Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rudy Nugroho
"Latar belakang : Pemasangan sungkup laring tanpa menggunakan obat pelumpuh otot membutuhkan tingkat kedalaman anestesia yang cukup untuk mendepresi refleks jalan napas sehingga menghindari tersedak, batuk dan laryngospasm. Tes klinis yang mudah, akurat dan aplikatif diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti di atas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keefektivan trapezius squeezing test sebagai indikator kedalaman anestesia saat pemasangan sungkup laring dihubungkan dengan Bispectral Index.
Metode : Setelah lolos kaji etik dan mendapatkan persetujuan klinik, 105 pasien ASA 1-2 dilakukan pemasangan sungkup laring dengan trapezius squeezing test sebagai prediktor kedalaman anestesia. Semua pasien mendapatkan premedikasi midazolam 0,05mg/kgBB dan fentanyl 1 mcg/kgBB. Induksi dilakukan dengan propofol titrasi, dengan kedalaman anestesia diukur dengan trapezius squeezing test. Pemasangan sungkup laring dilakukan bila trapezius squeezing test negatif. Dicatat keberhasilan pemasangan sungkup laring. Tekanan darah, laju nadi dan nilai Bispectral Index juga didokumentasikan.
Hasil : Sungkup laring berhasil dipasang pada 88 pasien sedangkan 14 pasien gagal dilakukan pemasangan sungkup laring walaupun trapezius squeezing test negatif. Nilai median Bispectral Index saat trapezius squeezing test negatif adalah 35.
Kesimpulan : Trapezius squeezing test merupakan indikator klinis yang dapat diandalkan untuk menilai kedalaman anestesia saat pemasangan sungkup laring.

Background : Laryngeal mask insertion without using muscle relaxant requires a level of depth of anesthesia sufficient to depress airway reflexes to avoid choking, coughing and laryngospasm. Easy, accurate and applicable clinical tests are required to avoid complications as above. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the trapezius squeezing test as an indicator of the depth of anesthesia when inserting laryngeal mask airway associated with Bispectral Index.
Methods : After ethical clearance and receive informed consent, 105 ASA 1-2 patients were done laryngeal mask insertion with trapezius squeezing test as a predictor of anesthesia depth. All the patient were receive premedication midazolam 0,05 mg/kg and fentanyl 1 mcg/kg. Induction were done by propofol titration with anesthesia depth is measured by trapezius squeezing test. Laryngeal mask were inserted when trapezius squeezing test negative. The successful of laryngeal mask insertion was recorded. Blood pressure, pulse rate and Bispectral Index score were also documented.
Result :Larygeal mask successfully inserted in 88 patients while 14 patients failed despite the negative results of trapezius squeezing test. The median score of Bispectral Index when trapezius squeezing test negatif was 35.
Conclusion : Trapezius squeezing test is a reliable clinical indicator to assess the depth of anesthesia during laryngeal mask insertion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edbert Sugiharto Wreksoatmodjo
"Myofascial Pain Syndrome (MPS) adalah salah satu keluhan muskuloskeletal terbanyak dalam pelayanan kesehatan. MPS diduga dapat menyebabkan gangguan pada koordinasi otot-otot skapula. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan terhadap kejadian MPS upper trapezius dengan ketidakseimbangan eksitasi otot upper trapezius, otot lower trapezius dan serratus anterior.
Penelitian ini adalah studi potong lintang observasional. Sebanyak 34 subjek penelitian yang terdiri dari 17 subjek dengan MPS kronis dan 17 subjek non-MPS berusia 18-59 tahun dikumpulkan. Pengambilan data dilakukan menggunakan alat EMG permukaan Neurotrac MyoplusPro 4. Pengukuran eksitasi otot dilakukan pada otot upper trapezius, lower trapezius, dan serratus anterior. Pengukuran tersebut dilakukan pada saat bahu abduksi 0-180° tanpa beban, 25% beban maksimal, dan 50% beban maksimal. Pengukuran dilakukan tiga kali dan diambil reratanya. Rerata eksitasi diambil rasio perbandingan antara ketiga otot tersebut dan dibandingkan antara populasi MPS dengan populasi non-MPS. Uji statistik yang digunakan adalah uji T tidak berpasangan jika data pada sebaran normal. Jika sebaran tidak normal maka digunakan Mann-Whitney test. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan rasio eksitasi yang bermakna pada otot upper trapezius dengan lower trapezius pada penderita MPS kronis dibandingkan dengan non-MPS pada ketiga tingkatan beban yang dilakukan, ditemukan perbandingan antara kedua kelompok tersebut dengan rata-rata perbedaan 2:1. Sedangkan, tidak terdapat perbedaan bermakna dari rasio otot upper trapezius dengan serratus anterior, dan lower trapezius dengan serratus anterior antara kedua populasi tersebut.

Myofascial Pain Syndrome (MPS) is one of the most common musculoskeletal complaints in health services. MPS is suggested to cause a discoordination of the scapula muscles. This study aims to prove that there is a relationship between the incidence of upper trapezius MPS and the imbalance of excitation of the upper trapezius, lower trapezius and serratus anterior muscles.
This study was an observational cross-sectional study. A total of 34 study subjects consisting of 17 subjects with chronic MPS and 17 non-MPS subjects aged 18-59 years were collected. Data were collected using the Neurotrac MyoplusPro 4 surface EMG device. Muscle excitation was measured on the upper trapezius, lower trapezius, and serratus anterior muscles. These measurements were carried out when the shoulder was abducted 0-180° with no load, 25% of the maximum load, and 50% of the maximum load. Measurements were made three times and the average was taken. The average excitation ratio was taken between the three muscles and compared between the MPS population and the non-MPS population. The statistical test used was the unpaired T test if the data were in a normal distribution. If the distribution is not normal, then the Mann-Whitney test is used.
The results of this study found that there was a significant difference in the excitation ratio of the upper trapezius and lower trapezius muscles in patients with chronic MPS compared to non-MPS at the three levels of load carried out, a comparison between the two groups was found with an average ratio of 2:1. Meanwhile, there was no significant difference in the ratio of the upper trapezius muscle to the serratus anterior, and the lower trapezius to the serratus anterior between the two populations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Masry
"Latar Belakang. Manajemen jalan nafas merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam bidang anestesiologi. Salah satu jenis Alat bantu jalan nafas yang telah dipergunakan secara luas adalah Laringeal Mask Airway (LMA/Sungkup Laring). Pada pemasangan sungkup laring tanpa menggunakan pelumpuh otot membutuhkan kedalaman anestesi yang cukup, Tes klinis yang mudah, akurat dan aplikatif diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan trapezius squeezing test dan jaw thrust sebagai indikator kedalaman anestesi pada pemasangan sungkup laring dengan propofol sebagai agen induksi.
Metode. Sebanyak 128 pasien di randomisasi ke dalam 2 kelompok yaitu jaw thrust dan trapezius squeezing test. Seluruh pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan Fentanyl 1 mcg/kgBB. Induksi menggunakan propofol titrasi. Manuver jaw thrust dan trapezius squeezing test dilakukan setiap 15 detik. Saat respon motorik hilang dilakukan pemasangan sungkup laring. Dicatat keberhasilan pemasangan, dosis propofol, tekanan darah, laju jantung, dan insiden apneu.
Hasil. Keberhasilan pada kelompok jaw thrust 93.8%, sedangkan trapezius squeezing test yang 90.6%. Penggunaan rerata propofol pada kelompok jaw thrust yaitu sebesar 120.34 mg, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test yaitu sebesar 111,86 mg. Insiden apneu yang pada kelompok jaw thrust terjadi pada 10 (15.6%) pasien, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test sebesar 11 (17.2%) pasien. Tidak terdapat perubahan hemodinamik yang berarti pada kelompok jaw thrust sedangkan sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test terdapat perubahan hemodinamik yang berarti di menit ke 3 dan ke 4.
Kesimpulan. Trapezius squeezing test tidak lebih baik daripada jaw thrust sebagai indikator klinis dalam menilai kedalaman anestesia pada insersi sungkup laring.

Background. Airway management is one of the most important phase in anesthesiology. One of airway device that have been used generally is Laryngeal Mask Airway (LMA). Laryngeal mask insertion without muscle relaxant requires a level of depth anesthesia. An easy, accurate, an applicable clinical indicator were required to avoid complication. This study was determine the comparison trapezius squeezing test and jaw thrust as indicator of depth of anesthesia in laryngeal mask insertion with propofol as induction agent.
Methods. 128 patient have been randomize in to 2 group that are jaw thrust and trapezius squeezing test. All patients were received premedication with midazolam 0.05 mg/kg and fentanyl 1 μg/kg. Induction were done by propofol titration. Jaw thrust and trapezius squeezing test maneuver were done in every 15 second. When motoric respond negative the laryngeal mask were inserted. The successful of laryngeal mask insertion was recorded, propofol consumption, blood pressure, heart rate, and incidence of apnea were also documented.
Result. Laryngeal mask successfully inserted in 93.8% patients in jaw thrust group, and 90.6% in trapezius squeezing test group. Mean of propofol consumption in jaw thrust group is 120.34 mgs, and in trapezius squeezing test is 11.86 mgs. Incident of apnea in jaw thrust group happened in 10 patients (15.6%), and in trapezius squeezing test group happened in 11 patient (17.2%). Hemodynamic in jaw thrust group relatively stable but in trapezius squeezing test there is significant hemodynamic changing in minute third and fourth.
Conclusion. Trapezius squeezing test is not better than jaw thrust as clinical indicators of depth of anesthesia for laryngeal mask insertion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmadi J. Gunawan
"Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi gabungan hot pack dan kompresi iskemik dibandingkan dengan hot pack saja terhadap penurunan nyeri penderita miofasial otot upper trapezius. Desain: Randomized controlled trial Tempat: Poliklinik Rehabilitasi Medik, Rumah Sakit Vmum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Subjek: Enam puluh satu pasien yang terdiri dari 51 pasien wanita dan 10 pasien pria yang menderita nyeri miofasial otot upper trapezius di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Satu orangdikeluarkan karena tidak mengikuti penelitian sampai selesai. Intervensi: Antara bulan Maret-Mei 2008. Enam puluh pasien dengan nyeri miofasial otot upper trapezius yang masuk dalam kriteria penerimaan dilakukan randomisasi sederhana, didapat hasil: 30 pasien diberikan terapi hot pack 5 kali berturut -turut dan 30 pasien diberikan terapi kompresi iskemik dan hot pack 5 kali berturut-turut, kemudian dievaluasi penurunan VAS( Visual Analog Scale) harian. Hasil Penelitian: Setelah lima hari terapi berturut-turut didapatkan penurunan VAS yang bermakna pada kedua kelompok terapi kombinasi hot pack + kompresi iskemik dan terapi hot pack saja, masing-masing (p<0,001), namun demikian persentase (%) penurunan V AS kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=O, 151) akan tetapi terdapat peningkatan persentase PTM yang berbeda bennakna (P=0,019) dengan peningkatan PTM lebih besar pada kelompok terapi kombinasi hot pack + kompresi iskemik (71,53 ± 27,50), dibandingkan terapi hot pack saja (55,17 ± 24,79). Kesimpulan: Penurunan nyeri bermakna setelah terapi kompresi iskemik + hot pack maupun terapi hot pack selama lima hari. Terapi kompresi iskemik dan hot pack lebih efektif dibanding dengan terapi hot pack dalam hal penurunan nyeri secara klinis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T59095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafiz Fizalia
"Nyeri miofasial merupakan penyakit otot yang ditandai dengan nyeri lokal dan nyeri rujukan yang dipicu oleh titik picu miofasial atau trigger point TP . Otot upper trapezius merupakan otot yang paling sering terlibat. Tatalaksana akupunktur manual dapat dilakukan dengan berbagai tekhnik. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efek dari tindakan akupunktur superfisial dry needling SDN dan sparrow pecking SP terhadap visual analogue scale VAS , range of motion ROM dan creatine kinase CK pada penderita nyeri miofasial upper trapezius. Telah dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized control trial. Sampel sebanyak 36 orang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 18 orang. Kelompok A mendapatkan tindakan SDN, sedangkan Kelompok B mendapatkan tindakan SP. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur nilai VAS, nilai ROM dan kadar CK sebelum dan 10 jam sesudah perlakuan. Dari hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar CK pada kelompok SP lebih besar dibandingkan peningkatan kadar CK pada kelompok SDN P.

Myofascial pain is a muscle disease characterized by local pain and referral pain triggered by myofascial trigger pain TP. Upper Trapezus muscle is the most common predilectio. Manual acupuncture can be done with several choice of stimulation techniques. The purpose of of this study was to compare the acupuncture technique of superficial dry needling SDN with sparrow pecking SP to visual analogue scale VAS , range of motion ROM , and creatine kinase CK in myofascial pain of upper trapezius. Sample of 36 people, divided into two group, each group consisted of 18 people. The first group was given SDN acupuncture while the second group was given SP acupuncture. Data was collected using VAS, ROM, and CK before and 10 hour after treatment. The increasing of CK level on SP was more significant than the increasing of CK level on SDN P."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Agung
"LATAR BELAKANG: Sindroma nyeri miofasial merupakan kondisi nyeri muskuloskeletal yang ditandai dengan titik picu yang hipersensitif, serta merupakan keluhan tersering dalam praktek klinis. Gejala dari kondisi ini adalah nyeri, peningkatan ambang rangsang nyeri serta keterbatasan lingkup gerak sendi. Terapi definitif terbaik dalam tata laksana keluhan ini belum didapatkan, meskipun banyak terapi yang sudah sering digunakan, yaitu terapi laser tenaga rendah yang lebih modern dan bersifat non invasif serta terapi dry needling. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi laser tenaga rendah dan terapi dry needling pada sindroma nyeri miofasial upper trapezius.
METODE: Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol. Populasi terjangkau adalah pria dan wanita berusia 20-55 tahun dengan sindroma nyeri miofasial otot upper trapezius yang datang ke poliklinik rehabilitasi medik Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang memenuhi kriteria penelitian. Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Terapi dilakukan selama 4 minggu, kelompok pertama diberi terapi laser sebanyak 3 kali/minggu, sedangkan kelompok kedua diberi terapi dry needling 1 kali/minggu. Penurunan derajat nyeri dinilai menggunakan VAS Visual Analogue Scale, penilaian peningkatan ambang rangsang nyeri menggunakan PTM Pain Threshold Meter, dan pengukuran lingkup gerak sendi servikal menggunakan goniometer.
HASIL: Sebanyak 31 subyek mengikuti terapi sampai selesai, kelompok terapi laser 15 orang dengan VAS 6 dan kelompok terapi dry needling 16 orang dengan median VAS 6. Setelah 4 minggu didapatkan penurunan derajat nyeri pada kedua kelompok, penurunan VAS pada kelompok terapi laser lebih tinggi, namun perbedaan tersebut tidak bermakna signifikan. Begitu pula ada penilaian ambang rangsang nyeri serta lingkup gerak sendi servikal didapatkan peningkatan pada kedua kelompok, namun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan.
KESIMPULAN: Terapi laser tenaga rendah sama efektifnya dalam menurunkan derajat nyeri, meningkatkan ambang rangsang nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi servikal pada sindroma nyeri miofasial otot upper trapezius dibandingkan dengan terapi dry needling.

BACKGROUND: Myofascial pain syndrome is a musculoskeletal problem characterized by a hypersensitive trigger point, and it is a most common problem in clinical practice. Pain, increasing of pain threshold and range of motion limitation are most symptoms of myofascial pain. Definitive therapy in the treatment of this complaint has not been determined, despite many therapies that have been commonly used, namely low power laser therapy that is more modern and non invasive and dry needling therapy. This study aimed to compare the effectiveness of low level laser therapy and dry needling therapy in subjects with myofascial pain syndrome of the upper trapezius muscle.
METHODS This study design is a randomized controlled trial. Men and women aged 20 55 years with myofascial pain syndrome of upper trapezius muscle who attend Physical Medicine and Rehabilitation Clinic at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, who met the study criteria. Sample selection is done by consecutive sampling and divided into two randomized groups. Treatment is done for 4 weeks, the first group were given low laser therapy for 3 times week, while the second group was given dry needling therapy once week. A decrease in the degree of pain was assessed using VAS Visual Analogue Scale, increasing pain threshold using PTM Pain Threshold Meter, and measurement of the cervical range of motion using a goniometer.
RESULTS A total of 31 subjects completed the therapy, low laser therapy group 15 subjects with VAS 6 and dry needling therapy group 16 subjects with a median VAS 6. After 4 weeks of therapy obtained a decrease in the degree of pain in both groups, the decline of VAS in the low laser therapy was greater, but the difference was not significant. Similarly, there were an incrseaing of pain threshold and cervical range of motion in both groups, but did not obtain a significant difference.
CONCLUSION Low level laser therapy compared to dry needling is equally effective in reducing pain, increasing the pain threshold and cervical range of motion on myofascial pain syndrome of the upper trapezius muscle.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library