Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Lumoindong, Yopie
"Pembangunan sekarang ini selain mempunyai dimensi pertumbuhan, juga mempunyai dimensi yang melihat pembangunan sebagai suatu proses transformasi yang mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam. Munculnya dimensi berkelanjutan ini dilatarbelakangi oleh mundurnya kearifan manusia dan keprihatinan umat manusia akan masa depannva sebagai akibat kurang berdayagunanya sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya alam yang sebaik-baiknya dan penggunaan teknologi bagi upaya berbagai pembangunan. Oleh Soerjani (I995:3) dikatakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan itu disebabkan oleh penggunaan teknologi yang mencemari diikuti oleh konsumsi yang berkelebihan, kebijaksanaan pembangunan yang kurang serasi, pertambahan penduduk yang cepat serta masalah kemiskinan.
Permasalahan dalam pembangunan pertanian dan lingkungan hidup di Sub DAS Jeneberang Hulu adalah masalah lahan kritis dan dampaknya terhadap produktivitas pertanian serta manajemen dari lahan kritis tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika agroekosistem dan mengembangkan suatu konsep pendekatan agroekosistem dalam pemaniaatan sumberdaya lahan. Tiga model digunakan untuk mengkaji dinamika agroekosistem lahan kering, yaitu: i) model analisis daya tahan ekologis;2) model analisis kapabilitas agroekosistem;3) model analisis stabilitas agroekosistem.
Daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu secara kualitas akan semakin menurun. diakibatkan "Indeks Bahaya Erosi" (IBE>1) (Hamer, 1982:46) telah mencapai pada tingkat "sangat tinggi/ekstrim". Dari hasil analisis bahaya erosi terlihat pada lahan tegalan dengan luas areal 831 hektar menimbulkan total erosi 121.655 ton/ha atau rata-rata 146,40 ton/ha/tahun dan lahan sawah dengan luas areal 1.283 hektar menimbulkan total erosi I05.667,60 ton/ha/tahun atau rata-rata 82.35 ton/ha/tahun.
Tingginya laju erosi tersebut disebabkan oleh, (1) pemanfaatan lahan kering tidak sesuai dengan kemampuan lahan terutama pada kawasan Unit Lahan IV (Desa Bulutana) dan Unit Lahan VII (Desa Kanreapia). masing-masing berada pada tingkat kemiringan lereng 25-40% dan >40%; (2) pemanfaatan lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu hanya ditujukan untuk mendapatkan produksi dan pendapatan usahatani tanpa tindakan-tindakan konservasi tanah yang tepat; (3) tingkat pemahaman dan tingkat keterampilan petani tenlang komponen-komponen teknologi konservasi tanah dalam mengendalikan laju erosi sangat terbatas.
Upaya pengendalian melalui program-program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah perlu mendapat prioritas utama dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Sub DAS Jeneberang Hulu. Pemanfaatan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan (land capability), terutama pada Unit Lahan VII (tingkat kemiringan lereng >40%) peruntukannya hanya untuk "kawasan lindung"", dengan desain agroekosistem yang menyerupai ekosistem alami yakni sistem agrosilvipasturral.
Kapabilitas agroekosistem dalam pemanfaatan lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu telah meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Mereka berada di atas "garis kemiskinan" atau secara relatif berada dalam "kecukupan pangan" dan dari pendapatan usahatani, petani dapat memenuhi "kebutuhan fisik minimum"nya (KFM), artinya secara ekonomi petani telah dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam jumlah minimal. Namun tingkat kesejahteraan tersebut secara ekologis tidak berkelanjutan. jika tidak dilakukan upaya pengendalian degradasi sumberdaya lahan dan perhaikan teknik budidaya pertanian. Mengingat tingkat bahaya erosi di Sub DAS Jeneberang Hulu tergolong "sangat kritis/ekstrim", tekanan penduduk terhadap lahan dan kepadatan penduduk cukup tinggi.
Secara potensial, agroekosistem lahan kering menghasilkan pendapatan usahatani optimal Rp. 17.805.490.000,-. dengan luas lahan optimal 2.442,50 Hektar atau Rp. 7.289.986,85. per hektar. Stabilitas daya tahan ekologis mempcngaruhi kapabilitas agroekosistem untuk penyediaan bahan pangan dalam bentuk kalori di Sub DAS Jeneberang hulu. Perkembangan penduduk rata-rata 2,08% per tahun dan tekanan penduduk terhadap lahan mencapai 1.27, maka pada tahun 2020 kapabilitas agroekosistem hanya mampu mendukung 11,50 jiwa per hektar atau pada tingkat kepadatan optimum sebesar jiwa 49.858,80. (57,30%) dari total populasi penduduk (86.984 jiwa). Untuk peningkatkan daya dukung lahan, perlu upaya pengembangan sektor peternakan, hutan wisata dan sistem pertanian hutan.
Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering adalah refleksi dari stabilitas dan kapabilitas agroekosistem akibat tekanan-tekanan yang bersifat kumulatif, sinerjik dan antagonis. Model pendekatan agroekosistem di desain untuk pencegahan dan pengendalian terjadinya kemerosotan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan dan tetap mernpertahankan produktivitas pertanian. Keterpaduan dua aspek tersebut merupakan konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan dan melembagakan aspek ekologi ke dalam kebijakan ekonomi.
Oleh karena itu, model pendekatan agroekosistem merupakan suatu konsep dan metode ilmiah yang mengkaji dinamika agroekosistem secara terpadu dan saling kait mengkait secara fungsional antar aspek-aspek daya tahan ekologis, kapabilitas dan stabilitas agroekosistem lahan kering dalam satuan analisis yang dilakukan melalui proses kegiatan penelitian secara ilmiah.

The current development beside having growth aspects, it also has a dimension of seeing the development as a transformation process that optimizes the utilization of natural resources. The appearance of the dimension of sustainability is based on the concern of mankind towards their own future and a set back in wisdom of as a result of the ineffective human resources in managing the natural resources properly as well as the application of technology in the various efforts of the development. Soerjani (1995:3) said that the deterioration of the environmental quality is caused by the application of polluting technology that is followed by over consumption. the non harmonization's development policy, the rapid growing population and poverty problem.
The problem in the agriculture development and living environment al The Watershed Area of Upper Jeneberang South Sulawesi are the critical land problem and its impacts towards agriculture productivity and its management. The objective of this research is to study the agroecosystem dynamics and to develop a concept of agroecosystem approach in the utilization of the land resources. The three models used to study dry land agroecosystem dynamics are: 1) ecological durability analysis model; 2) agroecosystem capability analysis model;3) agroecosystem stability analysis model.
The agroecosystem ecological durability of the dry land of the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang is qualitatively decreasing, because the erosion danger index has reached the level of a "very high/extreme" (IBE> 1) (I lamer. 1982:46). The result of erosion index analysis can be seen at the non-irrigated land with an area of 831 hectares have caused a total erosion of 121,655 tons/hectare or an average of 146.40 tons/hectare/year and wetpaddy field with an area of 1,283 hectares causing total erosion of 105,667.60 tons/hectare/year or average of 82.35 tons/hectare/year.
The high erosion rate is due to (1) the utilization of dried land is not accord with the land capacity, especially in the Unit IV area (Bulutana Village) and Unit VII area (Kanreapia Village), both situated respectively on a slope of 25-40% and >40%: (2) dry land utilization at the Watershed Area of Upper Jeneberang is only intended for production and agribusiness income without appropriate land conservation measures; (3) the level comprehension and skill of the farmer regarding soil conservation technology components in control-ling the erosion rate are very limited.
The controlling efforts through land rehabilitation and soil conservation program should receive top priority in planning and management of natural and human resources at the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang. The land utilization should be in accord with the land capability, especially in Unit VII Area (with a slope >40%) its allocation is only as "sanctum). area with an agroecosystem design that resembles natural ecosystem. named the agrosilvipasturral system.
The agroecosystem capability in utilizing of the dry land in the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang has increased the farmers and their families welfare. They are already above the 'poverty line" or have relatively "sufficient food" and from the agribusiness income, those farmers are able to meet the demand for goods and services in minimum amount. However, the welfare level is not sustainable ecologically, unless the land resource is controlled and agriculture techniques are improved. Due to the "very high/extreme" erosion rate in the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang the population pressure toward the land and population density is quite high.
Potentially, the agroecosystem of dry land provide an optimum agribusiness income of Rp. 17,805,490,000,-. The ecological resilience stability influences the agroecosystem capability in providing food in terms of calories in the Sub Watershed of Upper Jeneberang. The population growth is 2.08% per year and the population pressure toward the land is 1.27, therefore in the year 2020 the agroecosystem capability is only support 11.50 people per hectare or at the optimum density level is 49,858.80 (57.30%) of the total population 86.894 peoples in order to increase the land supporting capability. a development of animal husbandry, forest tourism and agroforestry is needed.
The result of this research disclosed that the agroecosystem ecological durability is a reflection of the stability and capability of the agroccosystem due to cumulative. synergistic and antagonistic pressures. The agroecosystem approach model is designed to prevent and control the deterioration of land resources and environmental quality as well as to maintain agricultural productivity. The integration of these two aspects constitutes the concept of sustainable agricultural development and institutionalizing ecological aspect into the economic policy.
Therelbre, the agroecosystem approach model constitutes a concept and scientific method that study the agroecosystem dynamics integrativcly and interrelated functionally between of ecological durability. capability and stability of the dry land agroecosystem in an analysis that is carried out through activity process of scientific research."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghiffary Rafif Akmal Tursilo
"

Perubahan tutupan lahan merupakan suatu permasalahan yang terjadi secara global dan tak terkecuali pada wilayah Asia Tenggara. Perubahan tutupan lahan yang terjadi pada wilayah Asia Tenggara ini terjadi sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir tanpa terkecuali pada wilayah Sub DAS Batang Tembesi. Perubahan yang terjadi pada sub DAS Batang Tembesi ini terjadi pada tutupan lahan hutan yang dialih fungsikan menjadi tutupan lahan jenis lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik hydrologic response unit dan pengaruh perubahan penutup lahan terhadap karakteristik hidrologi di sub-das Batang Tembesi. Penelitian ini menggunakan model hidrologi SWAT+ (Soil and Water Assessment Tool+) berdasarkan perubahan penutup lahan untuk mendapatkan pola spasial dan temporal dari HRU dan karakteristik hidrologi sub-das Batang Tembesi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pada kurun waktu 2013 – 2020 terjadi pola perubahan HRU dan karakteristik hidrologi akibat dari berubahnya tutupan lahan di sub-DAS Batang Tembesi. Berubahnya penutup lahan pada sub-das Batang Tembesi berpengaruh terhadap pola spasial dan temporal HRU dan juga berpengaruh terhadap berubahnya karakteristik hidrologi di sub-das Batang Tembesi.

......Land cover change is a problem that occurs globally and is no exception in the Southeast Asia region. Land cover changes that have occurred in the Southeast Asia region have occurred very rapidly in the last few decades, including in the Batang Tembesi sub-watershed area. The changes that occurred in the Batang Tembesi sub-watershed occurred in forest land cover which was converted into other types of land cover. This research aims to analyze the characteristics of the hydrologic response unit and the influence of changes in land cover on the hydrological characteristics of the Batang Tembesi sub-basin. This research uses the SWAT+ (Soil and Water Assessment Tool+) hydrological model based on land cover changes to obtain spatial and temporal patterns of HRU and hydrological characteristics of the Batang Tembesi sub-watershed. The results obtained in this research are that in the period 2013 - 2020 there was a pattern of changes in HRU and hydrological characteristics as a result of changes in land cover in the Batang Tembesi sub-watershed. Changes in land cover in the Batang Tembesi sub-basin affect the spatial and temporal patterns of HRU and also influence changes in hydrological characteristics in the Batang Tembesi sub-watershed.

 

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwa Millennia Chaerani
"Penelitian dilakukan di Sub-DAS Citarik, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan merupakan bagian dari DAS Cimandiri, WS Cisadea-Cibareno. Sub-DAS Citarik. Secara geografis terletak pada 6°43'05" - 7°01'15"LS dan 106°30'50" - 106°41'00"BT. Litologi daerah penelitian secara regional terdiri dari batuan vulkanik, batuan piroklastik, dan batuan sedimen. Berdasarkan cakupan daerah aliran sungai, anakan Sungai Citarik mengalir dari kaki Gunung Salak hingga muara Pelabuhan Ratu. Karena itu Sungai Citarik memiliki beragam topografi dari bentukan lahan pegunungan hingga dataran rendah. Debit pada Sub-DAS Citarik yang sebagian besar berada pada daerah perbukitan dapat terpengaruh oleh struktur. Melalui analisis fault fracture density (FFD) dilakukan pendugaan zona permeabel dari suatu lokasi untuk mengetahui implikasinya terhadap debit aliran dasar, debit limpasan langsung, dan debit jumlah air tersedia. Berdasarkan perhitungan debit dengan pendekatan keseimbangan air metode F.J.Mock, didapatkan perbandingan rasio debit aliran dasar dan debit limpasan langsung pada zona FFD tinggi lebih besar dibandingkan dengan zona FFD rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bahwa lebih banyak debit yang terinfiltrasi dibandingkan dengan debit yang mengalir di permukaan.
......The research was conducted in Citarik Sub-Watershed, Sukabumi Regency, West Java Province and part of the Cimandiri Watershed, WS Cisadea-Cibareno. Citarik sub-watershed. Geographically it is located at 6°43'05" - 7°01'15" S and 106°30'50" - 106°41'00"E. The lithology of the research area regionally consists of volcanic rocks, pyroclastic rocks, and sedimentary rocks. Based on the watershed coverage, the tributary of the Citarik River flows from the foot of Mount Salak to the Pelabuhan Ratu estuary. Therefore, the Citarik River has a variety of topography from mountainous landforms to lowlands. The flow of the Citarik Sub-watershed which is mostly located in hilly areas, can be affected by the structure. Through fault fracture density (FFD) analysis, it is possible to estimate the permeable zone to find out its implications for base flow discharge, surface runoff discharge, and total available water discharge. Based on the calculation of the discharge with the water balance approach, the F.J. Mock method, the ratio of base flow and surface runoff in the high FFD zone is greater than that in the low FFD zone. This indicates that more discharge infiltrate than flows on the surface."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizaldy
"Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan proses digital dalam pengelolaan air hujan berbasis low impact development. Penyelidikan awal terhadap wilayah studi Sub-DAS Sugutamu membutuhkan pemetaan sebagai Identifikasi karakteristik lahan sub-DAS dan impact analysis dari pembangunan yang telah terjadi di Sub-DAS tersebut. Namun peta yang dipakai masih berupa peta manual (peta tematik) yang terpisah-pisah yang memiliki banyak kekurangan. Untuk menggabungkan berbagai informasi yang kini terpisah-pisah dalam beberapa peta manual, kini tersedia alat bantu (tools) dengan metode Geographic Information System (GIS) yang disebut peta digital.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat pemetaan digital sistem informasi pengelolaan air hujan di Sub DAS Sugutamu dengan teknologi GIS, untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari proses digitasi yang dilakukan terhadap analisis rainfall-runoff model pada Sub-DAS Sugutamu, sehingga kemudian dapat menghasilkan data siap hitung dalam kaitannya dengan penerapan konsep Low Impact Development. Data-data yang dipakai adalah data sekunder yang sebagian berupa data hipotetikal.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa langkah-langkah yang telah dilakukan dalam proses digital pada sistem informasi pengelolaan air hujan di suatu sub DAS bisa dilakukan analisis untuk tiap satuan raster sebagai luasan parsial. Dengan demikian hal ini akan membuka kemungkinan analisis lebih lanjut dengan melakukan penerapan konsep low impact development untuk berbagai aplikasi Best Management Practices (BMPs) atau pun Integrated Management Practices (IMPs). Penelitian ini mengarahkan bahwa untuk melakukan pengelolaan air hujan dengan konsep LID perlu ditinjau secara mikro dari segi luas lahan yang dikelola. Untuk itulah perlu dilakukan proses digital, karena untuk mengetahui perubahan secara cepat akan lebih akurat dengan menggunakan simulasi komputer sebagai impact analysis dari pembangunan yang ada.
......This study discusses the use of digital processes in the low impact development-based rain water management. Initial investigation of the sub-watershed study in Sugutamu requires mapping as characteristics identification of land and the impact analysis of development that has occurred in the sub-watershed. But the maps used was still manual thematic maps which was fragmentary with a lot of shortages. To combine the various information that is now fragmentary in some of the maps, now available tools with the method of Geographic Information System (GIS) called digital map.
This research aims to create a digital mapping of information system in rain water management in Sugutamu Sub-Watershed with GIS technology, for the benefit obtained from the digitation process to the analysis of rainfall-runoff model in the Sugutamu Sub-Watershed, so the data can then be calculated in the ready relation to the implementation of the concept of Low Impact Development. The data used is secondary data with some form of hypothetical.
The results of research concluded that the steps that have been made in the digital processes of the rain water management information system in a sub watershed analysis can be done for each of the raster as the partial area. Thus, this will open the possibility of further analysis with the application of the concept of low impact development for various applications of Best Management Practices (BMPS) or Integrated Management Practices (IMPS). This research that lead to do the rain water management with LID concept needs to be reviewed in terms of micro-managed area. Therefore, the digital process needs to be done, due to learn quickly changes to be more accurate by using computer simulation as an analysis of the impact of development."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S50452
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Said Karim
"Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy adalah salah satu dari enam DAS kritis dan prioritas penanganan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Sub-DAS Citanduy Hulu dengan luas 270.918,26 ha terdapat permasalahan sedimen dan penurunan kualitas air yang semakin hari semakin meningkat, sehingga memicu permasalahan lain seperti banjir, kekeringan dan kekurangan air baku serta permasalahan kesehatan penduduk sekitar yang memanfaatkan aliran air Sungai Citanduy. Studi ini menerapkan Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT) dengan menggunakan data historis aliran dan meteoroli untuk mengevaluasi kondisi sedimentasi Sub-DAS Citanduy Hulu sekaligus menyusun strategi pengendalian sedimen dengan menggunakan bangunan pengendali sedimen. Kalibrasi model dilakukan secara manual dengan metode coba-coba. Hasil kalibrasi menunjukkan 13 parameter yang sensitif terhadap debit aliran dan sedimen. Berdasarkan hasil perhitungan model SWAT diperkirakan volume sedimen di outlet Sub-DAS Citanduy Hulu sebesar 81.351.783,23 ton/tahun. Sedimen di outlet Sub-DAS Citanduy Hulu ini dapat direduksi hingga mencapai 29.557.556 ton/tahun atau menurun lebih dari 64% dengan menggunakan check dam sebagai bangunan pengendali sedimen."
Bandung: Kementrian Pekerjaan Umum, 2014
627 JTHID 5:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Romnick S. Baliton
"This article argues that the practice of agroforestry provides ecological contributions to the smallholder farmers cultivating in the watershed areas. Specifically, this farming system provides contribution to carbon sequestration potential of the woody perennials and the biodiversity conservation of the other components of the system.  This argument is based on the research conducted in Molawin-Dampalit Sub-Watershed, Mt. Makiling Forest Reserve in the Philippines and Way Betung Watershed in Indonesia. The research involved an interview session of 106 and 261 smallholder farmers and an assessment of 27 and 14 agroforesty plots for carbon stock assessment and biodiversity assessment, respectively. Results indicated that the total carbon found among the crop components was 52.32 MgC/ha in Molawin-Dampalit Sub-Watershed­ and 244.26 MgC/ha in Way Betung Watershed­, which suggested the high carbon sequestration potential of the woody perennials and understory crops in an agroforestry system. The farm lots being cultivated by the smallholder farmers were found to contribute to biodiversity conservation having a moderate biodiversity index of 2.59 and 2.53, respectively. With these findings, promotion of desired agroforestry systems in suitable portions of the watershed areas should be intensified and heightened to contribute to ecological balance across the landscape. Agroforestry should always be an integral part of all initiatives toward ecological restoration with the cultivators/smallholder farmers as potential partners. The agroforestry system should consider all the technical and socioeconomic considerations toward having diverse components and ensure food security among the smallholder farmers throughout the year."
Bogor: Seameo Biotrop, 2017
634.6 BIO 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yudistiro
"Wilayah pegunungan menyediakan banyak layanan ekosistem untuk daerah sekitarnya dan dataran rendah. Wilayah Gunung Patuha terletak di Kabupaten Bandung, tepatnya di Kabupaten Ciwidey, Kabupaten Rancabali dan Kabupaten Pasirjambu. Salah satu jasa ekosistem yang ada di Gunung Patuha adalah Layanan Penyediaan Air. Pertumbuhan populasi yang intensif menyebabkan kebutuhan air meningkat secara drastis. Hasil air dari ekosistem atau daerah aliran sungai dapat diperkirakan dengan menggunakan model hidrologi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang hasil air, baik besaran dan distribusi spasialnya, dari daerah tangkapan air Gunung Patuha. Hasil air dari daerah penelitian dihitung menggunakan model hasil air di InVEST (Penilaian Terpadu Jasa Ekosistem dan Pengorbanan), yang didasarkan pada pendekatan neraca air. Hasil menunjukkan bahwa volume hasil air di Gunung Patuha untuk 2018 adalah sekitar 1,202 juta m3 per tahun. Sub DAS Cipandak adalah penghasil air terbesar (117,5 juta m3 per tahun), diikuti oleh Sub DAS Cioleh-oleh (113,3 juta m3). Hasil air di lokasi penelitian memiliki nilai antara 21.429 hingga 31.857 m3/ha/tahun. Secara spasial, Sub-Daerah Aliran Sungai dengan volume hasil air yang tinggi ditemukan di sebelah tenggara Gunung Patuha, yang merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1500 mdpl dan curah hujan rata-rata 2500 hingga 3300 mm per tahun. Daerah hasil air juga menunjukkan pola yang sama dengan bentuk daerah curah hujan.
......Mountaineous region provides a lot of ecosystem services for surrounding area and lowland area. Patuha Mountain Region located in Bandung District, exactly in Ciwidey Sub-District, Rancabali Sub-District and Pasirjambu Sub-District. One of ecosystem services that exist in Patuha Mountain Region is Water Provisioning Services. Intensive population growth causing the need of water increase drasticly. The water yield from an ecosystem or watershed can be estimated using a hydrological model. This study aimed to obtain information about the water yield, both the magnitude and their spatial distribution, from the catchment areas of Patuha Mountain. The water yield from the study area was calculated using the water yield model in InVEST (the Integrated Valuation of Ecosystem Services and Tradeoffs), which based on the water balance approach. The results indicated that the volume of water yield in Patuha Mountain for 2018 is approximately 1.202 million m3 per year. Cipandak subwatershed is the largest water producer (117.5 million m3 per year), followed by Cioleh-oleh subwatershed (113.3 million m3). The water yield at the study site has a value between 21,429 to 31,857 m3/ha/year. Spatially, Sub-Watersheds with a high volume of Water yield are found in the southeast of Patuha Mountain, which is a mountainous area with an elevation of more than 1500 masl and rainfall averaging 2500 to 3300 mm per year. The water yield area also shows the same pattern with the shape of the rainfall area.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meike Erthalia
"ABSTRAK
Pertambangan timah merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian wilayah Sub DAS Perimping, Kabupaten Bangka. Namun demikian, kegiatan pertambangan mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar daerah pertambangan. Penataan lahan pasca tambang menjadi salah satu upaya konservasi untuk memperbaiki dan merevitalisasi kondisi lahan yang rusak akibat pertambangan timah. Penataan lahan dalam bentuk reklamasi dan revegetasi telah dilakukan, namun belum menunjukkan hasil yang maksimal. Studi ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan hasil kegiatan konservasi lahan pasca tambang timah yang ditinjau dari pola perubahan tutupan di area konservasi dan sekitarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan menggunakan Cellular Automata Marcov-Chain untuk memprediksi pola perubahan tutupan lahan area konservasi lahan pasca tambang timah di tahun 2032. Survei lapang juga dilakukan untuk validasi kondisi konservasi dan membandingkan hasil model di wilayah penelitian. Informasi dilengkapi dengan wawancara kepada pihak PT Timah, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat untuk mengetahui proses dan dampak konservasi yang telah dilakukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pada tahun 2032 tutupan lahan di lokasi pertambangan yang telah direklmasi dan direvegetasi terjadi perubahan luas serta distribusi spasial menjadi tanaman seragam yang mengindikasikan perkebunan dan semak belukar. Variabel yang paling menentukkan hal tersebut adalah jarak lokasi reklamsi dari sungai, jarak dari tambang disekitarnya dan jarak dari perkebunan. Koordinasi antara para pelaku usaha tambang, pemerintah daerah, dan masyarakat merupakan kunci utama keberlanjutan dan keberhasilan konsevasi lahan pasca tabang timah yang dilakukan.

ABSTRACT
Tin mining has been contributing to Bangka Regency local economy for years including Perimping Sub Watershed. However, it brought environmental degradations around mining area as the impact. Land conservation for the post tin mining area has been done by doing reclamation and revegetation in order to restore the condition of the damaged post tin mining area although the results have not been maximized. This study aimed to analyze the sustainability of post tin mining land conservation results by identifying land cover changes in post tin mining surrounding area. The method used were cellular automata to build the prediction model of land cover changes in 2032, spatial multi criteria to build land suitability of post tin mining land conservation, survey to validate the result from model and existing condition of land cover and conservation, and interview to get more information about the process and impact of post tin mining land conservation from mining company PT. Timah, Tbk , government, and local people. The result showed that land cover at post tin mining and surrounding area changed into uniform crops which indicated plantation activities, shrubs, and wide change of lsquo kolong rsquo . The distance from river, mining area and plantation area were the variables that affected the most to land cover change in post tin mining land surrounding area. The land conservation of post tin mining area also needed to build good coordination between all miners, government, and society to achieve the goals. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library