Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lidwina Inge Nurtjahyo
"RUU KUHP telah menimbulkan perdebatan, khususnya terkait dengan pasal-pasal yang berada di bawah lingkup kesusilaan. Rumusan pasal 488 sangat potensial untuk menimbulkan masalah baru bagi perempuan. Terutama perempuan memiliki kendala dalam mengakses identitas hokum. Pasal ini merupakan refleksi dari gagalnya para ahli hokum yang merumuskan undang-undang dalam memahami pengalaman perempuan terkait dengan aksesnya atas hak untuk memperoleh identitas hokum, terutama dalam konteks relasi dengan pasangan. Hokum pidana bukanlah jawaban atas semua masalah. Tulisan ini disusun dengan menggunakan data baik yang diperoleh dari suatu penelitian lapangan terkait dengan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan hokum adat, yang dilaksanakan oleh penulis beserta tim dari Bidang Studi Hukum dan Masyarakay pada 2015, 2016, dan 2017 di wilayah Indonesia Timur; maupun data hasil analisis teks hokum dan nonhukum. Keseluruhan metode dan analisis atas temuan penelitian menggunakan feminist legal studies feminist legal theoris."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2018
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Hartiningsih
"Penelitian ini mengungkapkan bahwa pengalaman perempuan dapat membentuk solidaritas politis dan menjadi gerakan bersama untuk menolak kekerasan dan menegakkan demokrasi dengan cara-cara berpolitik yang baru.
Akan tetapi, hal itu tidak bisa dianggap sebagai "sudah seharusnya". Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode personal naratif atau wawancara mendalam mengenai sejarah hidup responden, terungkap, bahwa kata kuncinya adalah pengalaman yang didefinisikan oleh diri sendiri setelah pembangkitan kesadaran (CR). Prosesnya episternik. Kalau dikotomi publik-privat berhasil dibongkar dalam proses CR, maka diasumsikan tidak ada lagi dikotomi antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, sehingga solidaritas politis lebih mudah terbentuk.
Namun hal itu tak bisa diandaikan. Hasil riset memperlihatkan diperlukannya kesadaran yang tinggi dan upaya terus menerus untuk mewujudkan solidaritas politis, karena ada "ego" manusia yang cenderung untuk menguasai manusia lainnya. Cara berpolitik yang baru hanya mungkin dilakukan kalau terjalin solidaritas politis antar perempuan, dan hal ini berawal hubungan-hubungan yang lulus antar manusia. Itulah demokrasi dalam perspektif perempuan.
Pengalaman perempuan juga paralel dengan kaum marjinal. Cara pandang epistemik antara perempuan dan kelompok marginal juga paralel; bahwa pengalaman mereka didefinisikan oleh masyarakat, penguasa, tradisi, agama dan lain-lain. Dengan kata lain, cara baru berpolitik juga hanya dimungkinkan kalau ada dekonstruksi dan destabilisasi pemahaman epistemik mereka yang termarjinalkan. Karena itu, perjuangan politik perempuan tidak dapat dilakukan secara eksklusif, dan perempuan berpotensi menjadi agen pembaharu di dalam masyarakat.
Women 's Experience: Solidarity, a New Way of Doing Politics to Enhance DemocracyThe study explores that women's experience can form a political solidarity and allied movement to cast off violence and to establish democracy with new ways of doing politics. However, it cannot be taken for granted, as "how it should be". By using qualitative approach, personal narratives or in-depth life history interview, I discovered that the key word is that the self-defined experience after Consciousness Raising (CR). The process is epistemic. If the dichotomy of public-private is successfully understood in the process of CR, it is assumed that there are no more dichotomies between private and public interests so that political solidarity is easier to form.
After all, this cannot just be imagined. This research disclosed that it takes high consciousness and continuous effort to form political solidarity due to the existing human ego that tends to dominate each other. A new ways of doing politic is made possible only if there is solidarity among women and it begins with sincere human relations. That is democracy from women's perspective.
Women's experience is also parallel to that of the marginal group. Epistemic view between women and marginal group is also parallel, in that society, rulers, tradition, religions, etc define their experience. In other word, a new ways of doing politics is made possible only if there is deconstruction and destabilization of epistemic understanding of those marginalized. Consequently, women's political movement cannot be achieved exclusively, and women are a potential force as the agent of change in their society.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Aathifah
"Paradigma terhadap peran setiap gender membatasi kebebasan perempuan untuk hadir di ruang publik sehingga menciptakan segregasi gender terhadap ruang. Sarana olahraga merupakan salah satu contoh ruang yang selalu dikaitkan dengan ruang untuk laki-laki. Perkembangan zaman modern menciptakan ideologi baru dalam melibatkan perempuan ke ruang publik yaitu dengan menciptakan ruang khusus perempuan secara eksklusif. Ruang khusus perempuan diciptakan untuk memenuhi hak perempuan dan memberikan pengalaman spesifik bagi perempuan terutama dalam merasakan kenyamanan dan bebas dari kekhawatiran. Di Indonesia, terdapat kolam renang telah menerapkan segregasi ruang berdasarkan gender khusus perempuan dengan adanya strategi spasial. Kompleksitas dari ruang spasial kolam renang yang tersegregasi gender ini juga mampu memicu pengalaman perempuan di kolam renang.

The paradigm regarding gender roles restricts women's freedom to occupy public spaces, leading to gender segregation in these areas. Sports facilities are often seen as male-dominated spaces. Modern developments have introduced new perspectives on involving women in public spaces by creating exclusive female-only areas. These spaces aim to enhance women's security, privacy, comfort, intimacy, and self-determination. Swimming pools are an example of sports facilities that implement gender segregation through spatial strategies. Architectural elements such as accessibility, legibility, enclosure, permeability, and visual attractiveness influence the quality of these spaces and shape specific spatial behaviors for women."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library