Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasibuan, Puteri Aliya Iskandar
"ABSTRAK
Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di wilayah nusantara sedari dulu telah mendapatkan perhatian khusus para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya ketentuan Pasal 18 adalah wujud nyata pengakuan negara terhadap daerah-daerah yang memiliki keistimewaan dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai asal-usul masing-masing wilayah. Eksistensi tersebut tidak terlepas dari peran lembaga dan hukum adat yang menjalankan fungsinya pada masing-masing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Acehadalah salah satu daerah yang bersifat istimewa sertamemiliki Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dalam rangka menjalankan keistimewaan tersebut, Pemerintah Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh kemudian membentuk Qanun Lembaga Wali Nanggroe. Skripsi ini kemudian akan memberikan gambaran untuk mengetahui bagaimana kedudukan lembaga adat di Indonesia serta Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Kesimpulan: Setelah diberlakukan Undang-Undang Desa yang terbaru, kedudukan lembaga adat di Indonesia adalah sebagai mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa, menyelenggarakan fungsi adat istiadat serta berperan dalam membantu Pemerintah Desa sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa. Sementara kedudukan Lembaga Wali Nanggroe adalah mitra pemerintah daerah sebagai lembaga kepemimpinan adat yang bersifat istimewa. Kata kunci: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Desa dan Desa Adat, Lembaga Adat, Keistimewaan, Lembaga Wali Nanggroe

ABSTRACT
The existence of Indigenous PeopleUnity in the Indonesia had always been a special concern of the founders of the Unitary of Indonesian Republic. The birth of provisions of Article 18 is the real form of state recognition of the regions that have the privilege and theIndigenous People Unity in accordance with origin of each region. The existence is highly influenced by the role of institutions and customary laws which carry out its own function. Aceh is one special region which own Indigenous Peoples Unity. In carrying out its function, Local Government jointly with Aceh rsquo s House of Representatives then forms Qanun of Wali Nanggroe Institute. This thesis will provide an overview on how the position of indigeneous institute in Indonesia as well as the Wali Nanggroe institute in Aceh. Conclusion After the latest legislation of village is recently applied, the position of indigenous institute in Indonesiais as a partner of Village Government and other Village institute in empowering the Village community, perform the functions of customs in assisting the Village Government as a form recognition of the customs of the Village community while the position of the Wali Nanggroe institute is as the partner of Local Government as an institute of indigeneous leadership with a previlege.Keywords Unity of Indigenous People, the Village and the IndigeneousVillage, Indigeneous Institute, Previlege, Wali Nanggroe Institute. "
2017
S68971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ikramatoun
"ABSTRAK
Diskursus tentang institusi Wali Nanggroe di Aceh mulai mencuat pasca perdamaian GAM dan pemerintah Indonesia. Gelar Wali Nanggroe yang sebelumnya melekat pada sosok kharismatik Hasan Tiro berpindah menjadi sebuah institusi adat. Beberapa penelitian sebelumnya melihat bahwa Wali Nanggroe merupakan produk kultural yang diperoleh Hasan Tiro secara turun temurun. Namun studi ini mengungkapkan gejala rutinisasi kharisma dari institusi Wali Nanggroe yang merupakan produk politik pasca perdamaian. Pertanyaan utama dalam studi ini adalah tentang peran Wali Nanggroe setelah terbentuk sebagai institusi, dan reaksi berbagai kalangan masyarakat terhadap kehadiran institusi tersebut. Proses pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dan dokumenter, sedangkan informan dipilih dengan metode purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rutinisasi kharisma dari institusi Wali Nanggroe dilakukan melalui langkah-langkah politik, yaitu dengan adanya kekuatan konstitusi sebagai dasar bagi pembentukan institusi tersebut. Namun kemudian muncul persoalan bahwa individu yang menggantikan Hasan Tiro dianggap tidak memiliki kharisma, sehingga mengurangi kekuatan legitimasi dari institusi Wali Nanggroe. Hal itu kemudian menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat, dan ikut mempengaruhi kelompok basis sosial, bukan hanya kelompok pendukung, namun juga pengikut setia Hasan Tiro.

ABSTRACT
Discourse about institution of Wali Nanggroe in Aceh beginning after reconciliation between GAM and the Indonesian government. Wali Nanggroe in previously attached to the charismatic figure of Hasan Tiro, moved into a traditional institution. In several previous studies, Wali Nanggroe is a cultural product that obtained to Hasan Tiro hereditary. But this study noted that institution of Wali Nanggroe is a politic product of post-peace. Here, institution of Wali Nanggroe is routinization of charisma Hasan Tiro. So, the main question in his study is about the role of Wali Nanggroe after being formed as an institution, and then to describe the reaction of various circles of society to the presence of the institution. Then, the process of data collection conducted by interview, observation, and documentaries, while the informant chosen by purposive sampling method.
The results showed that the routinization of charisma of institutions Wali Nanggroe done through political measures, namely the existence of the power of the constitution as the basis for the establishment of the institution. But then came the problem that the individual who replaces Hasan Tiro is considered not to have charisma, thus reducing the strength of the legitimacy of institutions Wali Nanggroe. It was then elicit a reaction from various circles of society, and the influence of social group basis, not just a support group, but also loyal followers of Hasan Tiro.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Harza Mauludi
"Skripsi ini membahas mengenai perjuangan Partai Aceh (PA) dalam penyusunan qanun lembaga wali nanggroe. Penyusunan qanun lembaga wali nanggroe yang tidak terlepas dari peran PA yang sangat dominan di Aceh, terutama di parlemen serta intervensi dari Pemerintah Pusat. Melalui metode penelitian kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi kepentingan PA dalam qanun lembaga wali nanggroe, terutama dari sudut pandang politik. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa kepentingan PA di dalam penyusunanqanun lembaga wali nanggroe adalah membentuk lembaga wali nanggroe yang kuat dan mengamankan kursi wali nanggroe.

This thesis examines the Aceh Party?s struggle in establishing the institution of guardian of the state law (qanun lembaga wali nanggroe). The making of this law is separable with Aceh Party's dominant role in Aceh, especially in the parliament, and Central Government?s intervention. Using qualitative research methods, this study aims to determine and understand Aceh Party?s secret interests inthe institution of guardian of the state law, especially the political one. This study finds that Aceh Party?s interests in establishing the institution of guardian of the state law is making the strong institution and securing the guardian of the state position."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S62374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library