Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ai Yeni Herlinawati
"Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan masalah yang mendunia. Pasien PGK yang menjalani hemodialisis biasanya mendapatkan resep yang banyak dan ini mempunyai risiko tinggi menyebabkan Masalah Terkait Obat (MTO). Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi intervensi apoteker terhadap MTO yang berhubungan dengan kadar hemoglobin, ureum dan kreatinin. Desain penelitian yang digunakan adalah Pre eksperimental dengan pre post design secara prospektif. Penelitian dilakukan terhadap satu kelompok uji, total responden penelitian 76 orang. Penelitian ini dilakukan di poli rawat jalan hemodialisis RSUD dr. Adjidarmo kabupaten Lebak selama periode Januari sampai maret 2017. MTO dinilai berdasarkan Pharmaceutical Network Europe (PCNE) V.6.2, tahun 2010. Jumlah MTO yang diidentifikasi adalah 256 masalah, Setelah dilakukan intervensi, jumlah MTO turun menjadi 71 masalah (menurun sebesar 72,26%). Terdapat perbedaan bermakna pengaruh intervensi apoteker terhadap penurunan jumlah MTO sebelum dan sesudah intervensi dengan p < 0,05. Terdapat perbedaan bermakna kenaikan rerata hemoglobin yang disebabkan oleh intervensi apoteker terhadap MTO dengan p < 0,05, selisih kenaikan rerata hemoglobin setelah intervensi selama 3 bulan adalah 0,84 g/dl. Rerata kadar hemoglobin setelah intervensi 3 bulan naik 8,29%. Terdapat perbedaan kadar ureum setelah dilakukan intervensi, tetapi tidak bermakna secara klinis dengan p > 0,05 (OR 1,37 p 0,517). Perubahan masalah terkait obat yang diakibatkan oleh intervensi apoteker bisa menurunkan kadar ureum 1,37 kali nya dibanding sebelum intervensi. Rerata kadar ureum setelah intervensi selama 3 bulan turun 30,05%. Terdapat perbedaan bermakna kadar kreatinin setelah dilakukan intervensi dengan p < 0,05 (OR 0,196, P 0,049). Perubahan masalah terkait obat yang diakibatkan oleh intervensi apoteker bisa menurunkan kadar kreatinin 0,196 kali nya dibanding sebelum intervensi. Rerata kadar kreatinin setelah intervensi selama 3 bulan turun sebesar 9,91%. Faktor perancu untuk kadar hemoglobin adalah stadium PGK dengan p < 0,05 dan status gizi dengan p < 0,05. Faktor perancu untuk kadar ureum adalah status gizi dengan p < 0,05. Dengan demikian intervensi apoteker terhadap MTO bisa membantu keberhasilan terapi pasien hemodialisis di RSUD dr. Adjidarmo Kabupaten Lebak

Chronic Kidney Disease (CKD) is a worldwide problem. PGK patients undergoing hemodialysis usually get many prescriptions and this has a high risk of causing Drug Related Problems (DRP). The aim of this study was to evaluate the pharmacists' interventions on DRPs relating to hemoglobin, urea and creatinine levels. The research design used was Preeksperimental with pre post design prospectively. The study was conducted on one test group, total of 76 respondents. This research was conducted in outpatient hemodialysis dr. Adjidarmo hospital Lebak district during the period January to March 2017. The DRP was assessed on the basis of Pharmaceutical Network Europe (PCNE) V.6.2, 2010. The number of DRPs identified was 256 problems. After intervention, the number of DRPs fell to 71 problems (decreased 72.26%). There was a significant difference in the effect of pharmacist intervention on decreasing the number of DRP before and after intervention with p <0.05. There was a significant difference in mean increase of hemoglobin caused by pharmacist intervention on DRP with p <0.05, the difference of mean hemoglobin increase after intervention for 3 months was 0.84 g/dl. Mean hemoglobin levels after 3 month intervention increased 8.29%. There was a difference in urea after the intervention, but not clinically significant with p> 0.05 (OR 1.37 p 0,517). Changes in drug-related problems resulting from pharmacist interventions can lower ureum 1.37 than before intervention. Mean urea levels after 3 month intervention decreased 30.05%. There was significant difference of creatinine level after intervention with p <0,05 (OR 0,196, P 0,049). Changes in drug related problems resulting from pharmacist interventions may decrease the creatinine level 0.196 compared to before intervention. Mean creatinine level after 3 months intervention decreased by 9.91%. Confounding factor for hemoglobin level was PGK stage with p <0,05 and nutritional status with p <0,05. The confounding factor for urea is nutritional status with p <0.05. Thus, pharmacist intervention on DRP can help the success of hemodialysis patient therapy in dr. Adjidarmo hospital district Lebak"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwinsyah
"Efektifitas hemodialisis dapat dilihat dari penurunan kadar ureum dan kreatinin pasca hemodialisis. Agar efektifitas ini tercapai maka diperlukan pemantauan dan pengaturan dalam proses hemodialisis, salah satunya adalah pengaturan dan pemantauan kecepatan aliran darah (Quick of blood/ Qb) selama proses hemodialisis. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara quick of blood dengan penurunan nilai ureum kreatinin post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 32 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien pria lebih banyak dari wanita yaitu sebesar 66%, umur rata-rata adalah 51 tahun dengan umur termuda adalah 26 tahun dan umur tertua 73 tahun. Penelitian juga menunjukkan Qb rata-rata adalah 190,586 ml/menit. Nilai ureum predialisis rata-rata adalah 132,8 mg/dl, setelah dilakukan hemodialisis terjadi penurunan ureum rata-rata sebesar 71,3 mg/dl (53,7%), adapun nilai kreatinin predialisis ratarata adalah 10,54 mg/dl, setelah dilakukan hemodialisis terjadi penurunan kreatinin rata-rata sebesar 5,65 mg/dl.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai Qb dengan penurunan ureum post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis (p=0,799), tidak ada hubungan antara nilai Qb dengan penurunan kreatinin post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis (p=0,100). Kesimpulan penelitian adalah tidak ada hubungan antara nilai Qb dengan penurunan ureum dan kreatinin post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis. Rekomendasi dari penelitian ini adalah Rumah Sakit perlu membuat prosedur tetap tentang pengaturan Qb pasien dengan aturan yang baku mengacu pada berat badan pasien atau dialser yang digunakan. Rekomendasi lain adalah perlu dilakukan penelitian tentang cara pengaturan Qb yang tepat agar meningkatkan adekuasi hemodialisis dan pengaruh pengaturan Qb terhadap adekuasi hemodialisis.

Haemodialysis effectivity could be shown by the decrease of ureum and creatinine level post hemodialysis. Observation and regulation in haemodialysis process should be done to reach those effectivity, one of them observation and regulation the speed of blood flow rate (Quick of blood/ Qb) during process hemodialisis. The purpose of the research is to know the relation between quick of blood with the decrease of ureum and kreatinin post hemodialysis of CKD patient in haemodialysis unit of Raden Mattaher Hospital Jambi. Descriptive analytic design with cross sectional approach has been used in this research. The total samples were 32 respondens. The research found that male more than female patients (66%) with average 51 years old, youngest is 26 years old and the oldest 73 years old. The Qb average was 190,586 ml/minute. Predialysis ureum average was 132,78 ml/dl, and it ecrease 71,3 ml/dl (53,7%) post haemodialysis. Predialisis creatinine average was 10,54 ml/dl decrease 5,65 ml/dl post haemodialysis.
The research showed there were no relation between Qb and decrease of ureum post haemodialysis in CKD patients who treated by haemodialysis (p=0,799), and no relation between Qb and decrease of creatinine post haemodialysis in CKD patients who treated by haemodialysis (p=0,100). In conclusion, there were no relation between Qb and decrease of ureum and creatinin post haemodialysis in CKD patient who treated by haemodialysis. As recommendation to the hospital, they should make the true procedures in patient with haemodialysis process by Qb regulation based on body weight or dialzer. The future research should do about regulation method of Qb and its affect to increase haemodialysis adequation."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erwinsyah
"Efektifitas hemodialisis dapat dilihat dari penurunan kadar ureum dan kreatinin pasca hemodialisis. Agar efektifitas ini tercapai maka diperlukan pemantauan dan pengaturan dalam proses hemodialisis, salah satunya adalah pengaturan dan pemantauan kecepatan aliran darah (Quick of bloodl Qb) selama proses hemodialisis. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara quick of blood dengan penurunan nilai ureum kreatinin post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 32 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien pria lebih banyak dari wanita yaitu sebesar 66%, umur rata-rata adalah 51 tahun dengan umur termuda adalah 26 tahun dan umur tertua 73 tahun. Penelitian juga menunjukkan Qb rata-rata adalah 190,586 ml/menit. Nilai ureum predialisis rata-rata adalah 132,8 mg/dl, setelah dilakukan hemodialisis tetjadi penurunan ureum rata-rata sebesar 71,3 mg/dl (53,7%), adapun nilai kreatinin predialisis rata- rata adalah 10,54 mg/dl, setelah dilakukan hemodialisis terjadi penurunan kreatinin rata-rata sebesar 5,65 mg/dl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai Qb dengan penurunan ureum post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis (p=0,799), tidak ada hubungan antara nilai Qb dengan penurunan kreatinin post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis (p=0,100). Kesimpulan penelitian adalah tidak ada hubungan antara nilai Qb dengan penurunan ureum dan kreatinin post hemodialisis pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis. Rekomendasi dari penelitian ini adalah Rumah Sakit perlu membuat prosedur tetap tentang pengaturan Qb pasien dengan aturan yang baku mengacu pada berat badan pasien atau dialser yang digunakan. Rekomendasi lain adalah perlu dilakukan penelitian tentang cara pengaturan Qb yang tepat agar meningkatkan adekuasi hemodialisis dan pengaruh pengaturan Qb terhadap adekuasi hemodialisis.

Haemodialysis effectivity could be shown by the decrease of ureum and creatinine level post hemodialysis. Observation and regulation in haemodialysis process should be done to reach those effectivity, one of them observation and regulation the speed of blood flow rate (Quick of blood/ Qb) during process hemodialisis. The purpose of the research is to know the relation between quick of blood with the decrease of ureum and kreatinin post hemodialysis of CKD patient in haemodialysis unit of Raden Mattaher Hospital Jambi. Descriptive analytic design with cross sectional approach has been used in this research. The total samples were 32 respondens. The research found that male more than female patients (66%) with average 51 years old, youngest is 26 years old and the oldest 73 years old. The Qb average was 190,586 ml/minute. Predialysis ureum average was 132,78 ml/dl, and it decrease 71,3 ml/dl (53,7%) post haemodialysis. Predialisis creatinine average was 10,54 ml/dl decrease 5,65 ml/dl post haemodialysis. The research showed there were no relation between Qb and decrease of ureum post haemodialysis in CKD patients who treated by haemodialysis (p=0,799), and no relation between Qb and decrease of creatinine post haemodialysis in CKD patients who treated by haemodialysis (p=0,100). In conclusion, there were no relation between Qb and decrease of ureum and creatinin post haemodialysis in CKD patient who treated by haemodialysis. As recommendation to the hospital, they should make the true procedures in patient with haemodialysis process by Qb regulation based on body weight or dialzer. The firture research should do about regulation method of Qb and its affect to increase haemodialysis adequation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T26561
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Safarudin
"Hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi ginjal terbanyak pada pasien gagal ginjal tahap akhir. Pasien yang menjalani terapi hemodialisis rutin sering mengalami penurunan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan pola terapi, nilai ureum-kreatinin plasma dan hemoglobin dengan kualitas hidup pasien hemodialisis. Desain menggunakan cross sectionaldengan consecutive sampling terhadap 62 responden yang menjalani hemodialisis rutin di RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Penilaian kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner SF-36. Data menggunakan hasil regresi linier bergandamenunjukkan ada hubungan signifikan (p<0,05) antara durasi, frekuensi, terapi eritropoetin,nilai ureum-kreatinin plasma, hemoglobin, dan keputusasaan dengan kualitas hidup. Perawat perlu meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisis.

Hemodialysis is the most renal replacement therapy for end stage renal disease. Patients undergoing regular hemodialysis often experience decreased in quality of life. The aim of this study was to analyze the relationship between pattern of therapy, urea-creatinine level of plasma and hemoglobin with quality of life patients undergoing hemodialysis. Research design used is cross sectional with consecutive sampling to 62 respondents underwent regular hemodialysis at Dr Soedarso general hospital. Quality of life was measured using SF-36 questionnaires. Data using the multiple linear regression showed no significant relationship (p <0.05) between duration, frequent, Erythropoietin therapy, urea-creatinine level of plasma, hemoglobin and hopelessness with patients quality of life. Nurses need to enhance quality of nursing care to improve the quality of life for the patients undergo hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T30441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
"Latar belakang: Masyarakat kawasan urban kampung di Indonesia memiliki risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak adekuat. Hal ini menjadi risiko kadar vitamin D yang tidak optimal (serum 25OHD <20 ng/mL dan >100 ng/mL). Kadar vitamin D yang tidak optimal juga bisa menjadi risiko penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada masyarakat kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.
Metode: Studi potong lintang pada subjek dewasa kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang di tahun 2019-2020. Kemudian dilakukan penyesuaian dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Lalu, dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D juga nilai penanda fungsi ginjal.
Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan nilai eGFR (CKD-EPI) 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, dan nilai eGFR.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.

Background: Individuals who live in urban kampung have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is performed to identify the correlation between vitamin D serum levels and kidney function markers in adults of urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
Methods: Cross-sectional study performed in adults of urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined inclusion and exclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn to quantify vitamin D serum level and kidney function markers of the subjects.
Results: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score (CKD-EPI), is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score.
Conclusion: There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darwin Harpin, examiner
"Sepsis merupakan suatu keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh gangguan respon sistem imun pasien terhadap infeksi. Syok sepsis adalah suatu kondisi yang paling berkontribusi terhadap terjadinya gagal ginjal akut pada pasien kritis. Pada sepsis, terjadi produksi yang berlebihan dari sitokin - sitokin proinflamasi yang disebabkan oleh endotoksin bakteri dan suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan mediator proinflamasi dan antiinflamasi. Elektroakupunktur diketahui dapat meregulasi sistem neuro endokrin imun melalui stimulasi nervus vagus dan saraf kolinergik yang mempunyai efek antiinflamasi, dengan efek samping minimal. Penelitian ini menilai pengaruh elektroakupunktur pada titik ST36 Zusanli bilateral terhadap kadar prokalsitonin dan fungsi ginjal melalui pemeriksaan ureum dan kreatinin. Dua puluh delapan tikus Wistar jantan dibagi secara acak kedalam empat kelompok, kelompok kontrol (n=7), kelompok sepsis (n=7), kelompok elektroakupunktur (n=7) dan kelompok elektroakupunktur sham (n=7). Tindakan elektroakupunktur diberikan 30 menit sebelum induksi bakteri hidup Eschericia coli ATCC 25922. Enam jam kemudian, dilakukan pemeriksaan kadar prokalsitonin, ureum dan kreatinin dengan memberikan hasil yang signifikan pada perbedaan rerata kadar ureum (p<0,001, CI 95% 57,1-76,6) dan kreatinin p=0,005, CI 95% 0,14-0,62) pada kelompok sepsis dengan kelompok elektroakupnktur dan ditemukan rerata kadar prokalsitonin yang lebih rendah pada kelompok elektroakupunktur (0,53 ± 0,11 ng/ml) dibandingkan dengan kelompok sepsis (0,69 ± 0,09 ng/ml). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan elektroakupunktur pada ST36 Zusanli dapat mengurangi inflamasi dan mencegah kerusakan ginjal.

Sepsis is life threatening organ dysfunction caused by dysregulated host response to infection. Septic shock is the most common contributing factor to acute kidney injury in critically patients. It is considered that the pathogenesis is closely related to an excessive production of pro-inflammatory cytokines caused by bacterial endotoxins and an imbalance between pro-inflammatory and anti-inflammatory mediators. Electroacupuncture can regulate nerve endocrine immune system with less side effects. It is known that electroacupuncture stimulates the vagus nerve and regulate inflammatory responses through the cholinergic anti-inflammatory pathways. This study investigates the effect of electroacupuncture at ST36 Zusanli bilateral on plasma procalcitonin and renal function by measuring the plasma ureum and creatinine. Twenty eight male Wistar rats were divided randomly into four groups, control group (n=7), sepsis group (n=7), electroacupuncture group (n=7) and sham acupuncture group (n=7). Electroacupuncture was carried out once for 30 minutes before the administration of live bacteria Eschericia coli ATCC 25922 by intraperitoneal route. Six hours later after the bacteria administration was chosen as the study endpoint. The result shows there is a statiscally significant difference in mean different on ureum (p<0,001, CI 95% 57,1-76,6) and creatinine (p=0,005, CI 95% 0,14-0,62) between the sepsis and control group. The electroacupuncture group also shows decreased on plasma procalcitonin compared to the sepsis group (0,53 ± 0,11 ng/ml; 0,69 ± 0,09 ng/ml). These findings suggest electroacupuncture pretreatment at ST36 Zusanli attenuated the bacteria induced inflammatory response and mitigated acute kidney injury."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pontoh, Ega Wirayoda
"Latar Belakang: Sindrom koroner akut (SKA) dapat didefinisikan sebagai aliran darah yang tidak cukup ke miokardium dan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum di Indonesia yang mempengaruhi 143.000 orang. Skor risiko TIMI adalah penilaian stratifikasi risiko yang dapat menentukan prognosis pasien dan memengaruhi opsi terapi. Tes fungsi ginjal dikaitkan dengan keparahan hipoksia dan faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam SKA dan tidak termasuk dalam skor risiko TIMI. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tes fungsi ginjal dan skor risiko TIMI pada pasien SKA. Metode: Penelitian ini menggunakan model analitik cross-sectional menggunakan pengumpulan data rekam medis yang meliputi serum kreatinin, serum ureum, dan skor risiko TIMI yang diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. 117 sampel diperoleh yang kemudian dianalisis dengan uji chi-square.
Hasil: Uji fungsi ginjal terbukti secara signifikan terkait dengan Skor Risiko TIMI. Serum kreatinin dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,0407) serta serum ureum juga dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,036).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara serum kreatinin dan serum ureum yang tinggi dengan tingginya skor risiko TIMI.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) is defined as insufficient blood flow to the myocardium and one of the most common cardiovascular disease in Indonesia affecting 143.000 people. TIMI risk score is risk stratification assessment that can determine the prognosis of the patient and affect therapy options. Renal function test is associated with hypoxia severity and other contributing factors in ACS which is not included in TIMI risk score. This research aims to see the association of renal function test and TIMI risk score in ACS patients.
Method: The research uses analytical cross-sectional model using medical records data collection which encompasses serum creatinine, serum ureum, and TIMI risk score obtained from Cipto Mangunkusumo National Hospital. 117 samples are obtained which is then analysed using chi-square test.
Results: Renal function test proved to be significantly associated with TIMI Risk Score. Serum creatinine is associated with TIMI risk score (p=0,0407) as well as serum ureum is also associated with TIMI risk score (p=0,036).
Conclusion: There is an association between high serum creatinine and high serum ureum with TIMI risk score in ACS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyelir Nielya Mutiara Putri
"Pendahuluan: Penyakit ginjal diabetikum PGD merupakan komplikasi diabetes dan etiologi utama dari penyakit ginjal kronis PGK . Konsumsi diet yang tinggi akan fruktosa dan kolesterol dapat berujung pada PGD. Obat yang menjadi lini pertamanya adalah penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron RAA , seperti kaptopril. Diperlukan agen yang dapat membantu penanganan PGD dengan menargetkan jalur patofisiologis lainnya. Beberapa studi telah menunjukkan potensi efek renoprotektif dari Acalypha indica AI , sehingga dapat menjadi alternatif penanganan PGD.
Metode: Sebanyak 32 ekor tikus Sprague-Dawley dibagi ke dalam enam kelompok, dengan empat yang mendapatkan diet tinggi fruktosa dan kolesterol DTFK dan dua mendapatkan diet normal selama tujuh minggu. Selama empat minggu berikutnya tiga kelompok DTFK mendapatkan terapi dengan AI 250 mg/kgBB , kaptopril 2,5 mg/kgBB , dan kombinasi keduanya, sementara satu kelompok diet normal diterapi dengan AI. Dilakukan pengukuran kadar ureum dan kreatinin serum dari sampel darah yang diperoleh sebelum minggu ke-7 dan sesudah terapi diberikan minggu ke-11.
Hasil: Pada kelompok normal, pemberian AI dapat menurunkan kadar ureum dan kreatinin serum, meskipun tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol normal. Pada kelompok DTFK, monoterapi AI dan kaptopril dapat menurunkan kadar ureum serum jika dibandingkan dengan kontrol negatif, namun tidak berbeda secara signifikan. Sementara itu, kadar keratinin serum kedua kelompok tersebut mengalami penurunan. Terapi kombinasi ditemukan menimbulkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum yang berbeda secara signifikan dengan kelompok kaptopril dan kedua kelompok normal. Ini dapat mengindikasikan potensi interaksi antagonistik antara AI dan kaptopril.
Kesimpulan: Pemberian AI secara tunggal cenderung memberikan efek protektif terhadap ginjal, meskipun tidak signifikan secara statistik. Terdapat potensi interaksi antagonistik antara AI dengan kaptopril, yang dapat berdampak negatif bagi ginjal. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji efek renoprotektif dari AI dan potensi interaksi antagonistiknya dengan kaptopril.

Introduction Diabetic kidney disease DKD is a complication of diabetes and main etiology of chronic kidney disease CKD . Consumption of diets with high fructose and cholesterol content may lead to the development of DKD. Drugs that inhibit the rennin angiotensine aldosterone RAA system, such as captopril, are the first line treatment for the disease. Studies have shown that Acalypha indica AI has a potential renoprotective effect, thus it may become an alternative treatment for DKD.
Method Thirty two Sprague Dawley rats are divided into six groups, with four groups receiving high fructose and high cholesterol diet HF CD and two groups receiving normal diet for seven weeks. After that, for another four weeks, three groups with HF CD received treatment with AI 250 mg kgBW , captopril 2,5 mg kgBW , and both, while one group with normal diet received treatment with AI. Serum urea and creatinine levels from blood samples collected before week 7 and after the therapy was given week 11 were measured.
Results In the normal group, AI therapy decreases serum urea and creatinine levels, but the difference is not stastically significant. In the HF CD group, AI and captopril monotherapy is shown to decrease serum urea and creatinine levels compared to negative control group, though not statistically significant. Meanwhile, the serum creatinine levels of the two groups decrease. Combination therapy group is found to elevate serum urea and creatinine levels. The elevation of serum urea level is significantly different with captopril group and the two normal groups. This may indicate potential antagonistic interaction between AI and captopril.
Conclusion AI as a monotherapy has a tendency to give protective effect to the kidney, though is not statistically significant. This study has also shown antagonistic interaction between AI and captopril, which may have negative effects toward the kidney. Another study should be conducted to learn more about the renoprotective effect of AI and its potential antagonistic interaction with captopril."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
"Latar belakang: Kadar vitamin D dalam tubuh yang optimal berkisar antara 20 ng/mL hingga 100 ng/mL. Penelitian terdahulu menunjukkan tidak optimalnya kadar vitamin D dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Pada masyarakat urban kampung di Indonesia, terdapat risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak memadai. Hal ini membuat masyarakat urban kampung rentan terhadap defisiensi vitamin D yang kemudian bisa menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk meneliti korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada subjek dewasa di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.
Metode: Studi ini dilakukan dengan cara potong lintang pada subjek dewasa di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang pada tahun 2019-2020. Subjek penelitian kemudian disesuaikan dengan kriteria eksklusi dan inklusi dan dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D serta penanda fungsi ginjal.
Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D sebesar 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum sebesar 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum sebesar 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan median nilai eGFR berdasarkan rumus CKD-EPI sebesar 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, maupun nilai eGFR.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.

Introduction: Optimal vitamin D serum level ranged from 20 ng/mL to 100 ng/mL. Previous studies showed that suboptimal vitamin D serum levels might influence the kidney. Individuals who live in urban kampung, have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is conducted to identify the correlation between serum level of vitamin D and kidney function markers in adults that live in the urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
Method: This cross-sectional study is conducted to adults in urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined exclusion and inclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn from the participants to quantify the vitamin D serum level and kidney function markers.
Result: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score, using CKD-EPI equation, is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score. Conclusion : There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>