Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvani Imbiri
"Pasien sebagai salah satu subjek dalam hukum kesehatan memiliki hak dan kewajiban. Salah satu hak yang dimiliki oleh pasien adalah hak untuk menolak tindakan medis. Walaupun penolakan tindakan medis merupakan sebuah hak, tetapi ketika hak tersebut digunakan maka menimbulkan suatu akibat bagi pasien. Namun dalam praktiknya, masih banyak pasien yang belum memahami akibat dari penggunaan hak untuk menolak tindakan medis. Dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai pengaturan hak terhadap pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit dan implikasi hukum terhadap pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit dengan menganalisis Putusan Pengadilan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN JKT.TIM dan Putusan Nomor 624/PDT/2019/PT.DKI. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif yang mana pembahasan akan bersumber pada studi kepustakaan serta wawancara dengan narasumber. Pengaturan terhadap hak pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 52 huruf d Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, 32 huruf k Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal 17 huruf k Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Implikasi hukum terhadap pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit, yaitu segala konsekuensi yang timbul setelah pasien menolak akan menjadi tanggung jawab pasien dan pihak dokter maupun rumah sakit tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila pasien mengalami kerugian.

Patients, as one of the subjects in health law, have rights and obligations. One of the rights that patients have is the right to refuse medical treatment. Although refusal of medical treatment is a right, when the right is used, it causes consequences for the patient. However, in practice, many patients still do not understand the consequences of exercising their right to refuse medical treatment. In this study, the focus of the problems to be discussed is on regulation of the rights of patients who refuse medical treatment in hospitals and the legal implications for patients who refuse medical treatment in hospitals by analyzing Court Verdict Number 182/Pdt.G/2016/PN JKT. TIM and Verdict Number 624/PDT/2019/PT. DKI. The research method used in this study is normative juridical research with qualitative methods, in which the discussion is sourced from literature studies and interviews with experts. The rights of patients who refuse medical treatment in hospitals are regulated by Article 56 of Law Number 36 of 2009 concerning Health, Article 52 letter d of Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practice, Article 32 letter k of Law Number 44 of 2009 concerning Hospitals, Article 17 letter k of the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 4 of 2018 concerning Hospital Obligations and Patient Obligations, and Article 18 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Health Number 290/MENKES/PER/III/2008 concerning Approval of Medical Treatment. The legal implications for patients who refuse medical treatment at the hospital, namely all the consequences arising after the patient’s refusal will be the responsibility of the patient and the doctor or hospital cannot be held liable if the patient suffers losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Alviniola
"Skripsi ini membahas mengenai informed consent secara lisan dalam tindakan medis. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perlindungan hukum bagi pasien terhadap informed consent secara lisan, tanggung jawab bagi dokter dan rumah sakit dalam pelaksanaan informed consent secara lisan, dan analisis penerapan informed consent secara lisan dalam Putusan No. 287/Pdt.G/2011/PN.JKT.PST., No. 350/PDT/2012/PT.DKI., dan No. 215 K/PDT/2014. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami bagaimana informed consent secara lisan dapat diterapkan dalam suatu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif-analitis. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa informed consent secara lisan hanya dapat diterapkan dalam tindakan medis yang tidak berisiko tinggi dan tidak bersifat invasif. Dokter dalam melaksanakan informed consent baik secara lisan maupun tulisan harus memperhatikan serta menghargai kepentingan pasien karena informed consent merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki oleh pasien.

This thesis examines the legal protection for patient towards oral informed consent, the responsibilities for the doctors and the hospitals in the implementation of oral informed consent, and the analysis the implementation of oral informed consent in Court Decisions Number 287 Pdt.G 2011 PN.JKT.PST, Number. 350 PDT 2012 PT.DKI, and Number 215 K PDT 2014. The objective of this thesis is to understand how oral informed consent can be implemented on a medical conduct that is done by doctor to patient. This research is in the form of juridical normative research with the type of descriptive analytic. The result of this research is that the oral informed consent can only be implemented on a high risk medical conduct and not invasive. To conduct the informed consent both in oral or in writing, the doctor should consider and respect the patients interest since informed consent is one of the human rsquo s right had by the patient.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penyelenggaraan dan peranan informed consent
pada tindakan medis bedah hewan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (RSH FKH IPB). Dalam skripsi ini
akan dibahas mengenai definisi informed consent dan keberlakuannya sesuai
dengan Hukum perjanjian yang berlaku. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana penyelenggaraan dan peranan informed consent antara
pasien dan dokter hewan, dimana pasien disini diwakili oleh klien sebagai pemilik
hewan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian hukum
yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini adalah penyelenggaraan informed
consent yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peranan dari lembar informed consent ini terkait dengan pertanggungjawaban
rumah sakit hewan apabila terjadi sengketa dan klien menderita kerugian akibat
tindakan dokter hewan dikarenakan masih belum adanya peraturan hukum terkait
dengan praktik kedokteran hewan, sehingga peran informed consent sebagai dasar
perjanjian antara kedua belah pihak sangat penting.

ABSTRACT
The essay mainly discusses about the practices and roles of informed consent in
veterinary surgery medical act at the Faculty of Veterinary Institute of Agriculture
Bogor Animal Hospital. In this essay, the discussion about the definition of
informed consent and its enforceability according to the legal agreement that is
used. The objective of this research is to find out how the practices and roles of
informed consent between the patient and the vet, where the patient is represented
by the client as a pet owner. This research is a qualitative one with the form of
research is juridical ? normative. The output of this research is a practices of
informed consent which corresponds to the regulation rules. The roles of informed
consent sheet is connected to the responsibility of the animal hospital if the client
suffers loss done by the vet because there is yet a legal law in veterinary practice,
hence the role of informed consent as a base agreement between both parties is
crucial;"
2016
S65399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhatu Anggraini Dangkeng
"Pendahuluan: Salah satu penilaian akreditasi adalah hak dan kewajiban pasien membuat keputusan medis. Penelitian dilakukan untuk mengetahui mutu kelengkapan dan ketepatan pelaksanaan persetujuan tindakan medis di Rumah Sakit Royal Taruma sebagai bentuk hak pasien dan kewajiban rumah sakit.
Metode: menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode cross sectional. Data primer wawancara 11 orang pihak rumah sakit. Data sekunder random sampling, 96 sampel rekam medis ditelaah didalamnya 4 jenis persetujuan tindakan medis (tindakan anestesi, operasi, darah dan produk darah, tindakan berisiko tinggi), didapatkan total 174 sampel persetujuan tindakan medis.
Hasil dan kesimpulan: dari telaah dokumen pada 5 aspek dalam formulir persetujuan tindakan medis, yaitu bagian identifikasi pasien, identifikasi dokter, identifikasi pemberi persetujuan, informasi penting dan autentikasi masih ditemukan ada beberapa bagian dalam persetujuan tindakan medis yang terlewat dan tidak diisi dengan lengkap. Rata-rata identifikasi pasien terisi 86.59% dan tidak terisi 13.41%. Rata-rata identifikasi dokter terisi 83.91% dan tidak terisi 16.09%. Rata-rata 78.44% identifikasi pemberi persetujuan terisi dan 21.56% tidak terisi. Rata-rata 52.11% informasi terisi dan 47.89% tidak terisi. Rata-rata 86.98% bagian autentikasi terisi, namun masih terdapat 13.02% bagian yang tidak terisi. Regulasi serta desain formulir yang berlaku mengacu pada undang-undang dan standar akreditasi, namun masih perlu diperbaiki. Dokter dan karyawan rumah sakit royal taruma mengetahui dan bersikap positif terhadap persetujuan tindakan medis. Cara komunikasi dokter dalam pelaksanaan persetujuan tindakan medis sudah sesuai dengan aturan tata cara. Kendala yang dikeluhkan oleh dokter adalah tingkat pemahaman pasien dan penundaan pemberian keputusan oleh pasien atau keluarga pasien.

Introduction: one of accreditation judgement point is patient rights and obligations to make a medical decisions. this study done to know quality of completeness and
implementation accuracy of medical informed consent in Royal Taruma Hospital as patient right and hospital obligation.
Methode: this study use qualitative and quantitative approachment with cross sectional methode. primary data by interviewed 11 hospital employer. Secondary data done by random sampling, 96 medical records reviewed inside by 4 type of informed consent (anesthetic procedure, operation procedure, blood dan blood product, and high risk procedure) to total 174 sample of informed consent form.
Result and conclusion: from 5 aspects in medical procedures approval form reviewed,
identification of patients, identification of doctor, approver identification, important
information and autentication was still not with completed. The average identification
patients 86.59% filled and 13.41% not filled. The average doctor identification 83.91% filled and 16.09% not filled. The average identification approver occupied 78.44% filled
and 21.56% did not filled. The average health information filled 52.11% and 47.89 % did not filled. The average 86.98% autentication filled but 13.02% did not filled. Regulation
and form design made based on stated bills and accreditation standart, but still need to fix. Doctor and employer have knowledge and show positif reaction toward informed consent regulation. Doctors communication on implementation informed consent are refer to hospital regulation. Obstacles that are complained by doctors are patients level of understanding and postponement decision by the patient or the patient family.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reynika Ashfahani
"Skripsi ini membahas mengenai Informed consent dalam tindakan medis yang merupakan program pemerintah. Terdapat pengecualian informed consent dalam keadaan khusus yaitu persetujuan tindakan kedokteran tidak perlu bagi tindakan medis yang dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis penerapan informed consent pada tindakan imunisasi yang mana merupakan salah satu program pemerintah di bidang kesehatan. Penelitian untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder dan dengan teknik pengumpulan data yang bersifat kualitatif. Persetujuan dapat berbentuk secara tertulis dan lisan. Dalam imunisasi, persetujuan yang diberikan oleh orang tua merupakan persetujuan yang diberikan secara tersirat dan dipersamakan dengan persetujuan lisan. Pemerintah perlu membuat suatu peraturan lebih lanjut mengenai frasa dari tidak diperlukannya persetujuan tindakan kedokteran dalam tindakan medis yang dilakukan sesuai dengan program pemerintah.
This thesis discusses Informed consent in medical treatment which is a government program. There is an exception for informed consent in special circumstances, namely approval of medical treatment is not necessary for medical actions carried out in accordance with government programs. The purpose of writing this thesis is to analyze the application of informed consent to immunization action which is one of the government programs in the health sector. The research for writing this thesis is a research that uses a juridical-normative approach by using secondary data and with qualitative data collection techniques. Consent can be in written and oral form. In immunization, the consent given by parents is an implied consent and is equated with verbal consent. The government needs to make a further regulation regarding the phrase that there is no need for approval of medical treatment in medical actions carried out in accordance with government programs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muthiarani
"Informed consent merupakan salah satu unsur paling penting yang harus dipenuhi dalam hubungan antara dokter dan pasien. Apabila informed consent tidak terpenuhi, maka akan timbul konsekuensi bagi dokter. Konsekuensi yang timbul dapat berupa tanggung jawab berdasarkan etik kedokteran, ilmu disiplin kedokteran dan/atau ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini akan memfokuskan pembahasan terkait pengaturan dan penerapan dari informed consent di Indonesia. Penelitian ini juga akan membahas konsekuensi hukum seperti apa yang dapat dikenakan bagi pihak yang tidak melaksanakan informed consent dengan menganalisis Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda Nomor 63/Pdt/2016/PT.Smr. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridisnormatif, dengan meneliti asas-asas dan unsur-unsur yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan terkait hukum kesehatan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari studi pustaka dan wawancara dalam menganalisis pokok permasalahan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan terkait penerapan informed consent di Indonesia telah terakomodir dalam kode etik profesi dokter dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Jika terdapat kesalahan dalam penerapan informed consent, maka dokter dapat dikenakan konsekuensi hukum dari aspek hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi. Penelitian ini memberikan saran kepada pemerintah untuk memperjelas ketentuan terkait informed consent dengan menegaskan kewajiban dokter untuk memastikan pasien telah memahami penjelasannya dengan baik sebelum memberikan persetujuan.

Informed consent is one of the most important elements that should be applied in the communication between doctors and patients. If informed consent is not done, there will be consequences for the doctors. The consequences accounted are in the forms of duty and professional responsibilities to the code of medical ethics, scientific responsibility to medical disciplines, and also to the law and legal authorities. This study will focus on regulations and implementations of informed consent in Indonesia. This study will also discuss the legal consequences that can be imposed on doctors who neglect informed consent by analysing the Samarinda High Court Decision Number 63/Pdt/2016/PT.Smr. The method used in this research is a juridical-normative approach, by reviewing the principles and constituents contained in the laws and regulations related to medical law and informed consent. This study uses secondary data from literature reviews and interviews to analyse the subject matter. The result of this study indicates that the provisions regarding the implementation of informed consent in Indonesia have been entailed in doctors’ professional code of medical ethics and Indonesian laws and regulations. If there are any errors in the implementation of informed consent, doctors can be subjected to legal consequences from the aspects of civil law, criminal law and administrative law. This study provides suggestions to the government to clarify the provisions regarding informed consent by asserting the doctor's responsibility to ensure that patients understand the explanation well before giving their consent."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ananda Putri
"Penolakan tindakan medis pada dasarnya adalah hak asasi seseorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri. Penolakan tindakan medis sama pentingnya dengan persetujuan tindakan medis, namun belum banyak orang yang memahaminya karena hanya terfokus pada persetujuan tindakan medis saja. Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan penolakan tindakan medis, tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terhadap pasien jika terdapat penolakan tindakan medis di rumah sakit serta pengaturan dan tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terkait penolakan tindakan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada hukum positif yaitu UU No. 36 Tahun 2009, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 44 Tahun 2009 dan PERMENKES No. 290 Tahun 2008. Di RSCM, ketentuan penolakan tindakan medis mengacu pada hukum positif tersebut dan diatur pula dalam peraturan internal yaitu Keputusan Direktur Utama KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04/XI.3/0015/2017 dan petunjuk pelaksanaan atas peraturan internal tersebut yaitu KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04/XI.3/20341/2015 dan Standar Prosedur Operasional Penolakan Tindakan Kedokteran No. Dokumen 55/TU.K/79/2012. Tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terhadap pasien yang melakukan penolakan tindakan medis gugur sepanjang pasien tersebut sebelumnya sudah sepenuhnya memahami penjelasan dokter mengenai tindakan medis tersebut.
Di akhir penelitian ini, penulis menyarankan bahwa pemerintah perlu menetapkan batas usia dewasa bagi pasien yang dapat melakukan penolakan tindakan medis yaitu 18 tahun ke atas dan penolakan tindakan medis seharusnya juga dapat dilakukan dengan advance care directive, RSCM perlu mengganti penggunaan frasa ldquo;tingkat keberhasilan tindakan kedokteran supaya tidak bertentangan dengan makna perjanjian terapeutik, serta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran MKEK sebaiknya lebih sering melaksanakan seminar, simposium, pelatihan maupun penyuluhan untuk membuat para dokter lebih memahami substansi Kode Etik dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan. Selain itu, dokter juga sebaiknya selalu berusaha untuk memperbaharui ilmu pengetahuan yang dimilikinya yakni dengan cara rajin mengikuti seminar, simposium, pelatihan maupun penyuluhan yang dibuat oleh MKEK tersebut.

Informed refusal in fact is human rights of someone to determine what will be done to themselves. Informed refusal is as important as informed consent, nonetheless not a lot of people really understand about such concept because they only focus to informed consent. This thesis examines the regulation of informed refusal, legal responsibility of the doctor and the hospital if there are some informed refusals that are done in the hospital and the regulation and legal responsibility of the doctor and the hospital related to informed refusal in Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM .
The research method is normative juridical which is based on the positive norms which are UU No. 36 Tahun 2009, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 44 Tahun 2009 and PERMENKES No. 290 Tahun 2008. In RSCM, informed refusal is based on those positive norms and is also regulated in the internal regulation which is Keputusan Direktur Utama KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04 XI.3 0015 2017 and the operational guidelines of the internal regulation which are KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04 XI.3 20341 2015 and Standar Prosedur Operasional Penolakan Tindakan Kedokteran No. Dokumen 55 TU.K 79 2012. The doctor and the hospital will no longer be legally responsible of the patient who has done an informed refusal, as long as earlier the patient has understood very well the informed of the medical treatment.
By the end of this research, the writer suggests that the government should regulate that the legal age of a patient who will do an informed refusal is 18 years old and informed refusal should also be able to be done by advance care directive, RSCM needs to change the use of the phrase 'the successful rate of the medical treatment' so it won rsquo t be against the definition of Therapeutic Contract, and Honorary Council of Medical Ethics MKEK should hold a seminar, simposium, training or counseling session more often to make the doctors more aware of the substance of Code of Ethics and the regulations of Health Law. Besides, the doctors should also make effort to update their knowledges by attending some seminars, symposiums, trainings or counseling sessions held by MKEK.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Made Naradipa
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kesesuaian pengelompokan tindakan medis pasien
Askes di RSU Puri Raharja, dimana selama periode Juli-Agustus 2013 diketahui
masih terjadi 49,2% ketidaksesuaian TMO yang ditetapkan oleh dokter dan PT
Askes. Tesis ini membahas hubungan antara variable organisasi dan individu
terhadap kesesuaian pengelompokan TMO. Desain penelitian adalah kombinasi
metode kuantitatif dan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan para
pejabat tidak memfasilitasi pertemuan antara dokter dan Askes, para dokter tidak
diikutkan dalam setiap tahapan-tahapan dan sosialisasi kerjasama dengan Askes
dan tidak ada keterbukaan tentang jasa medis Askes, oleh karena itu pejabat yang
berwenang memfasilitasi pertemuan antara dokter dan pihak Askes, melibatkan
para dokter disetiap kerjasama dengan pihak ketiga apalagi yang menyangkut
TMO dan jasa medis serta menyampaikan secara terbuka perhitungan jasa
medisnya.

ABSTRACT
This thesis discusses about compatibility grouping of medical action on Askes
patients in the Puri Raharja hospital, where during the period from July to August
2013 are still known to occur 49.2% discrepancy TMO set
by doctors and PT Askes. This thesis explores the
relationship between organizational and individual variables on
the suitability grouping TMO. The study design was a combination of quantitative
methods and qualitative methods. Results showed officials do not facilitate
meetings between doctors and Askes, the doctors are not included in each of the
stages and socialization cooperation with Askes and
no disclosure of medical services Askes, therefore the authorities to facilitate a
meeting between the doctor and the Askes, doctors involved in each partnership with
a third party concerning especially TMO and medical services as well
as delivering medical services openly calculations."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T39297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Wibowo
"Skripsi ini membahas tentang perbuatan melawan hukum atas tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien tanpa adanya informed consent sebelumnya. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan tipe deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah informed consent merupakan suatu proses yang satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dan merupakan hal wajib dilakukan oleh dokter kepada pasien. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya informed consent disebut sebagai perbuatan melawan hukum. Peneliti menyarankan dokter harus bertindak hati-hati dalam melakukan tindakan medis, rumah sakit harus selalu melakukan pengawasan kepada dokter, dan masyarakat supaya bersikap kritis terhadap pelayanan medis.

This thesis discusses the tort of a medical procedure perfomed on patients without their prior informed consent. This research is a normative research with descriptive type. The results of this research is informed consent is a process that is an intergral and inseparable and it is a compulsary to be given form doctor to the patien. Medical procedures perfomed by doctors without any informed consent is called a tort, except the medical procedures do in an emergency. Researchers suggest, doctor shoud be cautious in perfoming a medical procedure, the hospital managers should always supervise the doctors, and the public are expected to be critical of the medical service.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64766
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhifa Kamilia
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk dalam tindakan medis, sebagai salah satu upaya perlindungan hukum yang dapat membela hak dokter dalam kasus dugaan malpraktik. Doktrin ini diterapkan karena sering kali dokter menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan ketika terjadi kegagalan pengobatan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah pengertian dan ruang lingkup dari doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk, penerapan doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk dalam tindakan medis, dan analisis Putusan No. 417/Pdt.G/2012/Pn.Mdn berdasarkan doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk. Penulisan skripsi ini menggunakan bentuk yuridis-normatif dengan tipe deskriptif dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan yang dicapai ialah penerapan dari doktrin tersebut dibuktikan dengan adanya informed consent dari pasien, sehingga dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas terjadinya kerugian yang timbul dari risiko medis, kecuali dokter terbukti melakukan kelalaian medis. Dalam Putusan No. 417/Pdt.G/2012/Pn.Mdn, doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk dapat diterapkan karena adanya informed consent sebagai bukti bahwa pasien telah mengetahui dan menyetujui tindakan dan risiko medis, serta dokter telah tidak melakukan kelalaian medis, dengan telah melakukan langkah-langkah pencegahan dan antisipasi atas risiko medis tersebut sesuai dengan standar prosedur. Berdasarkan permasalahan yang Penulis temukan, dapat terlihat bahwa pemahaman terhadap hukum kesehatan di Indonesia masih kurang. Adapun saran yang disampaikan ialah hukum kesehatan untuk lebih dikenalkan kepada para akademisi, praktisi, dan ahli hukum, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum wajib dalam fakultas hukum, mengadakan workshop atau pelatihan khusus mengenai hukum kesehatan.

This thesis discusses the application of doctrine volenti non fit injuria assumption of risk in medical action, as one of the legal protection that can defend the right of doctor in case of malpractice allegation. It is because, most of the times, doctor would be the only one to blame whenever failure treatment happened. The issues in this thesis are the definition and the scope of volenti non fit injuria assumption of risk doctrine, the implementation of volenti non fit injuria assumption of risk doctrine in medical action, and analysis of Verdict No. 417 Pdt.G 2012 Pn.Mdn based on the volenti non fit injuria assumption of risk doctrine. This thesis uses normative with descriptive data analysis methods so that the conclusion obtained in the form of a qualitative description. From doing this research, it is known that the implementation of doctrine can be proved by the informed consent from the patient, therefore doctors can rsquo t be responsible of damage that comes from medical risk, except except it can be proved that the damage happened because doctors did medical negligence. In verdict No.417 Pdt.G 2012 Pn.Mdn case, doctrine of volenti non fit injuria assumption of risk can be applied because there is informed consent as a proof of acknowledgement and approval of medical risk from the patient. Furthermore, it was not medical negligence case and the doctor has been taken precautionary measures and has anticipated the medical risks in accordance with standard procedures. Based on the problems that the author found, it can be seen that the understanding of health law in Indonesia is still lacking. Therefore, health law is expected to be more introduced to scholars, law enforcers, and lawyers by incorporating it into the curriculum in law school, organizing workshops or special training.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>