Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyuni Susilowati, translator
Abstrak :
Perubahan penggunaan tanah secara tidak terkendali di kawasan Situ Rawa Besar ditunjukkan dengan semakin meningkatnya tanah yang dimanfaatkan untuk permukiman dan perdagangan. Hal ini membawa dampak terhadap kelestarian situ. Kawasan Situ Rawa Besar pada Tahun 2003 sebagian besar dimanfaatkan untuk permukiman 064%), sisanya untuk perdagangan (12%), kebun yang tidak dibudidayakan (4%), jalan lingkungan (12%), dan fasilitas umum (8%). Salah satu tepi situ telah terbangun penuh oleh rumah-rumah permanen dengan jalan lingkungan beraspal. Penduduk kawasan Situ Rawa Besar membuang limbah padat dan cair domestik ke perairan dan sempadan situ. Peningkatan jumlah limbah domestik tersebut sama dengan peningkatan jumlah penduduk kawasan. Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu "dampak pemanfaatan lahan pada kualitas air situ. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
  1. Penurunan kualitas air situ ditinjau dari parameter Dissolved Oxygen (DO), pH, dan Amoniak.
  2. Perhitungan bahan pencemar dilakukan untuk mengetahui peningkatan jumlah bahan pencemar dalam limpasan air hujan.
Tujuan penelitian ini adalah:
  1. Mengetahui dampak perubahan penggunaan tanah di kawasan situ Rawa Besar pada kualitas air situ.
  2. Mengetahui dampak rencana penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah pada kualitas air situ.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
  1. Perubahan penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar menyebabkan penurunan kualitas air situ dilihat dari parameter DO, pH, dan Amoniak.
  2. Perubahan penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar menyebabkan peningkatan jumlah bahan pencemar dalam limpasan air hujan.
Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah:
  1. Penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar.
  2. Kualitas air Situ Rawa Besar. Data penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar yang dipakai adalah data 5 (lima) tahun terakhir dari Tahun 1999 sampai Tahun 2003. Pengumpulan data primer yang diperlukan dilakukan langsung di lapangan, baik dengan wawancara maupun pengamatan langsung di lapangan. Pengumpufan data sekunder dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. Analisis terjadinya penurunan kualitas air situ dilakukan dengan mengetahui hubungan (korelasi) antara perubahan pemanfaatan lahan dan parameter-parameter kualitas air (DO, pH, dan Amoniak). Analisis terjadinya peningkatan jumlah bahan pencemar yang terbawa oleh limpasan air hujan dilakukan dengan mengetahui peningkatan koefisien aliran permukaan (C).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
  1. Perubahan penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar menyebabkan penurunan kualitas air situ, hal tersebut dapat diketahui dengan melihat bahwa:
    • Perubahan penggunaan tanah untuk permukiman mempunyai hubungan yang kuat dengan parameter DO, pH dan Amoniak. Koefisien korelasi (r) antara variabel permukiman dan parameter DO sebesar 0.8848, antara variabel permukiman dan parameter pH sebesar 0.9245, serta antara variabel permukiman dan parameter Amoniak sebesar 0.8669.
    • Perubahan penggunaan tanah untuk perdagangan mempunyai hubungan yang kuat dengan parameter DO, pH dan Amoniak. Koefisien korelasi (r) antara variabel perdagangan dan parameter DO sebesar 0.8353, antara variabel perrnukiman dan parameter pH sebesar 0.9208, serta antara variabel permukiman dan parameter Amoniak sebesar 0.8615.
    • Parameter oksigen terlarut (DO) mengalami penurunan dari 9.71 mg/I pada Tahun 1999 menjadi 4.5 mg/I pada tahun 2003. Parameter pH mengalami peningkatan dari 7.35 pada Tahun 1999 menjadi 8.63 pada tahun 2003. Parameter amoniak mengalami peningkatan dari 0.022 mg/I pada Tahun 1999 menjadi 0.035 mg/I pada tahun 2003. Parameter-parameter yang melebihi Baku Mutu lingkungan adalah Amoniak, Fenol, Timbal, BOD, COD dan adanya bakteri koli.
    • Perubahan penggunaan tanah menyebabkan peningkatan jumlah bahan pencemar dalam limpasan air hujan sebesar 1.34% per tahun dan peningkatan jumlah Iimbah cair domestik yang dibuang ke perairan situ sebesar 6.604 % per tahun.
  2. Rencana penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menyebabkan penurunan kualitas air situ, hal tersebut dapat diketahui dengan melihat bahwa:
    • Penggunaan tanah di kawasan Situ Rawa Besar dapat menghasilkan limbah cair domestik dengan jumlah besar yaitu 215.082 lt/dt pada jam jam sibuk. Permukiman yang padat (19504 unit) juga berpotensi menyebabkan penurunan kualitas air situ.
    • Tingginya luasan untuk kawasan terbangun (80%) menyebabkan tingginya jumlah bahan tercemar yang terbawa limpasan air hujan, dapat mencapai 90% dari bahan pencemar yang terakumulasi di darat.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11980
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gandhi Adi Prianto
Abstrak :
Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Kota adalah suatu lingkungan binaan manusia, merupakan hasil cipta - rasa dan karsa manusia yang secara sengaja dibentuk atau tidak sengaja terbentuk, mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan daya dukung lingkungannya dan menjadi wadah bagi kegiatan manusia dengan segala aspek kehidupan yang dinamis. Perkembangan kegiatan manusia di wilayah perkotaan akan mengarahkan perkembangan tampilan fisik kota, balk secara luasan horizontal maupun luasan vertikalnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi lingkungan alam sekitarnya. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Persyaratan minimum pembangunan berkelanjutan berupa terpeliharanya apa yang disebut dengan "total natural capital stock pada tingkat yang lama atau kalau bisa lebih tinggi dibanding dengan keadaan sekarang. Produk rancangan pengembangan kota melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) maupun Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) pada umumnya berupa naskah dokumen yang dilengkapi dengan penjelasan grafis (berupa peta-peta) mengenai segala hal/faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota. Produk grafis tersebut merupakan penjabaran dari naskah dokumen rancangan yang memberikan gambaran visual secara dua dimensi tentang penggunaan wilayah atau bagian ruang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatannya. Produk normatif dan grafis tersebut adalah merupakan suatu upaya untuk pengerahan sumber-sumber daya perkotaan, baik meliputi alam, ekonomi, dan manusia, untuk mencapai tujuan pembangunan kota yang dicita-citakan. Penelitian yang dilakukan di Kota Soreang, sebagai Ibukota Kabupaten Bandung, merupakan penelitian deskriptif-ekspioratif, dengan menggunakan data sekunder, berupa kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) maupun Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang serta Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK). Penelitian mengenai Analisis Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Kota Baru yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Soreang, Ibukota Kabupaten Bandung) dengan fokus pembahasan pada kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun mengacu kepada dua permasalahan, yaitu: Belum diketahui secara pasti seberapa besar kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun Kota Soreang pada pemetaan Tahun 1999 sudah sesuai dengan rencana produk normatif dan gratis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989. Belum diketahui secara pasti apakah produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 maupun Rencana Terperind Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-2010 telah menerapkan kaidah pembangunan kota berkelanjutan dari sisi keseimbangan ekologis. Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mencari kejelasan seberapa besar realisasi-pembiasan maupun penyimpangan kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun atas produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 pada saat pemetaan Tahun 1999. Untuk mencari kejelasan apakah produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 maupun Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-2010 telah mempertimbangkan kaidah pembangunan kota yang berkelanjutan dari sisi keseimbangan ekologisnya. Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut, di bawah ini: Realisasi penerapan kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun melalui Produk Normatif dan Grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 dibandingkan dengan kondisi hasil pemetaan pada Tahun 1999 belum sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan (RTTRK Tahun 1989). Produk Normatif dan Grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 maupun Rencana Terperincil Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-2010 kurang mempertimbangkan kaidah kota berkelanjutan dilihat dari keseimbangan ekologisnya. Pendekatan analisis yang dilakukan untuk pemecahan masalah digunakan dua pendekatan yaitu secara analisis normatif dan analisis grafis. Analisis normatif dilakukan dengan melihat perkembangan alokasi dan kondisi keberadaan penerapan rencana tata ruang kota. Sedangkan untuk analisis grafis dilakukan dengan pendekatan analisis melalui produk grafis, yaitu dengan melihat realisasi penerapan secara fisik antara alokasi rencana dengan kondisi waktu tertentu (10 tahun setelah rencana). Pendekatan analisis tersebut dilakukan untuk melihat realisasi penerapan rencana tata ruang dari data sekunder yang telah dikumpulkan dari berbagai instansi. Analisis ini mempertimbangkan penggunaan lahan dalam dua titik waktu, yaitu antara rencana Tahun 1989 dengan realisasi melalui pemetaan Tahun 1999. Berdasarkan hasil dari pembahasan data yang diperoieh dari penelitian ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah: Bahwa Rencana Terperinci Tata Ruang Kota Soreang (RTTRK) Tahun 1989 yang diharapkan membawa pertumbuhan dan perkembangan Kota Soreang, pada pemetaan tahun 1999, khususnya pemanfaatan guna lahan melalui kawasan terbangun dan tidak terbangun, belum sesuai dengan apa yang telah diganskan dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989. Perubahan yang mencolok terlihat pada kawasan terbangun perumahan, yang melebihi target rencana sebesar 75,55% (185,18 ha), sedangkan untuk kawasan tidak terbangun persawahan terjadi pengurangan terbesar, yaitu 357,64 ha dari apa yang direncanakan pada Tahun 1989. Hasil analisis terhadap produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 melalui kawasan terbangun dan tidak terbangun menunjukkan bahwa dilihat dari sisi keseimbangan ekologisnya kurang mempertimbangkan pembangunan kota yang berkelanjutan, terlihat dari rencana pengalihan fungsi lahan semula lahan pertanian menjadi lahan permukiman tanpa diimbangi dengan pemecahan masalah sosial dalam hal alih lapangan pekerjaan penduduk Kota Soreang yang mayoritas berpendidikan SD. Sedangkan Hasil analisis terhadap produk normatif dan grafis antara Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-Revisi dengan produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 menunjukkan bahwa bdak terjadi perubahan yang mendasar dalam hal rencana menjaga keseimbangan ekologisnya, terlihat dari produk grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota Soreang (RTTRK) Tahun 2001-Revisi yang tetap mempertahankan pengalihan fungsi lahan seperti apa yang telah ditetapkan dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kota Soreang (RTTRK) Tahun 1989. Seperti telah diungkapkan bahwa sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif eksploratif, maka masih banyak hal-hal yang lain yang berkaitan dengan penerapan rencana tata ruang kota yang Iebih patting dan belum terungkap, memerlukan suatu penelitian Iebih lanjut, mengingat pentingnya penataan ruang berkaitan dengan masalah lingkungan di perkotaan.
Analysis on The Implementation of Sustainable New Town Spatial Plan (Case Study: Soreang, Capital City of Bandung Regency) A city is a symbol of human civilization, economical development, a source of innovation and creation, a center of culture and a vehicle to improve life conditions. A city is a man made environment; it is a human made creation and work of arts, deliberately constructed or not and having its own characteristics in accordance with its surrounding and it becomes a place of human activities with all dynamics approach of life. The development of human activities in cities will direct the physical appearance of the city, horizontal extension as well as vertical extension, which will influence the natural environment. A sustainable development is a development, which can fulfill the requirements present generation without ignoring the ability of the next generation in fulfilling their requirements. The minimal conditions of a sustainable development are the maintenance of the so called `total natural capital stock" on the same level or if possible higher than the present condition. Above concept is in accordance with the meaning on a sustainable community according to another concept of sustainable development which means a community which live within the limits of a mutual supporting environment. The spatial land planning such as Regional Spatial Plan (RTRW), Urban Subdivision Area Plan (RBWK), Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) and Urban Technical Spatial Plan (RTRK) usually contains document text completed with graphic methods (maps) about all fact, which influence the city development. Graphic methods are descriptions of document text planning which give two dimensions visual information about regional land use planning or a part of it according to as mentioned in document texts. Normative and graphic products are an effort to maximize the potential of city (region), like nature, economic, human to reach the ideal city development. The study held on Soreang city, being the capital of Bandung region, is a descriptive explorative study using secondary data, being regulation as mentioned in land use document text planning, Regional Spatial Plan (RTRW), Urban Subdivision Area Plan (RBWK), Urban Technical Spatial Plan (RTTRK). The research is to study carefully and find out how the effect of land use planning is in accordance to sustainable city development by studying the developed and undeveloped areas. There were two problems, such as: It is not exactly known, how much the differences are between developed and undeveloped areas of Soreang city by existing condition on year 1999 compared with the normative and graphic products of Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989. It is not exactly known, whether the developed and undeveloped areas expressed on normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 has implemented the principles of sustainable city with focus on environmental aspect (ecology). The aim of this study is: To get more information, how much the differences are between developed and undeveloped area of Soreang city by existing condition in 1999 compared with the normative and graphic products of Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989. To get more information, whether the developed and undeveloped areas expressed on normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 ware implemented the principles of sustainable city with focus on environmental aspect (ecology). Hypothesis of this research is as follows: Implementation of developed and undeveloped areas by normative and graphic products of Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989 compared with the existing condition in 1999 not expressed a suitable plan. Normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 2001 were not yet in balance with sustainable city principles focused on environmental balancing aspects. This analytical approach used two methods, i.e. normative and graphic analysis. Calculating regional realization and implementation conditions of spatial planning uses normative analysis, while the graphic analysis is done by analytical approach using graphic products by calculating the physic realization between planning at certain times. This analytical approach used secondary data collected from several agencies. This analysis is considering spatial plan at 2 different times, namely planning and realization. Based on the results of the study using data obtained for this research, the conclusion is as follows: Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989 which were planned to develop Soreang city to the maximum of human need, controlled by data base surveyed in 1999 focusing on developed and undeveloped area, were not yet in line with the original plan. A significant change was in the developed housing area, which excluded the planned target, 185,18 ha (75.55%) and for the undeveloped area, 357.94 ha reduced the farmland. The study of normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 on developed and undeveloped areas expressed that focused on ecology balance was not yet in line with sustainable city development concepts. This was demonstrated by the changing on land use some land to housing-area without balancing the citizen's social aspects. It seems that on normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 is still promoted to change farmland use to the housing-area. As mentioned above, this research is descriptive and explorative, so there are still many other research matters related to the implementation of a spatial city plan, which are more important and not revealed yet.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizhar Marizi
Abstrak :
Dengan intensitas perkembangan yang tinggi, salah satu masalah yang dihadapi DKI Jakarta saat ini adalah perubahan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali. Kawasan Kemang di Jakarta Selatan adalah kawasan yang diarahkan sebagai kawasan perumahan pada dokumen Rencana Tata Ruang. Namun pada kenyataannya, kini pola kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut semakin bergeser menuju ke arah yang lebih komersial. Perubahan pemanfaatan ruang ini meningkatkan intensitas kegiatan dan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan prasarana pendukung yang pada awalnya ditujukan untuk pelayanan perumahan. Berbagai kegiatan yang berlangsung di wilayah penelitian berlangsung di luar asumsi perencanaan sehingga dampak Lingkungan akibat berubahnya pemanfaatan ruang ditelusuri berdasarkan fenomena yang terjadi dengan adanya perubahan tersebut. Dampak pada Lingkungan fisik yaitu kemacetan lalu lintas, meningkatnya limbah padat dan cair, dan kebisingan. Selain itu, secara sadar pelaku usaha juga menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan usahanya (free riders). Dampak pada Lingkungan sosial ekonomi adalah terjadinya konflik sosial, meningkatnya kesempatan kerja masyarakat dan penerimaan pemerintah dan pajak dan retribusi. Untuk mengakomodasi munculnya kegiatan-kegiatan usaha di kawasan ini, dengan tetap mempertahankan peruntukan utama Kawasan Kemang sebagai kawasan perumahan, Pemerintah DKI memberlakukan Kawasan Kemang sebagai Kampung Modern, yaitu kawasan permukiman yang terintegrasi dengan kegiatan usaha yang ada, agar kawasan permukiman tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan penghuninya sendiri. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak kegiatan usaha yang kelengkapan izinnya belum memenuhi syarat, masih bermunculannya tempat-tempat usaha Baru, dan masih adanya kegiatan usaha yang berlokasi di Luar kawasan yang diperbolehkan. Hal ini secara langsung melanggar peraturan hasil penyesuaian tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut sangat dibutuhkan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan dapat diandalkan. Mengingat sudah banyaknya dokumen yang mengatur pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini menyangkut keefektifan institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan evaluasi formatif pada keefektifan produk dan proses pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang. Kriteria utama yang digunakan dalam evaluasi adalah kriteria keefektifan yang berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Penelitian dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan by product dan pendekatan by process. Pendekatan by product menilai keefektifan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang melalui evaluasi keefektifan produk yang mengatur pemanfaatan ruang, dan pendekatan by process, menilai keefektifan institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang dengan menganalisis proses dan prosedur pengendalian pemanfaatan ruang yang dijalankan oleh institusi tersebut. Dari sisi produk, pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang dikatakan efektif, jika ketiga indikator yaitu pemanfaatan lahan, kegiatan penunjang perumahan, dan pemanfaatan ruang di lokasi yang diizinkan dapat dipenuhi. Dari sisi proses, pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang dikatakan efektif, jika keenam indikator yaitu proses pelayanan IMB, proses pelayanan IPB, proses pelayanan izin UUG, proses pelayanan SKM, pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang penertiban dapat dipenuhi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang di Kemang belum efektif. Untuk penyempurnaan kinerja institusi terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Kemang, maka perlu dilakukan upaya untuk: 1) Melaksanakan up-grading atau peningkatan kualitas (capacity building) aparat institusi, terutama dalam hal pengaktifan monitoring dan pencegahan dampak; 2) Melakukan pemantauan, pendataan, dan pelaporan atas kegiatan pemanfaatan ruang secara menyeluruh dan periodik/rutin untuk mendapatkan basis data dalam melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang; 3) Melakukan penajaman tugas pokok dan fungsi institusi yang terkait atau mengupayakan dibentuknya tim khusus yang secara formal berada dalam struktur kepemerintahan daerah dan resmi berwenang.
With its high intensity development, Jakarta is currently faced with the problem of uncontrolled change of spatial use. South Jakarta's Kemang is an area determined by the city Spatial Planning document for housing. However, facts show that the area had gradually been used for more commercial purposes. The change in spatial use has resulted in higher level of activities and consequently lower level of service of the supporting facilities initially planned for residences. Various activities in the research area took place beyond what had been settled. Therefore, the environmental impacts due to the change of spatial use in Kemang were measured based on the phenomena resulting from such change. Impacts on the physical environment included traffic jams, increased volume of solid and liquid waste and higher level of noise disturbance. Business owners consciously acted as free riders by intentionally making use of public facilities. Impacts on socio-economic conditions were social conflicts, more employment opportunities for residents in the area and increased government revenues from taxes and levies. In order to make room for new businesses in Kemang while maintaining its status as a residential area, Jakarta city administration has determined the area as a Kampung Modern (Modem Village), i.e. an area integrated with existing business activities to enable it to meet the needs of its residents. However, there are still many businesses with no proper business licenses, and new ones keep springing up despite the fact that these violate the revised city regulation. People have even set up their businesses outside permitted zones. To solve this problem, it is crucial to have effective and reliable control measures regarding the area spatial use. Since there are already many documents concerning spatial use in Kemang, this research focused on the effectiveness of institutions related to spatial use control in the area. Using formative evaluation approach, the research assessed the effectiveness of the products and spatial use control in Kemang. The key criterion used was effectiveness. It had to do with whether an alternative had achieved the expected result or had reached the target of the action. By product and by process approaches were used. The by product approach measured the effectiveness of spatial use control by evaluating the product controlling spatial use in Kemang while the by process approach reviewed the effectiveness of institutions dealing with spatial use by analyzing the process and procedure of spatial use control implemented by these institutions. In terms of product, spatial use control in Kemang would be considered to have been effective when the following three indicators, i.e. land use, housing supporting activities and spatial use in permitted locations had been in place. In terms of process, such control would be effective when six indicators such as building construction permit, building use permit, nuisance law permit and construction certificate applications as well as monitoring and control duties and responsibilities had been properly in place. It can be concluded from the research results that the institutions dealing with spatial use control in Kemang had not been performing effectively. Improving the performance of institutions concerned with spatial use control in Kemang calls for: 1) Upgrading or building the capacity of the institutions' officers, particularly in monitoring implementation and impact prevention; 2) Monitoring, collecting data and preparing comprehensive and periodic/routine reports of spatial use activities to develop a database to support spatial use monitoring and controlling; 3) Enhancing related institutions' key responsibilities and functions with one institution authorized to monitor the implementation, or establishing a special team which will be within the formal regional government structure and given the official authority to perform spatial use control.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Aurora
Abstrak :
ABSTRAK Kota merupakan suatu kesatuan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya dan lingkungan buatan sebagai lingkungan kehidupan manusia. Salah satu cirinya adalah keberadaan ekosistem alami yang biasanya relatif sangat kecil. padahal kualitasnya mempengaruhi kualitas ekosistem kota secara keseluruhan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai suatu bentuk keberadaan ekosistem alami pada suatu lingkungan buatan menjadi amat penting mengingat fungsinya secara ekologis, sosial dan estetis. Ruang Tebuka Hijau dapat mengatur temperatur kota, mengatur kandungan oksigen. mengurangi karbondioksida, menjadi perangkap bahan pencemar baik debu maupun gas, meningkatkan peresapan air, memberi bentuk visual yang menarik dan sehat untuk rekreasi, menjadi habitat bagi semua makhluk hidup dan meningkatkan keanekaragaman kehidupan di lingkungan kota. DKI Jakarta memiliki dinamika pembangunan yang diwarnai dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang pada tahun 1961 baru berjumlah 2,9 juta jiwa, pada tahun 1995 telah berjumlah 9 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2005 akan berjumlah 12 juta jiwa. Perkembangan penduduk dan berbagai aktivitasnya yang demikian pesat pada luas tanah terbatas (650 km2) pada akhirnya terekspresikan pada masalah penggunaan tanah dan secara Iuas pada sumberdaya alam dan lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai aktivitasnya tersebut menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan tanah antara berbagai kegiatan. Persaingan penggunaan tanah yang terjadi selama ini telah menyebabkan ruang yang seharusnya dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau dibangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kegiatan lain. karena Ruang Terbuka Hijau dipandang tidak menguntungkan secara ekonomis. Perbandingan yang seimbang antara manusia dan lahan (man-land ratio), khususnya perbandingan antara luas bangunan dan luas tanah (building area ratio) danfatau perbandingan antara luas lantai dan luas tanah (floor area ratio) akan dapat membantu keberadaan RTH. Untuk kepentingan penelitian ini, maka dibedakan dua jenis Ruang Terbuka Hijau. Pertama adalah Ruang Terbuka Hijau Umum (Publik), yaitu Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki oleh umum, seperti taman kota yang dibangun oleh Pemerintah. Ruang Terbuka Hijau Umum ini merupakan daerah yang di dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) mempunyai peruntukan penyempurnaan hijau. Kedua adalah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan (Pribadi), yaitu daerah dalam persil bangunan pada kepemilikan pribadi yang dialokasikan untuk tanaman hijau, Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta mengenai komposisi daerah yang tidak terbangun dalam suatu persil bangunan, khususnya yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan tersebut. Juga untuk mengetahui apakah pengaturan Intensitas Bangunan khususnya Koefisien Dasar Bangunan mampu mengendalikan pemanfaatan tanah di dalam suatu persil dalam kaitannya dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam pengambilan kebijakan perencanaan tata ruang kota yang berwawasan lingkungan. Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian pustaka dan penelitian lapangan di daerah studi sepanjang koridor JI. Thamrin - JI. Sudirman, batas utara dimulai dari Air Mancur sampai batas selatan Jembatan Semanggi dan di JI. Rasuna Said, batas utara dimulai dari Jembatan Latuharhary sampai batas selatan Simpang-4 J1. Gatot Subroto. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini ada 2 macam. Pertama adalah yang berkaitan dengan pengukuran secara langsung di lapangan dengan mempergunakan alat ukur tanah, yaitu untuk mendapatkan luas kawasan non-bangunan dan luas kawasan non-perkerasan dalam kawasan non-bangunan, yang selanjutnya disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan. Data tiap persil tersebut, selanjutnya digitasi dan dianalisis melalui sistem Arc-Info untuk mendapatkan informasi mengenai berapa luas sesungguhnya daerah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dibandingkan dengan luas daerah non-perkerasan. Kedua, adalah melalui wawancara langsung dengan responder penelitian di lapangan dalam hal ini adalah perencanalarsitek bangunan pada persil-persil di sepanjang kawasan studi. Data Primer yang diperoleh melalui wawancara adalah : wawasan lingkungan hidup perencanalarsitek, persepsi perencanalarsitek terhadap perhitungan ekonomis lahan serta persepsi perencana/arsitek terhadap peraturan yang berkaitan dengan intensitas bangunan. Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan penelitian, maka dapat diarnbil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kota mempunyai multi fungsi, yaitu : fungsi ekologi, estetis dan sosial budaya yang dapat dijabarkan sebagai daerah resapan, sebagai peredam cemaran udara sebagai pengendali iklim mikro dan sebagai unsur keindahan dan kenyamanan hidup kota. Diharapkan Iuas Ruang Terbuka Hijau untuk DKI Jakarta dengan luas wilayah 65.000 Ha. adalah 30% dari luas kota, yaitu ± 19.500 ha. Luas Ruang Terbuka Hijau Umum pada tahun 1996 adalah seluas 12.900 ha, atau kurang lebih 20% dari luas kota. Dengan kemampuan pendanaan Pemerintah yang terbatas, maka penyediaan Ruang Terbuka Hijau kota tidak dapat digantungkan dari kemampuan pendanaan Pemerintah semata, namun perlu diupayakan peluang-peluang penciptaan Ruang Terbuka Hijau yang dapat memanfaatkan kemampuan dan peranserta masyarakat dan pihak swasta, antara lain Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan Penelitian sepanjang koridor Thamrin-Sudirman dan Rasuna Said membuktikan bahwa komposisi Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dalam daerah non-bangunan tidak mencapai 50% dari Ruang Terbuka yang tercipta. Peraturan Intensitas Bangunan, khususnya Koefisien Dasar Bangunan yang berlaku saat ini, hanyalah mengatur mengenai komposisi daerah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun, sehingga yang di atuar hanyalah komposisi ruang terbuka dan bukannya ruang terbuka hijau. Faktor-faktor utama yang menentukan keberadaan Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan, adalah : Wawasan Lingkungan Hidup pemilik persil dan perencana, perhitungan ekonomis lahan serta adanya peraturan spesifik yang mengatur komposisi Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Tanpa adanya pengaturan komposisi Ruang Terbuka Hijau secara eksplisit, maka pemilik persil dan atau perencana/arsitek tidak akan memberi "porsi" yang memadai bagi penyediaan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Untuk itu harus dicapai kesepakatan antara Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, para pakar serta masyarakat untuk menentukan komposisi yang wajar, sehingga semua pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan. Selanjutnya kesepakatan tersebut dapat dipergunakan untuk menyempurnakan peraturanperaturan yang ada. Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan peluang-peluang baru untuk meningkatkan keberadaan RTH di kawasan perkotaan.
ABSTRACT Evaluation Of The Ratio Of Green Open Space At Building Lots (Case Study of Thamrin - Sudirman and Rasuna Said Corridor Jakarta)A city constitutes of a unity of natural environment, socio - cultural environment and man - made environment where people live. One of its characteristics is the existence of a relatively small natural ecosystem, despite the fact that its quality affects its overall quality of the urban ecosystem. The existence of green open space as a natural ecosystem becomes highly important in terms of its ecological, social and aesthetical aspects. Green open space reduces carbonmonoxide, captures pollutants such as dust and gas, improves water absorption, provides an attractive and healthy visual shape for recreation purposes, becomes a habitat for all creatures and adds to living variety within an urban environment. The Special Capital Territory of Jakarta (DKI Jakarta) owns a development dynamism characterized by speedy population increase. The number of population in DKI Jakarta in 1961 was 2.9 million only, but in 1995 it increased to 9 million and in 2005 it is estimated to reach 12 million. Such fast population increase along with its activities on a limited space (650 km2) will eventually put a pressure on the land use and deplete the natural resources and seriously burden its environment seriously. The rising number of population and activities has led to the increasing competition of land use for many different activities. The land use competition that has been prevailing so far has caused the space designated for Open Green Space to be used to meet the needs of development for other infrastructure, as Natural Environment is considered being economically un-beneficial. There is a need to balance the ratio between man and land especially the building-area ratio and/or the floor-area ratio as a way to increase the green open space in urban area. For the purpose of this survey, an open space is categorized into two types namely Public Green Open Space which is green open space owned by the public like city gardens constructed by the Government. Such green open space are pieces of land in which within the Zoning General Plan areas have the function as greenery. Second is green open space on private building lots, namely areas within building lots owned by an private allocated for greenery. This survey is aimed at finding facts about composition of areas unbuilt within building lots, and more particular, those related to green open space within those building lots. It is also to know if the building intensity regulation is able to control its land utilization within a lot in its relation to the allocation of green open space. It is expected that this survey is able to provide some thoughts for the DKI Government in making decisions pertaining to environmentally-oriented urban zoning. For such purpose, a library research and field survey have been conducted in the study area along JI. Thamrin - JI. Sudirman corridor (Its north border began from Air Mancur up to the south border of Semanggi Clover Leave Bridge) and Jl. Rasuna Said, (its north border began from the Latuharhary bridge up to the south border of Jl. Gatot Subroto intersection). The primary data required in this survey comprise two types. First, those related to direct surveying in the field using surveying equipment to obtain the extent of the un-built area, and the un-compacted area within an un-built area which shall be further referred to as green open space on the building lots. The data of each lot was further digitized and analyzed using Arc - Info as to obtain information about the actual extent of such green open space on the building lots compared to the un-compacted area. Second, the data was also obtained through direct interviews with the survey respondents in the field, in this case planners/building architects of the lots along the study area. The primary data were obtained from the perception of the planners/ architects towards regulation linked to the building intensity. Based on the results of the discussion on the survey issues, it could be concluded as follows: Green Open Space within a city has a multi functions, namely: as water catchment area, as air pollutant absorption, as microclimate controller and as aesthetical element of the environment. The ideal extent of Green Open Space for DKI Jakarta with total size of 65,000 ha is 30% of the city size namely around 19,500 ha. The green open space size in 1996 was 12,000 ha or equivalent to 20% of the city size. Under the government's restricted budget allocation, the allocated green open space cannot depend on the government fund availability solely, but there should be alternative ways for the creation of green open space through participation of the community and private sector, among others green open space existing on building lots. The survey along the Thamrin-Sudirman corridor and Rasuna Said corridor has proved that the green open space composition at building lots within un-built areas does not even reach 50% of the open space. Regulations concerning Building Intensity, only regulates the composition between what may be built and may not be built. Thus, the regulations concern only with' the open space composition and not the green open space. Main factors that determine Green Open Space on building lots are: Environmental Awareness of the lot owners and planners, land economic calculation and specific regulations regulating composition of Natural Environment on building lots. In the absence of such explicit regulations concerning composition of Green Open Space, the lot owners/planners/architects will not give away their adequate share of the cake to be allocated for green open space on their building lots. Accordingly, an agreement must be reached as to determine the appropriate composition so that all related parties will not be harmed. Such agreement further can be used as to review the existing regulations. The need for a further study to explore new ideas and new possibilities to increase the green open space in urban area. Total of References : 43 (1970 - 1986)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kumurur, Veronica Adelin
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini berawal dari keinginan peneliti untuk menguji secara empirik tentang pengaruh perubahan pola pemanfaatan ruang daratan terhadap eutrofikasi danau. Perlunya mengkaji perubahan pola pemanfaatan di kawasan sekitar danau disebabkan adanya fakta kecenderungan perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di sekitar Donau Mooat yang terjadi terus-menerus dan tidak terkendali. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa dalam kurun waktu enam tahun (1987-1993) telah terjadi perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di sebagian besar ruang di sisi sebelah timur Danau Mooat dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan keadaan trofik dari oligotrofik ke mesotrofik. Kondisi ini akan mengancam keberadaan dan kelestarian fungsi danau sebagai sumberdaya bagi masyarakat sekitarnya. Hipotesis yang akan diuji adalah adanya pengaruh perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar danau terhadap eutrofikasi danau. Pengujian hipotesis didasarkan pada data perubahan luas daratan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terjadi setiap tahun, jumlah unsur hara (unsur nitrogen dan fosfor) yang diekspor oleh kawasan lindung dan kawasan budidaya ke dalam perairan Danau Mooat serta perubahan keadaan trofik Danau Mooat dalam rentang waktu 11 tahun (1987-1998). Penelitian ini bertuiuan menganalisis perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar danau dan pengaruhnya terhadap eutrofikasi danau. Studi ini dilakukan di kawasan sekitar Danau Mooat Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara yang mencakup pola perubahan pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar danau dan kondisi Danau Mooat. Dalam memperoleh perubahan pola pemanfaatan ruang daratan yang terjadi di kawasan sekitar Danau Mooat, digunakan metode overlay atau metode tumpang tindih. Metode ini menggunakan peta rupa bumi Kotamobagu skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal pada tahun 1991, sebagai peta dasar (data I). Sebagai data pembanding (data ke-n) digunakan peta gabungan antara peta tata guna lahan tahun 1992 Kabupaten Bolaang Mongondow-Kabupaten Minahasa dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bolaang Mongondow dan peta pemanfaatan ruang daratan hasil pengukuran langsung di lapangan dengan skala 1:50.000. Kondisi Danau Mooat khususnya keadaan trofik dan mutu air danau, diperoleh dengan mengukur setiap parameter keadaan trofik dan mutu air pada setiap sampel air yang diambil pada tujuh stasiun yang telah ditentukan. Perubahan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya di kawasan sekitar danau dalam rentang waktu 11 tahun (1987-1998), telah mengalami perubahan luas lahan, sebagai berikut : (1) tahun 1987 total luas lahan kawasan lindung adalah 2389,975 ha, dan pada tahun 1998 total luas lahan berubah menjadi 1208,925 ha.; (2) tahun 1987 total luas lahan kawasan budidaya adalah 647,6 ha, dan tahun 1998 total luas lahan berubah menjadi 1828,7 ha. Dari data tersebut diperoleh bahwa sejak tahun 1987 sampai dengan tahun 1998 telah terjadi konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya sebesar 1 18,1 1 ha atau 4% setiap tahun. setiap parameter keadaan trofik Danau Mooat pada rentang waktu 1987-1998 mengalami perubahan drastis rata-rata 98% setiap tahun. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi pemanfaatan ruang daratan pada tahun 1987 di mana 79% adalah kawasan lindung dan 21% kawasan budidaya telah menempatkan kondisi Danau Mooat pada kategori oligotrofik. Pada tahun 1998 di mana 40% adalah kawasan lindung dan 60% kawasan budidaya telah menempatkan kondisi Danau Mooat pada kategori hipereutrofik atau hipertrofik. Disimpulkan pula bahwa perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar danau telah memberikan pengaruh terhadap eutrofikasi Danau Mooat. Dalam kurun waktu 11 tahun keadaan trofik Danau Mooat berubah dari oligotrofik (konsentrasi fosfat 4,43 ppb/tahun) tahun 1987 menjadi hipereutrofik (konsentrasi fosfat 260,48 ppb/tahun) tahun 1998. Dengan pertambahan konsentrasi fosfat sebesar 50,83 ppb setiap tahun dan tanpa pengelolaan (tanpa rehabilitasi dan revitalisasi pemanfaatan ruang di kawasan sekitar Danau), diprediksi Danau Mooat akan masuk pada kategori danau hipereutrofik atau hipertrofik di mana konsentrasi fosfat lebih dari 5000 ppb setiap tahun pada tahun 2092. Hasil analisis data yang diperoleh ternyata mendukung dugaan dan membuktikan hipotesis peneliti, sehingga hipotesis penelitian tentang masalah yang diteliti di mana perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar danau telah memberikan pengaruh terhadap eutrofikasi perairan Donau Mooat telah teruji dan dapat diterima. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penentu kebijakan dalam upaya melestarikan dan mengelola kawasan sekitar Danau Mooat. Selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian yang sama atau penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metodologi pola pemanfaatan ruang daratan dan pengaruhnya terhadap kawasan sekitar danau. Daftar Kepustakaan : 62 (1952 - 1998)
ABSTRACT The Influence of Pattern Change in Terrestrial Space Utilization on Lake Eutrophication (A Case Study of Space Utilization Surrounding Area of Lake Mooat, North Sulawesi)This research starts from researcher's desire to test empirically about the influence of pattern change in the terrestrial space utilization on the lake eutrophication. The needs to study the change of utilization pattern within the lake area is caused by the fact that there is a tendency in the change of the terrestrial space utilization pattern around Lake Mooat which is taking place continuously and uncontrollably. From the research result, it is found that within a period of six years (1987-1993) a change of terrestrial space utilization pattern at most of the east part of Lake Mooat was converted from the protected area to the cultivated area. Within that period of time an increase has taken place on trophic condition from on olygotrophic to mesotrophic. This condition will threaten the existence and preservation of the lake function as living resources for the surrounding community. The hypothesis is to seek whether there is an influence on the change of terrestrial space utilization pattern in the area occurred every year. The tested hypothesis is based on the yearly data of the pattern change of the protected area into cultivated area. Also taken into calculating is the amount of nutrient elements, especially nitrogen and phosphor sent by the protected area and the cultivated area into Lake Mooat waters, and also the change of the trophic condition of Lake Mooat waters which has been taking place within 11 years since 1987 to 1998. This research aim to analyze the change in that terrestrial space utilization pattern within the lake area and its influence on the lake eutrophication. This study is carried out at the area around Lake Mooat, Bolaang Mongondow Regency, North Sulawesi, including in the space utilization surrounding of the lake and the condition of Lake Mooat waters. In order to obtain the change in the terrestrial space utilization pattern taking place at the area around Lake Mooat, the overlay method is applied. This method applies the Kotamobagu geographical map with a scale of 1:50,000, published by Bakosurtanal in 1991 as the basic map (data I). As the comparison map (n-th data), the combined map of the land use map of 1992 of Bolaang Mongondow Regency-Minahasa Regency of the National Agrarian Agency (BPN) of Bolaang Mongondow Regency and the result of carried out by measurement at site of terrestrial space utilization, where both recorded in the Kotamobagu geographical map with a scale of 1:50,000 published by Bakosurtanal in 1991. The condition of Lake Mooat, in particular the trophic condition and quality of the lake water, is obtained by measuring each parameter of the trophic condition, direct and is carried out by measurement at site. The pattern change in terrestrial space utilization within the area around the lake in a span of 11 years (1987-1998), are as follows : (1) in 1987 the total extent of the protected area was 2389.975 ha, and in 1998 the total extent of area changed into 1208.925 ha; (2) in 1987 the total extent of the cultivated area was 647.6 ha; and in 1998 the total extent of area changed in to 1828.7 ha. From the data, it is found that from 1987 to 1998, 118.11 ha of the protected area was converted to cultivated area or loss of 4% each year. It is also found out that each parameter of the trophic condition of Lake Mooat from 1987 to 1998 experienced a change of an average of 98% each year. Of the above data, it is concluded that in 1987 the composition of the area space utilization within the area around Lake Mooat, where the protected area occupied 79% and cultivated area of 21% of the area extent, quotation has placed the trophic condition of Lake Mooat waters under the olygotrophic category (4.43 ppb phosphor year'). In 1998 where the protected area occupied 40% and the cultivated area occupied 60% of the land extent, quotation has placed the trophical condition of Lake Mooat waters at the hypereutrophic or hypertrophic category (50.83 ppb phosphor year''). At such condition, without rehabilitation and revitalization of space utilization surrounding area of the lake, Lake Mooat waters is predicted to enter the hypereutrophic or hypertrophic category (more than 5000 ppb phosphor year') in 2092. The data obtained and analysis taken has proven the researcher's assumption hypothesis, the tested hypothesis about the change in the terrestrial space utilization pattern in the area around the lake exerts an influence on the eutrophication of Lake Mooat waters is proven and accepted. The result of this research is expected to give input for the policy makers in the attempt to preserve and to manage the area around Lake Mooat. Further, the result of this research can be used as a reference for similar research or any further research with using the methodology of terrestrial space utilization pattern and its impact on the area around the lake. Bibliography: 62 (1952 - 1998)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana
Abstrak :
Lajunya pembangunan di kawasan perkotaan yang disebabkan oleh lajunya pertumbuhan penduduk dan kurang tertatanya sistem makro dan mikro drainase dalam satu kerangka Rencana Umum Tata Ruang memberikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan hidup, yang antara lain berupa banjir genangan. Banjir genangan merupakan salah satu masalah utama Kotamadya Banda Aceh yang harus segera ditanggulangi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem drainase yang ada belum berfungsi secara menyeluruh, terutama pada kawasan﷓kawasan rendah dan cekung. Untuk menanggulangi genangan air hujan tersebut diperlukan perencanaan sistem drainase yang berwawasan lingkungan. Drainase berwawasan lingkungan adalah prasarana yang berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air, di mana pembangunannya terintegrasi dengan Rencana Umum Tata Ruang, pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, pembangunan sarana utilitas kota, serta mempertimbangkan kondisi lingkungan fisik, sosial dan budaya, sehingga dapat meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena itu, permasalahan sistem drainase di kawasan perkotaan perlu dirurriuskan dengan melakukan pengkajian dari sudut perencanaan teknis dan dilihat kaitannya secara menyeluruh dengan beberapa aspek lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem perencanaan makro drainase dalam kerangka rencana tata ruang kota; menganalisis kondisi sistem saluran drainase di kawasan perkotaan serta kaitannya dengan kondisi kualitas lingkungan dan kualitas kesejahteraan masyarakat di sekitarnya; dan mengusulkan sistem perencanaan makro drainase berwawasan lingkungan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) perencanaan drainase yang berwawasan lingkungan akan mampu menurunkan frekuensi dan tinggi banjir genangan di suatu kawasan; 2) terkendalinya tinggi banjir genangan akan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk di suatu kawasan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk menyempurnakan proses perencanaan drainase kawasan perkotaan; dan sebagai bahan bandingan untuk penelitian selanjutnya dalam perencanaan dan pengembangan rekayasa teknik drainase untuk meningkatkan kualitas lingkungan di suatu kawasan perkotaan. Metode pengambilan sampel di daerah studi dilakukan dengan cara two stage cluster random sampling di sebanyak 5 kelurahan di daerah genangan kawasan perkotaan. Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Laksana, Keuramat, Kampung Baru, Sukaramai dan Lampaseh Kota. Jumlah sampel adalah 93 KK atau 3 % dari jumlah Kepala Keluarga (KK) teasing-masing Kelurahan. Data yang diperlukan dalam analisis ini adalah data primer dan sekunder. Pengambilan data dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yakni ; observasi di lapangan; penyebaran kuesioner; dan wawancara. Metode pengambilan data menggunakan teknik random sampling, yakni semua populasi mempunyai kesempatanl probabilitas yang sama untuk terpilih menjadi responder. Prosedur yang ditempuh untuk menentukan sam pel adalah mengindentifikasikan seluruh rumah tangga dalam 5 kelurahan tersebut di atas; melakukan undian untuk mendapatkan renponden terpilih, sehingga diharapkan dapat representatif dalam mewakili sifat-sifat populasi. Analisis data meliputi: analisis statistika hidrologi digunakan untuk perhitungan curah hujan rencana dan perhitungan debit rencana; analisis hidrolika berdasarkan analisis deduktif digunakan untuk perhitungan kapasitas saluran dan kapasitas bangunan; dan analisis sosial ekonomi dilakukan secara induktif, dengan menguraikan variabel sosial dan variabel ekonomi yang mempengaruhi terhadap perencanaan drainase. Secara statistik analisis ini dilakukan dengan cara modus dan tabulasi tunggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1.) Saluran drainase yang ada ternyata masih menyebabkan genangan, sehingga perencanaan drainase berwawasan lingkungan diharapkan dapat menurunkan frekuensi genangan; 2.) Kawasan sampel yang diteliti selama tahun 1994 menunjukkan bahwa sebanyak 78,5 % lingkungan tempat tinggalnya tergenang, dengan lama genangan 1 - 72 jam, tinggi genangan 1 - 60 cm; 3.) Penyebab genangan antara lain : tidak ada saluran drainase (21,5 %); Halaman rumah lebih rendah dari saluran jalan (20,4 %}; halaman rumah lebih rendah dari saluran sekelilingnya (14,0 %); saluran yang ada mampat (11,8 %); saluran yang ada terlalu kecil (17,2 %); air dalam saluran tidak mengalir (15,1 %); 4.) Pemeriksaan kapasitas saluran yang ada di kawasan penelitian menunjukkan bahwa kapasitasnya tidak mampu lagi mengalirkan debit banjir rencana 2 tahunan. 32,19 % kapasitas saluran yang ada lebih kecil dari debit rencana maksirnum yang harus ditampung sehingga terjadi genangan; 5.) Menurut rencana induk drainase memperlihatkan bahwa yang dipakai sebagai saluran pembuang akhir adalah Krueng Aceh, Alur Biduk, Krueng Titi Panyang, Krueng Neng, Krueng Cut, Krueng Daroy dan Krueng Doy. Kawasan penelitian akan mengalirkan ke Krueng Doy dan Alur Biduk, kemudian di tempat tersebut dibantu dengan kolam Lando, pintu air dan pampa. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyebab genangan adalah sebanyak 32,19 % saluran drainase yang ada kapasitasnya lebih kecil dari debit rencana, sehingga tidak mampu lagi mengalirkan debit rencana 2 tahunan. Dalam hal ini diperlukan perencanaan teknis drainase berwawasan lingkungan untuk mengantisipasi banjir genangan, serta meningkatkan kualitas lingkungan di kawasan perkotaan. Saran hasil penelitian ini adalah : 1.) Perencanaan drainase berwawasan lingkungan adalah, air harus menuju ke sungai sesuai dengan arah aliran dalam masterplan drainase, perencanaannya harus integral dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), studi kelayakan lingkungan (Amdal kawasan) dan apabila semua persyaratan hidrologi dan perencanaan fisik teknis diikuti serta dilaksanakan studi kelayakan lingkungan maka diperkirakan drainase berwawasan lingkungan akan terwujud; 2.) Dari survai terlihat bahwa salah satu kegagalan berfungsinya saluran drainase karena tidak adanya pemeliharaan, dalam hal ini diperlukan peran serta masyarakat; 3.) Pemeliharaan pompa dan kolam Lando memerlukan suatu pemeliharaan tersendiri yang oleh karena sifatnya melayani banyak daerah, maka tata cara pemeliharaan harus ditetapkan pelaksanaannya bersama-sama dengan penduduk di kawasan layanannya. 4.) Agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas lingkungan. ...... Environmentally Sound Macro Drainage Planning For Urban Area A Case Study of Banda Aceh MunicipalityPopulation growth and ill managed macro and micro: drainage combined with the rate of unruly development caused serious negative impacts to the environment, such as flood and various water borne diseases. One of the research findings is that the cause of flood was due to the impropriety of the drainage system function. It is found that an environmentally sound drainage is needed. The environmentally sound drainage is an infrastructure that act to channel the flow of surface water to a water body; its construction should be integrated into the general spatial planning, the recommendation of the environmental Impact Analysis and various development- of the city utilities. It should also consider the physical, social and cultural environmental condition. Therefore, the drainage system planning and design in the urban area need to be formulated by studying in terms of the technical planning and its relationship with the various natural, social and man-made environmental aspects. The purpose of this research is to study the macro drainage planning according to the urban spatial planning; to analyze the drainage system condition in the urban area and its relationship with the environmental quality of the research area and welfare of the community in the vicinity and; to propose a macro environmentally sound drainage planning system. The hypothesis in this research are: 1) the environmentally sound drainage planning will be able to decrease the frequency and height of floods in its commanded area; 2) the controlled floods height will be able to increase population welfare in an urban area. The research's result is expected to be made a reference for improving the urban area drainage planning, and to be considered as a comparative material for further research in planning and development of drainage system design to improve the environmental quality of an urban area. The sampling method being undertaken in this research was the two stage cluster random sampling in 5 villages of the flooded urban areas. The villages include Laksana, Keuramat, Kampung Baru, Sukaramai and Lampaseh Kota. The number of sample was 93 families or 3 a of the families in each village. The data being analyzed are primary and secondary data. Data collection was taken place by field observation, questionnaire distribution and direct interview. The data collection technique used is random sampling technique, namely that all population has an equal probability to be selected as a respondent. The procedure of determining the sample is by identifying the entire households in the five villages, and by tossing the sample in order to obtain a representative sample that could represent characteristics of the entire population. The data analysis include: hydrology statistical analysis for the calculation of design rainfall and projected discharge, the hydrolic analysis based on a deductive analysis that was used for the calculation of the sewerage capacity and the structures capacity; social economic analysis was carried out inductively, by using social and economic variables which influence the drainage planning. Statistically the discussion of the result is undertaken through tabulated data. This research concluded that 1) The existing drainage sewage system still caused flood; the environmentally sound drainage planning is expected to reduce the flood frequency. 2) The sampling area studied, during 1994, indicated that 78.5 % of the settlement area was flooded, with a duration ranging from 1 to 72 hours; the height of the flood ranges from 1 to 60 cm. 3) The causes of the floods include: lack of drainage sewage system (21.5 ); the yard is lower than the sewage system (20.4 %); the yard is lower than the sewage channels (14.0 %); the existing sewage system is stuck with thrash (11.8 0); the existing sewage system is too small (17.2 %); the water in the sewage system is not flowing (15.1 a). The examination of the existing sewage system in the research area indicated that the capacity is not sufficient to channel the flood debit for two years. Thirty two point nineteen percent (32.19 %) of the existing channel capacity is less than the maximum amount that should be collected when there is flood. According to the drainage master plan, the final drainage channels are Krueng Aceh, Alur Biduk, Krueng Titi Panyang, Krueng Neng, Krueng Cut, Krueng Daroy, Krueng Doy. The researched area will channel the flood to Krueng Doy and Alur Biduk, and thence it will be supported by a reservoir, slutch and pumps. The conclusion of this research include 1) In an environmentally sound drainage planning, the low of the water should be heading for the river in accordance with the direction of the flow stated in the drainage masterplan; its planning should be integrated in general spatial planning and the environmental impact analysis of the region. If the hydrological requirements, physical technical planning and an environmental feasibility study were conducted, it is expected that the environmentally sound drainage system will be realized; 2) This research found out that one of the reasons the drainage channel failure to function was lack of maintenance. This should he overcome by the community participation collectively; and 3) The pumps and basin maintenance require a special treatment because it serves an extensive area. There fore the maintenance administration should be decided together with the community in the service area; 4) A further research should be carried out to increase the quality of the environment.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdjati
Abstrak :
Ringkasan
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang partisipasi masyarakat Betawi pada upaya pelestarian lingkungan, dengan mengambil studi kasus di kawasan Cagar Budaya Condet. Penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang berpengaruh dalam partisipasi tersebut serta implikasinya terhadap upaya pelestraian lingkungan.

Terjadinya proses pembangunan yang cepat di dalam mempertahankan kelestarian dalam wujud aslinya sehingga lahirlah lingkungan baru buatan manusia.

Dalam mengembangkan lingkungan buatan manusia ini harus diperhitungkan kelangsungan fungsi hidup alam agar peruuahan yang terjadi tidak sampai merugikan manusia. Karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, perlu dimanfaatkan faktor-faktor dominan seperti faktor demografi, sosial dan budaya, faktor geografi, hidrografi, geologi dan topografi, faktor klimatologi, faktor flora dan fauna, dan faktor-faktor kemungkinan perkembangannya. Berbagai faktor ini merupakan faktor komponen lingkungan hidup yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan.

Kawasan Condet yang terletak di daerah pinggiran kota Jakarta terdiri dari tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Balekambang, Batuampar dan Kampung Tengah. Pada awal tahun 1975, daerah tersebut merupakan daerah yang didominasi oleh Masyarakat Betawi yang hidup dari pertanian buah-buahan, yaitu salak dan duku. Keasrian lingkungan yang masih merupakan perkebunan buah-buahan beserta budayanya yang khas Betawi Condet saat itu, merupakan salah satu asset Pemerintah DKI Jakarta yang potensial untuk dilestarikan. Karena itu pada tahun 1975 Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijaksanaan yang pada dasarnya untuk melindungi eksistensi sektor agraris serta mempertahankan budaya Betawi.

Pada saat ini, 20 tahun kemudian setelah dikeluarkannya kebijaksanaan pertama yang menyangkut pengaturan pola tata guna tanah di kawasan Condet, lingkungan Condet sudah jauh berbeda dari tujuan yang diharapkan. Dibangunnya jalan Raya Condet serta pengaruh perkembangan dan pembangunan kota Jakarta merupakan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya penduduk pendatang, baik dari dalam kota maupun luar kota, masuk ke Kawasan Condet ini. Keadaan ini mengakibatkan perubahan fungsi lahan, yang semula didominasi oleh tanaman buah buahan, menjadi pemukiman yang padat lengkap dengan fasilitasnya. Peningkatan kebutuhan masa ini yang berkembang sejalan dengan arus pembangunan, menyebabkan Kawasan Condet makin berubah, jauh dari tujuan pelestariannya. Meskipun demikian Pemerintah Daerah DKI Jakarta tetap berusaha agar kawasan Condet tetap dapat dipertahankan sebagai daerah pertanian buah-buahan melalui berbagai kebijaksanaan.

Penelitian ini akan mendiskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat Betawi di Condet dan sejauh mana implikasi dari sikap partisipasi itu dalam upaya pelestarian lingkungannya. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan, tingkat penghasilan, luas kepemilikan lahan sebagai faktor sosial dan ekonomi, sedangkan sebagai faktor budaya adalah kebiasaan pengalihan hak oleh ,masyarakat Betawi yang dalam hal ini berupa cara waris atau hibah kepada sanak keluarganya. Sampel yang diambil adalah sebanyak 74 sampel dari 123 Kepala Keluarga Betawi Condet pemilik lahan perkebunan buah-buahan atau setidaknya masih mempunyai pohon buah-buahan di halaman rumahnya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan di lapangan, teknik wawancara dan quesioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif dari hasil tabulasi silang (cross tabulation); dan untuk menguji hubungan variabel digunakan uji statistik non parametric dengan menggunakan metode chi-square ( }C2 ) dan perhitungan koefisien kontingensi C.

Sebagai variabel bebas dipilih faktorfaktor (fungsi dari variabel) sebagai berikut . (1) tingkat peradidikan sebagai faktor sosial, (2) tingkat penghasilan sehubungan dengan jenis pekerjaan dan (3) luas kepemilikan lahan sebagai faktor ekonomi, serta (4) kebiasaan dalam pengalihan hak atas lahan yang dimiliki sebagai faktor budaya. Sebagai variabel terikat adalah partisipasi masyarakat yang meliputi (1) perilaku terhadap lahan yang dimiliki, (2) motivasi responden, yaitu keinginan responden untuk menjual lahannya kepada pihak ketiga, serta (3) sikap pemilik lahan terhadap peraturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian.

Karena satu variabel dependen dihubungkan dengan dua atau lebih dari dua variabel independen, maka metode analisa yang digunakan adalah teknik regresi berganda atau multiple regression.

HASIL PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di ketiga kelurahan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan yang berhubungan serta luasnya lahan yang dimiliki, merupakan variabel yang mempunyai korelasi positif dengan partisipasi masyarakat yang menyangkut sikap terhadap pemeliharaan lahan. Kecuali itu tingkat pendidikan juga mempunyai korelasi yang positif dengan motivasi masyarakat pada sikap adaptif terhadap lingkungan, dengan perkataan lain, makin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki, keinginan responden untuk menjual lahannya juga makin kecil. Keadaan ini dapat diartikan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar yang diharapkan dari partisipasinya terhadap upaya lingkungan. Tetapi sebaliknya upaya pelestarian tidak memberi pengaruh terhadap sikap masyarakat dalam keiinginannya untuk menjual lahannya.

2. Peran budaya pewarisan, yaitu yang berhubungan dengan cara pengalihan hak atas lahan yang dimiliki, kepada sanak keluarganya merupakan kondisi yang tidak menunjang upaya partisipasi, dalam arti bahwa tindakan demikian akan mengurangi luas kepemilikan lahan perkebunan yang dimiliki perorangan

3. Upaya pelestarian yang dilaksanakan melalui kebijaksanaan serta peraturan-peraturan di Kawasan Condet sampai saat ini makin jauh dari yang diharapkan. Kurang berfungsinya faktor-faktor penguat (reinforcement) yang berupa ganjaran, tindakan hukum dan lain-lain,mengurangi timbulnya sikap partisipasi masyarakat dalam menunjang upaya pelestarian.

KEGUNAAN HASIL PENELITIAN

Suatu hasil penelitian adalah untuk mencari suatu kebenaran dan pemberi artian yang terus menerus diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perumus kebijaksanaan dalam menentukan peraturan selanjutnya yang menyangkut upaya pelestarian di Kawasan Condet. Agar dapat dicapai hasil sebagaimana yang diharapkan maka disarankan untuk membentuk suatu badan khusus yang tugas pokoknya

adalah menyelenggarakan usaha-usaha yang berhubungan dengan upaya pelestarian di kawasan Condet ini. Badan tersebut hendaknya membuat suatu konsep rencana pengadaan yang terarah dan operational untuk meningkatkan nilai tambah pelestarian lingkiingan dan budaya masyarakat Betawi Condet. Di samping itu dalam rencana kerjanya dimasukkan rencana untuk membantu meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat petani buah-buahan. Hal ini juga untuk mengurangi keinginan untuk rnengalihkan lahannya kepada orang lain.

Untuk mempertahankan eksistensi kebun buah-buahan serta mengembangkan seni-budaya masyarakat Betawi, pada saat ini masih dimungkinkan untuk mengalokasikannya di Wilayah Balekambang, terutama disekitar pinggir sungai Ciliwung yang masih memiliki areal kebun buah-buahan yang masih cukup lugs.
Summary
This essay is based on research into the Hetawi ethnic participation toward environmental preservation efforts, which conducted by making a case study in the cultural preservation area of Condet in East Jakarta. This study also discusses the factors which influence the participations on the environmental preservation efforts.

The rapid development of a city always makes it' difficult to maintain its existing ecosystem. Therefore a new human made environment is often created. In order to expand this human made environment, one has to maintain the functions of the natural environment so that the adverse impact of the changes can be minimized. This means that to improve the prosperity of the community, factors as demographic, social and cultural, hydrographic, geology and topographic, and factors such as development possibility can be useful. In 1975, the Condet area in Jakarta Metropolitan City, which consists of three kelurahan, was one of Jakarta's fringe rural villages. The inhabitants of Condet, who for generation had been ethnically Betawi, still depended for their livelihood on fruit cultivation.

During this time, Condet was identified as one of many government assets with Potential for preservation. So in 1975 the DKI Jakarta government issued a regulation which established the Condet Cultural Preservation Project.

The objectives of the project were agricultural sector and the Betawi's culture. Nowadays, twenty years after the first rule on land use planning in the Condet area was made, the Condet environment has become very different from one which was expected. The construction of new asphalted Condet main road, connecting the center of the city and Condet village, and its subsequent influence on urban growth, has been the main factor which has caused these changes. City residents were attracted to move to this village, ruining its green-agricultural environment and making Condet increasingly urbanized. The natives of Condet are being progressively displaced by newcomers from the city center, and the amount of land owned by the indigenous population and used for cultivation has become less and less.

This is happening even though the DKI Jakarta Government still wants Condet to retain its fruit cultivation and preserve the native traditions of Condet, through some regulation.

This research will describe the extent to which the participation effort has been affected by the social and cultural lives of the natives and the implication to the environmental preservation. The factors which have affected their participation in this environment preservation are, the level of education, occupation and level of income, the quantity of land owned, and cultural role in Condet society. The research uses a sample of 74 responden taken from 123 Household Heads of the Betawian and who have their own land and stay in Kelurahan Balambang and Batuampar. Data used in this research were obtained by using observation technique, interviews, and questionnair. Data analysis is carried out descriptively by means of cross tabulation. To test the relationship between variables, this research uses statistical techniques such as chi-square and coeffisient contingency C. The dependent variables are (1) level of education as social factors, (2) ocupation, (3) land ownership as economic factors and (4) traditional behavior to transfer their land as part of cultural role. The independent variables are the participation of the inhabitants i.e., (1) the behaviour to the land owned, (2) the motivation to sell the land and (3) the behavior to the laws in connection with the preservation Multiple regression technique is used because one dependent variable is related to two or three independetn ones.

RESULT OF THE RESEARCH

The research was made in three kelurahan in Condet and give results as follows :

1. Level of education, occupation and land ownership are the factors that have positive corelations with public participation on land conservation. In addition, level of education has positive relationship with the motivation of the population towards environment preservation. In other words, the higher the educatioon the more reluctant the landowners to sell their land.This phenomenon also indicates that the higher educated inhabitants would contribute more to the efforts on the environment conservation. However, conservation efforts have relationship with the attitude of the people to sell their land.

2. The system of inheritance on how the land should be subdivided between the heirs, constrains the efforts to increase public participation because the size of the parcels to be cultivated would be reduced.



The research results are expected to be used as inputs by policy makers in developing the Condet preservement law in the future. To achieve such results the following considerations need to be taken into account: there has to be a committee in charge of the implementation for the action in Condet preservation, in which one of the program is making efforts to increase the income of the Betawi ethnics inhabitants.

1996
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titien Suryanti
Abstrak :
ABSTRACT Kepadatan penduduk yang melampaui daya dukung lingkungan di kota, menyebabkan sejumlah masalah sosial, ekonomi, lingkungan, dan prasarana. Jumlah penduduk yang padat memberikan tekanan pada sumber-sumber yang terbatas di kota seperti tanah, kesempatan kerja, tersedianya potensi air bersih, sarana dan prasarana, serta ruang terbuka hijau. Akibatnya, ruang yang seharusnya dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau (RTH) dibangun guna memenuhi tuntutan pembangunan lain. RTH secara tidak langsung semakin menyempit yang dapat berakibat kualitas lingkungan menurun. Berkurangnya RTH di wilayah perkotaan DKI dikatagorikan sudah cukup besar, yaitu 726,01 ha per tahun. Dengan semakin berkurangnya RTH akan menurunkan kualitas udara, dan ini akan menyebabkan penyakit yang disebabkan karena udara kotor. Penyakit yang diteliti adalah yang disebabkan oleh kondisi udara kotor di lingkungan permukiman padat, yaitu penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). ISPA adalah penyebab nomor satu kesakitan pada bayi dan balita, dan menempati urutan teratas dalam statistik kesehatan. Kondisi udara kotor berkaitan Brat dengan kondisi tidak adanya atau kurangnya RTH. Jumlah penderita ISPA di Kelurahan Duripulo termasuk yang tertinggi dibandingkan penyakit-penyakit yang ada, yaitu 28,35% (Laporan Tahunan Puskesmas Duripulo 1992). Kepadatan penduduk di Kelurahan Duripulo sebesar 522 jiwa/ha. Sedangkan ruang terbuka yang tersedia 0,15 m2/ jiwa, ini jauh lebih kecil dari standard kebutuhan RTH untuk lingkungan permukiman padat, yaitu 1,80 m2/jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh RTH terhadap kesehatan manusia di lingkungan permukiman padat, dengan tujuan khusus 1) meneliti pengaruh penggunaan RTH; 2) meneliti pengaruh jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH; 3) meneliti pengaruh luas RTH; 4) meneliti pengaruh jarak RTH. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Duripulo Kecamatan Gambir Wilayah Jakarta Pusat, selama 3 bulan dari oktober 1991 sampai Januari 1992. Kelurahan Duripulo memiliki jumlah penduduk 36.436 jiwa dengan luas area 70,70 ha, kepadatan penduduk 522 jiwa/ha, dan RTH yang tersedia 0,5 ha. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan penentuan contoh secara merata. Jumlah responden sebanyak 100 KK diambil secara proporsional dari 4 RW. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner, wawancara, dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya untuk melihat adanya hubungan antara luas dan keadaan RTH dengan jumlah balita penderita ISPA, digunakan analisis korelasi. Hasil analisis statistik menunjukkan : 1. Penggunaan RTH berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Uji korelasi antara penggunaan RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi negatif yang nyata yaitu - 0,6573, berarti semakin banyak penggunaan RTH semakin kecil jumlah balita penderita ISPA. Hal ini dapat terlihat pada daerah kurang padat dengan penggunaan RTH besar yaitu 80% (RT 01, RW 10), jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 33,33%. Demikian pula pada daerah sangat padat dengan penggunaan RTH besar yaitu 60% (RT 02, RW 09), jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 37,50%. Sedangkan pada daerah kurang padat dengan penggunaan RTH kecil yaitu 20% (RT 06, RW 11), jumlah balita penderita ISPA-nya besar yaitu 75%. 2. Jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Dari uji korelasi antara jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi positif yang nyata yaitu + 0,7619, berarti semakin besar jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH, semakin kecil jumlah balita penderita ISPA. Ini terbukti dari pengamatan di lapangan yaitu RT 08 RW 10 dengan derajat ketetapan tanaman sangat balk (4), jumlah balita penderita ISPA-nya rendah yaitu 37,50%. Sedangkan di RT 07 RW 05 dengan derajat ketetapan tanaman sedang (2), jumlah balita penderita ISPA-nya tinggi yaitu 71,43%. 3. Luas RTH berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Uji korelasi antara luas RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi negatif yang nyata yaitu - 0,7903, berarti semakin luas RTH, semakin kecil jumlah balita penderita ISPA. Hal ini dapat terlihat dari wilayah dengan RTH yang luas dengan jumlah balita penderita ISPA-nya kecil, yaitu RT 08 RW 10 dengan luas RTH 297,81 m2 jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 37,50%. Sedangkan di RT 01 RW 10 dengan luas RTH 374,72 m2, jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 33,33%. Dan di RT 02 RW 09 dengan luas RTH 947,14 m2, jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 37,50%. Adapun di RT 06 RW 11 dengan luas RTH kecil yaitu 144,49 m2, jumlah balita penderita ISPA-nya besar yaitu 75%. 4. Jarak RTH berpengaruh terhadap jumlah balita penderita ISPA. Uji korelasi antara jarak RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi positif yang nyata yaitu + 0,5234, berarti semakin dekat jarak RTH semakin kecil jumlah balita penderita ISPA, dan semakin jauh jarak RTH semakin besar jumlah balita penderita ISPA. Hal ini dapat terlihat di daerah sangat padat dengan jarak RTH jauh (RT 06 RW 09), jumlah balita penderita ISPA-nya besar yaitu 66,67%. Sedangkan di daerah kurang padat dengan jarak RTH dekat (RT 05 RW 10), jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 33,330. Demikian pula untuk daerah kurang padat dengan jarak RTH dekat (RT 06 RW 10) jumlah balita penderita ISPA nya kecil yaitu 33,33%.
ABSTRACT Over population which exceeds beyond the carrying capacity in urban areas causes a number of problems in social economic, environment, and infra structure. Total number of the over population gives an emphasis on the limited city resources such as the land, job opportunity, fresh water supply, infra structure, and green open space. As the result, the area which should be used as a green open space have been converted to other utilizations. The green open space indirectly becomes narrow can result from the declining quality of environment. The declining of green open space in the cities of Jakarta is classified to be large enough, that is 726.01 ha/year. By declining of the green open space will de-crease the quality of air, and this will easily cause the disease. The disease which is being observed is caused by condition of filthy air in densely populated settlement, namely the Acute Respiratory Infection (ARI). ARI was the first cause of illnesses on babies and children (under five years old). It occupies as the hundredth level in health statistic. Total number of people who ARI suffer at Kampung Duripulo was considered higher, if compared with other illnesses, that is 28.35%. The population density at Kampung Duripulo was 522 persons/ha. While the green open space area which was provided is0.15 m2/person, this was less than the standard need for densely populated settlement, that is 1.80 m2/person. This research is meant to prove that there is an effect of the green open space for human health in densely populated settlement with special purpose, 1) to research the effect of green open space utilization on the total number of children ARI suffer, 2) to research the effect of total number and variety of plants in the green open space on the total number of children ARI suffer, 3) to research the effect of green open space width on the total number of children ARI suffer, 4) to research the effect of green open space distance on the total number of children ARI suffer. This research was done at Kampung Duripulo Gambir District Central of Jakarta, for three months from October 1991 until January 1992. The total number of population is 36,436 persons and width area 70.7 ha, the population density was 522 persons/ha, and the green open space which was provided was 0.54 ha. This research is a descriptive analysis by determination of the examples evenly. Total number of respondents as many as 100 chiefs of families were taken proportionally from 4 RW at Kampung Duripulo. The datas were collected by using questionnaire, interview, and direct observation in the area. Then to see whether there was a relation between the width and condition of the green open space on children ARI suffer, by using correlative analysis. The result of the statistic analysis showed : 1. The green open space utilization effected to the human health. Correlative test between the utilization of green open space and total number of children ARI suffer, showed a real negative correlation there was - 0,6573. Which meant that the more of green open space utilization, the total number of children ARI suffer becomes less. This could be seen in the area which was less populated by using the green open space largely, namely 80% (RT 01 RW 10), the number of children ARI suffer was small, namely 33.33%. It also happened, in the densely populated area by using the green open space largely, namely 60% (RT 02 RW 09), the number of children ARI suffer was small, namely 37.50%. In the other area which was less populated by using the green open space smallish, namely 20% (RT 06 RW 11), the number of children ARI suffer was large, namely 75%. 2. The total number and variety of plants in the green open space effected to the human health. Correlative test between total number of vegetation in the green open space and the number of children ARI suffer, showed a real positive correlation there was + 0,7619. Which meant that the more of total number and variety of plants in the green open space largely, the total number of children ARI suffer becomes less. It was proved by the observation in the area, namely RT 08 RW 10 with a very good level of plant determination (4), the total number of children ARI suffer was low, namely 37.50%. Whereas RT 07 RW 04 with a medium level of the plant determination (2), the total number of children ARI suffer was high, namely 71.43%.xvi 3. The width of green open space effected to the human health. Correlative test between the width of green open space and the number of children ARI suffer, showed a real negative correlation there was - 0,7903. Which meant that the more width of green open space, the total number of children ARI suffer becomes less. This could be seen in the RT 08 RW 10 with the width of green open space 297.81 in, the total number of children ARI suffer was small, namely 33.33%. And RT 02 RW 09 with the width of green open space 947.14 m2, total number of children ARI suffer was small, namely 37.50%. Whereas RT 06 RW 11 with the width of green open space 144.49 m2, total number of children ARI suffer was high, namely 75%. 4. The distance of green open space effected to the human health. Correlative test between the distance of green open space and the total number of children ARI suffer, showed a real positive correlation there was + 0,5234. Which meant that the nearer of green open space, the total number of children ARI suffer becomes less. This could be seen in the densely populated area (RT 06 RW 09) with a distant of green open space, the total number of children ARI suffer was high, namely 66.67%. Whereas the less populated area with a near of green open space (RT 05 RW 10), the total number of children ARI suffer was small, namely 33.33%. It also happened in the less populated area with a near of green open space (RT 06 RW 10), total number of children ARI suffer was small, namely 33.33%.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Waani
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini bertolak dari keinginan peneliti untuk menguji secara empirik tentang hubungan sebab akibat perubahan kondisi udara. Perlunya mengkaji perubahan kondisi udara karena seakan-akan terdapat ketidaksesuaian antara teori dan fakta serta terdapatnya perbedaan pendapat di kalangan beberapa ahli. Secara khusus, penelitian ini bertujuan menganalisis terjadinya perbedaan kondisi udara akibat aktivitas manusia dalam penggunaan tanah (pertanian, permukiman dan hutan).Lokasi penelitian Daerah Aliran Ci Liwung Hulu yang meliputi 27 lokasi pengamatan. Sampel penelitian secara random diambil 6 unit lokasi dengan mengumpul data tentang radiasi netto-albedo permukaan, konsentrasi CO2-O2, suhu udara dan kelembaban nisbi udara. Hipotesis yang hendak diuji ialah terjadi perubahan kondisi udara apabila terjadi perubahan penggunaan tanah dari hutan menjadi pertanian, hutan menjadi permukiman dan pertanian menjadi permukian. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menganalisis beda rataan masing-masing komponen kondisi udara menurut kawasan penggunaan tanah, menggunakan uji t pada taraf signifikansi tertentu. Perubahan-perubahan kondisi udara yang terjadi di Daerah A1iran Ci Liwung Hulu diperoleh dari adanya perbedaan-perbedaan herikut ini: (1) rataan suhu udara kawasan hutan (23,1 °C), kawasan pertanian (24,7 °C), dan kawasan permukiman (26,0 °C); (2) konsentrasi CO2 yang ditunjukkan oleh rataan konsentrasi 0, di kawasan hutan (8,21 µmoles/ml), kawasan pertanian (7,84 µmoles/ml), kawasan permukiman (7,23 µmoles/ml); (3) rataan kelembaban nisbi udara di kawasan hutan {94 %), kawasan pertanian {83 %), kawasan permukiman (77 %); (4) radiasi netto ditunjukkan oleh rataan albedo perrnukaan di kawasan hutan (11,37%), kawasan pertanian {17,23 %), kawasan permukiman (21,03 %). Data yang diperoleh ternyata mendukung dugaan peneliti, sehingga hipotesis penelitian teruji dan dapat diterima untuk keperluan penarikan kesimpulan tentang masalah yang diteliti. Kelembaban udara dan radiasi netto di kawasan hutan lebih tinggi dari kawasan pertanian dan permukiman. Suhu udara dan konsentrasi CO2 di kawasan hutan lebih rendah dari kawasan pertanian dan permukiman. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam rangka arahan bagi pengelolaan lingkungan yang dilakukan di daerah hulu sungai. Hal ini terutama karena adanya peningkatan perubahan penggunaan tanah sehubungan dengan aktivitas pariwisata.
ABSTRACT In this paper an attempt is made to find out whether changes will occur in the microclimate of an area, changes in the use of the land takes place. Although it is well known that the microclimate of an area will change, due to changes in land use, sufficient proof, however, is still lacking. This research is carried out in the Upper Ciliwung Basin, well above the one with a true tropical climate, on 27 observation posts. The data gathered are on surface albedo-net radiation, concentration of C02-02, air temperature near the ground and relative humidity, The land use consists of changes from woodland to agricultural land and lastly to housing compounds successively. The findings conclude, that there is an increase in mean temperature from woodland to agricultural land and housing respectively, from 23,1 0C, to 24,7 0C to 26,0 0C respectively. The concentration of CO,; by measuring the concentration of O2, is as follows: woodland 8,21 µmoles/ ml, agriculture 7,84 µmoles/ml, housing 7,23 µmoles/ ml. Relative humidity of the air is found to decreasing in percentage points on those three types of land uses, which can be seen in the following: woodland Q4 per cent, agriculture 83 per cent and housing 77 per cent. On .the other hand, the net radiation decrease, indicated by increase of surface albedo from woodland to housing, as can be seen in the following figures: woodland 11,37 per cent, agriculture 17,23 per cent, and finally housing 21,03 per cent. The results of this investigation proves that any change of land use from woodland is detrimental to the environment in general.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mimmim Arumi Wardiati
Abstrak :
ABSTRAK Muara Angke merupakan suatu kawasan delta Kali Angke di Jakarta Utara yang telah dikembangkan menjadi pusat kegiatan perikanan tradisional yang diharapkan dapat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup nelayan. Pusat kegiatan perikanan tradisional tersebut menyediakan fasilitas yang antara lain yaitu fasilitas pendaratan ikan, pengolahan ikan, pengeringan ikan, Koperasi, Bank, Pemukiman Nelayan dan lainnya. Para nelayan tersebut dapat membeli rumah dengan cara mencicil. Ada 2 RW yaitu RW 001 dan RW 011. Areal Pemukiman Nelayan Muara Angke di delta kali Angke di daerah pasang surut, yang mengalami banjir pasang. Penghuni terganggu oleh banjir pasang yang masuk ke dalam rumah dan jalan jalan yang tergenang air. Usaha-usaha untuk mengatasi gangguan ini adalah dengan menaikkan ketinggian jalan hampir setiap dua tahun. Hal ini menjadikan ketinggian lantai rumah lebih rendah dari ketinggian muka jalan. Penghuni yang mampu secara ekonomi dapat menaikkan ketinggian lantai rumah dan menaikkan ketinggian atapnya. Tetapi kebanyakan penghuni tidak mampu untuk melakukannya. Mereka hanya dapat menaikkan ketinggian lantai saja dengan puing sehingga ketinggian plafond menjadi rendah. Penghuni yang tidak mampu sama sekali hanya dapat membuat penghalang di muka pintu kurang lebih 3 cm. Anatomi rumah yang meliputi elemen-elemen seperti ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap lantai, luas jendela, luas rumah per orang, nampaknya mempunyai hubungan dengan jumlah penyakit yang diderita penghuninya cukup tinggi: ISPA, diare, kulit. Sebagaimana yang terungkapkan dari laporan PUSKESMAS Pluit tentang kesehatan penghuni Pemukiman Nelayan Muara Angke. Atas dasar keadaan tersebut penulis ingin membuktikan hubungan anatomi rumah dengan penyakit yang diderita penghuninya. Untuk itu dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Apakah ada hubungan anatomi rumah yang meliputi ketinggian lantai terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap lantai rumah, luas rumah per orang, luas jendela ruang tidur ke dua, jamban/WC, tempat cuci bahan makanan dan perabot dengan penyakit yang diderita penghuninya (ISPA, diare, kulit, kecacingan). (2) Apakah ada hubungan antara jenis penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah panggung dan penghuni jenis rumah bukan panggung? Tujuan penelitian ini adalah dibatasi untuk: (1) Mengetahui hubungan anatomi rumah yang meliputi elemen-elemen ketinggian lantai terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap Iantai rumah, luas rumah per orang, luas jendela ruang tidur ke dua, jamban/WC, tempat cuci bahan makanan dan perabot dengan penyakit yang diderita penghuninya (ISPA, diare, kulit, kecacingan). (2) Mengetahui hubungan jenis penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah`panggung dan jenis rumah bukan panggung. Penelitian dilakukan pada Pemukiman Nelayan Muara Angke yang mempunyai 2 RW yaitu RW 001 dan RW 011. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan melihat proporsi penyakit yang diderita penghuni. Pengujian hipotesis menggunakan uji Chi-square (x2) untuk mengetahui hubungan anatomi rumah dengan penyakit yang diderita penghuninya dan untuk mengetahui hubungan penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah panggung dan jenis rumah bukan panggung. Sari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Elemen-elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit ISPA adalah: (a) ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan (b) ketinggian plafond terhadap lantai rumah (c) luas jendela ruang tidur ke dua (d) luas rumah per orang (e) bahan bangunan atap (2) Elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit diare adalah: - tempat bahan makanan dan perabot (3) Elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit kulit adalah: - ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan (4) Elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit cacingan adalah: - ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan (5) Terdapat hubungan jenis penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah panggung dan jenis rumah bukan panggung. Meskipun pembangunan pemukiman neiayan Muara Angke telah memberi manfaat pada nelayan namun perlu dipikirkan langkah-langkah penanganan lebih lanjut pada pembangunan pemukiman selanjutnya yang perlu memperhatikan anatomi rumah dan keadaan daerah pemukiman (daerah pasang surut) untuk mencapai derajat kesehatan penghuni yang baik. Elemen anatomi antara lain meliputi ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap lantai rumah, luas rumah per orang, luas jendela, bahan bangunan, jamban/WC, tempat cuci bahan makanan dan perabot.
ABSTRACT Muara Angke is a delta of the Angke River in North Jakarta which has been developed for a traditional fishing centre and it is expected to enhance the quality of life of the fishermen. The traditional fishing centre is furnished, among others, with a landing facility, facilities for processing and drying of the fish, a cooperative association, a bank, housing for the fishermen, etc. The fishermen can buy a house by installments. There are two community districts, RW 001 and RW 011. The Muara Angke fishermen housing area in the delta of the Angke River is situated in an area which is overflowed during flood tide, although a wave-breaker has been built. The inhabitants are suffered by water flowing into their houses during flood tide, and roads standing under water. Efforts to overcome this problem by raising the road level almost every two years are very costly. This also has the result that the level of the house floor becomes lower than the level of the road. The inhabitants who do have the means can raise the level of the floor by filling and raising the roof of the house. But most of the inhabitants who do not have the means to do so, they only raise the level of the floor by filling it with debrise. So that, the height of the ceiling is getting lower to the floor. The inhabitants who don't have any means to fill the floor, they only make a small dike of 30 cm at their front doors. The anatomy of a house, including elements like the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling relative to the floor level, the window area, the area of the house per inhabitant, the toilets, the washing place for the foodstuffs and kitchen utensils, seem to be related to the high number of diseases cases such as acute infection of the respiratory system, diarrhea, skin and as is revealed by the reports on the health of the inhabitants of the Muara Angke fisherman housing area from the Pluit public health centre (PUSKESMAS). Writer wishes to investigate whether there is a relationship between the anatomy of a house and the number of diseases of its inhabitants. The problem statement of the research can be formulated as follows: (1) Does a relationship exist between the anatomy of a house comprising the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling relative to the floor level, the area of the house per inhabitants, the window area in the second bedroom number two, the toilets, the washing place for the food stuffs and kitchen utensils and the number of diseases such as acute infection of the respiratory system, skin and worm diseases among the inhabitants? (2) Does a relationship exist between the number of diseases in the houses on poles and the number of diseases in the houses not on poles? The goal of this research is limited to find out: (1) The relationship between the anatomy of a house comprising the elements of the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling, area of the house per person, area of the window in the second bedroom, toilets, washing place for the food stuffs, kitchen-utensils and the number of diseases among the inhabitants (such as acute infection of respiratory system, diarrhea, skin and worm diseases). (2) The relationship between the number of diseases in the houses on poles and in the houses not on poles. The research has been carried out on the Muara Angke Fishermen Housing Area with its two community districts, RW 001 and RW 011. Samples area taken randomly, in proportion to the disease number of the inhabitants. The hypothesis is tested by using the chi-square test, to reveal the relationship between the anatomy of a house and the number of diseases among the inhabitants, while the t-test is used to reveal the difference between the number of diseases in the houses on poles and in houses not on poles. As the results of this research the following conclusions can be drawn: (1) Elements of the anatomy of a house which have a relationship with the occurrences of cases of Acute Infection of the Respiratory System: (a) the level of the floor relative to that of the road (b) the height of the ceiling relative to the floor level (c) the window area of the second bedroom (d) the area of the house per inhabitants (e) the material of the roof of the house (2) Elements of the anatomy of a house which have a relationship with the occurrence of cases of diarrhea: - the washing place for the food stuffs and kitchen utensils (3) Elements of-the anatomy of a house which have a relationship with the occurrence of cases of skin diseases: - the level of the floor relative to that of the road (4) Elements of the anatomy of a house which have a relationship with the occurrence of cases of worm diseases:- the level of the floor relative to that of the road (5) There is a relationship between the number of occurrences of diseases in the houses on poles and that in the houses not on poles, and there is significant evident that the houses on poles have a higher degree of health of its inhabitants than that of the houses not on poles. Although the Muara Angke Fishermen Housing Area which has been built is of significant benefit to the fishermen, the action steps for quality improvement in the future development of the fishermen housing area should be planned appropriately taking into consideration the anatomy of a house and the local conditions of the area (exposed to tidal floods) to enhance the degree of health of its inhabitants. A number of elements of house anatomy especially are as follows: the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling, area of the house per person, area of the window in the second bedroom, toilets, washing place for the food stuffs and kitchen utensils.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>