Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yanuarius Koli Bau
Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2009
306.959 8 YAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1970
307.6 LEM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Freddy Waibusi
Abstrak :
Pendahuluan
Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan perlu diatur dalam wadah-wadah yang tepat. Salah satu wadah yang dimaksud adalah Koperasi Unit Desa (KUD). Dikemukakan dalam GBHN bahwa KUD adalah "wadah kegiatan ekonomi rakyat, yang diusahakan agar memiliki kemampuan menjadi badan usaha yang efisien dan menjadi gerakan ekonomi rakyat tangguh dan berakar dalam masyarakat (1993.71)".

KUD sebagai badan usaha perlu mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya nasional maupun regional untuk memajukan kesejahteraan ekonomi anggotanya_ KUD harus diberikan kesempatan seluas-luasnya berperan dalam pembangunan, untuk memeeahkan ketidak selarasan ekonomi di dalam masyarakat. Selain itu KUD merupakan langkah strategis dalam upaya memupuk pertumbuhan dan meningkatkan peranan serta tanggung jawab masyarakat golongan ekonomi lemah dalam kegiatan pembangunan.

Berbagai upaya pembinaan dan pengembangan KUD selama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tabun yarig ke satu (PJPT I) 1967-1994 meliputi: pendirian lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah lanjut atas (SHEA) sampai dengan perguruan tinggi (Akademi Koperasi) dan Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN). Dengan adanya upaya tersebut, baik berupa pendidikan formal maupun nonformal agar dapat mencetak kader-kader atau pemimpin-pemimpin yang tangguh dalam pengelolaan manajemen koperasi. Begitu pula tersedianya Bukopin akan mempermudah proses pelayanan pemberian kredit kepada manyarakat.

Namun semua upaya pembangunan ini, belum memberikan harapan yang cukup bagi bangsa Indonesia, terutama rakyat di pedesaan. Hal ini, terlihat selama PJPT Kesatu ditargetkan koperasi harus mencapai 50.000 buah, ternyata baru mencapai 36.542 buah yang terdiri dari 8.349 buah KUD dan 28.193 buah koperasi bukan HUD. Sedangkan jumlah anggota ditargetkan mencapai 50 % dari jumlah penduduk Indonesia, ternyata baru mencapai 15 % yaitu berjumlah 29.134.000 anggota yang terdiri dari kurang lebih 18.000.000 anggota KUD dan sejumlah 11.000.000 anggota bukan KUD (Anoraga. P, 1992:174).

Kendala pembangunan HUD ini disebabkan berbagai masalah, baik yang bersumber dari dalam koperasi sendiri maupun yang bersumber dari luar. Kendala-kendala itu antara lain: yang pertama berkaitan dengan aspek kelembagaan.dan yang kedua berkaitan dengan aspek usaha maupun yang ketiga berkaitan dengan aspek lingkungan (Repelita RI 1989-1994:340).

Keadaan dan pengalaman upaya pembinaan dan pengembangan koperasi secara nasional tersebut di atas yang berjalan sangat lamban ini, terasa juga di Propinsi Irian Jaya. Dilihat dari kondisi objektif Irian Jaya yang masih terbatas sarana transportasi, komunikasi dan ketertinggalan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya. Namun Pemerintah Daerah Irian Jaya dengan instansi terkait telah berupaya membina dan mengembangkan KUD ke daerah pedesaan.

Berbagai upaya pembinaan dan pengembangan yang dilakukan berupa: (a) pelatihan kepemimpinan koperasi, bagi beberapa anggota yang akan menjadi kader-kader KUD; (b) pelatihan anggota pengelolaan manajemen keuangan (bendaharawan) koperasi; (c) pembangunan sarana berupa gedung kantor, gudang, pertokoan, gedung pasar koperasi yang bersifat semi permanen dan permanen; (d) pemberian unit kendaraan roda empat kepada KUD untuk memperlancar terangkutnya hasil-hasil pertanian dari desa ke pasar; dan (e) pemberian modal berupa kredit kepada para anggota koperasi :

Sejak Repelita I sampai-dengan Repelita V, Daerah Irian Jaya ditargetkan 554 buah koperasi secara kuantitatif. Namun pada kenyataan koperasi yang didirikan hanya mencapai 275 buah, yang terdiri atas 74 buah KUD dan yang bukan KJD 140 bush_ Sedangkan keanggotaan KUD-nya berjumlah 12.629 orang dan yang bukan anggota KUD sejumlah 42.631 orang (Repelita Irian Jaya 1989-1994:196).

Ketidaktercapaian target tersebut di atas, disebabkan oleh tiga permasalahan sebagai berikut: yang pertama, berkaitan dengan aspek kelembagaan yang meliputi: (1) pembinaan di bidang organisasi, tatalaksana dan pengawasan; (2) pembinaan para anggota KUD agar membentuk dan mengembangkan unit usaha baru, (3) pembinaan penyelenggaraan latihan, penataran dan penyuluhan bagi pengurus.

1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Saut Raja Hamonangan
Abstrak :
PENDAHULUAN Budaya Indonesia dalam perwujudannya menunjukkarn keanekaan yang, antara lain, tampak dalam kehidupan bahasa dan sastranya. Di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, terdapat pula bahasa dan sastra daerah yang merupakan sumber memerkaya budaya nasional. Dengan tetap mempedulikan keanekaan bahasa dan sastra itu, usaha mencari dan menemukan hal-hal yang menunjukkan kesatuan dalam keanekaan juga perlu dilakukan secara berkesinambungan. Upava ke arah itu perlu ditempuh melalui penelitian budaya kita, seperti bahasa dan sastra agar dapat dikenal dan dipahami dengan baik. Selain itu, pengetahuan tentang kebahasaan dan kesastraan itu harus pula dapat diketengahkan ke dalam pergaulan antarsuku sehingga terjadi pengenalan dan pemahaman terhadap hal-hal yang sebelumnya tidak dikenal atau hanya dikenal terbatas oleh suatu masyarakat saja. Dengan cara itu, diharapkan timbul rasa menghargal dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, memahami , mencintai , dan memiliki bersama berbagai aspek budaya itu akan mengukuhkan kita sebagai suatu bangsa, yang pada saatnya diharapkan mampu melahirkari karya-karya, antara lain, dengan modal budaya hangsa sendiri (Rusyana dkk. , 1987:1-2). Sastra lisan di Indonesia sebagai kekayaan sastra juga merunakan modal budaya bangsa. Sebagaimana dikemukakan oleh Robson (1972:91, sastra lisan - dapat menjadi alat untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suatu suku atau bangsa yang empunya sastra itu. Bahkan, hingga sekarang menurut Charles Winick dalam Rustiana, 1975:125), sastra lisan itu mengandung kehidupan yang terus-menerus mempunyai nilai kegunaan dan masih terdapat dalam budaya masa Wellek dan Warren (1989:48) juga menyebutkan bahwa sastra lisan erat tautannya dengan sastra tertulis. Dengan demikian, sastra lisan, dalam hal ini sastra lisan daerah, yang dewasa ini dianjurkan oleh Pemerintah perlu semakin ditingkatkan penelitiannya agar kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan. Dalam kenyataan pada umumnya masyarakat Indonesia dewasa ini kurang memperlihatkan kepeduliannya mengenai segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang bersifat pribumi, termasuk sastra lisan dan sastra lama, kondisi seperti itu, menurut Ikram (1976:7-9), hendaknya tidak sampai berlarut-larut. Penggalian serta pengenalan sastra atau kekayaan tradisional itu jangan sampai ditangguhkan. Sastra daerah Ratak Toba, sebagai salah satu di antara sastra-sastra daerah di Indonesia, perlu digali dan diselenggarakan menelitiannya secara lebih sungguh-sungguh . Penelitian sastra dalam hal ini hendaknya tidak berarti hanya melakukan inventarisasi (prescriptive), tetapi juga meliputi pengolahan dan penyebarannya. Pengolahan yang dimaksud, antara lain mencakupi usaha dan penyusunan hasil transliterasi, transkripsi, terjemahan, dan penganalisisan karya sastra itu sendiri. Dengan menganalisis struktur akan diketahui bagaimana karya sastra itu diwujudkan dan hasil analisisnya dapat digunakan untuk membantu pembaca dalam mengapresiasi. Dalam kaitan itulah, puisi rakyat Ratak Toba, khususnya umpasa (Baca uppasa) perlu digali dan dimanfaatkan. Upaya penyelamatan umpasa ini bertalian pula dengan kurangnya minat generasi muda dan langkanya penelitian yang pernah dilakukan (lihat Sarumpaet, 1988).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
Abstrak :
Masalah utama yang dihadapi penduduk desa Barongan kota Kudus dalam mewujudkan lingkungan hidup yang bersih selain bersifat material mencakup pula bahwa, interaksi pemerintah dan masyarakat belum mencerminkan suatu keterpaduan. Pemerintah setempat yang berusaha menerapkan inovasi kebersihan modern yang berasal dari negara maju sebagai acuan, kurang memperhatikan sifat urban kita yang sudah terbiasa mengelola sampah rumah tangga secara tradisional. Perbedaan kerangka acuan tersebut akhirnya menghambat terciptanya sikap tanggung jawab masyarakat pada kebersihan rumah tinggal secara nyata. Oleh karena itu pengkajian sikap masyarakat pada kebersihan rumah tinggal dan kaitannya dengan inovasi penanggulangan sampah sebagai bagian dari pembinaan kebersihan lingkungan pemukiman menjadi hal yang penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan pelaksanaan, kecenderungan sikap masyarakat dalam kebersihan lingkungan rumah tangga,faktor sosial budaya yang mendominasi perilaku mereka terhadap sampah dan kategorinya, serta mekanisme sosial yang berkembang, sehubungan dengan program penanggulangan sampah yang diinovasikan. Penelitian ini dilakukan di desa Barongan, kota Kudus, dengan sample 80 keluarga (ibu rumah tangga dan atau didampingi suami), sebagai responden yang dipilih secara acak stratifikasi, pada 3 RW. Metode yang digunakan adalah diskriptif, teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan dibantu kuesioner serta studi kepustakaan. Hasil temuan dari penelitian ini adalah: diketahuinya bentuk inovasi kebersihan pada lingkungan hidup kota yang berpenduduk heterogen sosial budayanya, dengan pelayanan sampah sistem modul. Pelaksanaannya dengan melibatkan masyarakat dalam penyuluhan kebersihan, pewadahan sampah, membayar iuran kebersihan serta mendapat pelayanan pengambilan dan pengangkutan sampah dari tiap rumah tinggalnya. Mereka sebelumnya telah didominasi oleh pengetahuan, kepercayaan, kebiasaan, kesempatan dan keputusan membuang sampah dan limbah rumah tangga secara tradisional (dimasukan ke dalam lubang pekarangan sekitar rumah, dibakar dan ditimbun tanah, serta ke comberan). Kecenderungan sikap mereka, menyatakan persetujuannya terhadap gagasan baru tentang penanggulangan sanpah, kecuali menegur pada orang yang buang sampah sembarang tempat,masih relatip lemah. Mekanisme sosial yang terjadi tampak kurang lampu merubah perilaku kebersihan yang lama dalam kelola limbah rumah tangga, karena terdapat kelemahan perangkat inovasi (materi kurikulum, kadar penyuluh, peserta), sehingga akhirnya kurang tercipta disiplin warga pada ketentuan inovasi. Walaupun begitu, mereka telah memiliki sedikit pengetahuan inovasi kebersihan modern. Praktek buang sampah rumah tangga tradisional digeser dengan pelayanan sampah sistem modul. Dengan demikian kuat lemahnya penerimaan masyarakat terhadap inovasi kebersihan penanggulangan sampah, berhubungan dengan kesempurnaan komponen program dan tingkat kompleksitas psikologi,sosial dan budaya dalam masyarakat. Selanjutnya tahapan yang terjadi pada proses penerimaan dan penolakan dalam rejection-adoption theory berlaku pula pada masyarakat bersangkutan.
The man problem faced by the inhabitants at Barongan village Kudus city, in creating clean environmental surroundings is that, besides of non-material reasons, the interaction between the government and community, has not shown good coordination. The local government which tries to implement modern innovative environment cleanliness practices from developed countries as from of reference does not give enough consideration of local custom in overcome garbage traditionally. The difference in the two frame of reference in turn, hinders the implementation of sense of respons ability on part of inhabitants in creating clean household environmental. Therefore, studies on the attitudes of the society on home cleanliness in relation to wastes overcome innovation as part of building hosehold environmental cleanliness becomes prominent. The objective of this study is to know the patterns, implementatlon and tendency of social attitude is home environmental cleanliness, social-cultural factors dominating their behaviours towards wastes and their categories,and developing social mechanism in relation to innovative waste overcome / management programmes. This study is done at Barongan village, Kudus city, with sample of 80 household ( house-wives, either accompanied by their husbands or bs them selves) as respondents chosen with stratified random, at three RW' s. The method which is used is discriptive, and the techniques used in collecting the data are depth-interviews, questionairs, and literary studies. What have been found in this study are pattern of home environmental cleanliness programme implemented in a small town with heterogeneous social-cultures with modullar garbage services. The implementation includes the involvement of the inhabitants in spreading information on the importance of clean environment, putting garbage into containers,contributing cleanliness fund and getting garbage-taking-away services from every home. They were previously influenced by knowledge, belieĀ£, customs, opportunities and decisions on throwing away hone waste and sewage traditionally (put into square holes in the ground around the houses, burned, and covered with soil and open sewage ditch). They tend to agree at the new ideas wastes management, but the practice on warning on other who throw garbages not provided repositories is relatively weak. Social mechanism does not seem to change old cleanliness practices on overcome domestic waste. Because of the weaknesses in the innovative package (syllabi, staff, participants). As a result the inhabitants have not been fully committed to the innovative movement. Nevertheless,the have got some knowledge on modern way of keeping the environment waste have been seplaced by modular waste services. Thus, weather or not the society has the full commitment to the inovative way of wastes overcome has much to do with the perfectness of the innovative program components and the levels of complexities of the psychological-social-cultures of the society.Then, stages in the processes of adoption-rejection theory is also true to the above-mentioned society.
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Partrijunianti Gularso
Abstrak :
ABSTRAK
Pada tahun 1981, Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah No.43 th 1981, dan dalam kurun waktu 18 tahun, Depok menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1999 berdasarkan UU No 15, atas dasar tuntutan dan aspirasi masyarakat maka Kotif Depok diangkat menjadi Kodya Daerah Tk II Depok dan ditetapkan pada tgl 20 April 1999.Perkembangan kota Depok semakin pesat dan meluas ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya.Pembangunan perumahan, pembangunan perkantoran, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, pembangunan pasar tradisional semi modern, dan bermacam-macam pembangunan pelayanan umum dilaksanakan hampir di seluruh wilayah secara bersamaan. Dengan semakin meluasnya perkembangan pembangunan di segala bidang, sudah barang tentu membutuhkan lahan untuk mengaktualisasikannya.Lahan penduduk kampung yang semula merupakan lahan pertanian, dan perkebunan buah-buahan, menjadi menyusut karena dijual untuk kepentingan tersebut.Kondisi ini berdampak pada terjadinya suatu perubahan di berbagai aspek kehidupan penduduk kampong Rawakalong yang mengaku dirinya sebagai orang Betawi di wilayah Kodya Depok. Mereka kemudian mengubah pekerjaannya semula sebagai petani, menjadi pekerjaan lain di sector informal seperti bekerja sebagai tukang ojek, srabutan, tukang bangunan, dan pemilik rumah petak yang disewakan. Pekerjaan di sector informal tidak memberikan penghasilan tetap dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga, dan mereka merespons kondisi ini dengan cara adaptif dimana para suami mengijinkan isteri mereka untuk bekerja di luar rumah dengan beberapa syarat yang tidak jauh menyimpang dari kebudayaan mereka. Dan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh para perempuan di kampung ini adalah sebagai pekerja rumahtangga. Bentuk respons lainnya terjadinya konflik antara pasangan suami dan isteri karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Konflik yang berkepanjangan bisa berakhir dengan suatu perceraian, dan kemudian terjadi perkawinan baru dengan perempuan lain. Oleh karena itu kawin?cerai menjadi suatu hal yang biasa terjadi di kampong ini. Untuk memperoleh data penelitian dilakukan penelitian kualitatif, terhadap beberapa orang informan yang bisa mencakup berbagai usia dan status perkawinan dengan cara observasi, wawancara mendalam dan menggunakan pengalaman hidup mereka (life history method).
ABSTRACT
In 1981, the government established the Administrative Town of Depok through Government Decree No.43 of 1981, and within 18 years, Depok showed considerable development. In 1999, based upon Legislation No.15 as well as the aspirations of its citizens, the Administrative Town of Depok was elevated to the Regional Municipality of Depok on April 20, 1999. The rate of development of Depok increased and spread to the surrounding areas. The development of housing, office complexes, retail centers, semi-modern traditional markets, and other public service facilities went underway almost at once throughout the area. The increase in growth and development in every area required space. Land held by kampong residents that was previously utilized as farmland and orchards decreased in area through their sale for development projects. The impact took the form of change in many aspect of life among the people of the kampong of Rawakalong,who identify themselves as Betawi of the Municipality of Depok. The people left their farmwork for other occupations in the informal sector, such as motorcycle taxis (ojek ), construction work, and tenement leasing. Work in the informal sector does not provide a steady income, nor does it cover family needs, and their response is adaptive. Husbands allow their wives to takes jobs outside the home, under certain conditions that do not break from their cultural norms. The job must often sought by the women of the kampong is as domestic help. Another response involves conflict between spouses, due to an inability to adapt to the changes occurring . A prolonged conflict may end in divorce, which may lead to re-marriage. Thus divorce and re-marriage has become common in this kampong. Data was collected through qualitative research among informant of varying age and marital status, with observation, in-depth interviews and the use of the life-history method.
Depok: 2012
D1305
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjito Sosrodihardjo
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001
306 Soe a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1991
306.089 TAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Seward, Jack
Tokyo : Lotus Press, 1983
915.21 SEW j (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A. Kadarmanta
Abstrak :
Issues on socio-culture, public policy, integration, and nationalism in Indonesia; collected articles
Jakarta: Forum Media Utama, 2008
320.9 KAD a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>