Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Indah Lestari
Abstrak :
Disfagia sangat berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia aspirasi yang sering mengakibatkan kematian pada stroke. Oleh karena itu, manajemen yang efektif dan efisien menjadi penting. Terapi perilaku rehabilitasi menelan yang berdasarkan prinsip neuroplastisitas seperti latihan penguatan dan latihan pergerakan orofaring menjadi alternatif yang cukup sering digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan fungsi menelan pada penderita stroke iskemik dengan disfagia neurogenik setelah dilakukan latihan penguatan faring, latihan pergerakan hiolaring dan praktik menelan. Fungsi menelan dinilai dengan menggunakan Penetration Aspiration Scale (PAS) dan Functional Oral Intake Scale (FOIS) berdasarkan pemeriksaan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) sebelum dan setelah intervensi. Intervensi diberikan setiap hari dengan durasi 30-45 menit selama 4 minggu. Terdapat 6 subjek yang menyelesaikan penelitian. Nilai PAS sebelum intervensi adalah 6±1.79 dan setelah intervensi adalah 1.67±0.82 (p=0.003). Sementara itu, nilai FOIS sebelum intervensi adalah 3 (1-5) dan setelah intervensi adalah 5±2.10 (p=0.041). Terdapat perbaikan nilai PAS dan FOIS setelah intervensi. Oleh karena itu, intervensi ini bisa disarankan sebagai salah satu tatalaksana dalam meningkatkan fungsi menelan pada penderita stroke iskemik dengan disfagia neurogenik. ......Dysphagia is associated with an increased risk of aspiration pneumonia which often results in death in stroke patients. Therefore, effective and efficient management is important. Behavioral therapy for swallowing rehabilitation based on the principles of neuroplasticity such as oropharyngeal strengthening and range of motion exercises are the alternative ones that often be used. This study aimed to assess the changes in swallowing function in ischemic stroke patients with neurogenic dysphagia after pharyngeal strengthening exercise, hyolaryngeal complex range of motion exercise and swallowing practice. Swallowing function was assessed using Penetration Aspiration Scale (PAS) and Functional oral Intake Scale (FOIS) based on Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) before and after interventions. The interventions were given every day with a duration of 30-45 minutes for 4 weeks. There were 6 subjects who completed the study. The PAS before the interventions was 6±1.79 and after the interventions was 1.67±0.82 (p=0.003). Meanwhile, the FOIS score before the interventions was 3 (1-5) and after the interventions was 5±2.10 (p=0.041). There was an improvement of PAS and FOIS after the interventions. Therefore, the interventions can be suggested to be used as one of the treatments to improve swallowing function in ischemic stroke patients with neurogenic dysphagia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2019
T59175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Benindra Pratomo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Disfagia pada stroke dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang menurunkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah posisi duduk 700 membuat performa menelan berbeda dengan pada posisi duduk 900, pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring. Metode: Desain pre-post experimental study, dilakukan pada 30 pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring, berusia 40 ? 80 tahun dan memenuhi kriteria penerimaan. Performa menelan dievaluasi dengan pemeriksaan FEES pada posisi duduk 900 dan posisi duduk 700. Parameter FEES (standing secretion, preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi) dibandingkan antara kedua posisi duduk. Hasil: Angka kejadian dan tingkat keparahan standing secretion lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian preswallowing leakage tidak berbeda bermakna antara kedua posisi duduk. Angka kejadian residu lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan residu lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian dan tingkat keparahan aspirasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Simpulan: Posisi duduk reclining 700 membuat performa menelan lebih baik dibandingkan pada posisi duduk 900 pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik.
ABSTRACT
Background: Dysphagia in stroke can cause various complications those reducing quality of life. The aim of the study to ackowledge if 700 sitting position makes different swallowing performance from 900 sitting position, in stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia. Methods: A pre-post experimental study design, conducted on 30 stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia, aged 40 ? 80 years old and met the inclusion criteria. Swallowing performance was evaluated with FEES examination in 900 sitting position and 700 sitting position. FEES parameters (standing secretion, preswallowing leakage, residue, penetration and aspiraton) were compared between both sitting positions. Results: Incidence and severity of standing secretion was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of preswallowing leakage wasn?t significantly different between both sitting positions. Incidence of residue was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of residue was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of penetration was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of penetration was insigificantly lower in 700 sitting position. Incidence and severity of aspiration was insignificantly lower in 700 sitting position. Conclusions: 700 reclining sitting position makes better swallowing performance than 900 sitting position, in stroke patients with neurogenic dysphagia.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melya Arianti
Abstrak :
Pasien dengan disfagia rentan mengalami komplikasi seperti pneumonia aspirasi hingga kematian. Oleh karena itu diperlukan alat skrining untuk mendiagnosis disfagia secara cepat. GUSS merupakan alat skrining dengan validitas dan reliabilitas yang baik dalam menilai disfagia, namun belum dilakukan uji diagnostik di Indonesia. Subjek penelitian terdiri dari pasien disfagia neurogenik yang kemudian menjalani pemeriksaan GUSS-INA dengan modifikasi bahan uji, dilanjutkan dengan pemeriksaan baku emas FEES. Selanjutnya, dilakukan uji diagnostik untuk melihat sensitivitas dan spesifisitas GUSS-INA sebagai metode skrining disfagia. Rerata pasien disfagia neurogenik di RSCM berusia 56 tahun dengan jumlah proporsi laki – laki lebih besar dengan penyebab tersering adalah stroke, dengan komorbid hipertensi (56.5%), dengan komplikasi pneumonia 21.7%. Sebagian besar mengalami disfagia kronik, seluruh pasien mengalami keluhan subjektif disfagia dengan 3 gejala tersering adalah batuk, tersedak, dan sulit menelan terutama konsistensi padat. Lebih dari separuh pasien membutuhkan selang makan. Rerata status gizi pasien menunjukan indeks masa tubuh 24.92, dengan rerata penurunan BB 2 kg. Berdasarkan pemeriksaan pencitraan pasien stroke, lokasi tersering berada supratentorial, dengan derajat stroke sedang. Rerata nilai GUSS 14 (disfagia sedang) pada seluruh subjek, 28.3% mengalami aspirasi. Hasil Uji diagnostik GUSS-INA sebagai alat skrining deteksi disfagia memiliki nilai Sensitivitas 84%, Spesifisitas 78%, NDP 94%, NDN 54% dan AUC 0.86. Modalitas GUSS-INA dapat dijadikan alat skrining disfagia yang cukup baik. ......Patient with dysphagia has the tendency to undergo serious complications such as aspiration pneumonia that can cause increased mortality. Screening tool to effectively diagnose dysphagia in patient with difficulty swallowing is needed. GUSS is a screening tool with good validity and reliability; however, no diagnostic test has been done in Indonesia. This study samples consisted of neurogenic dysphagia patients which underwent GUSS-INA with test material modification assessment followed by FEES as gold standard examination. Diagnostic test was then done to analyze sensitivity and specificity of GUSS-INA as dysphagia screening tool. The average age of neurologenic dysphagia patients in Cipto Mangunkusumo Hospital was 56 years with higher male proportion, most common etiology was stroke, with most common morbidity being hypertension (56,5%). History of pneumonia was found in 21.7% patients.Majority of patients have chronic dysphagia, all patients had subjective dysphagia complaint with three most common symptoms being cough, choking, and difficulty swallowing especially of solid texture. More than half of the patients needed feeding tube. The average of BMI was 24.93, with average weight loss of 2 kg. Based on radiology results on post-stroke cases, the most common lesion was supratentorial, with moderate stroke score. Average GUSS score is 14 (moderate dysphagia) from all subjects and in 18.3% patients aspiration in found. Diagnostic test result of GUSS-INA as screening tool for neurogenic dysphagia had 84% sensitivity, 78% specificity, 94% PPV, 54% NPV, and AUC of 0.86. GUSS-INA could be used as a screening tool for dysphagia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
People are capable of ingesting , inserting, or injecting themselves or others with all manner of foreign objects. Ingested or inserted foreign bodies may cause bowel obstruction or perforation: which lead to severe hemorrhage, obscess formation or septicemia ; or distant embolization....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Aziz Wahyudin
Abstrak :
SOL Intrakranial menjadi salah satu masalah kesehatan pada bagian kepala (otak) yang dapat menyebabkan kematian, disfungsi neurologis, dan disabilitas.  Salah satu masalah yang dialami pasien SOL intracranial adalah gangguan menelan akibat dampak dari disfungsi neurologis. Pengkajian fungsi menelan menjadi hal yang penting pada pasien dengan gangguan neurologis untuk menghindari dampak lebih lanjut seperti risiko aspirasi dan penurunan asupan nutrisi. Karya Ilmiah Akhir Ners ini berbentuk studi kasus, bertujuan untuk menyajikan hasil analisis penerapan asuhan keperawatan pada pasien SOL Intrakranial dengan menerapkan skrining menelan. Adapun penerapan skrining yang direkomendasikan berdasar pada kajian praktik berbasis bukti meliputi penggunaan bedside swallowing screen yang diantaranya adalah the Massey Bedside Swallowing Screen  (MBSS) dengan spesifitas dan sensitivitas 100% dan The Royal Adelaide Prognostic Index Dhysphagia Stroke (RAPIDS) dengan spesifitas 92% dan sensisitivitas 90% diharapkan dapat diaplikasikan oleh perawat neuroscience khususnya pada pasien yang diduga mengalami masalah gangguan menelan. Hasil penerapan skrining menelan pada kasus ini didapatkan pasien mengalami gangguan menelan (dispagia). Setelah mendapatkan hasil skrining yang sesuai, perawat dapat melaporkan hasil temuannya dengan melakukan intervensi kolaborasi dengan ahli patologi bicara, dokter, serta ahli gizi untuk melakukan intervensi lanjutan yang sesuai.


Intracranial SOL is a health problem in the brain that can cause death, neurological dysfunction, and disability. One of the problems experienced by intracranial SOL patients is swallowing problems due to neurological dysfunction. Assessment of swallowing function is important in patients with neurological disorders to avoid further effects such as the risk of aspiration and decreased nutritional intake. This case study aims to present the results of an analysis of the implementation of nursing care to Intracranial SOL patients by applying swallowing screening. The recommended screening application is based on evidence-based practice studies including the use of bedside swallowing screens, which include the Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) with 100% specificity and sensitivity and The Royal Adelaide Prognostic Index Dhysphagia Stroke (RAPIDS) with 92% specificity and sensitivity 90% is expected to be applied by neuroscience nurses, especially in patients who are suspected of having swallowing problems. The results showed that the patient experienced swallowing disorders (dyspagia). After obtaining the appropriate screening results, nurses can report their findings by conducting collaborative interventions with pathologists, physicians, and nutritionists to carry out appropriate follow-up interventions.

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Enny Mulyatsih
Abstrak :
Jumlah pasien stroke yang mengalami disfagia diperkirakan sekitar 27% hingga 50%. Kejadian disfagia dihubungkan dengan meningkatnya risiko dehidrasi, malnutrisi, aspirasi, dan infeksi paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan menelan terhadap status fungsi menelan pada pasien stroke dengan disfagia. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan control group pre test and post test. Responden diambil dari dua rumah sakit umum di Jakarta, sebanyak 18 orang responden dari RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo dijadikan sebagai kelompok perlakuan dan 18 orang responden dari dan RSUP Fatmawati sebagai kelompok kontrol. Responden pada kelompok perlakuan dilakukan program latihan menelan tiga kali sehari pada jam makan selama 6 hari berturut-turut. Responden pada kelompok kontrol menerima asuhan keperawatan seperti biasa sesuai kebijakan rumah sakit setempat. Hasilnya adalah setelah dilakukan latihan menelan, perbedaan status fungsi menelan antara sebelum dan setelah latihan menelan, rata-rata mean status fungsi menelan anatara sebelum dan setelah dilakukan latihan menelan pada kelompok perlakuan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol (p value= 0,02). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa latihan menelan dapat meningkatkan status fungsi menelan pasien stroke dengan disfagia. Lebih lanjut direkomendasikan perawat melakukan latihan menelan secara terstruktur pada pasien stroke yang mengalami disfagia. ......Dysphagia is occurs from 27% to 50% of stroke patients. The presence of dysphagia is associated with an increased risk of dehydration, malnutrition, aspiration, and pulmonary infection. The aim of this study was to examine the effect of swallowing therapy to the swallowing functional states for stroke patients with dysphagia. A quasi-experimental design with control group pre test and post test was used. Two General Hospital in Jakarta were selected, 18 subjects from RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo as the intervention group and 18 subjects from RSUP Fatmawati as the control group. All subjects in the experimental group received a swallowing therapy program. The subjects from the intervention group was given the swallowing therapy three times a day on the meal time during 6 days consecutively. The subjects from the control group have received the nursing care as usual. The results of the swallowing therapy mean swallowing functional states differences between pre- and post-swallowing therapy of the experimental group were significantly higher than for the control group (p value= 0,02). It’s concluded that the swallowing therapy could increase the swallowing functional states of stroke patients with dysphagia. Furthermore, it is recommended that nursing professional should conduct swallowing therapy protocols in stroke patient with dysphagia.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kalvin Pangestu
Abstrak :
Latar Belakang: Penentuan relasi sentrik merupakan salah satu tahap penting dalam pembuatan gigi tiruan lengkap. Metode penentuan relasi sentrik yang sering digunakan di bagian prostodonsia FKG UI adalah nukleus Walkhoff dan penelanan. Gothic arch tracers merupakan alat bantu untuk mendapatkan relasi sentrik yang lebih akurat dan konsisten. Tujuan: untuk mengevaluasi perbedaan posisi relasi sentrik antara metode nukleus Walkhoff dan penelanan dibandingkan dengan gothic arch tracers spada pasien tak bergigi. Metode: Responden berjumlah 12 orang pasien tidak bergigi yang sedang akan direhabilitasi dengan gigi tiruan lengkap di rumah sakit gigi dan mulut bagian prostodonsia Universitas Indonesia. Data dikumpulkan menggunakan marker putih pada sisi kiri galangan gigit dan digaris menggunakan marker hitam kemudian dianalisis dengan digital kaliper. Analisis statistik dihitung menggunakan test kruskal wallis dan post hoc mann whitney (p=0.05). Hasil: dari tabel dapat dilihat bahwa metode penelanan secara signifikan berbeda dengan median (SD=0.00) dan tidak terdapat hasil yang signifikan antara metode penelanan dengan gothic arch tracers p = 0.171. dengan test mann whitney ditinjau dari usia tidak terdapat perbedaan yang signifikan dan tidak terdapat hubungan antara grup usia pertengahan dengan usia lanjut (p<0.05). Kesimpulan: Metode penelanan menunjukkan hasil yang paling mendekati metode gothic arch tracers. ......Background: Determining centric relation is one of the most important step in making a complete denture. Centric relation methods such as nucleus Walkhoff and swallowing method are usually the most common methods used in Faculty of Dentistry Universitas Indonesia Departments of Prosthodontics. However there is another method to determine the centric relation accurately and consistently such as gothic arch tracers. Objective: to evaluated the difference of centric relation position between nukleus Walkhoff and swallowing method based on gothic arch tracers in edentulous patient. Method: This is a cross sectional study with subjects total 12 patients selected for complete denture rehabilitation in Faculty of Dentistry Universitas Indonesia Departments of Prosthodontics. The data collected using white marker on the side of the wax rim and a draw the vertical line with black marker and measure it with digital caliper. Statistical analyses were performed using kruskal wallis and post hoc mann whitney test (p = 0.05). Result: The table demonstrated that in the group of swallowing method is significantly higher with median (SD=0.00) and there is no significant differences between swallowing method with gothic arch tracers p = 0.171. For the mann whitney test between ages is no statistically differences and shows there is no relation between middle age and elderly (p<0.05). Conclusion: the study show that swallowing method is the closest result to gothic arch tracers
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismansyah
Abstrak :
Stroke adalah kumpulan gejala klinis akibat hilangnya fungsi otak sebagian atau keseluruhan, secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Salah satu penyebab kematian pasien stroke adalah aspirasi pneumonia yang berhubungan dengan disfagia. Penanganan yang baik terhadap disfagia dapat membantu mencegah komplikasi, mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh latihan mengunyah dan menelan terstruktur terhadap kemampuan mengunyah dan menelan dalam konteks asuhan keperawatan pasien stroke dengan disfagia.di RSUD. Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Desain penelitian ini adalah quasy eksperiment, khususnya control group pretest-posttest design. Sampel berjumlah 64 orang (32 orang kelompok intervensi yang diberikan perawatan standar dan latihan mengunyah dan menelan terstruktur 7 hari dan 32 orang kelompok kontrol yang diberikan perawatan standar ), yang diambil dengan metode consecutive samling. Evaluasi kemampuan mengunyah dan menelan dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Hasil penelitian diperoleh adanya peningkatan kemampuan mengunyah dan menelan secara bermakna (p=0,000, α=0,05), artinya latihan mengunyah dan menelan terstruktur berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan mengunyah dan menelan pasien stroke dengan disfagia. Manfaat penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan dalam menangani pasien stroke dengan disfagia sehingga meningkatkan mutu asuhan keperawatan, mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi serta memperkaya keilmuan keperawatan. Rekomendasi hasil penelitian ini perlu adanya penelitian lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.
Stroke is a group of clinical symptomps due to total or partial brain function loss, caused by blood supply disruption to the brain. One of the cause of death in patient with stroke is pneumonia aspiration related to dysphagia. A good management of dysphagia can prevent complications, makes healing process faster and also improve the quality of patient?s life. This research was aimed to identify the effect of structured swallowing and chewing exercise on the ability of swallowing and chewing of stroke patient with dyshagia at Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda. A quasi experiment with pretest - posttest control group design was used in this study. 64 samples are selected by consecutive sampling method (32 samples in intervention group given standard treatment and structured swallowing and chewing exercise for 7 days and 32 samples in control group given standard treatment only). Evaluation was conducted on the first and seventh day for both group. The result showed that the ability of swallowing and chewing increased significantly in intervention group (p=0,000, α=0,05) after the intervention. It is concluded that structured swallowing and chewing exercise has an effect on improving the swallowing and chewing ability of stroke patients with dysphagia. The implication of this research are to use this exercise as one of the independent nursing interventions in caring stroke patients with dysphagia and to improve the quality of nursing care, makes healing process faster, prevent complications and also enrich nursing science. It is recommended for the future research to conduct research with bigger sample.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah
Abstrak :
Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah memperkirakan saat ini setiap tahun terjadi 583.000 kasus bare dengan kematian 140.000 orang. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) sejak tahun 1995. Untuk mengetahui keberhasilan program DOTS, menggunakan indikator atau tolok ukur angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif, Di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, angka kesembuhan tahun 2001 baru mencapai 80% dan angka konversi sebesar 90,65%. Angka kesembuhan tersebut sangat berkaitan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru bersangkutan. Oleh karena itu secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang hubungan persepsi , pengetahuan penderita, dan Pengawas Menelan Obat dengan kepatuhanberobat penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Jatinagara tahun 2001. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan memanfaatkan data primer dan sekunder. Penulis melakukan pengumpulan data dengan wawancara berpedoman pada kuesioner pada tanggal 29 Maret 2002 sampai 8 Mei 2002 dad seluruh penderita TB paru BTA positif sebanyak 92 orang yang mendapat pengobatan kategori-1 dan telah selesai berobat di Puskesmas tersebut tahun 2001. Variabel dependen adalah kepatuhan berobat, dan variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat minus rintangan , persepsi ancamanlbahaya, pengetahuan dan pengawas menelan obat. Sedangkan variabel confounding terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Untuk pengolahan data, penulis menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi logistik Banda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang patuh berobat 73,9 % dan tidak patuh berobat 26,1%_ Dui basil analisis bivariat didapatkan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat adalah variabel persepsi kerentanan P value=4.045 dan OR=0,314 , persepsi keseriusan P value 0,034 dan OR=3,26 , persepsi manfaat minus rintangan P value-0,023 dan OR=3,70 , persepsi ancamanl bahaya P value~,030 dan OR=0,310 dan pengawas menelan obat P value-0,008 dan OR=0,171. Sedangkan basil analisis multivariat mendapatkan tiga variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat yaitu keseriusan P value=0,013 dan OR=6,221, manfaat minus rintangan P value 0,019 dan OR=5,814 , dan pengawas menelan obat P value= 0,024 dan OR ,174. Namun yang paling dominan diantara ketiga variabel tersebut adalah variabel keseriusan P value-0,013 dan OR-6,221. Peneliti menyarankan kepada pengelola program penanggulangan TB pare di Puskesmas untuk memberikan informasi yang cukup dan lebih jelas lagi tentang TB pare kepada setiap penderita dengan menggunakan bahasa sederhana agar penderita mudah memahami dan melaksanakannya. Sebaiknya di ruang tunggu Puskesmas diadakan penyuluhan TB paru melalui TV dan poster. Meningkatkan pecan PMO melalui penyuluhan dan pertemuan yang efektif dengan kader kesehatan , TOMA dan terutama dengan PMO dari keluarga. Mensosialisasikan Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2000 .
Tuberculosis remains to become a large public health problem in Indonesia. This time the government estimates that there are 583.000 new cases of tuberculosis and up to 140.000 persons die from tuberculosis annualy. Solving this problem the government has carried out the program to fight against tuberculosis by DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy since 1995. To know the success of DOTS program we use indicator or yard stick i.e. conversion rate at the end of intensive medication stage is minimal 80% and cure rate is minimal 85% of acid-fast bacilli positive new cases. In Puskesmas Kecamatan Jatinegara in 2001, the cure rate achieved 80% and the conversion rate was 90,65%. The cure rate is closely related to medication compliance of those lung tuberculosis patients. Therefore in general, the aim of this study is to obtain information about the relationship between perception, patient's knowledge , PMO (Drug Swallowing Observer), and medication compliance of lung tuberculosis patients in Puskesmas Kecamatan Jatinegara, year of 2001. This study used cross sectional design employing both primary and secondary data. The writer collected data based on interview with questionnaires on 29 March 2002 to 8 May 2002 from all smear-positive lung tuberculosis patients as much as 92 persons who have received category-1 therapy and have completed the medication in the Puskesmas in the year 2001. The dependent variable is the medication compliance, and the independent variables are the perceived susceptability, perceived seriousness, perceived benefits minus barriers, perceived threat, knowledge of TB, and PMO. Whereas the confounding variables consist of age, gender, education and job. Processing the data the writer used univariate, bivariate analysis and multivariate analysis with multiple regression logistic. The result of this study showed that respondents who complied with medication was 73,9% and those who uncomplied with medication was 26,1%. From the result of bivariate analysis found variables which had significant relationship to medication compliance. Those variables were perception of susceptability P value=4,045 and OR=0,314 , perception of seriousness P value= 0,034 and OR=3,26 , perception of benefits minus barriers P value 0,023 and ORO,370 , perception of threat P value x,030 and OR=0,310 ,and PMO P value-3,008 and OR=0,171. Whereas the result of multivariate analysis found three variables which had significant relationship to medication compliance i.e. persception of seriousness P value=0,013 and OR=6.221, benefits minus barriers P value-A019 and OR=5,814 , and PMO Pvalue=0,024 and OR=0,174. Nevertheless the most dominant amongst those three variables was perception of seriousness P value 0,013 and OR=6,221. The writer suggests the management of the program to fight against lung tuberculosis in Puskesmas to give adequate and clearer information about lung tuberculosis to each patients using simple and plain language in order the patients to understand and practice it easily_ It is best that Puskesmas carries out lung tuberculosis counseling by TV and poster in the waiting room. To increase the role of PMO by the way of effective counseling and meeting with health cadres or volunteers , TOMA (public vigors) and especially with PMO who comes from family. Socialization of Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB published by Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Linglcungan year of 2000. BibIiograhy : 41 (1965 - 2001)
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Trisnawaty
Abstrak :
Kemampuan makan dan menelan pada anak bersifat dinamis sejalan dengan proses tumbuh kembang anak. Struktur anatomi mengalami pertumbuhan yang selanjutnya berdampak pada kematangan fungsi menelan. Gangguan pada proses menelan menyebabkan disfagia. Tesis ini membahas mengenai gambaran proses menelan pada anak dengan kecurigaan disfagia, dengan menggunakan pemeriksaan menelan dengan endoskopi serat optik lentur, serta menilai karakteristik percontoh berdasarkan usia, masa kehamilan, pengasuh, gejala, komplikasi serta kelainan medis. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif pada 54 subyek yang diambil secara berurutan. Hasil dari penelitian ini didapatkan prevalensi disfagia pada anak dengan kecurigaan kesulitan makan sebesar 63 . Gejala disfagia pada anak le; 6 bulan yang paling sering adalah apnea saat menyusu 7/34 . Sedangkan pada anak > 6 bulan adalah postur tubuh terganggu 10/34 , mengeces berlebih 6/34 , dan batuk saat makan 8/34 . Kelainan medis yang mendasari adalah kelainan struktural 25/34 , kelainan jantung / paru / laring 24/34 , dan kelainan neurologis 23/34 . Komplikasi yang terjadi adalah PRGE 12/34 , gagal tumbuh 10/34 , dan pneumonia aspirasi 3/34 . Pada pemeriksaan FEES didapatkan standing secretion 22/34 dan pergerakan lidah terganggu 20/34 adalah tanda yang sering ditemukan pada anak disfagia; dan residu sering terjadi pada konsistensi tim kasar 44,7 , penetrasi pada konsistensi air 44,2 , serta aspirasi pada konsistensi susu 34,8 .Kata kunci: aspirasi, disfagia, pemeriksaan menelan dengan endoskopi serat optik lentur, penetrasi, residu, sekret yang terkumpul di hipofaring.
Eating and swallowing ability in Children had dynamic characteristic and closely related with growth process in themselves. The anatomical structure underwent growth process, therefore had impact in the maturity of swallowing ability. Disruption of swallowing process may caused dysphagia. This study use Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing FEES and also assessed the characteristics of the subjects based on age, gestation age, caregivers, symptom, complication, and medical disorder. This study is a descriptive cross sectional design involving 54 subjects with consecutive sampling. The result of this study are prevalence of dysphagia is 63 in children with dysphagia suspicion. Dysphagia symptom in children 6 months, apnea while bottle breast feeding 7 34 . Meanwhile, in children 6 months, postural impairment 10 34 , drooling 6 34 , and cough while eating 8 34 . Underlying disease are structural anomaly 5 34 , cardiopulmonary larynx disorder 24 34 and neurological disorder 23 43 . The complication are GERD 12 34 , failure to thrive 10 34 , and aspiration pneumonia 3 34 . In FESS examination, standing secretion 22 34 and impaired tongue movement 20 34 are sign for dysphagia, and residue is more common in gastric rice consistency 44,7 while penetration in thin liquid 44,2 and aspirations is more common in thick liquid 34,8.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>