Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Antonius Budi Satria
Abstrak :
Tesis ini membahas penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, model dan teori pertanggungjawaban yang dapat digunakan untuk menjerat korporasi, proses konstruksi dakwaan dan konstruksi penuntutan pidana terhadap korporasi, dan kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut. Disertakan juga tinjauan terhadap posisi korporasi dalam RKUHP Tahun 2008 dan analisa terhadap dimuat ulangnya kriminalisasi terhadap tindak pidana lingkungan dalam RKUHP Tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian nonnatif-empiris dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Permasalahan tesis ini adalah penuntutan terhadap korporasi selama ini belum seragam menggunakan dan mendasarkan diri pada model-model dan doktrin- doktrin pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang ada dan masih ada kesulitan Penuntut Umum merumuskan surat dakwaan maupun surat tuntutannya. Termasuk kendala belum ada aturan yang memuat secara tegas khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, untuk menentukan siapa sebenarnya yang mewakili korporasi di depan persidangan. Hasil tesis ini menyarankan perlu adanya peningkatan pemahaman dan persamaan persepsi aparat penegak hukum khususnya penuntut umum tentang trend merebaknya corporate erime di bidang lingkungan hidup dalam wadah triangle environmental criminal justice system serta perlunya segera memberikan kurikulum mengenai kejahatan korporasi dalam penegakan hukum lingkungan pada pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sejak awal. ......This thesis discusses the determination of the Corporation as the subject of criminal action in the Law. 23, 1997 on Environmental Management, questioned the theory and models that can be used to trap the Corporation, the process of construction claims and construction of criminal prosecution against the Corporation, and the obstacles in the criminal law enforcement against corporate crime in the environment and efforts to overcome obstacles - these constraints. Also included a review of the corporation's position in RKUHP Year 2008 and analysis of re-criminalization of the criminal environment in RKUHP Year 2008. This research is a normative-empirical research using secondary data as the primary data and primary data as supporting data. The problem of this thesis is that the prosecution against the Corporation for this use has not been uniform and base themselves on the models and the doctrines of criminal responsibility to the Corporation and who have still have difficulty formulating public prosecutor and the indictment of scale down one's demands. There are no obstacles, including rules that explicitly especially in the case of the representatives of the Corporation, to determine who is actually representing the Corporation in front of the trial. Results suggest that this thesis will need to increase the understanding and perception of law enforcement, especially on the prosecutor general about expansion of the symptoms corporate crime in the area of the environment in the forum of triangle environmental criminal justice system and the need to immediately provide the curriculum on corporate crime in the law enforcement environment in the education and training establishment prosecutors since the beginning.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26097
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alamsyah Bahari
Abstrak :
Penegakan hukum Keimigrasian di Indonesia mengalami banyak permasalan akibat tidak pastinya peraturan dalam Undang-Undang Keimigrasian, karena adanya kewenangan diskresi yang diberikan kepada Pejabat Imigrasi untuk memilih apakah akan memberikan tidakan sanksi Administrasi atau sanksi Pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas ultimum remedium dalam Undang-Undang Keimigrasian, faktor-faktor yang menyebabkan Pejabat Imigrasi menggunakan sanksi Administrasi atau sanksi Pidana dan bagaimana praktik penegakan hukum Keimigrasian di Indonesia. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa cukup dengan penerapan tindakan sanksi administrasi berupa Deportasi, denda dan Penangkalan dapat menyelesaikakan proses penegakan hukum keimigrasian secara cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga asas ultimum remedium dapat diterapkan dalam penegakan hukum Keimigrasian. Penjatuhan sanksi administrasi dapat diterapkan kepada semua pelanggaran dan kejahatan dalam Undang-Undang Keimigrasian, kecuali terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana harus dipertimbangkan dampak dari pelanggaran dan kejahatan yang terjadi apakah pelanggaran dan kejahatan dapat di toleransi oleh masyarakat atau meresahkan masyarakat. Praktek penerapan sanksi pidana keimigrasian di Indonesia masih mengalami kendala diantarahnya overcrowded Lembaga Permasyarakatan, Rudenim, peningkatan biaya operasional setiap kasus, pengungsi yang tinggal tanpa batasan waktu, dan kurangnya koordinasi antara pejabat Imigrasi dengan Kepolisian RI. ...... Immigration law enforcement in Indonesia has many problems due to uncertain regulations in the Immigration Act, because of the discretionary authority granted to Immigration Officials to choose whether to provide administrative sanctions or criminal sanctions. This study aims to find out how the application of the ultimum remedium principle in the Immigration Act, factors that cause Immigration Officials to use Administrative sanctions or Criminal sanctions and how Immigration law enforcement practices in Indonesia. In this study, the type of research used is normative research using historical, legal and conceptual approaches. The results of the study concluded that sufficient implementation of administrative sanctions in the form of Deportation, fines and deterrence could solve the immigration law enforcement process quickly, simply and at a low cost so that the principle of ultimum remedium can be applied in the enforcement of Immigration law. Administrative sanctions can be applied to all violations and crimes under the Immigration Act, except for victims of trafficking and people smuggling. Before imposing a criminal sanction, it must be considered the impact of the violation and the crime that occurred whether the violation and crime can be tolerated by the community or disturbing the community. The practice of implementing immigration criminal sanctions in Indonesia is still experiencing problems in overcrowded Correctional Institutions, Rudenim, increased operational costs for each case, refugees who live without time limits, and lack of coordination between Immigration officials and the Indonesian Police.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Arija Br
Abstrak :
ABSTRAK
Karakteristik delik korporasi yang berbeda dari street crime membuat sejumlah ahli memandang bahwa ultimum remedium tidak lagi relevan dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertanyaannya adalah (1) bagaimanakah konsep dan makna ultimum remedium dalam hukum pidana dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia? (2) bagaimana perumusan ultimum remedium di dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi? dan (3) bagaimanakah implementasi ultimum remedium dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia?. Penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan multi-pendekatan. Wawancara dilakukan untuk mengklarifikasi data sekunder yang ada. Hasilnya menunjukkan bahwa sejak tahun 1955-2016 terdapat 115 UU yang menempatkan korporasi sebagai subjek delik, diantaranya korupsi, perpajakan, lingkungan hidup, dan pencucian uang. Keempat UU yang dianalisis menunjukkan bahwa administrative penal law cenderung bersifat ultimum remedium dibandingkan UU Pidana. PERMA No.13 Tahun 2016 cenderung bersifat primum remedium karena substansinya lebih banyak memuat aturan prosedural daripada substantif. Sedangkan RKUHP 2015 memiliki pola ultimum remedium yang kuat, yakni adanya pedoman pemidanaan, double track system, dan pidana tambahan berupa pembubaran korporasi merupakan sarana terakhir. Putusan hakim cenderung bersifat primum remedium (analisis dilakukan terhadap putusan PT Giri Jaladhi Wana, Asian Agri Group, dan PT Kallista Alam). Pengecualian ultimum remedium seperti itu boleh saja dilakukan mengingat karakteristik delik korporasi, yakni serius, lintas batas, mengancam sendi perekonomian, dan korban yang samar dan luas. Namun demikian, terdapat pula kemungkinan penerapan ultimum remedium melalui partisipasi korporasi dalam kebijakan hukum pidana.
ABSTRACT
The characteristics of corporate offense that are different from street crime make some experts consider that ultimum remedium is no longer relevant in the context of corporate criminal liability. The questions are (1)how is the concept and meaning of ultimum remedium in criminal law and its relation to human rights? (2)how is ultimum remedium formulated within the context of corporate criminal liability? and (3)how is the implementation of ultimum remedium in corporate criminal liability in Indonesia?. This research is juridical-normative with multi-approach. Interviews are conducted to clarify the existing secondary data. The results are: Since 1955-2016 there are 115 laws that place corporations as the subject of offenses, including corruption, taxation, environment, and money laundering. The four laws analyzed indicate that administrative penal law tends to be ultimum remedium compared to the Criminal Acts. Supreme Court Regulation No.13 of 2016 tends to be primum remedium because the substance contains more prosedural law than substantive. While Model Penal Code 2015 has a strong ultimum remedium pattern, namely the sentencing guidelines, double track system, and corporate dissolution is a last resort of additional criminal sanction. The judge's verdict tended to be primum remedium (analysis was made on PT Giri Jaladhi Wana, Asian Agri Group and PT Kallista Alam). Such exclusion of ultimum remedium are justifiable because of corporate offences that are serious, transboundary, threatening the economic pillar, and the vague and widespread of victim. However, there is also the possibility of applying ultimum remedium through corporate participation in criminal law policy.
2017
T48755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathalina
Abstrak :
Sanksi pidana dan sanksi administratif merupakan dua jenis sanksi yang dirumuskan dalam berbagai ketentuan administrasi di Indonesia. Fenomena perumusan kedua jenis sanksi tersebut mengalami dinamika baik dalam perumusan maupun penerapannya, khususnya dalam ketentuan tentang kepabeanan dan cukai, perpajakan, kehutanan, dan lingkungan hidup, yang mana keadaan ini membawa permasalahan dalam praktik penegakannya. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok tentang pentingnya suatu pedoman untuk menentukan perumusan ketentuan pidana dalam ketentuan administrasi sebagai suatu pola formulasi yang melandasi perumusan sanksi dalam menentukan jenis sanksi administratif dan/atau sanksi pidana dalam ketentuan di bidang fiskal dan sumber daya alam serta perlunya pengaturan tentang pedoman bagi pejabat administrasi dan/atau penegak hukum yang berwenang dalam menerapkan sanksi tersebut. Jawaban dari pertanyaan penelitian dicari melalui studi dokumen terhadap ketentuan perundang-undangan, doktrin, dan putusan pengadilan dalam bidang yang menjadi topik penelitian. Mengingat fokus penelitian adalah pengaturan dan penerapan sanksi administratif dan pidana dalam ketentuan administrasi, maka kajian tentang sanksi administratif dan sanksi pidana, teori tentang pidana dan pemidanaan, serta penerapan prinsip ultimum remedium dan una via, digunakan untuk menganalisis bagaimana pembentuk undang-undang menyusun ketentuan dengan dua jenis sanksi tersebut dan bagaimana pejabat administrasi menentukan sanksi yang dijatuhkan dalam kasus-kasus faktual. Penelitian ini menghasilkan temuan, sebagai berikut: pertama, dalam pembentukan jenis dan sifat sanksi, pembentuk undang-undang merujuk pada ketentuan yang telah ada, namun dalam risalah pembahasan RUU tidak dilengkapi argumentasi tentang justifikasi pidana dan pemidanaan serta prinsip ultimum remedium, melainkan hanya mempertimbangkan bahwa sanksi pidana diperlukan untuk memperkuat sanksi administratif guna menjerakan para pelaku; kedua, penerapan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif dalam kasus-kasus faktual dilakukan sebagaimana kualifikasi dalam rumusan pasal yang dilanggar, urutan prosedur penyelesaian kasus serta dapat pula diterapkan secara bervariasi sehingga dapat bersifat kasuistis untuk tiap-tiap kasus dan tulisan ini memberikan pedoman untuk persoalan tersebut; ketiga, prinsip ultimum remedium digunakan dalam bidang perpajakan dan lingkungan hidup kecuali untuk rumusan yang tidak memberikan sanksi yang berjenjang karena mengingat sifat bahaya dan seriusnya perbuatan dari pelanggaran tertentu. Prinsip una via telah diterapkan dalam kasus fiskal khususnya di bidang perpajakan di tingkat Mahkamah Agung, dengan catatan bahwa prinsip una via berlaku sebagai perluasan dari prinsip nebis in idem, bahwa untuk satu pelanggaran yang serupa tidak dapat diterapkan dua jenis sanksi yang memiliki sifat punitif yang sama. Saat ini prinsip una via sudah dirumuskan dalam ketentuan di sektor keuangan. ......Criminal sanctions and administrative sanctions are two types of sanctions formulated in various administrative acts in Indonesia. The phenomenon of the formulation of these two types of sanctions experiences dynamics situation both in formulation and implementation, particularly in provisions concerning customs and excise, taxation, forestry, and the environment, which creates problems in the law enforcement practices. This research departs from the main problem regarding the importance of a guideline for determining the formulation of criminal provisions in administrative provisions as a pattern of formulation that underlies the formulation of sanctions in determining the types of administrative sanctions and/or criminal sanctions in provisions in the fiscal and natural resources sector and the need for setting guidelines for administrative officials and/or law enforcement officials authorized to apply the sanctions. To finds the answers for the research questions are sought through document studies of statutory provisions and acts, doctrines, and court decisions. Considering that the research focus is on the regulation and application of administrative and criminal sanctions in administrative provisions, the study of administrative sanctions and criminal sanctions, the theory on justification of punishment as well as the application of the principles of ultimum remedium and una via, are used to analyze how legislators formulate provisions with the two types of sanctions and how administrative officials determine the sanctions imposed in factual cases. This research resulted in the following findings: first, in establishing the type and nature of sanctions, the legislators referred to existing provisions, however, the treatise on deliberating the bill was not accompanied by arguments regarding criminal justification and sentencing as well as the ultimum remedium principle, but only considered that criminal sanctions are needed to strengthen administrative sanctions to deter the perpetrators; secondly, the application of criminal sanctions and/or administrative sanctions in factual cases is carried out according to the qualifications in the formulation of the article that was violated, the sequence of procedures for resolving cases and can also be applied in a variety of ways so that it can be casuistic for each case and this research provides guideline to tackle the challenges; third, the principle of ultimum remedium is used in the fields of taxation and the environment except for formulations that do not provide tiered sanctions due to the nature of the harm and the seriousness of the actions of certain violations. The una via principle has been applied in fiscal cases, especially in the case of taxation at the Supreme Court level, with a main consideration that the una via principle applies as an extension of the ne bis in idem principle, that for one similar violation for two types of sanctions which have the same punitive sanction which cannot be applied. Currently, the una via principle has been formulated in provisions in the financial sector.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Zahi Ambarwati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Kegiatan Penelitian Dugaan Pelanggaran di Bidang Cukai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum adanya SOP terkait kegiatan dimaksud yang disebabkan karena hal tersebut merupakan kebijakan baru yang diamanahkan berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang kemudian diturunkan ke dalam aturan pelaksanaan 237/PMK.04/2022. SOP tersebut sangat diperlukan karena adanya potensi ketidakseragaman prosedur pelaksanaan pada kantor bea dan cukai di Indonesia. SOP dapat memudahkan organisasi untuk mendeteksi dan mengatasi kesalahan, memberikan pemahaman yang rinci dan sistematis kepada pegawai yang bertugas, serta memudahkan proses monitoring dan evaluasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan data yang diperoleh dari wawancara kepada Tim Peneliti yang secara langsung melaksanakan tugas kegiatan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai. Hasil penelitian berupa usulan SOP proses bisnis kegiatan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai, penyelesaian perkara dengan tidak dilakukan penyidikan serta penyelesaian Barang Kena Cukai (BKC) dan Barang Lain yang terkait dengan dugaan pelanggaran menjadi Barang Milik Negara (BMN). ......The research aims to develop Standard Operating Procedures (SOP) for Investigating Alleged Violations in Excise in accordance with applicable regulations. The study is motivated by the absence of SOPs related to these activities due to their status as new policies mandated by the Harmonization of Tax Regulations Law, subsequently elaborated in implementing regulation 237/PMK.04/2022. The need for this SOP arises from the potential inconsistency in the execution procedures across customs offices in Indonesia. SOP facilitate the organization in detecting and addressing errors, providing detailed and systematic understanding to the assigned employees, and simplifying the monitoring and evaluation processes. The research methodology employed is qualitative, with data obtained through interviews with the Research Team directly involved in the investigation of alleged customs violations. The research results propose an SOP for the business process of investigating alleged violations in customs, the resolution of cases without conducting investigations, and the resolution of Excise Goods (Barang Kena Cukai) and other related goods involved in alleged violations that become State-Owned Goods (Barang Milik Negara).
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arif Budiman
Abstrak :
Latar belakang penelitian ini adalah PT. Y sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) daripada PT. Bank X Tbk. menghadapi permasalahan likuiditas dan permodalan serta termasuk kategori Bank dalam pengawsan intensif sehingga diatasi OJK dengan memberikan dua perintah tertulis, namun pada akhirnya perintah tertulis itu tidak dilaksanakan oleh PT. Y. Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah pengaturan mengenai perintah tertulis OJK terkait dengan penyelamatan bank yang sedang bermasalah dan akibat hukum terhadap Bank yang tidak patuh terhadap perintah tertulis Otoritas Jasa Keuangan. Kesimpulan penelitian menunjukan bahwa Kewenangan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan diatur pada Pasal 9 huruf d UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK guna memastikan ketaatan yang berisikan langkah-langkah sebagaimana terdapat pada Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Perbankan dan Pasal 8 ayat (2) POJK No. 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. Kemudian, ketidakpatuhan PT. Y sebagai PSP terhadap perintah tertulis OJK dapat menyebabkan sanksi secara perdata, pidana, dan administratif. Penelitian ini ditulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif terhadap bahan-bahan tertulis. Saran yang dihasilkan, yaitu kepada OJK agar menyusun pedoman mengenai klasifikasi tata persuratan terkait perintah tertulis, kepada kepolisian dan kejaksaan hendaknya menerapkan prinsip ultimum remedium, dan kepada Bank yang bermasalah harus mengetahui bahwa terdapat asas kemanfaatan dan asas kepentingan umum dalam hal menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dengan mematuhi langkah-langkah yang diperintahkan oleh OJK. ......The background of this research is PT. Y as Controlling Shareholder (PSP) of PT. Bank X Tbk. faced liquidity and capital issues as well as the category of Banks under intensive supervision so that OJK was overcome by giving two written orders, but in the end, the written order was not carried out by PT. Y. The formulation of the problem in this study, namely how to regulate the OJK written order in relation to rescuing a bank that is in progress and the legal consequences of a bank that does not comply with the written order of the OJK. The conclusion of this research shows that the non-compliance of PT. Y as PSP for written orders from OJK may result in civil, criminal, and administrative sanctions. Then, the OJK's authority to give written orders to Financial Services Institutions is regulated in Article 9 letter d of Law no. 21 of 2011 concerning OJK to ensure compliance containing steps contained in Article 37 paragraph (1) of the Banking Law and Article 8 paragraph (2) POJK No. 15 / POJK.03 / 2017 concerning Status of Determination and Follow-Up of Commercial Bank Supervision. This thesis is written using a normative juridical research method with a qualitative approach to written materials. The resulting suggestions, namely to the OJK to compile a new classification of correspondence related to written orders, to the police and prosecutors to apply the ultimum remedium principle, and to banks that must be aware that there is a principle of benefit and public interest in terms of public supervision of the banking industry by complying with the steps ordered by the OJK.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JY 6:1 (2013) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Amin
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang sanksi perpajakan atas penyalahgunaan transfer pricing di Indonesia. Metode penelitian di dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach) yang dipadukan dengan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menemukan bahwa Indonesia telah memiliki pengaturan transfer pricing di dalam hukum positif sebagai General Anti-Avoidance Rule, namun sanksi perpajakan atas penyalahgunaan transfer pricing tidak diatur secara spesifik, sehingga sanksi perpajakan atas penyalahgunaan transfer pricing mengacu pada sanksi perpajakan secara umum. Sebagai konsekuensinya, penyalahgunaan transfer pricing dalam kondisi tertentu dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang dapat dikenai sanksi pidana, walaupun secara umum merupakan pelanggaran administratif. Studi atas putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2239K/PID.SUS/2012 menunjukkan bahwa penyalahgunaan transfer pricing dalam kondisi tertentu dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Walaupun demikian, penyelesaian secara administratif lebih diutamakan daripada penyelesaian secara pidana, karena sanksi pidana menurut Undang-Undang Perpajakan merupakan sarana akhir (ultimum remedium). Di samping itu, untuk kepentingan penerimaan negara Undang-undang Perpajakan memberi peluang untuk melakukan penyelesaian pidana perpajakan dengan pendekatan restoratif-rehabilitatif, sehingga sanksi pidana seharusnya hanya dikenakan untuk tindak pidana perpajakan yang serius dan yang tidak dapat dipulihkan serta berdampak sangat besar terhadap masyarakat.
The thesis analyzes tax penalties on transfer pricing abuses in Indonesia. The research methodology in the thesis is normative legal research with statute approach combined with case approach and conceptual approach. The researcher found that Indonesia has had transfer pricing regulation in tax law as general antiavoidance rule, but the tax penalties on transfer pricing abuses were not specifically regulated, so that the tax penalties on transfer pricing abuses refer to general provisions of tax penalties. As a consequence, the transfer pricing abuses in some particular conditions may be considered as criminal act and may be subject to criminal penalties, eventhough by defult they are administrative violances. The study on Indonesia Supreme Court Verdict Number 2239 K/PID.SUS/2012 has shown that the transfer pricing abuses in some particular conditions were considered as criminal acts. However, the administrative settlements are preferable than criminal settlements, because the criminal penalties by the tax law are a last resort (ultimum remedium). Beside that, for tax revenue reasons, the tax law gives an opportunity to settle the tax crime by restorative-rehabilitative approach, so that criminal penalties should be imposed only for the serious criminal acts which can not be restored and have huge impacts on society.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library