Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Azzahra Abdul Kadir Said Alwini
""upcycling" dalam tren fesyen untuk mendukung kehidupan yang lebih berkelanjutan. Upcycling adalah kegiatan mengubah atau memodifikasi barang bekas menjadi barang baru dengan nilai tambah. Diharapkan upcycling dapat memperlambat produksi limbah fashion yang mencemari lingkungan dan mengurangi fast fashion. Dalam industri fesyen, upcycling dianggap sebagai tren yang revolusioner karena produk upcycling menawarkan nilai keunikan dan kreativitas. Meskipun gerakan upcycling dianggap bermanfaat bagi lingkungan dan industri fesyen, tetapi muncul isu hukum kekayaan intelektual ketika barang bekas merek terkenal digunakan untuk upcycling. Penggunaan barang bekas bermerek terkenal dianggap dapat merusak citra, reputasi, dan kredibilitas merek terkenal. The Agreement on Trade-Related of Intellectual Property Rights Pasal 6 mengatur bahwa negara anggota dapat menggunakan prinsip exhaustion untuk menyelesaikan sengketa kekayaan intelektual. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis apakah kegiatan upcycling terhadap barang bekas merek terkenal dapat berakibat pelanggaran merek terkenal dan apakah doktrin exhaustion dapat digunakan sebagai pembelaan oleh penjual produk upcycling untuk mempertahankan kedudukannya.Melemahnya kemampuan bumi untuk menampung pertumbuhan populasi dunia telah mendorong munculnya gerakan "upcycling" dalam tren fesyen untuk mendukung kehidupan yang lebih berkelanjutan. Upcycling adalah kegiatan mengubah atau memodifikasi barang bekas menjadi barang baru dengan nilai tambah. Diharapkan upcycling dapat memperlambat produksi limbah fashion yang mencemari lingkungan dan mengurangi fast fashion. Dalam industri fesyen, upcycling dianggap sebagai tren yang revolusioner karena produk upcycling menawarkan nilai keunikan dan kreativitas. Meskipun gerakan upcycling dianggap bermanfaat bagi lingkungan dan industri fesyen, tetapi muncul isu hukum kekayaan intelektual ketika barang bekas merek terkenal digunakan untuk upcycling. Penggunaan barang bekas bermerek terkenal dianggap dapat merusak citra, reputasi, dan kredibilitas merek terkenal. The Agreement on Trade-Related of Intellectual Property Rights Pasal 6 mengatur bahwa negara anggota dapat menggunakan prinsip exhaustion untuk menyelesaikan sengketa kekayaan intelektual. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis apakah kegiatan upcycling terhadap barang bekas merek terkenal dapat berakibat pelanggaran merek terkenal dan apakah doktrin exhaustion dapat digunakan sebagai pembelaan oleh penjual produk upcycling untuk mempertahankan kedudukannya.

The declining capability of the earth to support the world's population has led to the emergence of the sustainable fashion trend of "upcycling". Upcycling involves modifying used goods to create new ones with added value, with the goal of slowing down the fashion industry's disposal of waste and reducing the fast fashion movement. Although upcycling is considered revolutionary, there is a legal issue when using second-hand goods from well-known trademarks. Although the upcycler legally owns the product, the use of goods from well-known trademarks in their upcycling product could damage the well-known trademark reputation and cause consumer confusion when they sell it. The exhaustion principle is outlined in the Agreement on Trade-Related of Intellectual Property Rights Article 6 and said it may be used to settle intellectual property disputes. With juridical normative research method, this thesis will analyze whether there is a trademark infringement in the activity of upcycling using used goods from well-known trademarks. This thesis will also analyze whether the exhaustion doctrine can be used to solve the matter that arises. Moreover, can it be utilized as a defense argument for the upcycler in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Henry Yohanes
"Impor paralel merupakan fenomena yang muncul karena perkembangan pasar yang saat ini dialami oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Produk impor paralel sendiri merupakan produk asli dan secara teoritis bukan merupakan pelanggaran merek, sesuai dengan prinsip exhaustion dalam hukum merek. Namun, pada praktiknya impor paralel dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu pihak yang dinilai merasakan dampak terbesar dari impor paralel adalah pemegang lisensi merek. Sayangnya, hukum Indonesia tidak secara jelas dan eksplisit mengatur mengenai legalitas dan penanganan impor paralel, sehingga pemegang lisensi merek pun dapat merasa kesulitan untuk memulihkan kerugian yang timbul dari praktik tesebut. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait upaya yang tersedia bagi pemegang lisensi merek untuk menangani dampak yang timbul dari praktik impor paralel, serta membandingkannya dengan hukum yang berlaku di negara lain, yaitu Amerika Serikat dan Singapura. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru serta memberikan masukan kepada pembuat peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk memperjelas posisi hukum Indonesia dalam menanggapi dan menyelesaikan sengketa impor paralel yang terjadi di Indonesia.

Parallel Importation is a phenomenon that rises as a consequence of globalization and market development that affect various countries across the globe, including Indonesia. The imported goods themselves are genuine goods, so theoretically, parallel importation is not classified as a trademark infringement, according to the exhaustion principle. Yet, in practice, parallel importation can cause a damage to various parties. One of the parties that potentially suffers the biggest loss is trademark licensee. Unfortunately, Indonesian law does not explicitly regulate the legality nor a mechanism to handle parallel importation, so a party that affected by the damage may find it difficult to recover from their loss. Therefore, this thesis will try to analyze the Indonesian trademark law to find an available procedure for trademark licensees to handle parallel importation, and will also compare such procedure with regulations in the United States of America and Singapore. The research method in writing this thesis is a juridical-normative method, using library materials that include primary, secondary, and tertiary legal materials. Hopefully, this thesis can give new insights to the readers, while also suggests the Indonesian lawmakers to clear up the position of Indonesian law on handling and resolving the parallel importation issues in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devinka Myrella Lukito
"Persoalan merek dagang atau segala bentuk hak kekayaan intelektual selalu ada dalam Industri Mewah karena adanya permintaan konsumen terhadap tren yang menggeser perilaku konsumen terhadap barang-barang yang diproduksi oleh industri mewah. Dengan fenomena ini munculnya barang-barang impor pada barang-barang mewah dipertanyakan dalam hal distribusi dan penggunaan penjualannya. Legalitas Impor Paralel dapat diperdebatkan dimana barang asli yang dipasarkan didistribusikan melalui pengecer tidak resmi yang dapat menimbulkan masalah bagi industri barang mewah dalam melawan persaingan pasar dan hilangnya itikad baik yang mungkin timbul dari pedagang tidak sah yang menaikkan harga dan harga yang berbeda. dapat mengikis ekuitas merek dari merek tersebut. Karena distribusi barang-barang tersebut rumit karena adanya perbedaan hak yang diterapkan oleh negara-negara yang berbeda, maka dalam tesis ini akan mengeksplorasi perlindungan tentang bagaimana putusan Pengadilan Eropa dibandingkan dengan penegakan hukum di Indonesia dapat melindungi merek dagang terkenal. pemilik dari aktivitas impor paralel yang dapat melanggar merek dagang merek.

The issue of trademark or any sorts of intellectual property rights is always existing within the Luxury Industry due to the fact of consumer’s demand of on-going trends that shifts consumer’s behavior towards goods produced by luxury industries. With this phenomenon the rise of imported goods on luxury goods are being questioned in terms of their distribution and use of sales. Parallel Imports legality is open to argument where the authentic goods that are placed into market are distributed through an unauthorized reseller which may lead to problems for luxury industry in combating market competition and a loss of goodwill that may arise from unauthorized dealers marking up different prices and may erode the brand equity of the brand. Since the distribution of such goods are complicated due to different exhaustion of rights implemented by different countries and therefore in this thesis it will explore the protection on how the rulings of the European Court of Justice in comparison with the Indonesian enforcement may protect well-known trademark owners from parallel import activity that may infringe the trademark of brands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhil Athallah Sakti
"Pengunaan dan pendaftaran/ pencatatan Logo yang tidak tepat marak menjadi sengketa antara pengguna hak cipta dan merek, hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai perlindungan dari kedua hak tersebut. Pada dasarnya Perlindungan Hak Cipta hanya diterapkan untuk komersialisasi Ciptaan. Sedangkan, perlindungan Merek pada dasarnya memiliki tujuan untuk melindungi produk berupa barang atau jasa. Adanya Pasal 65 dalam Undang-Undang Hak Cipta membuat sebuah hak cipta Logo tidak dapat didaftarkan menjadi Merek Terdaftar jika memiliki kesamaan. Pengaturan tidak memperbolehkan pedaftaran hak cipta logo yang memiliki kesamaan dengan merek terdaftar menghindari adanya pelanggaran merek persamaan pada pokoknya dengan sebuah Merek Terdaftar. Persamaan pada pokoknya sendiri merupakan adanya kesamaan arti, bunyi dan tampilan dengan tujuan membuat kebingungan konsumen secara nyata. Namun dalam pengenaan pelanggaran persamaan pada pokoknya sebuah merek harus digunakan terlebih dahulu oleh pihak lain. Tidak adanya pengaturan mengenai pengenaan sanksi persamaan pada pokoknya terhadap objek kekayaan intelektual lain mengakibatkan pemilik Merek Terdaftar mengalami kerugian yang besar dengan tidak dapat menjalankan periklanan dan promosi produk secara maksimal. Dalam praktiknya membuat pemilik hak cipta berbentuk logo dapat melakukan penyelewengan penggunannya dengan melakukan peniruan logo dalam bentuk tampilan dengan melakukan pemasaran ciptannya. Maka sebuah logo seharusnya tidak dapat dimiliki oleh pemilik hak cipta dan Merek secara bersamaan, perlu adanya pilihan yang harus ditentukan dengan pertimbangan yang tepat. Jika ingin melakukan untuk komersialisasi Ciptaan gunakanlah perlindungan hak Cipta. Namun gunakanlah perlindungan Merek bila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk dari adanya peniruan, penjiplakan dan pemalsuan oleh pihak lain yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat karena merusak repurtasi produk.

Inappropriate use and registration of Logos are rife in disputes between copyright and trademark users, this is due to a lack of understanding regarding the protection of these two rights. Copyright Protection only applies to the commercialization of Works. Meanwhile, trademark protection aims to protect products in the form of goods or services. The existence of Article 65 in the Copyright Act makes a Logo copyright cannot be registered as a Registered Mark if it has similarities. The arrangement of not obtaining a logo copyright registration that has similarities with a registered mark avoids any trademark infringement in essence with a Registered Mark. The similarity in essence is the similarity in meaning, sound, and appearance to create real consumer confusion. However, in the imposition of an equality violation, in essence, a mark must be used first by another party. The absence of regulations regarding the imposition of equal sanctions in principle against other intellectual property objects results in the owner of the Registered Mark experiencing a large loss by not being able to run product advertising and promotion to the fullest. In practice, creating a copyright owner in the form of a logo can misuse its use by imitating the logo in the form of a display by marketing the creation. So a logo should not be owned by the copyright owner and the Mark simultaneously, there needs to be a choice that must be determined with proper consideration. If you want to commercialize a work, use copyright protection. However, use Mark protection if you want to protect a product from imitation, plagiarism, and falsification by other parties which can lead to unfair business competition because it damages product's reputation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murray, Brian H.
""Leading brands and the intellectual property of successful organizations are increasingly falling victim to hostile tactics from unscrupulous businesses. Unwanted brand associations, product piracy, and other forms of online brand abuse threaten to alienate consumers and undermine the success of companies in every industry. Defending the Brand introduces strategies being used by companies around the world to fight back and regain control, preserving brand equity and rescuing potentially lost revenue. From marketing and sales initiatives that discourage abuse to how to collect intelligence on possible wrongdoers, this timely book is as valuable as it is fascinating. Punctuated with eye-opening stories from real companies like Home Depot, Disney, the Red Cross, Nintendo, and the Associated Press, Defending the Brand is a call to action for companies unwilling to compromise the power of their brands and the success of their products.""
New York: [American Management Association, ], 2004
e20438041
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Halida Damayanti
"Layanan keyword advertising memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk mengiklankan produknya yang akan muncul pada hasil pencarian yang dipicu oleh kata kunci yang dimasukkan ke mesin pencari. Kata kunci yang dipilih oleh pengiklan tidak dibatasi dan dapat berupa suatu merek. Penggunaan merek sebagai kata kunci dalam keyword advertising merupakan penggunaan merek yang tidak terlihat sehingga menimbulkan permasalahan apakah dapat dikategorikan sebagai penggunaan merek dalam kegiatan perdagangan. Pemilik merek berhak melarang penggunaan mereknya tanpa izin sehingga penggunaan merek sebagai kata kunci oleh pihak lain menimbulkan permasalahan karena dapat dianggap penggunaan tanpa hak yang berkaitan dengan pelanggaran merek. Tujuan penelitian ini adalah meninjau permasalahan hukum berkaitan dengan penggunaan merek sebagai kata kunci dalam keyword advertising berdasarkan hukum merek yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2016. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atas norma hukum tertulis. Perbandingan putusan pengadilan di negara lain dipaparkan untuk memberikan pemahaman. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan merek yang diatur Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 merupakan penggunaan dalam kegiatan produksi dan perdagangan barang atau jasa. Penggunaan merek sebagai kata kunci oleh pengiklan dapat dikategorikan penggunaan merek dalam kegiatan produksi dan perdagangan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia namun bukan merupakan suatu pelanggaran merek menurut hukum merek di Indonesia. Penyedia layanan keyword advertising tidak dapat diberikan pertanggungjawaban apabila terdapat pelanggaran merek yang dilakukan pengiklan berdasarkan perlindungan safe harbor.

Keyword advertising service gives opportunity for businesses to advertise their products that will be displayed in search result triggered by the input of keyword in search engine. Chosen keywords by advertisers are unlimited and trademarks are often used. Trademark use as keyword in keyword advertising is an invisible use that could lead to question such use can be categorized as use in commerce or not. Trademark owners could forbid their unauthorized trademark use, so the unauthorized use of trademark as keyword by other parties could lead to problems related to trademark infringement. The purpose of this research is to review legal issues related to trademark use as keywords in keyword advertising based on the current Indonesian Trademark Law, Law No. 20 of 2016. Normative juridical research is applied for this research. Court decisions in other countries are used to compare issues to give understanding. The conclusion of this research is the trademark use that is ruled in Law No. 20 of 2016 is the use in production and commerce of goods or services. Trademark use as keyword in keyword advertising is categorized as use in commerce based on Indonesian law but such use cannot be categorized as trademark infringements based on Indonesian trademark law. Keyword advertising service providers could not be held accountable if for trademark infringements done by advertisers based on the safe harbor protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Tiku Sarungu
"Undang-Undang Merek No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan definisi merek yang menyatakan bahwa Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/ atau 3 {tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Merek dijadikan sebagai unsur pembeda pada sebuah produk dan jasa. Perekonomian dan pengaruh globaliasi yang berkembang menyebabkan kemajuan terhadap berbagai sektor. Penulisan ini mengambil 3 (tiga) pokok permasalahan yaitu bagaimana pengaturan hukum merek terkait dengan pelanggaran merek berupa penjualan produk palsu, bagaimana kebijakan dalam penyedia sarana perdagangan di Indonesia terkait tindakan notice and takedown serta kasus yang terkait dengan tindakan notice and takedown di China dan Filipina, dan bagaimana batasan serta implementasi dari tindakan notice and takedown pada penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik bila terjadi pelanggaran merek berupa penjualan produk palsu pada penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif yang menitikberatkan pada penggunaan norma hukum secara tertulis dan didukung dengan dengan hasil penelitian atas penggunaan norma yang berlaku. Kesimpulan yang didapatkan adalah tindakan notice and takedown yang dilakukan oleh penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik tidakah cukup untuk mengatasi pelanggaran merek secara online karena akan menimbulkan adanya potensi terjadinya pelanggaran merek berupa penjualan barang palsu. Serta dimungkinkan pula adanya potensi permintaan ganti rugi yang akan diajukan oleh pemilik merek kepada penyedia sarana perdagangan melalui sistem elektronik.

Law of the Republic of Indonesia number 20 of 2016 on Marks and Geographical Indications has gi en the definition which states that Mark means any sign capable of being represented graphically in the form of drawings, logos, names, words, letters, numerals, colors arrangement, in 2 (two) and/or 3 (three) dimensional shape, sounds, holograms, or combination of 2 (two) or more of those elements to distinguish goods and/or services produced by a person or legal entity in trading goods and/or services. Trademark is used as a distinguishing element in a product and service. The economy and the growth of globalization have led to advances in various sectors. This paper takes 3 (three) main issues, first is how the legal provisions for trademarks are related to trademark infringement in the form of selling counterfeit goods. Second is how are the policies in trading facilities providers in Indonesia are related to notice and takedown actions, and cases related to notice and takedown actions in China and the Philippines. Lastly, how to limit and implement the notice and takedown actions for providers of trading facilities through electronic systems in the event of a trademark infringement in the form of selling counterfeit goods to providers of trading facilities through electronic systems in Indonesia. The research method used is juridical-normative which focuses on the use of legal norms in writing and is supported by research results on the use of applicable norms. The conclusion is that notice and takedown actions carried out by providers of trading facilities via electronic systems are not sufficient to overcome online trademark infringement because they will cause a potential for trademark infringement in the form of selling counterfeit goods. It is also possible for the potential compensation request to be submitted by the trademark owner to the trading facility provider through an electronic system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library