Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mira Indrayani
Abstrak :
Secara garis besar, proses perubahan penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor universal seperti pertumbuhan penduduk, urbanisasi, industrialisasi dan lain-lain. Sebagian besar penduduk dunia diramalkan akan menempati wilayah perkotaan. Oleh karena itu penting untuk rnengetahui pola perubahan penggunaan lahan perkotaan. Wilayah penelitian yang diambil adalah Kotamadya Jakarta Selatan, dengan alasan bahwa Jakarta Selatan menurut Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010, sebagian wilayahnya diperuntukkan sebagai konservasi resapan air. Akhir-akhir ini wilayah DKI Jakarta semakin rawan banjir, hal ini disebabkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasannya. Sebagai kawasan resapan air, Kotamadya Jakarta Selatan harus benar-benar dijaga agar pemakaian lahannya sesuai dengan fungsi kawasan. Tujuan penelitan tesis ini adalah untuk melihat pada perubahan penggunaan lahan dan mengestimasi faktor-faktor penyebab terjadinya ketidaksesuaian lahan. Metode yang digunakan adalah Sistem Informasi Geografis untuk mendapatkan gambaran grafis yang akurat, serta analisa statistik regresi berganda untuk mengestimasi faktorĀ¬-faktor penyebab ketidaksesuaian penggunaan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas penggunaan tanah perumahan, tanah perusahaan dan tanah industri. Sedangkan tanah jasa dan tanah tidak ada bangunan bertambah luas penggunaan lahannya. Hal ini men gindikasikan bahwa Kotamadya Jakarta Selatan saat ini cenderung terjadi peningkatan kegiatan di bidang jasa, seperti yang ditunjukkan dalam PDRB dimana sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB, yaitu sebesar 27% dan 23,8%. Kondisi lahan eksisting dikaitkan dengan RTRW 2010 ternyata 40% penggunaan lahannya tidak sesuai, dan terjadi ketidakkonsistenan antara rencana tata ruang dengan penggunaan lahan. Ketidaksesuaian lahan didominasi oleh peningkatan perumahan tidak teratur. Kondisi ini jka tidak segera diantisipasi akan mengakibatkan rusaknya lingkungan, seperti banjir, kemacetan lalu lintas, ketidaknyamanan, dan lain-lain. Hasil estimasi dengan regresi berganda menyatakan bahwa variabel jenis-jenis penggunaan lahan, pertumbuhan penduduk, penduduk yang datang serta harga tanah (NJOP) mempengaruhi ketidaksesuaian penggunaan lahan. Usulan kebijakan bagi Pemerintah adalah peningkatan peran Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator kegiatan pembangunan dalam rangka upaya pencapaian tata ruang yang ideal sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah, meningkatkan law inforcement, dan mengikutsertakan masyarakat supaya turut serta meningkatkan penggunaan lahan yang optimal.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqi Fakhriza Mudhoffar
Abstrak :
Ruang festival memiliki peran integral dalam berbagai aspek keberlangsungan suatu kota baik secara tangible dan intangible. Ruang-ruang ini merupakan evidence akan narasi historis yang menjadi akar identitas dan kultural dari kota serta masyarakatnya. Pada ruang festival di Sungai Cisadane Kota Tangerang, ruang festival menjadi bukti kemunculan Kota Tangerang yang diinisiasi oleh sungai dan aktivitas di sekitarnya. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Tangerang, ruang festival di Sungai Cisadane telah menjadi ruang afirmasi nilai kultural, negosiasi sosial, serta wujud kendali oleh kuasa dari waktu ke waktu. Namun bagaimana kejelasan spesifik serta sebab akibat dari pergeseran peran ini masih perlu untuk diekspos secara menyeluruh. Penelitian ini menelusuri apa dan bagaimana hubungan antara festival dan sejarah suatu kota secara umum, serta bagaimana kemudian perubahan dari ruang-ruang festival ini terjadi dalam konteks perkembangan kota. Dalam kondisi kontemporer kota, ruang festival dominan menjadi target komodifikasi kota untuk kepentingan tertentu sehingga autentisitas menjadi isu utama dari Tesis ini. Dengan melihat ruang festival sebagai ruang pusaka, Tesis ini mendemonstrasikan bagaimana ruang festival di Sungai Cisadane merupakan ruang integral pada Kota Tangerang yang mampu membentuk identitas kultural Kota Tangerang serta memungkinkan inovasi dan perkembangan kota ikut hadir. ......Festival space has an integral role in various aspects of city history and its sustainability whether tangible or intangible. Furthermore, these spaces are evidence of the city and its community's historical, identity and cultural narrative. In the festival space of Cisadane River of Tangerang City, the festival space is the evidence for Tangerang Cits formation initiated by the river with the existence of various activities surrounding it. Following the development of Tangerang City, the festival space rove have shifted into a space of cultural affirmation, social negotiation, and act of ruling power throughout the times. This research explores the whatness and howness of these festival spaces in Tangerang City appears and relate to the city history and development with its shifting roles. In the city's contemporary condition, these festival spaces tend to be a target for city commodification for a specific purpose whereas then the authenticity of the festival spaces became the main concern. By seeing the festival spaces as a liminal and performative space, this Thesis demonstrates how the festival space in Cisadane River are an integral part of tangerang city which is capable of creating and preserving Tangerang cultural identity while also allowing innovation and development.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Maya Saputri
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang representasi kota dalam sebuah film sebagai ruang sinematis sehingga kita dapat melihat kota dengan cara yang berbeda melalui film. Sebagai ruang sinematis, kota menjadi sebuah ruang yang ada di dalam film dan digunakan sebagai latar tempat yang memiliki unsur fisik dan intrinsik. Selain itu, terdapat hubungan geografis antar unsur fisik yang ada di dalamnya dan tandatanda yang menuntun penonton merasakan pengalaman ruang secara sinematis. Dengan menggunakan dua studi kasus, yaitu film Laskar Pelangi dan Nagabonar jadi 2 maka terlihat perbedaan representasi kota yang ditampilkan. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan unsur fisik dan intrinsik serta kehadiran karakteristik film setelah masa orde baru yang secara langsung terkait dengan kondisi sosialekonomi saat dua film tersebut diproduksi (2007-2008).
This thesis discusses the representation of city in film as a cinematic space, so that we can see a city in a different way through the film. As cinematic space, city become a space in film and it?s used as backround which has physical and intrinsic elements. In addition, there are geographic relationships between the physical elements on it and signs which lead the spectators to feel the cinematic experience. By using two case studies, Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) and Nagabonar jadi 2, there is a difference of representation of the city on screen. It is caused by a difference of physic and intrinsic elements and also the appearance of film?s characteristic after New Order period which directly has a relationship with socio-economic condition in Indonesia when that films are produced (2007-2008).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43307
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Salsabila
Abstrak :

Penelitian ini berfokus pada segregasi permukiman kota di Indonesia di era Pasca-Reformasi yang menghasilkan ketimpangan akses pada masyarakat kota. Penelitian ini bertujuan menelaah dampak perencanaan kota yang timpang terhadap produksi ruang kota yang segregatif. Penelitian ini menemukan bahwa segregasi permukiman kota menghasilkan masalah ketimpangan akses, marjinalisasi penghuni kota, hingga absennya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan kota. Metode yang digunakan adalah Neo-Marxisme, dengan produksi ruang sebagai basis teori. Artikel ini berargumen bahwa perencanaan kota memproduksi permukiman segregatif yang bertendensi mengawasi dan mendisiplinkan masyarakat kota. Perencanaan kota yang bertumpu pada kepentingan pemodal dan pemerintah menyebabkan permukiman kota dibangun dengan motif-motif kapital yang membentuk representasi kota yang ideal. Perencanaan tersebut memunculkan berbagai permukiman elit bagi masyarakat kelas atas yang diproduksi dengan gentrifikasi. Segregasi dikukuhkan dengan pendisiplinan dalam kota lewat berbagai bangunan dan pengawasan dari aparatus. Akibatnya, terjadi ketimpangan akses terhadap fasilitas, ruang publik, dan hak yang dirasakan oleh masyarakat kelas bawah. Untuk mengatasinya, hak atas kota dapat digunakan untuk memaksimalkan hak partisipasi masyarakat kota tanpa memandang status sosial dan ekonomi mereka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan pengaruh perencanaan kota dalam memproduksi permukiman segregatif yang dapat diatasi dengan pengupayaan hak atas kota.


This study focuses on the unequal access to urban communities caused by the segregation of urban settlements in Indonesia during the Post-Reformation era. The purpose of this study is to investigate how unequal urban planning contributes to the creation of segregated urban space. This study found that the segregation of urban settlement resulted in problems of access inequality, citizen marginalization, to the absence of community involvement in urban planning and development. Neo-Marxism, with space production as its theoretical underpinning, is the methodology applied. According to this article, urban planning results in segregated communities that tend to monitor and control urban communities. Urban settlements are constructed with capital themes that create an ideal picture of the city when urban planning is based on the interests of investors and the government. The plan resulted in the creation of a number of elite communities for upper class society, which were segregated by gentrification. Discipline in the city with enforced by numerous buildings and apparatuses, emphasized segregation. As a result, the lower class experiences a disparity in access to resources, public areas, and rights. This problem can be solved by maximizing the participation rights to the city, despite their socioeconomic standing. The findings of this study show how urban design influences the development of segregated communities, which can be overcome by pursuing the right to the city

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna Kumar
Abstrak :
Bertambahnya luasan fisik kota membawa konsekuensi berkurangnya luasan RTH. Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi pada gilirannya akan memacu perubahan penggunaan lahan di berbagai bagian wilayah kota. Bekerjanya mekanisme pasar akan menyebabkan sebidang lahan yang memiliki kualitas bagus atau jarak relatif dekat dengan pusat pertumbuhan akan dapat berubah penggunaannya sesuai dengan nilai sewa lahan yang lebih tinggi. Pergeseran penggunaan lahan dapat terjadi pada hamparan lahan yang relatif datar maupun yang memiliki kelerengan curam. Selama kurun waktu lima tahun (1996-2000) di kota Depok luas penggunaan lahan untuk permukiman, jasa, perusahan, dan industri masing-masing telah bertambah 1324 hektar, 38 hektar, 97 hektar, dan 154 hektar. Di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, luas penggunaan lahan yang memiliki fungsi RTH seperti tegal/kebun, dan hutan masing-masing telah berkurang seluas 79 hektar, dan 8 hektar (BPS 1996-2000; Dinas Pertanian dan Perkebunan 1996-2000; serta BPN 1996-2000). Suatu contoh dengan terjadinya perkembangan jumlah kendaraan bermotor. Pada tahun 2001 jumlah pemilikan kendaraan bermotor di Kota Depok mencapai 104.473 unit, sedangkan pada tahun 1999 jumlah pemilikan kendaraan bermotor adalah 94.294 unit, sehingga pada kurun waktu tiga tahun di Kota Depok pemilikan kendaraan bermotor meningkat sebanyak 10.129 unit atau sebesar 10,74 % (BPS 1999-2001). Pertambahan pemilikan kendaaan bermotor membawa konsekuensi dibutuhkannya areal bervegetasi (RTH) yang lebih luas untuk meredam kebisingan, debu, meningkatnya suhu, dan polusi logam berat. Perkembangan kota ternyata telah banyak mengorbankan ruang terbuka hijau (RTH), dan hal ini merupakan masalah serius karena kecenderungan pembangunan kota pada masa kini yang berkonotasi meminimalkan RTH dan menghilangkan wajah alam. RTH adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. Penelitian penataan ruang sebagai dasar pengelolaan lingkungan ini melihat arah konversi lahan yang terjadi di kota Depok dalam kurun waktu lima tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2000. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan mencari penjelasan kondisi RTH di Kota Depok: yaitu dengan cara mempelajari perkembangan realisasi arahan alokasi RTH di Kota Depok berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan menghitung kondisi keberadaan RTH yang ada. Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut, di bawah ini: 1. Arahan lokasi RTH di Kota Depok diduga telah mengalami peyimpangan sehingga sulit untuk direalisasikan. 2. Selama selang waktu lima tahun yaitu dari awal tahun 1996 - 2000 pertumbuhan kota diduga telah mengorbankan keberadaan RTH dengan pola konversi yang tidak menguntungkan pelestarian RTH Kota. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dan deskriptif, dengan menggunakan data sekunder. Pendekatan analisis yang dilakukan untuk pemecahan masalah yang digunakan dua pendekatan yaitu secara analisis normatif dan analisis kuantitatif. Analisis normatif dilakukan dengan melihat perkembangan alokasi dan kondisi keberadaan RTH dengan peraturan perundangan Inmendagri No.14 Tahun 1988 dan Kepmen PU No. 378/Kpts/1987. Untuk analisis kuantitatif dilakukan dengan pendekatan analisis Shift and Share. Pendekatan analisis ini dilakukan untuk melihat kecenderungan konversi lahan dari data sekunder yang telah dikumpulkan dari berbagai instansi. Analisis ini mempertimbangkan penggunaan lahan dalam dua titik waktu, dan mempunyai unit analisis wilayah administratif kecamatan yang selanjutnya akan dibandingkan dengan kota. Berdasarkan hasil dan pembahasan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah: 1. Pengelolaan RTH kota secara berkelanjutan membutuhkan dukungan instrumen produk rencana tata ruang, peraturan perundangan, dan praktik pengelolaan yang baik dan konsisten. Perbaikan ke-tiga instrumen dilakukan dengan menjadikan pokok-pokok pikiran dan skala prioritas pengelolaan RTH hasil penelitian sebagai bahan penyempurnaan. Alokasi RTH kota yang relatif luas, ternyata telah mengalami penyimpangan yang relatif serius di beberapa kawasan kota. Penyimpangan terhadap alokasi RTH pada kawasan konservasi sangat mengkhawatirkan, khususnya di kawasan sempadan sungai; hutan cagar alam dan hutan lindung. Risiko berkurangnya kawasan konservasi lebih lanjut perlu segera dihindari, karena akan dapat merusak fungsi lindungnya. Seperti Taman Hutan Raya Pancoran Mas keberadaan hutan raya ini harus dipertahankan keberadaannya. Konversi RTH di seluruh kecamatan sebagian besar menjadi kawasan hunian warga kota. Konversi RTH pada kecamatan yang berlokasi dekat dengan pusat pertumbuhan tidak lagi bersifat dominan. Penyebab terjadinya pola tersebut karena kecamatan yang berlokasi dekat pusat pertumbuhan sudah minim RTH, harga lahan di pusat pertumbuhan sangat mahal, dan lokasi hunian baru memiliki waktu tempuh relatif singkat ke pusat kota. Kecamatan Sawangan, dan Sukmajaya menjadi tujuan utama warga kota untuk bertempat tinggal. Pilihan hunian warga kota di Kecamatan Pancoran Mas, Beji, dan Cimanggis perlu diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang ketat untuk mempertahankan keberadaan RTH. 2. Pertumbuhan kota telah mengorbankan keberadaan RTH secara nyata, Sehingga dalam jangka panjang risiko tidak berlanjutnya keberadaan RTH dapat terjadi. Pola konversi RTH yang terjadi bersifat ekspansif dengan mengorbankan kawasan konservasi dan kawasan pengembangan terbatas. Fenomena tersebut memperkuat kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya. Konversi RTH di Kecamatan Pancoran Mas, Beji, dan Cimanggis perlu segera dikendalikan secara ketat, mengingat di ketiga kecamatan terkonsentrasi kawasan konservasi dan kawasan pengembangan terbatas. Mengingat sifat penelitian ini hanya bersifat deskriptif dan eksploratif, masih banyak hal-hal yang lain yang penting belum terungkap yang belum diteliti, dan mengingat pentingnya RTH dalam penataan ruang yang berkaitan dengan masalah lingkungan di perkotaan.
Space Structuring in Support of Environmental Management (The Study of Green Open Space of Depok City)The increasing of city physic enlargement brings the consequence of decreasing green open space enlargement. Of the same time population growth and economy activity will push the alteration of land utilization in several city areas. Functioning of the market mechanism will change the utilization of land that has good quality or has near distance with growth center can according to suitable higher land rent value. The alteration of land utilization can occur to spread out area which is relatively flat and has steep slope. During five years period (1996 - 2000) the land utilization in Depok for settlement, services, destruction and industry have been increased with 1324 ha, 38 ha, 97 ha, and 154 ha respectively. On the other hand, for the same period, the width of land utilization that has open space function such as garden, and forest has also decreased its amount to 79 ha, and 8 ha respectively (BPS 1996 -- 2000; Agriculture and Farming Agency 1996 -- 2000; and BPN 1996 - 2000). In the year of 2001 the total amount of vehicles in Depok city reach 104.473 units, and in the year of 1999 total amount of vehicle is 94.294 units, during 3 years period in Depok city the ownership of vehicle in Depok city are increasing 10.129 units or 10,74% (BPS 1999- 2001). The increasing of vehicle ownership brings the consequence of wider green open space requirement, which can reduce noise, dust, and temperature increase, and heavy metal pollution. The city development has brought much sacrifice for green open space, and they become serious problem because the tendency of city development for current condition can minimize green open space and eliminate nature visage. The green open space as vegetation community consist of tree and its association which grow in the city land and city surrounding, they have forms of stripe, spread or cluster (pile up) with the structure that imitate nature forest, and shape habitat which is possible to produce healthy, comfort and aesthetic environment. The research of space structuring as base of the environment management explain land conversion direction that occurs in Depok city during 5 years period 1996 - 2000. The objective of research is looking and learning the green open space condition in Depok city as follows: To learn development of realization for green open space allocation direction in Depok city based on regulation and to calculate the condition of green open space condition. The hypothesis of the research is: 1. The direction of green open space location in Depok city which is relatively wide has undergone deviation, so it is difficult to be realized; 2. During 5 years period 1996 - 2000 the city development has sacrifice rapid green open space existence and unprofitable conversion pattern has not given benefit to city green open space conservation. This is an explorative and descriptive research by using secondary data. The analysis approach to overcome problem uses approach such as normative and quantitative analysis. Normative analysis is implemented through watching allocation development and green open space existence condition base on regulation Ministry of Home Affairs Decree No. 14 year of 1988 and Ministry of Public Works Decree No. 378/Kpts/1987. Quantitative analysis uses the approach of shift and share analysis. This analysis approach is implemented to watch land conversion tendency based on secondary data which has been collected from several institutions. This analysis considers that land utilization at two time point, and has sub-district administrative area analysis unit which will be compared to the city.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 11048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safitri
Abstrak :
Setiap individu menggunakan ruang kota dengan cara yang berbeda. Begitu juga setiap lapisan dan golongan masyarakat menggunakan ruang kota dengan cara yang berbeda pula. Penyalahguna narkotika dan psikotropika bagian dari warga kota yang menggunakan ruang kota. Bagaimana karakteristik ruang yang mereka gunakan? Pertanyaan itu menyebabkan saya memutuskan untuk meneliti masalah ini. Agar mendapatkan karakteristik ruang untuk membeli dan mengonsumsi narkotika dan psikotropika di Jakarta, maka harus diketahui kognisi penyalahguna tentang ruang kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara tidak terstruktur, menggambar, dan mendeskripsikan ruang yang didapatkan dari tuturan informan. Informan kunci berasal dari pasien yang rawat inap di ruang detoksifikasi RSKO, RS Fatmawati. Kriteria informan adalah laki-laki, sudah mengonsumsi narkotika dan psikotropika lebih dari 5 tahun, berumur 16 - 36 tahun, dan dirawat lebih dari 3 hari (untuk menghilangkan ketegangan fisik dan psikis), dan mengonsumsi narkotika (heroin) dan psikotropika (sabu-sabu dan ekstasi). Dari hasil penelitian selama 1 bulan (Desember 2004) saya menemukan bahwa penyalahguna mampu mengingat kembali lokasi membeli narkotika dan psikotropika, yaitu (1) lokasi yang sama (tempat untuk membeli narkotika dari psikotropika selalu sama) (2) lokasi yang berpindah-pindah (tergantung kesepakatan antara penyalahguna dan bandar). Karakteristik lokasi yang sama berupa kawasan pemukiman golongan menengah-bawah, ada warung, tukang ojek, banyak jalan/gang, ruang umum, ruang kosong antar bangunan, dan ruang yang tersembunyi dari bangunan/mobil. Sedangkan lokasi yang berpindah-pindah terdapat ruang untuk menunggu, ada acuan (landmark), dan penyalahguna mudah mengawasi lingkungan di sekitarnya. Mereka mampu mengingat lokasi dan rute perjalanan menuju lokasi, lengkap dengan acuan, persimpangan, jalan, kawasan. Bila lokasi itu didatangi berkali-kali, ada kejadian yang memberikan kesan di lokasi itu, dan keinginan yang kuat untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika. Sedangkan lokasi yang hanya didatangi sesekali dan diantar oleh teman, mereka hanya mengingat kawasannya saja. Ruang yang digunakan untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika tergantung dari jenis zat, cara mengonsumsi, dan efek yang ditimbulkannya. Penyalahguna mengonsumsi di dalam rumah dan di luar rumah (ruang umum). Penyalahguna yang mengonsumsi di dalam rumah menggunakan ruang tertutup dan ruang terbuka. Penyalahguna menggunakan ruang untuk membeli dan mengonsumsi narkotika dan psikotropika, yang juga digunakan oleh bukan penyalahguna. Mereka menggunakan ruang umum dan menjadikan sarana dan fasilitas umum untuk tempat bertransaksi. Penyalahguna dapat memenuhi kebutuhannya untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika, bila mereka menjalin hubungan baik dengan bandar, keluarga, sesama penyalahguna, dan bukan penyalahguna. Jika membeli narkotika dan psikotropika untuk pertama kali, penyalahguna harus diantar oleh teman atau orang yang mengetahui keberadaan bandar. Konstribusi penelitian ini bagi pengelola kota adalah memberikan masukan dalam membuat program penangganan masalah penyalahguna narkotika dan psikotropika di ,perkotaan. Untuk perencana/perancang kota, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menata ruang kota.
Individuals look at urban spaces differently to one another and it is also (rue in the case of social stratifications and groups. Narcotic and psychotropic drugs abuse, on the other hand, arc one way the inhabitants of a city utilize the urban space. What is the characteristic of space used for such an illegal transaction? What is their cognition on such spaces? These are the main questions that leads me towards this research. My focus is on the aspect of cognition within those who either conduct illegal transaction on narcotic and psychotropic drugs or consume them while my ultimate main is to search tier the characteristic of spaces used for such illegal actions. This research employs qualitative approach using unstructured interviews with the informants to picture and describe the space in questioned. Key informants are male patients under treatment at detoxification ward of the RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat or Drug Addictive Hospital) Fatmawati. They have consumed narcotic and psychotropic drugs for at least 5 years and their ages are between 16 - 36 years old. They have been at the ward for more than 3 days to reduce their physical and emotional tension due to the consumption of narcotic (i.e.: heroin), and psychotropic, amphetamine (i.e.: sabu-sabu and ecstasy). Within 1 month of observation in December 2004, I have found out that these informants were able to recall locations they used to go for the drugs. These locations are either permanent or moveable according to the deal between them and the suppliers. The permanent locations are either housing complexes for low-income communities having many waning (kiosks) or the nearby tukang ojek (motorcycle taxis) or gang (narrow alleys), public areas, space between buildings and hidden places behind cars or buildings. The moveable ones are those that provide unseen waiting corners and a landmark where they may easily watch the surrounding. These informants were also able to recall the routes toward permanent locations along with references such as the crossroads, name of streets and areas whereas for the moveable locations they were able to remember the areas only. The places to consume are depending on the drugs, means of consuming and effects being experienced soon after taking the drugs. These may be taking place at homes or in public areas and in the case of outside consuming; they would use both of a close and open areas within physical and social terms of it. Deliberately, these informants even used common public areas for the transaction and consuming the drugs. The informants must have a good relation with the suppliers and other drugs addicts in order to get the drugs. including their families and those who are not addicted to drugs. However, they must be taken by particular person to meet the suppliers in their first acquaintance with narcotic and psychotropic drugs. This research contributes inputs to the Municipal Governments in tackling problems of illegal drugs trafficking and consuming in the respected cities. Town planners and urban designers. on the other hand, may take the result of this research as part of their consideration in conducting their professions.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library