Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Woodfin, Rupert
Singapore: Rupert Woodfin, 2004
335.4 WOO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ghanim Abduh
Bangil: Al-Izzah, 2003
335.4 Abd k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Franz Magnis-Suseno
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016
100 FRA d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mandel, Ernest
Yogyakarta: Resist Book, 2006
301.152 MAN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pustaka - Pen, 2001
335 ASA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Rosyidin
Depok: Rajawali Press, 2022
327 MOH t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Pramoedya Ananta Toer adalah sosok fenomenal yang sangat menarik untuk diteliti. Karya-karyanya mampu memberi semangat bagi para pejuang hak asasi manusia dan sebaliknya kadang-kadang ia menjadi momok bagi pemerintah."
490 KAN 7:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Dwiyanti
"ABSTRAK
Washington Consensus pertama kali dicetuskan oleh John Williamson untuk mendeskripsikan sepuluh kebijakan yang mendapatkan konsensus di Washington. Washington Consensus ternyata mengundang banyak kritik dari kalangan akademisi. Tugas Karya Akhir TKA ini melakukan tinjauan literatur mengenai perdebatan Washington Consensus dari tahun 1990 sampai 2016. Literatur-literatur tersebut kemudian dikelompokkan sesuai dengan ideologi ekonomi politik internasional, yaitu liberalisme, nasionalisme, dan marxisme. Dalam liberalisme, terdapat dua kelompok pemikiran yang saling bertolak belakang, yaitu pemikiran yang mendukung dan mengkritik Washington Consensus. Di sisi lain, argumen utama dari nasionalisme adalah bahwa Washington Consensus tidak berhasil meningkatkan kinerja ekonomi negara-negara berkembang dan peran negara yang aktif dibutuhkan. Penulis-penulis marxis berargumen bahwa Washington Consensus bersifat reduksionis karena mengabaikan relasi power. Dalam perdebatan ini, muncul beberapa rekomendasi kebijakan untuk menggantikan Washington Consensus. TKA ini merefleksikan bahwa rekomendasi kebijakan pembangunan bertahan dalam perdebatan apabila didukung oleh kekuatan politik. Refleksi ini merupakan sebuah agenda penelitian yang dapat dilaksanakan di masa depan agar korelasi antara dukungan politik dan daya tahan endurance rekomendasi kebijakan pembangunan dapat dibuktikan.

ABSTRACT
Washington Consensus was first coined by John Williamson to describe ten policies which command consensus in Washington. The emergence of Washington Consensus invites numerous critics from scholars. This writing aims to review literatures about the debate on Washington Consensus from 1990 to 2016. These literatures are grouped based on ideologies in international political economy, namely liberalism, nationalism, and marxism. There are two contrasting divisions in liberalism. One supports Washington Consensus while the other criticizes it. On the other hand, the main argument of nationalism is that Washington Consensus has failed to improve the economic performance of developing countries and the active role of state is needed. Marxist scholars argue that Washington Consensus is reductionist because it ignores power relations. From this debate, there are several policy recommendations. This writing infers that development policy recommendation will endure if it is supported by political power. This reflection is a potential research agenda to be conducted in the future so that correlation between political support and endurance of development policy recommendation can be proven."
2017
TA-Pdf;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Utoyo
"Pokok masalah skripsi ini adalah menentukan kedudukan estetika dengan kesenian sebagai aplikasinya, didalam kerangka teori Marxisme, sebagai berikut: (1) Karl Marx Muda terheran-heran akan sifat kesenian (ia mengambil contoh kesenian Yunani Purba) yang transhistorical dan eternal charm. Hal ini disebabkan kesenian ternyata tidak termasuk dan berasal dari infra-struktur; aktifitas kesenian tidak sejalan dengan sejarah perkembangan material. (2) Marxisme sebagai ideologi menempatkan kesenian pada infra-struktur, sebagai alat propaganda politik revolusioner: Menyuarakan kepentingan Kelas Universal (Buruh) yang teralienasi. (3) Marcuse, seperti halnya Marxisme percaya bahwa alienasi manusia harus dilenyapkan dengan revolusi. Revolusi harus dilakukan karena arah perkembangan material (Materialisme Historis) telah diketahui sebelumnya, oleh karena itu perlu diantisipasi. Masalahnya bagi Marcuse adalah bagaimana menempatkan kesenian dalam revolusi politik ini, karena sifat kesenian itu apolitik.
Dasar Teoritis: (1) Karl Marx Muda berpendapat, bahwa tidak seperti halnya dengan agama yang suatu waktu akan hilang, kesenian adalah kebutuhan hakiki bagi aktualisasi diri dan kemanusiaan; jadi kesenian disini bersifat antropologis.(2) Marxisme berpendapat bahwa kesenian mempunyai kebebasan yang relatif karena pada saat ini, kesenian harus mempropagandakan tujuan-tujuan politis mereka. (3) Marcuse yang ditopang oieh teori Freud tentang pleasure principle versus reality principle, Kant tentang Of Beauty as the Symbol of Morality, Schiller yang menjembatani sensuous impulse versus form-impulse dengan play-impulse, berpendapat bahwa terdapat hubungan yang mendasar antara Truth, Freedom, Beauty, Art, Sensuousness dan Pleasure.
Analisis Harcuse, Marcuse sependapat dengan Marx bahwa keterasingan pada manusia (alienasi) merupakan kondisi yang tidak normal, oleh karena itu perlu dilenyapkan secara revolusioner. Analisis Marcuse terhadap affluent society pada abad ini menunjukkan bahwa Kelas Buruh tidak lagi revolusioner karena mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya teralienasi. Manusia pada dasarnya cenderung mencari kesenangan tanpa batas (pleasure principle). Pada affluent society, pleasure principle ini dapat diwujudkan yaitu dengan instinctual liberation. Berdasarkan Critique of Judgement (Rant), sensuous impulse (Schiller) merupakan pusat karena mempunyai daya pertimbangan terhadap causality dan freedom: ia menuntun manusia dari hukum kasualitas menuju kebebasan.
Ciri dari sensuous impulse yang merupakan bagian dari life instinct 'naluri akan kehidupan' ini adalah play impulse. Play impulse ini terdapat pada kesenian dan bersifat kreatif, produktif dan hidup. Jadi akar dari kesenian itu adalah kehidupan yang bersifat erotis (erotogenic); tetapi kesenian tidak lantas menjadi happy ending karena di dalam estetika terdapat dialektika yang abadi antara Eros 'kehidupan'dan Thanatos 'kematian'(masalah-masalah meta-sosial). Kecemasan manusia akan waktu dan kematian dapat dihilangkan dengan abolishing time in time lewat play impulse sehingga pekerjaan dan waktu santai menjadi dis-play (Schein): hal ini dapat terjadi pada affluent society dimana art liberation dipadukan dengan teknologi yang telah dihilangkan sifat-sifat destruktifnya (gaya scienza) dapat membawa manusia pada kebehagiaan yang teraga.
Kesimpulan, justru karena sifat kesenian (anti--art) yang otonom itulah, kesenian mempunyai kemampuan subversif terhadap tatanan mapan yang mengasingkan manusia. Estetika dapat menjadi prinsip reality baru, yaitu realita yang didasari oleh life-instinct 'naluri kehidupan'. Terdapat hubungan yang hakiki antara pleasure, sensuousness, beauty, truth, art and freedom, hal ini tercermin pada seni kontemporer (anti-art) sehingga seni menjadi seni pembebasan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S16020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athira Khaira Mulyaputri
"Pertengahan abad ke-19 ditandai sebagai inisiasi awal pembangunan fasilitas kesehatan jiwa di Hindia-Belanda. Sensus penduduk tahun 1862 menghasilkan tingginya jumlah penduduk yang menderita gangguan kejiwaan di Pulau Jawa dan Madura sehingga dibutuhkan penanganan khusus. Hal inilah yang menjadi dasar pembangunan rumah sakit jiwa HindiaBelanda pertama dengan penempatan di Buitenzorg. Gambaran kehidupan sosial masyarakat di Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg dapat dilihat dari pembagian pasien dan pegawai dalam kelaskelas tertentu. Pasien dibagi menjadi empat tingkatan kelas yang terdiri dari kelas 1, 2, dan 3 untuk orang Eropa dan kelas 4 untuk Pribumi dan Cina. Pada golongan pegawai, kelas sosial dapat terlihat yang membedakan masyarakat berdasarkan ras, jabatan, dan penghasilan. Perbedaan kelas pasien dan pegawai Rumah Sakit Jiwa dapat tercermin pada tinggalan budaya berupa bangunan yang didukung oleh arsip sejarah. Penelitian ini membahas gambaran kehidupan sosial pasien dan pegawai di Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg berdasarkan pemikiran Marxisme dengan mengacu pada metode penelitian arkeologi menurut Sharer & Ashmore (2003), yaitu formulasi penelitian, implementasi penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan publikasi hasil penelitian. Penelitian ini mengungkapkan pembagian dua tingkatan kelas sosial masyarakat di Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg, yaitu kelas borjuis dan proletar. Pembagian kelas ini didasarkan analisis pada karakteristik bangunan, fasilitas, dan pelayanan yang diperoleh golongan pasien dan pegawai dari masyarakat Eropa, Cina, dan Pribumi.

The middle of the 19th century was marked as the initial initiation of the construction of mental health facilities in the Dutch East Indies. The population census in 1862 resulted in a high number of people suffering from mental disorders in Java and Madura, therefore special treatment was needed. This made the basis for the construction of the first mental hospital in the Dutch East Indies with a placement in Buitenzorg. The social life of people in the Buitenzorg Mental Hospital can be seen from the division of patients and staffs into certain classes. Patients were divided into four classes consisting of class 1, 2, and 3 for Europeans and class 4 for Indigenous and Chinese. For the staffs, social class can be seen which distinguishes people based on race, position, and income. Differences in the class of patients and staffs of the Mental Hospital can be reflected in the cultural remains in the form of buildings that are supported by historical records. This study discusses the description of the social life of patients and employees at the Buitenzorg Psychiatric Hospital based on Marxist thought based on archaeology research method by Sharer & Ashmore (2003), start from research formulation, research implementation, data collection, data processing, data analysis, data interpretation, and publication. This study reveals the division of two levels of social classin the Buitenzorg Mental Hospital, namely the bourgeoisie and proletarian classes. This class division is based on an analysis of the characteristics of the buildings, facilities, and services obtained by the patient and staffs from European, Chinese, and Indigenous communities."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>