Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kemal Imran
"Latar Belakang : Pada penelitian sebelumnya terdapat korelasi yang positif antara kemampuan deformabilitas, jumlah eritrosit dan shear rate yang rendah yang berakibat terhadap perfusi otak yang akhirnya akan mempengaruhi perburukan pasien stroke iskemik. Hal ini bisa dilihat dengan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). LED merupakan metode yang mudah dan merupakan petunjuk tidak langsumg terhadap deformabilitas eritrosit. Jika ada kondisi yang meningkatkan kadar fibrinogen atau makroglobulin lainnya akan menyebabkan eritrosit mengendap lebih cepat. Dengan melihat konsep ini kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi korelasi antara komponen eritrosit dengan keluaran klinis stroke iskemik.
Obyektif : Apakah LED ini mempunyai nilai prognostik klinis.
Desain dan Metode: Potong Lintang sesuai kriteria seleksi dan dieksplorasi apakah intensitas respon fase akut terdapat informasi keluaran klinis jangka pendek dengan melakukan uji korelasi antara LED pada pasien dalam 72 jam sejak onset stroke dengan keluaran Minis 7 hari kemudian yang diukur dengan National Institute of Health Stroke Scale (N1HSS).
Hasil: 51 pasien stroke iskemik akut ,dalam 72 jam dari onset klinis. semua pasien dilakukan neuroimejing and pemeriksaan darah rutin, tennasuk LED. 28 pasien (54,9%) terdapat peningkatan LED. LED meningkat (Laki-laki >13 dan wanita > 20) sebanding dengan penigkatan NIHSS. Dengan uji korelasi Spearman Koefisien korelasinya moderat (r=0,642) dan berhubungan bermakna (p < 0,001).

Background: In the recent study, there is a positive correlation among deformability, the amount of erythrocyte and low shear rate which impact to cerebral perfusion. By reducing the cerebral perfusion could increased the infarct size and clinical manifestation worse. The erythrocyte sedimentation rate (ESR) is a simple method and an indirect marker of erythrocyte deformability. If any conditions that increased the amount of fibrinogen and other macroglobulin will increase the ESR. By this concept we did the research to explore the correlation between erythrocyte component and the outcome of ischemic stroke.
Objective: To evaluate whether the ESR can be used as a clinical prognostic value.
Design and Methods: Consecutive Cross sectional study and explore the intensity of the acute-phase response by the correlation test between the ESR within 72 hour from the onset of stroke and the out come at day 7 measured by National ?Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) and whether provided further information concerning the short term out come.
Results: 51 acute ischemic stroke, within 72 hours from clinical onset. All patients had neuroimaging and routine blood tests, including erythrocyte sedimentation rate (ESR). 28 patients (54,9%) had increased ESR. The ESR was increased (men >13 and woman > 20) as the NIHSS was high. With Spearman Correlation test the coefficient correlation is moderate (r4,642) and was significant correlated (p < 0,001).
Conclusion: The ESR is a predictor of short term stroke outcome. These findings might be indicative the amount of fibrinogen, hyperviscosityand the erythrocyte deformability changes.
Key Words : ischemic stroke ; erythrocyte sedimentation rate ; prognosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Isra
"Latar Belakang: Cedera kepala merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda, Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kepala sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan. Klasifikasi diffuse injury berdasarkan tomografi komputer kepala saat pertama kali datang dengan melihat sisterna mesensefalika, derajat midline shift dan ada atau tidak rnassa intrakranial operatif dapat memprediksi kematian pasien cedera kepala. Skala diffuse injury dibagi menjadi 4 subgrup, makin tinggi skala diffuse injury-nya, makin tinggi angka kematiannya.
Tujuan: Menentukan derajat diffuse injury untuk memperkirakan kemungkinan kematian 3 hari pertama pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat,
Desain dan Metode: Studi dengan disain nested case control yang bersarang pada penelitian prospektif tanpa pembanding. Pasien dewasa cedera kepala derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dini akan dimasukkan sebagai kelompok studi, sedangkan kelompok kontrol akan diambil secara random dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini.
Hasil: Dari 103 subyek penelitian didapatkan 24 (23,3%) penderita mengalami CKB dan 79 (76,7%) penderita CKS. Terdapat 23 (22,3 %) penderita yang meninggal daiam 3 hari pertama. Faktor yang berpeng ruh terhadap kematian adalah SKG, diffuse injury, sisterna mesensefalika, mid/Inc shift 5 mm atau lebih, denyut nadi, frekuensi nafas, jumlah leukosit dan tekanan PC02. Hasil analisis muitivariat menunjukkan bahwa faktor resiko independen kematian 3 hari pertama adalah skala diffuse injury (p=0,005), midline shift 5 mm (p=0,000) dan denyut nadi (p=0,016).
Kesimpulan: Skala diffuse injury unfavorable dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Midline shift 5 mm sebagai komponen skala berperan sebagai faktor resiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat.

Background: Head injury is the most frequent cause of mortality in young adult. Previous studies showed that outcome of head injured patient could be predicted in the first 3 days from the on set. Classification of head injury based primarily on information gleaned from the initial computerized tomography (CT) is described. It utilizes the status of the mesencephalic cisterns, the degree ofmidiine shift in millimeters, and the presence of absence of one or more surgical masses could be predict mortality in trauma. The term `diffuse injury' is divided into four subgroups, and the higher mortality had a strong correlation with the higher scale,
Objective: To formulate prediction scale using `diffuse injury' to know the risk of moderate and severe head injury in the first 3 days.
Methods: It was cross sectional study and continued with nested case control without comparison between moderate and severe head injury patient. Patient who was died in the first 3 days were included as study group while control group has been consisted of patient who was not died in the first 3 days and selected randomly.
Result: from 103 subject, there were 24 (23,3%) severe head injury and 79 (76,7%) moderate head injury. There were 23 (22,3%) patients who was died in the first three days. Significant factor that had influence to the mortality were GCS, diffuse injury, mesencephalic cisterns, midline shift 5 mm or more, pulse rate, respiratory rate, leucocytes count and PCO2 . Multivariate analysis showed the independent risk factors to mortality in the first 3 days were diffuse injury (p=0,006), midline shift 5 mm or more (p=0,000) and pulse rate (p=0,016).
Conclusion: Diffuse injury could predict mortality in the first 3 days of head injury patient. Midline shift as one of diffuse injury components is the leading risk factor of mortality in moderate and severe head injury patients in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wid Patria Wijaya
"Latar belakang. Cedera kranio-serebral (CK) masih menjadi masalah kesehatan dan sosial yang besar karena akibatnya menyangkut kerugian sumber daya manusia dan materi yang besar Oleh sebab itu penatalaksanaan penderita CK haruslah menjadi perhatian kita untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan. Disamping pemeriksaan penunjang yang ada seperti CT-scan saat ini juga disebutkan pemeriksaan kadar enzim NSE yang diketahui merupakan enzim glikolitik yang predominan terdapat dalam sitoplasma neuron dan akan lepas kedalam cairan tubuh (darah dan LSS) apabila terjadi kerusakan sel neuron, sehingga oleh beberapa peneliti NSE ini dijadikan pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan neuron. Metodologi. Diteliti 60 penderita CK tertutup derajat sedang dan berat (GCS 12-3) di RSUPN Ciptomangunkusumo jakarta sejak Agustus 1997-Januari 1998, umur 17-45 tahun, dengan gambaran kontusio pada CT-scan serta tidak mendapatkan tindakan operasi dan tanpa komplikasi sistemik. Penilaian GCS: 6 jam pasca tindakan resusitasi, pengambilan sampel darah vena: 10 jam pasca trauma Pemeriksaan NSE dilakuka dilaboratorium Prodia dengan metode NSE Enzyme Immuno Assay. Kadar normal NSE orang dewasa sehat ≤13,2 ng/ml. Keluaran adalah: hidup / mati selama 2 minggu pasca trauma. Hasil Dari 60 penderita, terdapat 50 pria dan 10 wanita, tidak ada perbedaan bermakna terhadap proporsi kematian antara pria dan wanita (p>0,05) Terdapat perbedaan bermakna terhadap kejadian kematian pada kelompok penderita dengan NSE>13,2 ng/ml dan kejadian kematian 2,5 kali lebih besar (RR 2,5 ). Secara keseluruhan didapatkan risiko kematian semakin besar dengan semakin tinggi usia, semakin rendah GCS dan semakin tinggi kadar NSE. Kesimpulan. Pemeriksaan kadar NSE serum pada penderita CK fase akut dapat merupakan indikator kerusakan jaringan otak yang terjadi. Semakin tinggi kadar NSE serum, maka semakin besar kerusakan yang terjadi dan semakin buruk keluaran.

Bllckgrollnd. Head injury ( HI) constitutes major health and social problems since its consequences are loss in human resources and material. Therefore management of HI patients should be the focus of our attention to prevent mortality and disability. In addition to the supporting examination, such as CT -scan, currently there is also an examination ofNSE enzyme content, wich is known as glycolitic enzyme, predominantly found in neurone cytoplasm and will be released into body fluid ( blood and Cerebro spinal fluid/CSF ) when neuronal damage occurred. Consequently some researchers use NSE as a means for examining the extent of neuronal damage. Methodology. Research was conducted on 60 moderate and severe HI patients ( GCS : 12 - 3 ) at Cipto Mangunkusumo Hospital-Jakarta from August 1997 until January 1998, age: 17 - 45 years, with contusion image at CT -scan and not subject to surgery, without systemic complication. GCS evaluation: was done 6 hours after resuscitation, sample of venous blood was taken: 10 hours after trauma. NSE examination was conducted at Prodia laboratory with NSE enzyme immuno assay method. The NSE content for healthy adults is ::; 13,2 nglml. The outcome is : alive I dead during the first two weeks after trauma. Results. The material consisted of 60 patients (50 males and 10 females ); no significant difference was found in the proportion of mortality between male and female ( p>0,05 ). There was a significant difference in mortality among the patients in the group with NSE > 13,2 ng/ml and the mortality incidence in the group with NSE > 13,2 ngiml was 2,5 times higher than the group with normal NSE concentrtion ( RR = 2,5 ). This sample showed mortality rate was higher in the older patients, in the group with lower GCS score and those with higher serum NSE. Conclllsion. The examination of NSE serum ( S-NSE ) in the acute stage of HI patients can be used as an indicator of the severity of brain damage. The higher of NSE serum, the more extensive the damage and the worse outcome will encounted."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57275
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fritz Sumantri
"Latar belakang : Proses yang mengikuti setelah terjadinya cedera kranioserebral berat ada 2 , yaitu kerusakan primer dan sekunder . Disfungsi pernafasan adalah salah satu hal yang terjadi pada kerusakan otak sekunder dan dapat kita ketahui dari pemeriksaan analisa gas darah yang kita lakukan . Dari hasil pemeriksaan analisa gas darah tersebut, kita dapati PaO2 dan PaCO2 . Tekanan tekanan oksigen dan karbondioksida tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap perubahan laju aliran darah kcotak . Di mana peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2 akan meningkatkan laju aliran darah ke otak , sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Sedangkan penurunan PaCO2 dan peningkatan PaO2 dapat menurunkan laju aliran darah ke otak yang akan mengancam terjadinya proses iskemik . Perubahan perubahan tekanan gas diatas disinyalir memiliki hubungan dengan hasil akhir yang didapat pada cedera kranioserebral. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara tekanan gas gas tersebut terhadap hasil akhir , khususnya PaCO2 yang tinggi (> 45 mmHg) dan PaO2 yang rendah ( < 85 mmHg ) terhadap hasil akhir setelah perawatan selama 3 hari .
Obyektif : mengetahui peranan PaCO2 tinggi dan PaO2 rendah terhadap hasil akhir setelah 3 hari perawatan pada pasien pasien cedera kranioserebral berat .
Metade : cross sectional, dengan membandingkan nilai PaO2 dan PaCO2 pads waktu pasien datang dengan hasil akhir yang terjadi setelah 3 hari perawatan.
Hasil : dari 84 sampel yang terkumpul , dilakukan pemeriksaan analisa gas darah sewaktu pasien datang, kemudian dilihat hasil akhir setelah 3 hari perawatan . Didapatkan suatu hasil bahwa PaO2 yang rendah akan mempunyai kecenderungan resiko kematian dalam 3 hari yang lebih besar, dibanding penderita yang PaO2 nya normal (p
Kesimpulan : PaO2 dan PaCO2 dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam usaha untuk mengetahui basil keluaran pasien pasien cedera kranioserebral berat.

Background: Two processes following a severe craniocerebral injury are primary and secondary damage. Respiratory dysfunction is one of the secondary damage which can be detected by blood gas analysis revealing 02 and CO2 arterial pressure (Pa02 and PaCO2). These arterial PaO2 and PaCO2 influence the blood flow velocity to the brain, whereas elevation of PaCO2 and reduction of PaO2 will increase the blood flow velocity to the brain and thus increase intracranial pressure. On the contrary, reduction of PaCO2 and elevation of PaO2 will decrease the blood flow velocity to the brain and could be a thread for ischemic process. The alteration of blood gas above is suggested to have a correlation with the outcome of craniocerebral injury patients. In this study, we explored the correlation of blood gas pressure especially high PaCO2 (>45 mmHg) and low Pa02 (<85 mmHg) with patient's outcome after 3 days of hospital care.
Objective: To know the correlation of high PaCO2 and low PaO2 with the outcome of severe craniocerebral injury patients after 3 days of hospital care.
Methods: This is a cross-sectional study. Patient's initial arterial PaO2 and PaCO2 was compared with patients arterial Pa02 and PaCO2 after 3 days of hospital care.
Results: Blood gas analysis was done in 84 samples at their initial admission and compared with the blood gas analysis taken after 3 days of hospital case_ It was shown that patients with low PaO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal Pa02 (p<0,05); patients with high PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05); and patients with low PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05).
Conclusion: Arterial PaO2 and PCaO2 can be used as one of the consideration for predicting the outcome of severe craniocerebral injury patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djarot Sudjatmoko
"Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar merupakan nyeri kepala primer. Seringkali nyeri kepala primer berkomorbiditas dengan gangguan mental, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran mengenai komorbiditas gangguan mental pada penderita nyeri kepala primer. Penelitian ini merupakan studi potong lintang, yang dilakukan di poliklinik departemen saraf RSCM, _Tull 2004 sampai Januari 2005 terhadap 95 penderita nyeri kepala primer secara consecutive sampling. Penderita nyeri kepala primer dilakukan wawancara terstruktur- dengan menggunakan instrumen MIN (Mini International Neuropsychiatric Interview) 1CD 10 untuk mengetahui apakah menderita gangguan mental atau tidak, serta untuk mengetahui jenis gangguan mentalnya. Dan penelitian ini didapatkan adanya komorbiditas antara penderita nyeri kepala primer dengan gangguan mental. Hasil penelitian menunjukkan 61 penderita nyeri kepala primer (64.2%) mengalami gangguan mental baik tunggal ataupun lebih dari satu gangguan mental, selain itu didapatkan 3 jenis gangguan mental yang terbanyak dialami penderita nyeri kepala primer yaitu episode depresi 29 orang (30.9%), gangguan panil. 20 orang (21.4%), dan gangguan anxietas menyeluruh 17 orang (17.9%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsal
"LATAR BELAKANG Tumor otak dapat menyebabkan gangguan psikologik, fisik, dan sosial. Depresi merupakan salah satu dari sekian banyak Manifestasi psikiatrik pada penderita tumor otak. Perkiraannya sangat bervariasi, studi yang dilakukan oleh David KW (2002) dengan menggunakan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder edisi ke IV (DSM IV) didapatkan prevalensi depresi pada penderita tumor otak sebesar 28%. Dan Guy Pelletier (2002) menemukan prevalensi depresi pada penderita tumor otak 7,9% sampai 39%. Depresi dapat mempercepat progresifnya kanker dan mortalitas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan letak tumor otak dengan depresi. METODE Penelitian ini dilakukan dengan sistem potong lintang deskriptif ; analiljk pada 46 penderita tumor otak primer. Kemudian dilakukan pemeriksaan NP I dengan menanyakan sesuai kuesioner NP I pada caregiver. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik neurologik dan melihat hasil pemeriksaan CT scan otak I MRI. HASIL Dari 46 penderita tumor otak didapatkan 21 orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Usia kurang dari 40 tahun 19 orang dan 40 tahun ke atas 27 orang. Mengalami keluhan sakit kepala 39 orang dan muntah 19 orang. Didapatkan 20 penderita (43,4%) mengalami depresi dengan rincian depresi sedang 50%, depresi berat 35% sisanya depresi ringan 15%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, usia, sakit kepala dan muntah. Hubungan depresi dengan letak lesi : dari 20 penderita dengan lokasi tumor di hemisfer kinan didapatkan 6 orang (30%) mengalami depresi. Sedangkan dari 26 penderita dengan lokasi tumor di hemisfer kidal mengalami depresi 14 orang (53,8%). KESIMPULAN Penderita dengan tumor di hemisfer kidal mempunyai risiko 2,722 kali untuk mengalami depresi dibanding dengan di hemisfer kinan Tapi pada uji statistik tidak terdapat hubungan berrnakna antara lokasi tumor dengan depresi pad a penderita tumor otak.

BACKGROUND Brain tumor may result in physical, social and psychological disorders. Depression as one of some psychiatric manifestation with patient who had brain tumor. Approximately, it highly varied, study worked by David KW (2002) using Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fourth - edition (DSM IV) had found depression prevalence of brain tumor of 28%. And Dan Guy Pelletier (2002) discovered prevalence with brain tumor victims from 7,9% through 39%. Progressively, depression may accelerate cancer and mortality. This research is aimed at knowing correlation among brain tumor location with depression. METHOD This research is conducted by descriptive and analytical cross section system to 46 victims of primary brain tumor. Subsequently, it is conducted NP I examination by asking according to ·NP I questioner to caregiver. Then, physically, it had been conducted neurolqgical examination and see brain CT scan assessment I MRI. RESULTS . From 46 brain tumor victims had been discovered 21 males and 25 females. Less than 40 years old is. 39 and more than 40 years old is 27 persons which of 39 . persons had headache and 19 person vomited. It is found that which of 20 victims {43.4%) had depression comprising middle depression is 50%, heavy depression is 35% and its residue (15%) is mild depression. Significantly, there was no correlation among gender, age, headache and vomit. Correlation among depression and lesion location : From 20 victims with tumor location at right hemisphere had been found 6 victims (30%) had depression. Whereas 26 victims with tumor location at left hemisphere which of 14 victims (53.8%) had depression. CONCLUSION Victims who had tumor at -left hemisphere had 2.722 fold had depression than who had tumor in left hemisphere. But, Significantly, from statistical test there was ·no correlation among tumor location and depression to brain tumor victims."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library