Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyhouse, Carol
New york: Routledge , 2006
378.1 DYH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Brembeck, Cole S.
New York : John Wiley & Sons, 1967
370.19 BRE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Viko Esa Bintang Alfarrel
"Penelitian ini mengkaji dinamika sosial dan ekonomi di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dengan menerapkan perspektif arkeologi industri dan teori Marxisme. Mulai diterapkannya sistem tanam paksa oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1836 telah mengubah struktur ekonomi dan sosial di Jawa, khususnya dengan pendirian pabrik gula yang berbasis pada eksploitasi tenaga kerja lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana infrastruktur industri tebu dan pabrik gula berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi regional sekaligus menciptakan ketimpangan sosial antara kaum borjuis Eropa dan kaum proletar lokal. Melalui analisis artefak, dokumentasi historis, dan sisa-sisa material industri, penelitian ini menyelidiki bagaimana relasi antara majikan dan buruh di pabrik mencerminkan kondisi sosial yang lebih luas dan bagaimana prasarana produksi gula serta dokumentasi terkait pekerja mencerminkan dinamika ekonomi dan sosial masa itu. Hasil penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan wawasan baru mengenai sejarah industri gula di Banyumas tetapi juga menyoroti pentingnya teknologi dan produksi material sebagai pendorong perubahan sosial dalam masyarakat.

This study examines the social and economic dynamics at the Kalibagor Sugar Factory in Banyumas by applying industrial archaeology perspectives and Marxist theory. The implementation of the forced cultivation system by the Dutch East Indies Government in 1836 significantly altered the economic and social structure in Java, particularly through the establishment of sugar factories based on the exploitation of local labor. This research aims to uncover how the infrastructure of the sugarcane industry and sugar factories contributed to regional economic growth while also creating social disparities between the European bourgeois and the local proletarians. Through the analysis of artifacts, historical documentation, and remnants of industrial materials, this study investigates how the relationship between employers and workers at the factory reflects broader social conditions and how the infrastructure of sugar production and related worker documentation reflect the economic and social dynamics of the time. The results of this research are expected to not only provide new insights into the history of the sugar industry in Banyumas but also highlight the importance of technology and material production as drivers of social change in society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"Seni gerak dalam pertunjukan wayang sering disebut dengan sabetan. Dalam seni gerak wayang dikandung aturan-aturan, norma-norma atau wewaton yang merupakan konvensi yang dianut dan diacu oleh para seniman dalang ketika menggerakkan wayang-wayangnya. Salah satu konvensi seni gerak dalam pertunjukan wayang yakni udanagara. Udanegara yakni tatacara bertutur kata, bersikap, dan bertingkahlaku seorang tokoh dalam pertunjukan wayang, yang di dalamnya dikandung etika dan estetika.
Yang dimaksud gerak wayang meliputi, antara lain: menyembah, berjalan, berlari, menari, terbang, dan perang. Gerak wayang tersebut berprinsip pada status sosial, tua-muda (usia), klasifikasi, dan wanda tokoh-tokoh wayang. Dalam seni gerak wayang memperhatikan pula prinsip wiraga (benar dan tepatnya action dalam gerak), wirasa (benar dan tepatnya penghayatan dalam gerak), dan wirama (benar dan tepatnya irama dalam gerak). Langkah kerja penelitian ini dilakukan secara bertahap, yakni: pengumpulan data (menyaksikan pergelaran wayang langsung, baik di televisi, live, wawancara kepada para dalang: studi kepustakaan; pengolahan data; dan laporan penelitian.
Penelitian ini menyimpulkan: gerak wayang terdiri dari dua pengertian, ?luas? (totalitas gerak tokoh) dan ?sempit? (perang); gerak wayang dibatasi oleh konvensi (norma) yang disepakati para dalang (udanegara); prinsip gerak wayang mengacu pada status sosial, usia (tua-muda), klasifikasi, dan wanda tokoh wayang; gerak wayang dewasa ini telah banyak penggarapan, dinamis (tidak terlihat kendor). Perkembangan gerak wayang tersebut seiring dengan pola pikir masyarakat yang semakin maju, kritis, dan dinamis.

Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules, norms, guidance (orientation) is convention that is observed and referred to guidance the dalang artists when they move the puppets. One of the convention of movement in the puppet performance is udanagara. Udanegara, that contains ethics and aesthetic, is the rules of speaking, attitude, and action for actors in the puppet performance.
Puppet movement include among others paying homage, walking, running, dancing, flying and fighting. That puppet movement is based on social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet. Therefore, the movement art of the puppet adopts basic wiraga (true or false action in the puppet movement), wirasa (true or false feeling of puppet movement), and wirama (true or false rhythm in the puppet movement). Method in this research will be conducted step by step: collection data (to watch of puppet performance on television, live performance, dialogue with dalang artist), analysis of data, literary research, conclusion and reporting of the research.
This research concludes: puppet movement has of two meanings, large (totality of puppet movement) and narrow (fighting); puppet movement refers to the conventions (norms), oriented by dalang artists (udanegara); basic of puppet movement refers to social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet; now, puppet movement becomes more and more creative and dynamic. The development of puppet movement in line with the way of thinking of society that is more improved, critical, and dynamic."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"Seni gerak dalam pertunjukan wayang sering disebut dengan sabetan. Dalam seni gerak wayang dikandung aturanaturan,
norma-norma atau wewaton yang merupakan konvensi yang dianut dan diacu oleh para seniman dalang ketika
menggerakkan wayang-wayangnya. Salah satu konvensi seni gerak dalam pertunjukan wayang yakni udanagara.
Udanegara yakni tatacara bertutur kata, bersikap, dan bertingkahlaku seorang tokoh dalam pertunjukan wayang, yang
di dalamnya dikandung etika dan estetika. Yang dimaksud gerak wayang meliputi, antara lain: menyembah, berjalan,
berlari, menari, terbang, dan perang. Gerak wayang tersebut berprinsip pada status sosial, tua-muda (usia), klasifikasi,
dan wanda tokoh-tokoh wayang. Dalam seni gerak wayang memperhatikan pula prinsip wiraga (benar dan tepatnya
action dalam gerak), wirasa (benar dan tepatnya penghayatan dalam gerak), dan wirama (benar dan tepatnya irama
dalam gerak). Langkah kerja penelitian ini dilakukan secara bertahap, yakni: pengumpulan data (menyaksikan
pergelaran wayang langsung, baik di televisi, live, wawancara kepada para dalang: studi kepustakaan; pengolahan data;
dan laporan penelitian. Penelitian ini menyimpulkan: gerak wayang terdiri dari dua pengertian, “luas” (totalitas gerak
tokoh) dan “sempit” (perang); gerak wayang dibatasi oleh konvensi (norma) yang disepakati para dalang (udanegara);
prinsip gerak wayang mengacu pada status sosial, usia (tua-muda), klasifikasi, dan wanda tokoh wayang; gerak wayang
dewasa ini telah banyak penggarapan, dinamis (tidak terlihat kendor). Perkembangan gerak wayang tersebut seiring
dengan pola pikir masyarakat yang semakin maju, kritis, dan dinamis.
Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules,
norms, guidance (orientation) is convention that is observed and referred to guidance the dalang artists when they move
the puppets. One of the convention of movement in the puppet performance is udanagara. Udanegara, that contains
ethics and aesthetic, is the rules of speaking, attitude, and action for actors in the puppet performance. Puppet
movement include among others paying homage, walking, running, dancing, flying and fighting. That puppet
movement is based on social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet.
Therefore, the movement art of the puppet adopts basic wiraga (true or false action in the puppet movement), wirasa
(true or false feeling of puppet movement), and wirama (true or false rhythm in the puppet movement). Method in this
research will be conducted step by step: collection data (to watch of puppet performance on television, live
performance, dialogue with dalang artist), analysis of data, literary research, conclusion and reporting of the research.
This research concludes: puppet movement has of two meanings, large (totality of puppet movement) and narrow
(fighting); puppet movement refers to the conventions (norms), oriented by dalang artists (udanegara); basic of puppet
movement refers to social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet; now,
puppet movement becomes more and more creative and dynamic. The development of puppet movement in line with
the way of thinking of society that is more improved, critical, and dynamic."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Mike Wijaya
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk membahas bentuk-bentuk rasisme intra-ras yang terjadi di dalam novel Home to Harlem 1928 karya Claude McKay dan sekaligus mengetahui posisi Claude McKay sebagai penulis implied author terhadap persoalan rasisme intra-ras di awal abad ke-20. Novel ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan tekstual dengan memakai konsep ras, kelas dan gender, dan konsep rasisme intra-ras. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasisme intra-ras yang ditemukan di dalam novel ini terbagi di dalam 2 bentuk, yaitu: colorism dan borderism. Teks menunjukkan adanya relasi yang linear antara tingkat kecerahan warna kulit dengan hierarki kelas sosial tokoh-tokoh di dalam novel. Selain itu, teks juga menunjukkan adanya perasaan berbeda perceptions of difference yang mengakibatkan terjadinya borderism di antara kedua tokoh utama, Jake dan Ray, dalam hal penggunaan bahasa, pengetahuan, gaya hidup, dan tujuan hidup. Dari analisis kedua bentuk rasisme intra-ras tersebut diketahui bahwa McKay sebagai penulis novel implied author menunjukkan keberpihakannya pada peradaban kulit putih.

ABSTRACT
This thesis aims to discuss the forms of intraracial racism found in the Claude McKay rsquo s novel Home to Harlem 1928 , as well as to know McKay 39 s position as an implied author on the issue of intraracial racism in the early 20th century. The novel is analysed using a textual approach and the concepts of race, class gender, and intraracial racism. The result shows that there are two forms of intraracial racism found in the novel, colorism and borderism. The text shows that there is a linear relation between the brightness of skin color and the social class hierarchy of characters in the novel. In addition, the text also shows the perceptions of difference causing the borderism between the two main characters, Jake and Ray, in terms of language use, knowledge, lifestyle, and life purpose. From the analysis of these two forms of intraracial racism, it is known that McKay as an implied author shows his inclination towards white civilization. "
2018
T49585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adtria Fakhri Azwir
"ABSTRAK
American Psycho adalah film thriller yang bercerita seputar yuppies, sekelompok sosial eksekutif muda yang sukses dan juga sering dijadikan sasaran stereotip. Menurut media yang digambarkan pada saat itu, Yuppies terkenal di tahun 1980an karena terlalu sombong, egois, dan memiliki sifat negatif lainnya yang berkaitan dengan individualisme. Penggambaran American Psycho tentang yuppies tidak sepenuhnya berbeda dengan media, tapi ada beberapa elemen yang membuat berlebihan pada yuppies versi American Psycho, yang terkait dengan kesatiran film dan penggambaran karakter utama sebagai pembunuh psikopat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana film tersebut mewakili stereotip kelompok sosial ini, dengan fokus pada keangkuhan dan kurangnya identitas, dan juga menjadi kritis untuk fenomena yuppies ini dengan menggunakan analisis kejadian dan tinjauan pustaka.

ABSTRACT
American Psycho is a thriller movie which story revolves around yuppies, a social group of successful young executives often targeted as an object of stereotyping. According to what the media depicted them at that time, Yuppies were famous in the 1980 rsquo s for being too snobbish, egoistical, and possessing other negative traits related to individualism. American Psycho rsquo s portrayal of yuppies is not entirely different with the media rsquo s, but there are some elements that create an exaggeration in American Psycho rsquo s yuppies, which is related to the satirical nature of the movie and the depiction of the main character as a psychopath killer. The goal of this study is to reveal how the movie represents the stereotypes of this social group, focusing on their snobbery and lack of identity, while also being critical to this yuppies phenomenon by using scene analysis and literature review."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Kurniawan Saputra
"Produk Apple Airpods telah menarik banyak kontroversi, dimana beberapa orang mengejek hal tersebut, dan ada juga yang hanya menanggapinya dengan biasa. Berbagai reaksi tersebut telah diberikan melalui berbagai bentuk, seperti dari berbagai meme yang diposting di Twitter. Makalah ini akan meneliti bagaimana penggambaran Airpods dan penggunanya yang direpresentasikan melalui beberapa meme yang tersebar di media sosial Twitter untuk menentukan bagaimana hal tersebut dapat membentuk kelompok tertentu. Korpus penelitian merupakan sepuluh meme yang diambil dari Twitter, terutama yang diposting pada akhir tahun 2018. Makalah ini menggunakan Mitologi Roland Barthes untuk menganalisis penelitian yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana AirPod direpresentasikan dalam meme, bagaimana meme AirPod merepresentasikan citra diri penggunanya, dan bagaimana representasi AirPods berkorelasi dengan kelas sosial. Penelitian ini bertujuan untuk berkontribusi pada pengetahuan dan studi representasi dalam literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk AirPods masih direpresentasikan dengan konotasi negatif dalam beberapa kasus, yang sebagai hasilnya menciptakan citra negatif bagi penggunanya dari sudut pandang orang lain. Namun, konotasi negatif menjadi kontraproduktif yang digunakan untuk membuat kelompok kelas sosial mereka sendiri yang didasarkan pada kekayaan.

The Apple Airpods product has drawn numerous controversies, where some people ridiculed it, the others just get along with it. Those various reactions have been given through many forms, such as from the various memes posted on Twitter. This paper will examine how the Airpods images and its users are represented through several memes that spread in social media twitter in order to determine how it forms a certain particular group. The corpus is ten memes taken from Twitter, especially the one posted in late 2018. This paper uses Roland Barthes`s Mythologies in order to analyze the corpus which is used to illustrate how the AirPods are represented in the memes, how the AirPods memes represented the user`s self-image, and how AirPods representation correlates with the social class. The study aims to contribute to the knowledge and studies of representation in literature. The results show that the AirPods product still being represented in negative connotations in some cases, which as a result creates a negative image to its user from other people's perspectives. However, the negative connotations become counterproductive that is used to create a high social class group of their own which based on wealth."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Soeboer
"ABSTRAK
Penelitian mengenai persepsi ketidak adilan berdasarkan stratifikasi mayoritas-minoritas ini disusun berdasarkan konstruksi teoritik mengenai stratifikasi sosial yang ada di masyarakat (Jeffries dan Ransford, 1980). Menurut Jeffries dan Ransford, stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas (aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnik, jenis kelamin, dan usia. Stratifikasi sosial yang ada di masyarakat akan membedakan mereka yang berada pada posisi manoritas (kelompok yang menguasai surplus kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise) dan mereka yang berada pada posisi minoritas (kelompok yang kurang memiliki aset kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise). Secara obyektif diasumsikan bahwa mereka yang berada pada posisi minoritas akan merasakan adanya ketidak adilan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya ini. Namun demikian, kondisi obyektif ini tidak selalu ada pada semua kelompok masyarakat. Pada masyarakat dengan budaya tertentu seperti budaya Jawa, persepsi ketidak adilan yang dirasakan oleh kelompok minoritas (kelas bawah) tergantung pada hubungan baik (kekerabatan) antara kelompok kelas ini dengan si pelaku.
Dalam studi ini, di samping kondisi obyektif dan subyektif, tipe "distribusi reward" serta sumber pertukaran dalam interaksi mayoritas-minoritas juga perlu dilihat. Alasannya adalah tipe "distribusi reward" yang ada di masyarakat terkait dengan setting kultural di mans individu tersebut berada. Dalam studi ini
diasumsikan bahwa subyek penelitian balk Jawa maupun Cina melakukan "ditribusi reward" yang equity. Bila "equity" dalam kelompok Jawa berarti adanya pola pertukaran yang tidak sejajar antara atasan bawahan sesuai dengan input yang diberikan oleh masing-masing pihak, maka dasar "equity" kelompok Cina adalah input yang berupa kapasitas pribadi (uang yang diiniliki, informasi, atau barang).
Berdasarkan asumsi teoritik di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah teori tersebut sesuai bila diterapkan pada kondisi masyarakat Indonesia khususnya Jakarta yang terpilah berdasarkan (1) variabel stratifikasi kelas, yaitu kelas menengah sebagai kelompok mayoritas dan kelas bawah kelompok minoritas, (2) variabel stratifikasi etnik, yaitu kelompok etnik Jawa sebagai kelompok mayoritas dan kelompok Cina sebagai kelompok etnik minoritas, dan (3) interaksi antara variabel stratifikasi kelas dan variabel stratifikasi etnik. Diasumsikan bahwa ketiga variabel penentu di atas akan berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian mengenai pengalaman yang dianggapnya tidak adil. Di samping pengaruh kondisi obyektif struktur mayoritas-minoritas, kondisi subyektif yaitu nilai-nilai budaya tradisional juga ikut berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian.
Sampel penelitian yang diambil adalah 200 sampel penelitian masyarakat Jakarta dewasa (berusia 21 tahun ke atas) dan telah bekerja. Jumlah sampel tersebut terbagi menjadi 100 subyek Jawa golongan menengah dan golongan bawah, dan 100 subyek Cina golongan menengah bawah.
Alat ukur disususun berdasarkan teori dan klasterisasi yang telah dibuat oleh Mikula dkk. (1990).
Secara keseluruhan hasil-studi ini menunjukkan bahwa:
Pada kelompok kelas menengah dan bawah persepsi subyek tidak semata-mata dipengaruhi oleh kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya, melainkan ia juga dipengaruhi oleh kondisi subyektif mereka yaitu nilai-nilai budaya tradisional yang
mengutamakan hubungan baik antara subyek dengan pelaku ketidak adilan. Pada kelompok Jawa, persepsi tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektif budaya tradisional subyek yaitu nilai-nilai kekerabatan. Pada kelompok Cina, persepsi subyek dipengaruhi kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya. Pada masyarakat Jakarta baik kelompok Jawa maupun Cina, terdapat kecenderung untuk mempraktekkan "distribusi reward" negatif bilamana kelompok tersebut dalam interaksinya berada pada posisi super-ordinat.
Tujuan studi ini, selain untuk mengetahui masalah ketidak adilan pada masyarakat yang terstruktur berdasarkan stratifikasi mayoritas minoritas, studi ini juga dilakukan untuk membentuk klaster ketidak adilan yang khas Indonesia khususnya Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, ternyata pertama, tipe ketidak adilan yang dominan muncul adalah adanya perlakuan sewenang-wenang atasan di tempat kerja, perlakuan sewenang-wenang figur otoritas pegawai pemerintah, dan perlakuan tidak adil oleh atasan di tempat kerja dalam hal distribusi barang dan keuntungan. Kedua,masalah diskriminasi seks bagi wanita dan diskriminasi etnik baik bagi kelompok etnik Jawa maupun.kelompok etnik Cina muncul sebagai salah satu tipe ketidak adilan yang ada di Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, saran yang dapat diberikan mencakup dua hal, yang pertama saran yang dapat diberikan seandainya dilakukan penelitian berikutnya yang menyangkut topik penelitian ini, dan yang kedua saran aplikatif yang dapat diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Paramita Said
"Penelitian ini ingin menguji peranan kelas sosial dari konsumen lain terhadap teori consumer contamination, power distance konsumen sebagai variabel moderator dan rasa jijik terhadap produk yang telah dicoba oleh konsumen lain sebagai variabel mediator. Power distance diukur dengan skala power distance (Hofstede & Hofstede, 2005; Meirina, 2006). Partisipan diberi skenario mengenai berbelanja produk yang telah dicoba oleh konsumen lain dari kelas sosial tinggi dan rendah. Kemudian partisipan diminta untuk memberikan evaluasi terhadap produk tersebut, seberapa besar intensi membeli, serta menyatakan ada atau tidaknya rasa jijik pada produk tersebut.
Penelitian pada 170 partisipan membuktikan bahwa sikap terhadap produk (evaluasi dan intensi membeli) menjadi lebih negatif pada produk yang telah dicoba oleh konsumen lain dari kelas sosial rendah daripada kelas sosial tinggi. Pada power distance tinggi dan rendah, tidak terdapat perbedaan pada evaluasi produk dan intensi membeli produk yang telah dicoba oleh konsumen lain dari kelas sosial rendah maupun tinggi. Rasa jijik ternyata tidak ditimbulkan oleh perbedaan kelas sosial konsumen lain yang telah mencoba produk. Dengan demikian, rasa jijik tidak memperantarai pengaruh antara konsumen lain dari kelas sosial rendah terhadap evaluasi produk dan intensi membeli.

The objective of this study was to examine the role of others' social class toward theory of consumer contamination, power distance as moderator variable and disgust on product tried by others as mediator variable. Power distance was measured by power distance scale (Hofstede & Hofstede, 2005; Meirina, 2006). Participants were asked to read scenario about shopping on product tried by others from high social class and low social class. After that, participants were expected to give evaluation, how likely to buy, and the salience of disgust on that product.
The result from 170 participants shows that attitude toward product (product evaluation and purchase intention) become more negative if the product had tried by others from low social class than high social class. There is no difference on product evaluation and purchase intention between participants with high and low power distance. Disgust is not elicited by others' social class who had tried on that product. Hence, disgust does not mediate the influence between low social class consumers toward product evaluation and purchase intention.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
658.834 2 SAI p
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>