Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Maimun Wakhid Irma
Abstrak :
Penelitian ini membahas konstruksi sosial penyiaran publik terutama terkait dengan lahimya UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang memuat pasal-pasal panting tentang penyiaran publik sekaligus implementasinya terhadap penyiaran publik dalam masa transisi demokrasi yang diwarnai oleh relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya baik ekonomi politik yang tidak seimbang. Mengingat, dalam perumusan penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 berdasarkan proses-proses konstruksi sosial yang menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan dan kepentingan antara struktur dan agency. Karena itu, realitas simbolis penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menunjukan upaya mereproduksi legitimasi dan stabilitas rezim authoritarian bureaucratic yang berkelindan dengan rezim fundamentalisme pasar untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekonominya melalui institusi penyiaran publl Walhasil, terdapat makna ganda di mana di satu sisi membuka peluang bagi kehadiran penyiaran publik, namun di sisi lain terdapat kontradiksi konseptual dalam pasal-pasal tersebut yang merupakan faktor penghambat perwujudan penyiaran publik. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui document analysis, depth interviewing, dan zinstruchire observation. Dad data yang diperoleh baik berupa dokumen atau hasil wawancara selanjutnya dianalisis adalah Critical Political Economy yang mencoba membongkar kesadaran palsu false consciousness) yang ditimbulkan oleh "damaging arrangement" (Littlejohn, 1999) pada dua kondisi khusus. Pertama, kencenderungan peralihan masa transisi demokrasi dari sistem penyiaran dikontrol oleh rezim kekuasaan (seperti era Orde baru) kepada sistem penyiaran yang mengakomodasi penyiaran publik dalam UU Penyiaran sebagai ruang publik yang babas dan netral untuk mernposisikan publik menjadi sender sekaligus receiver berdasarkan keinginan dan kebutuhan publik. Kedua, terdapatnya kontradiksi internal di dalam struktur masa transisi demokrasi ini yang merasa paling mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan dan keinginan publik dalam konsep penyiaran publik, sehingga proses perencanaan, perumusan, dan pengesahan yang tersimbolisasi pada pasal-pasal tentang penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok elit di lingkungan legislatif dan eksekutif dalam struktur politik tersebut yang disebut sebagai kecenderungan Paternalistik Meskipun memang sudah melalui forum konsultasi publik yang diposisikan sebagai legalitas formal dari proses keterlibatan publik semata. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi sosial yang melibatkan pertarungan kepentingan antara struktur dan agency dalam konteks penyiaran publik dalam masa transisi ini rnenunjukan sebuah konsep penyiaran publik yang belum ideal implikasinya adalah pada tahap implementasi penyiaran publik secara kongkrit mengalami hambatan-hambatan ganda, yaitu di satu sisi konsep penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 masih didominasi oleh intervensi negara dan pasar, sedangkan di sisi lain secara ekplisit implementasi pasal-pasal tersebut (sejauh dimungkinkan untuk disepakati konseptualisasinya) juga terdapat dalam Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 60 yang menyebabkan terjadinya intervensi pada RRI sebagai lembaga penyiaran publik nasional dalam hal pergantian direksi yang secara nyata oleh Meneg BUMN (Laksaunana Sukardi) yang telah melanggar dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun, pelanggaran tersebut dianggap wajar terjadi pada masa penyesuaian selama 2 tahun untuk RRI sebagai penyiaran publik. Contoh pada Radio Berita Namlapanha dalam situasi yang serba transisi ini sesungguhnya mungkin untuk menjadi penyiaran publik, ketika secara konseptual dan prinsip-prinsip meleburkan diri pada penyiaran publik, dan harus didukung oleh payung undang-undang yang secara ekplisit dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 ini belum memberi tempat yang kondusif. Pada tataran inilah bahwa konstruksi sosial tentang penyiaran publik belum berakhir dan final, karena itu butuh perjuangan yang melibatkan interplay antara struktur dan agency dalam sebuah distribusi sumberdaya ekonomi politik yang seimbang (demokrasi). Historical situatedness lahirnya penyiaran publik terkait dengan apa yang disebut oleh Golding dan Murdock (dalam Barret, 1995) dengan perkembangan kapitalisme dalam sebuah konteks historis yang spesifik Dalam perkembangan kapitalisme, deregulasi di bidang penyiaran masa transisi demokrasi ini adalah upaya penghapusan terhadap state regulation (regulasi negara seperti yang terjadi pada Orde Baru, di mana negara melakukan kontrol preventif terhadap industri penyiaran), untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Industri penyiaran akan sangat rentan dan akan senantiasa mendasarkan diri pada kaidah-kaidah penawaran-permintaan pasar, melalui dogma rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi-konsumsi, dan logika never-ending circuit of capital acumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Judhariksawan
Jakarta: Rajawali, 2010
343.099 4 JUD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
B. Nugroho Sekundatmo
Abstrak :
Ranah penyiaran Indonesia pasca 1998 telah mengalami perubahan mendasar dengan keluarnya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di mana sebelumnya merupakan domain kewenangan pemerintah (Departemen Penerangan) menjadi domain kewenangan masyarakat yang direpresentasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI merupakan lembaga negara yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Tetapi konstestasi Negara, industri, dan masyarakat sipil di ranah penyiaran belum selesai dan berlarut-larut dalam Peraturan Pemerintah tentang penyiaran. Tujuan penelitian ini adalah membongkar akar penyebab kontestasi tersebut dan memberikan rekomendasi kepada KPI, baik lembaga maupun anggotanya/termasuk saya sendiri, untuk mengelola kontestasi berhadapan dengan industri dan pemerintah dalam rangka mengatur penyiaran Indonesia sehingga memberi manfaat bagi masyarakat. Proses penelitian ini diabdikan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu perubahan sistem penyiaran nasional yang tersentralisasi menuju sistem penyiaran lokal berjaringan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa akar kontestasi masalah ini adalah pertarungan rezim Market Regulation melawan Public Regulation. Siapa sesungguhnya yang dimenangkan dan diuntungkan dalam kontestasi tujuh PP Penyiaran tersebut? Jawabnya adalah para pemilik modal TV/radio yang sudah mapan di industri penyiaran Indonesia. Bagaimana dengan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)? Depkominfo hanyalah kaki-tangan para pemilik modal yang sudah mapan di industri penyiaran itu. Dan KPI? KPI masih belum berhasil, kalau tak sopan jika dikatakan telah gagal, menjadi instrumen pelopor untuk menegakkan kepemilikan publik atas ranah liar Indonesia. Tapi kontestasi tetap belum selesai. Public Regulation masih mempunyai peluang untuk terus hidup, tesis ini ditutup dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mendorong public regulation tersebut. Participatory Action Research ini juga menemukan terjadinya bipolarisasi aktor di ranah penyiaran, yakni Depkominfo dan Industri di satu pihak, berhadapan dengan DPR, KPI, dan Masyarakat Sipil di lain pihak. Bipolarisasi aktor tersebut berdialektika dengan terjadinya diskrepansi/patahan dalam struktur ekonomi politik penyiaran di mana Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran kemudian menjadi tidak sinambung dengan Undang-Undang Penyiaran.
Indonesia broadcasting landscape in the post 1998, has basically changed after the deliberation of the new Broadcasting Law (UU Nomor 32 Tahun 2002). Under the previous law, the power to regulate TV and radio belongs to The Department of Propaganda (Departemen Penerangan). Nowadays, it belongs to the public which is represented by the Indonesian Broadcasting Commission (KPI). By law, KPI is a state body to regulate the broadcasting matters. But the ministry of communication and information and also the established broadcasting capitalists do not satisfied with the law. The contestation among the state, industry, and civil society in the broadcasting landscape has not finished yet. It's still continuing till the Government Regulations on Broadcasting signed by the President Susilo Bambang Yudhoyono. The purpose of this research is to find out the roots of the contestation and to formulate the recommendations for KPI, as an institution and also for the commissioner/including myself, to manage the contestation facing the broadcasting industry and government. However, the broadcasting landscape must be regulated so that it can give the benefit for public. The Process of this research will be dedicated to reach the final purpose, i.e. to change the centralized broadcasting system to local network system. The finding of this research is that the contestation between the Market Regulation vis a vis Public Regulation. Who is really got the benefit of the government regulations on broadcasting? The answer is the established broadcasting capitalists in Indonesia. How about the Department of Communication and Information (Depkominfo)? Depkominfo is just a slave of the established broadcasting capitalist. And KPI? KPI has not been successful yet as a frontier soldier to uphold the public ownership on broadcasting arena. Actually, the contestation is to be continued. The Public Regulation still has the opportunity to survive. This research provides recommendations to enforce the public regulation. This Participatory Action Research has also found the bipolarization of the actors in the broadcasting landscape, i.e. government and the industry on one faction against parliament (DPR), KPI, and civil society. This bipolarization runs dialectically with the discrepancy in the broadcasting political economy structure so that the Government Regulations on Broadcasting doesn't obey the Broadcasting Law.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Michael Bura
Abstrak :
ABSTRAK
Industri telekomunikasi dan penyiaran pada dasarnya terpisahkan karena produk yang dihasilkan bersifat komplementer sehingga setiap industri berjalan masing-masing. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, terjadi konvergensi dalam kedua industri ini. Layanan konvergensi yang  ditawarkan terdiri atas penyediaan konten, layanan dan jaringan serta produsen perangkat. Salah satu layanan konten siaran dimaksud adalah layanan televisi berlangganan menggunakan kabel (TV kabel). Penyelenggaraan TV kabel dapat menggunakan jaringan kabel sendiri atau menyewa jaringan telekomunikasi. Penggunaan jaringan telekomunikasi tidak efisien mengingat IPP televisi berlangganan terbatas dalam 1 wilayah dan dapat diperluas dengan melapor kepada Menteri. Keterbatasan ini menimbulkan inefisiensi dalam penyelenggaraan TV berlangganan menggunakan kabel (TV kabel. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap regulasi penyelenggaraaan TV berlangganan untuk memberikan opsi lain bagi pemerintah dalam menentukan cakupan wilayah bagi penyelenggara TV kabel.
ABSTRACT
The telecommunications and broadcasting industries are basically inseparable because the products produced are complementary so that each industry runs each. But along with technological developments, there has been convergence in these two industries. Convergence services offered consist of providing content, services and networks as well as device manufacturers. One of the intended broadcast content services is subscription television services using cable (cable TV). Cable TV can use its own cable network or rent telecommunications networks. The use of telecommunication networks is inefficient considering the subscription IPP television is limited to 1 region and can be expanded by reporting to the Minister. This limitation raises inefficiencies in the implementation of subscription TV using cable . In this study an analysis of the regulation of the provision of TV subscription was conducted to provide other options for the government in determining the coverage of cable TV providers.
2019
T53353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Billy Nikolas
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai analisis peraturan dalam konteks persaingan usaha tentang diskriminasi khususnya pada bidang penyiaran. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pergeseran kebiasaan untuk mengakses siaran yang berubah dari saluran TV konvensional ke layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet over the top (“OTT”). Perubahan tersebut membawa perubahan pada pasar bersangkutan yakni penyedia layanan TV Konvensional dan penyiaran OTT. Jumlah penikmat layanan OTT meningkat dengan tajam. Meskipun memiliki fungsi yang sama, layanan OTT secara prinsip memiliki karakter yang berbeda dengan TV konvensional. Perbedaan peraturan merupakan konsekuensi logis dari perbedaan prinsip dan karakter meskipun memiliki fungsi yang sama. Perbedaan peraturan tersebut diakui melalui putusan Mahkamah Konstitusi No 39/PUU-XVIII/2020 tanggal 10 Desember 2020 yang berpendapat bahwa televisi konvensional dan OTT merupakan hal yang berbeda dan tidak diskriminatif. Tulisan ini bertujuan menganalisis keadilan dan kesesuaian dengan pengaturan yang pro kompetisi serta non diskriminatif dalam konteks persaingan usaha. Dalam penelitian ini, digunakan teori keadilan menurut Thomas Hobbes yang meninjau keadilan dari kerangka kekuasaan negara. Kekuasaaan negara dalam hal ini berbentuk produk undang-undang. Dari hasil analisis mengenai keadilan pengaturan, dilakukan penelitian lebih lanjut dalam konteks persaingan usaha dengan teori diskriminasi. Diskiriminasi dalam konteks persaingan usaha dapat berupa pembedaan pada suatu pelaku usaha untuk bersaing diluar permasalahan harga. Pembedaan berdampak pada pelaku usaha untuk bersaing pada pasar. Lebih lanjut, dibahas pula mengenai prinsip pembentukkan peraturan menurut Bertelsmann di era digital yang bersifat pro kompetisi untuk meningkatkan mutu regulasi layanan penyiaran. Dengan diketahuinya prinsip pembentukkan peraturan di era digital yang bersifat pro kompetisi layanan TV Konvensional dan penyiaran OTT bisa bersaing secara sehat. ......This study discusses the analysis of regulations in the context of business competition regarding discrimination, especially in the broadcasting sector. This research is based by a shift in habits to access broadcasts that change from conventional TV channels to application services and/or content via the internet over the top (“OTT”). These changes bring changes to the relevant market, namely Conventional TV service providers and OTT broadcasters. The number of users of OTT services has increased significantly. Despite having the same function, OTT service in principle has a different character from conventional TV. Differences in regulations are a logical consequence of differences in principles and characters even though they have the same function. The difference in regulations is recognized through the decision of the Constitutional Court No. 39/PUU-XVIII/2020 dated December 10, 2020,
2
which argues that conventional television and OTT are different and non-discriminatory. This paper aims to analyze fairness and conformity with pro-competitive and non-discriminatory arrangements in the context of business competition. In this study, the theory of justice according to Thomas Hobbes is used which reviews justice from the framework of state power. The power of the state in this case is in the form of a product of law. From the results of the analysis of regulatory justice, further research was conducted in the context of business competition using the theory of discrimination. Discrimination in the context of business competition can be in the form of differentiating a business actor to compete outside of price issues. The difference has an impact on business actors to compete in the market. Furthermore, Bertelsmann's principle of the formation of regulations in the digital era that is pro-competitive in nature is also discussed to improve the quality of regulation of broadcasting services. By knowing the principles of forming regulations in the digital era that are pro-competition, Conventional TV services and OTT broadcasting can compete in competitively.
Keywords: competition law; broadcasting operators; broadcasting law; conventional television; digital applications; over the top
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library