Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cons. Tri Handoko
Abstrak :
Tulisan ini menjabarkan tentang perkembangan tato ditinjau dari aspek motif, makna, maupun fungsinya di kalangan narapidana di Yogyakarta sejak tahun 1950an. Narasumber adalah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta, mantan narapidana, dan seniman tato yang memahami seluk beluk perkembangan tato menato di Yogyakarta. Motif tato di kalangan narapidana meliputi tumbuhan, binatang, potret manusia, horor, tato tribal, ikon hati, tipografi, biohazard dan biomechanical, juga alam benda. Tampilan motif tato ada dua, yaitu berdiri sendiri dan perpaduan beberapa motif. Setiap motif mempunyai makna tertentu. Teknis menatonya menggunakan peralatan sederhana berupa benang, jarum, dan norit (merek obat sakit perut) dan mesin tato mekanik. Tato dan kegiatan menato di kalangan narapidana mempunyai dua fungsi utama yaitu pribadi dan sosial. Fungsi pribadi berkaitan dengan tato sebagai karya seni. Dalam batasan ini, tato berfungsi sebagai ekspresi pengalaman hidup yang berfungsi juga sebagai pengingat akan peristiwa tertentu dan hiasan tubuh, sebagai eksp resi religiositas, terapi dan relaksasi, jimat, daya tarik seks, keamanan diri, serta untuk menutupi luka atau tato yang dianggap tidak bagus. Fungsi pribadi lainnya adalah sebagai pendapatan bagi narapidana yang mampu menato. Fungsi sosial tato adalah lambang kelompok, sarana sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu dalam kelompok, baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Abstract
This article describes about the developments of the motif s, meaning, and functions of the tattoo among the convicts and detainees in Yogyakarta since 1950s. The research respondents were the convicts and de tainees in the Socialization Institution of Class IIA Yogyakarta, ex-c onvicts, and tattoo artists who understood about the developments of tattooing in Yogyakarta. The Motifs of tattoo among the convicts and deta inees were flora, fauna, people portraits, horror, tribal tattoo, heart iconics, typography, biohazard and biomechanical, also still life. There were two appearances of the motif, standed alone and mix motifs. Each motif had particular meaning. The tattoing technique used simple equipment as wool, needle, and norit (a brand of stomach-ache medicine) and mechanical tattoo machine. Tattoo and tattooing activities among the convicts consist of two major functions, in dividual and social. As indivi dual function, tattoo is an artwork. In this term, tattoo has a function as the expression of experiences, included as a reminder of specific experiences and body decoration. Others as a religious expression, therapy and relaxation, talisman, sex appeal, self-protection and to cover up the wounds and other tattoo which were not good. Another individual function was job opportunity for anyone who had ability in tattoing. The social function of tattoo was as a group symbol, a medium of socialization and enhancing individual self-confidence in the group either inside or outside the Socialization Institution.
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Universitas Kristen Petra. Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra. Fakultas Seni dan Desain], 2010
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cons. Tri Handoko
Abstrak :
Tulisan ini menjabarkan tentang perkembangan tato ditinjau dari aspek motif, makna, maupun fungsinya di kalangan narapidana di Yogyakarta sejak tahun 1950an. Narasumber adalah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta, mantan narapidana, dan seniman tato yang memahami seluk beluk perkembangan tato menato di Yogyakarta. Motif tato di kalangan narapidana meliputi tumbuhan, binatang, potret manusia, horor, tato tribal, ikon hati, tipografi, biohazard dan biomechanical, juga alam benda. Tampilan motif tato ada dua, yaitu berdiri sendiri dan perpaduan beberapa motif. Setiap motif mempunyai makna tertentu. Teknis menatonya menggunakan peralatan sederhana berupa benang, jarum, dan norit (merek obat sakit perut) dan mesin tato mekanik. Tato dan kegiatan menato di kalangan narapidana mempunyai dua fungsi utama yaitu pribadi dan sosial. Fungsi pribadi berkaitan dengan tato sebagai karya seni. Dalam batasan ini, tato berfungsi sebagai ekspresi pengalaman hidup yang berfungsi juga sebagai pengingat akan peristiwa tertentu dan hiasan tubuh, sebagai ekspresi religiositas, terapi dan relaksasi, jimat, daya tarik seks, keamanan diri, serta untuk menutupi luka atau tato yang dianggap tidak bagus. Fungsi pribadi lainnya adalah sebagai pendapatan bagi narapidana yang mampu menato. Fungsi sosial tato adalah lambang kelompok, sarana sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu dalam kelompok, baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan.

This article describes about the developments of the motifs, meaning, and functions of the tattoo among the convicts and detainees in Yogyakarta since 1950s. The research respondents were the convicts and detainees in the Socialization Institution of Class IIA Yogyakarta, ex-convicts, and tattoo artists who understood about the developments of tattooing in Yogyakarta. The Motifs of tattoo among the convicts and detainees were flora, fauna, people portraits, horror, tribal tattoo, heart iconics, typography, biohazard and biomechanical, also still life. There were two appearances of the motif, standed alone and mix motifs. Each motif had particular meaning. The tattoing technique used simple equipment as wool, needle, and norit (a brand of stomach-ache medicine) and mechanical tattoo machine. Tattoo and tattooing activities among the convicts consist of two major functions, individual and social. As individual function, tattoo is an artwork. In this term, tattoo has a function as the expression of experiences, included as a reminder of specific experiences and body decoration. Others as a religious expression, therapy and relaxation, talisman, sex appeal, selfprotection and to cover up the wounds and other tattoo which were not good. Another individual function was job opportunity for anyone who had ability in tattoing. The social function of tattoo was as a group symbol, a medium of socialization and enhancing individual self-confidence in the group either inside or outside the Socialization Institution.
Universitas Kristen Petra. Fakultas Seni dan Desain, 2010
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Caca Syahroni
Abstrak :
Penelitian ini membahas strategi komunikasi dalam program pengembangan Akuntabulitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada instansi birokrasi pemerintahan, bail( Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kerangka penelitian ini rnengacu pada Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang AKIP yang berorientasi pada upaya menciptakan pola pertanggungjawaban pejabat pemerintah yang bersih, sehat, dan bertanggungjawab. Secara hukum, Inpres ini merupakan amanat dari TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas -KKN. Pemahaman dan pelaksanaan Sistem AKIP dan Laporan AKIP di lingkungan pemerintah dapat rnempercepat proses good governance yang sedang dikembangkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendukung program pengembangan Sistem Akuntabulitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah rnelalui kegiatan sosialisasi yang dilakukan kepada instansi pemerintah dalam upaya mendulcung penyebaran ide baru di bidang akuntabilitas kinerja pemerintah. Beberapa konsep yang digunakan di sini adalah konsep dasar komunikasi dan strategi komunikasi, konsep komunikasi organisasi, serta konsep difusi inovasi dalam organisasi. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Satuan analisis yang digunakan adalah single case-multi level analysis dengan tujuan untuk menyediakan pengertian yang mendalam tentang program AKIP. Untuk itu penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai strategi komunikasi yang digunakan dalam Sosialisasi dan Asistensi Sistem AKIP. Level analisis yang digunakan adalah multi level analysis di mana obyek analisisnya individu sebagai anggota organisasi yang mendapatkan sosialisasi Sistem AKIP dan organisasi sebagai pihak yang melakukan sosialisasi tersebut. Maka metode penelitian yang akan penulis gu_na.kan adalah penelitian kualitatif deskriptif, dengan memaparkan, menuturkan, menafsirkan dan menganalisis data yang ada. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang dilakukan oleh LAN dalam kerangka Sosialisai dan Asistensi AKIP memilih menggunakan saluran komunikasi interpersonal. Pilihan saluran komunikasi interpersonal ini dipandang lebih persuasif dibandingkan dengan menggunakan saluran media massa. Saluran komunikasi interpersonal sudah tepat dan mencapai pada sasaran yang dituju, berupa dipahaminya materi-materi AKIP oleh peserta. Melalui saluran ini, terjadi interaksi langsung antara Tim Fasilitator LAN dengan peserta, yaitu pejabat-pejabat baik di lingkungan Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/kota. Namun demikian, kurangnya perhatian LAN atas saluran media massa menyebabkan Sosialisasi dan Asistensi AKIP bersifat internal dan hanya ditujukan pada institusi pemerintah semata. Akan jauh lebih baik bila pemanfaatan media massa tetap diperlukan sebagai saluran yang bersifat massal dan dapat menyampaikan pesan dalam jumlah yang besar dan bagi pengirim pesan (LAN) merupakan upaya yang efisien namun terarah. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa strategi komunikasi yang digunakan oleh LAN lebih menitikbertakan penggunaan saluran komunikasi interpersonal bila dibandingkan dengan pemanfaatan saluran rnassa. Karena itu, secara praktis penelitian ini merekomendasikan bahwa strategi komunikasi hares ditekankan pada keseimibangan pada penggunaan saluran interpersonal dan saluran melalui media, sehingga program SAKIP dan LAKIP tidak hanya fokus pada birokrasi pemerintah, tetapi bersifat luas baik bagi coorporate (perusahaan), NGO, Orrnas, Ormawa, Orsopol, dan sebagainya. Sedangkan secara akadernis, penelitian ini merekomendasikan bahwa kajian Komunikasi Organisasi dalam penelitian ini dapat menjadi khazanah sekaligus rujukan dalam menjelaskan fenomena organisasi modem yang kini telah mengalami banyak perubahan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library