based on the analyses of what policies should be taken by the stakeholder to solve the problems, it was known that that main priority is to increase the coordination process, having value score of 0.296. Therefore the roles of Bappeda need to be improved as planning bureau. So do the Marine and Fisheries Sector as an institution responsible for the executing of the project. The other policies should be taken hierarchically are training (0.212 score), infrastructure development (0.210), permit and fiscal (0.154), spatial plan (0.068), and environmental risk assessment (0.060).
Based on the analyses of potential and supporting policies, it was known that the model of development should be proposed is the model of scenario I. The development should be carried out through (1) agribusiness and partnership approach (like Care-Plasma relationship) in which the private as patron, (2) proper land use where the west coastal side is provided for shore and industrial areas, the east coastal side as land coastal cultivation, while the central and north side as conservation areas.
From the research result, it could be summarized that (1) The Wawonii island is more appropriate to develop as suggested in scenario I. This reason is due to the low rate of the environmental risk, the high multiplier effect of work opportunity as well as the income rise. (2) There are four stakeholders having important role with the local government as main stakeholder. (3) The main problems facing in development process is concerning with the institutional and bureaucratic level, that is the lack of coordination among the executing agencies of development. By those summaries, so the suggestion could be expressed here are: (1) Take the scenario I as development approach for Wawonii island, and the scenario should be carried out through agribusiness and partnership model (core-plasma relationship) by involving the government sector, private, and the societies. (2) Plan the spatial ground areas properly, to minimize conflict and vested interest among the agencies, also for minimizing the environmental degradation. (3) Build the integrated organization executing the development, with deciding the BAPPEDA as coordinator of planning, while Dinas Kelautan dan Perikanan as the institution responsible for the development activities."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 10897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Kurniawan
"ABSTRAK
Potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia sangat menarik bagi
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. UU No. 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil membuka kesempatan penanaman modal asing di
pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dengan persyaratan
tertentu dan izin Menteri Kelautan dan Perikanan. Tesis ini membahas kepastian
hukum penanaman modal asing di pulau-pulau kecil berdasarkan UU No. 1 Tahun
2014. Penelitian yang menggunakan metode yuridis normatif ini, menyimpulkan
bahwa, dibukanya kesempatan penanaman modal asing di pulau-pulau kecil
berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 perlu dukungan aturan pelaksana undangundang
tersebut khususnya terkait perizinan, karena implementasi perizinan PMA
di pulau-pulau kecil belum optimal. Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 2014,
sudah terdapat investor asing yang menjalankan usahan pemanfaatan pulau-pulau
kecil dengan hanya memiliki izin prinsip dan izin usaha, ataupun perjanjian
dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, adanya calon-calon investor asing yang
berminat berinvestasi di pulau-pulau kecil, memerlukan kepastian hukum untuk
melaksanakan ketentuan penanaman modal asing di pulau-pulau kecil
sebagaimana dipersyaratkan dalam UU No. 1 Tahun 2014.

ABSTRACT
Indonesian coastal areas and small islands are very potential assets to attract
foreign investors to make investment in Indonesia. Law of The Republic of
Indonesia Number 1 of 2014 about The Changes to The Law Number 27 of 2007
on Management of Coastal Areas and Small Islands gives opportunities to foreign
direct investment on small islands and their surrounding waters, with certain
requirements and permits from the Minister of Marine Affairs and Fisheries. This
Thesis elaborates the legal certainty of foreign direct investment on small islands
governed by Law of The Republic of Indonesia Number 1 of 2014. The study
which used a normative juridical method suggested that the emerging
opportunities of foreign direct investment on small islands governed by Act 1 of
2014 needs to be supported by the implementing rules of the Law, particularly
those related to the licensing, since the implementation of foreign direct
investment licensing on small islands is not yet optimal. Prior to the enactment of
The Law of The Republic of Indonesia Number 1 of 2014, there had already been
foreign investors doing their business on the utilization of small islands using only
?principle licenses‟ and ?business licenses‟, or agreements with local governments.
On the other hand, the emerging interest of prospective foreign investors to invest
on small islands needs a legal certainty for their continuing process to comply
with the provisions of foreign direct investment on small islands as required by
the Law Number 1 of 2014."
2016
T45915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Zulfitri
"Resort Cubadak Paradiso Village dalam pengelolaan wisata bahari pada wilayah pesisir di Pulau Cubadak selama 23 tahun telah melakukan pembatasan akses masuk ke dalam Pulau serta membatasi wilayah perairan laut sejauh 60 meter dari bibir pantai Pulau Cubadak. Padahal tanah yang dikelola tersebut berstatus sebagai tanah ulayat kaum Masyarakat Hukum Adat. Sehingga menciptakan konflik kepentingan antara masyarakat di sekitar Pulau dengan pengelola. Padahal wilayah pesisir dan laut merupakan wilayah terbuka yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat. Secara yuridis, peraturan perundang-undangan tidak menghendaki adanya penguasaan atas sumber daya alam oleh pengelola selaku investor. Sementara kontrak antara pemilik tanah kaum dengan investor terkait sewa tanah juga tidak mengatur mengenai pembatasan tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji mengenai hak menguasai Negara atas sumber daya alam di atas tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat melalui pendekatan socio-legal. Ditujukan agar pengelolaan sumber daya alam khususnya wisata bahari oleh investor tetap berjalan selaras dengan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
......The Cubadak Paradiso Village Resort in running its marine tourism business along a stretch of the coast of Cubadak Areas for 23 years has restricted access into the island and 60 meters out of the beach front. Meanwhile, the land that the resort manages is communal land owned by the indigenous community. The situation has created a conflict between the community on the island and the business operator. The coastal area and sea beyond is an open area and should accessible to the people. The law has not intended for control of a natural resource to be controlled by business operator as investor. The contract between communal land owner and the investor with regard to lease also does not authorize such restriction. Therefore, this study is aimed at examining the right of the state to control natural resources situated on communal land of the indigenous community using a social-legal approach. The research is conducted with the aim of ensuring that the management of natural resources, in this case marine tourism, by the investor is in line with the protection of the rights of the indigenous communities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Lintang Septianti
"Tesis ini membahas eksistensi Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Pelaksanaan yang Terkait. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain preskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang diterbitkan sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan Peraturan Presiden yang bersifat mandiri yang bersumber pada kewenangan atribusi dari Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Materi muatan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, namun fokus utama dari penyusunan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pengaturan mengenai sanksi yang dikenakan bagi pelanggar. Pencabutan ketentuan Pasal 1 ayat 2 dan Lampiran Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar merupakan hal yang dapat dilakukan. Namun, Pencabutan ketentuan dan Lampiran dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, serta pengaturan kembali secara komprehensif mengenai pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebabkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tidak jelas daya gunanya.

This thesis discusses the existence of Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands in Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands as amended by Act No. 1 Year 2014 and Related Implementation Regulations. This research is qualitative research with prescriptive design.
Based on the results, it was found that Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands which issued before Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands is an independent Presidential Regulation which is based on attribution authority from Article 4 paragraph 1 of the 1945 Constitution. The content of Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands is regulated in Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands, but the main focus of the Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands is an increase in the welfare of the people in coastal areas and small islands and regulations about punishment for violators. Revocation of Article 1 paragraph 2 and Attachment of the Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands with Presidential Decree No. 6 Year 2017 concerning Determination of Outermost Small Islands is a matter that can be done. However, Revocation of provisions and Attachments in Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands, as well as comprehensive reorganization of the management of Small Islands Outside in Law No. 27 Year 2007 concerning Management of Coastal Areas and Small Islands causes Presidential Regulation No. 78 Year 2005 concerning Management of Outermost Small Islands is not clearly used.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53846
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library